Dalam beberapa diskusi, entah itu diskusi tentang puisi sampai dengan diskusi kecil di warung kopi, sering saya dengar celetukan seperti ini. “Saya bukan orang sastra”. Anehnya yang saya tahu beberapa orang yang berkata seperti itu justru orang orang yang bergelut di dunia sastra. Lebih sastra dari orang sastra, begitu kira kira istilahnya.
Coba anda tamasya ke blog blog yang bertebaran. Atau buat polling tentang latar belakang para blogger. Apakah mereka lulusan Fakultas Sastra? Pasti ada tapi saya yakin tidak akan sebanyak para blogger yang berlatar belakang non sastra. Kenapa ya? Selain memang dengan pertimbangan di negeri ini lebih banyak orang yang tidak kuliah daripada yang kuliah, sastra juga bukan pilihan yang populer.
Pengalaman saya dulu saat masih kuliah di Fakultas Sastra UJ, rata rata mahasiswa tertindas oleh angka angka. Entah itu jumlah kehadiran yang super ketat, indeks prestasi, atau hanya sekedar perampingan jam mata kuliah yang sungguh merugikan mahasiswa. Belum lagi tentang alasan mereka kuliah di Fakultas Sastra. Jarang ada yang berkata, “Saya kuliah di Sastra karena saya memang ingin”. Lebih umum jawabannya adalah kalau nggak karena salah jurusan, pilihan cadangan, disuruh orang tua, ikutan teman, atau paling parah adalah yang menjawab pokoknya kuliah.
Jadilah dunia sastra di Indonesia seperti sekarang ini. Sepi karya. Kalaupun ada biasanya adalah karya karya yang sifatnya dibiayai. Entah untuk mendapatkan titel, founding, dan lain lain. Tidak ada budaya menulis, seperti itulah denyut sastra di dalam dunia sastra sendiri.
Saya membayangkan seandainya di tiap tiap fakultas sastra di Indonesia, mahasiswanya wajib memiliki blog yang kontennya seputar sastra. Barangkali itu akan menyumbang nilai rasa buat bangsa kita. Kalaupun itu sulit untuk dilaksanakan, maka sudah menjadi tugas kitalah para blogger untuk untuk mengisi ruang ruang kosong tersebut.
Kejayaan suatu masyarakat hanya dapat ditandai dan diukur dari karya karya sastranya. Berkaca pada Indonesia akhir akhir ini, sampai pada masalah tari pendet yang diklaim Malaysia, apakah kita tidak terpanggil untuk melakukan sesuatu? Dengan menciptakan sebuah karya sastra misalnya.
Salam Lestari…!!!
yah, namanya juga orang sastra..
BalasHapushehehehe...
ingin disebut sebagai orang sastra tapi gak mengakui..
gimana ya???
betul, jika hal itu terjadi maka tidak ada manusia sastra yang mengebiri kreativitasnya sendiri di belakang meja2 kantor yang tak menghargai pendidikan sastranya
BalasHapus@ anonim : Yang penting itu kan karyanya, bukan sebutannya. Bukan begitu mas / mb? makasih.
BalasHapus@ Mas Letoy : Wah Mas Letoy ngomongnya kok semangat banget? hehe..Ya semoga saja tak ada lagi generasi yang dikebiri kreatifitasnya. Makasih lho mas letoy, salam buat istri dan si kecil Abi..
sesungguhnya, kaLau rakyat sasTra di FS-UJ benar2 cinTa dengan sastRa yan9 kaYa akan humani0ra dan budaya haL iTu aKan teraSa lbih indaH karena sasTra itu aspek terindah dalam khidupan, bkan beraLasan hanya ingin kuLiah atau terpaksa kuliah di sasTra...sasTra aKan lbih hidup, dimuLai daRi kiTa sendiri...
BalasHapus@ Si Rambut keset : Benar sekali itu mas..Mari kita berkarya..
BalasHapus