Kamis

Musik Kita Identitas Kita

Judul di atas saya comot begitu saja dari tema diskusi beberapa waktu lalu yang berjudul “Musikmu Identitasmu”. Diskusi yang digelar oleh kawan kawan Dewan Kesenian Kampus tersebut ternyata berhasil menyisakan sebuah tanya. Bagaimana seharusnya kita bersikap? Itu yang menggelitik nurani saya bila berbicara tentang sesuatu yang disepakati oleh banyak orang dengan sebutan musik. Lalu apa sebenarnya musik itu?

Saya yakin dan percaya setiap orang memiliki pandangan yang kurang lebihnya sama tentang definisi musik. Setidaknya, saling melengkapi. Yang menjadi berbeda adalah tentang sebuah penyikapan. Seorang bocah SMP kelas satu dan seorang mahasiswa semester lima tentu saja memiliki penyikapan yang berbeda tentang makna dibalik lagu.

Contoh saja, lagu Teman Tapi Mesra milik Maia Estianti. Bisa jadi, si bocah SMP akan mengartikan lagu itu sebagai sebuah keharusan. Maksudnya begini, jika ingin tampak keren kita harus memiliki seorang TTM. Yang disayangkan, lagu lagu yang semacam itu bukan hanya di-amini oleh para ABG saja, melainkan merambah ke segala usia. Semua hanyalah karena lagu tersebut diterima dengan tangan terbuka oleh pasar. Sementara lagu lagu tandingan yang mencoba mengimbangi lagu semacam TTM, tidak terdeteksi pasar dan cenderung eksklusif. Itu hanya sebuah contoh saja, dan anda semua bisa mencontohkannya pada lagu lagu yang lain.

Di sisi yang lain lagi, para budayawan Nusantara seringkali mempunyai ketakutan yang tidak beralasan pada efek samping budaya barat. Segala norma dan kebiasaan yang terhembus dari dunia barat dianggap sebuah momok yang akan mencemari budaya ketimuran kita. Ini menyebabkan kita semua melupakan satu hal, bahwa seharusnyalah kita menengok terlebih dahulu budaya kita sendiri sebelum benar benar menyorotkan pandangan mata ke gemerlap budaya barat. Mari kita pikirkan kembali lagu lagu daerah yang terlanjur populer di negeri ini. Misal, Bokong semok, Cucak Rowo, dan sejenisnya. Apakah lagu tersebut lahir karena ada pergesekan dengan budaya barat? Ataukah berakumulasi dengan budaya sendiri? Entah itu Gandrung, janger, tayub dan masih banyak lagi.

Seburuk apapun tema yang diusung oleh sebuah lagu, jika kita memiliki sebuah penyikapan yang prima, saya yakin itu tidak akan menimbulkan efek negatif. Toh kita memiliki kekuasaan penuh atas pendengaran kita sendiri. Jika kita tidak suka, ya sudah, tidak usah didengarkan. Masalahnya, apakah kita mau bersikap atau hanya memilih untuk sekedar hadir di muka bumi ini. Jawaban yang tepat hanya ada di tangan kita sendiri. Ingin kita pahat seperti apa jiwa dan identitas kita? Dan soundtrack lagu yang seperti apa yang kita ijinkan untuk mengiringi derap langkah kehidupan kita? Itu saja para netter, mari kita rame rame berpikir kembali sambil mendengarkan sebuah lagu.

Salam Lestari…!!!

4 komentar:

  1. sssiiippp.. keren noh...

    BalasHapus
  2. @Anonim : Siapapun anda, terimakasih udah mampir di tamasyakata..Salam lestari...!!!

    BalasHapus
  3. mas bro emank top,saya minta bimbingannya untuk diskusi2 selanjutnya ^^

    BalasHapus
  4. Waduh mas Ghanes,gimana kalau belajar bareng2 aja? Lebih keren n setara, oke braddah??tengkyu..Salam Budaya ya..!!!

    BalasHapus