Sabtu

Jangan Panik Aku Tidak Gila #2

Suatu hari, saat tak ada lagi yang bisa aku kerjakan di dalam kamar dan saat aku benar benar butuh udara segar, kulangkahkan kakiku keluar kamar menuju pos jaga. Berharap ada Pak Tik dan si Agus disana. Tak lupa kubawa juga empat pak rokok yang kesemuanya belum lagi aku buka. Entah kenapa tiba tiba aku ingin memberikan semua pada mereka. Saat langkahku sudah merayap di depan pintu pos, tak kujumpai mereka. Aneh, kemana ya mereka jam segini? Di ruang tengah juga tidak mungkin. Suasana rumah hening. Tak kudengar suara Tante juga Kang Iben. Kalau si Yun dan Om Irawan, mereka pasti belum datang. Masih jam sepuluh pagi, jam aktif buat mereka.
Aku nggak berpikir panjang, tetap saja aku taruh ke empat rokok itu di meja bagian dalam pos jaga. Setelah itu aku keluar, tidak kembali ke kamarku meskipun hanya sekedar menutup pintu, melainkan langsung ngeloyor keluar karena gerbang memang sudah terbuka sedikit. Dengan tanpa tujuan aku langkahkan kakiku. Aku melangkah dan terus melangkah. Sudah beberapa blok aku lewati. Sengaja aku menghindar untuk tidak melewati blok R. Aku memilih berjalan memutar. Tidak apalah asal aku tidak lagi memandang gudang penyimpan kenangan, setidaknya kenangan saat Tita melambaikan tangan. Sakit rasanya bila harus menyapukan pandangan kesana. Sambil merenung terus saja aku langkahkan kedua kakiku, entah sudah berapa banyak jumlah langkahku ini. Tiba tiba disebuah belokan aku dikejutkan oleh suara yang begitu aku kenal. Suara yang memanggil namaku dengan sebutan bang. Suara itu berteriak teriak seperti memohon sesuatu. Sesekali aku juga mendengar namaku disebut.
“Baaaaang….Bang Yopiiiiiii….Toloooooong……”
Hah, bukankah itu suara si Yun adik sepupuku yang cantik? Aku memutarkan pandangan ke arah datangnya suara. Benar saja, itu suara Yun. Dengan masih menggunakan seragam putih abu abu, Yun berlari tergopoh gopoh menuju ke arahku sembari di belakangnya ada seorang laki laki seusia Kang Iben dengan pakaian compang camping dan berambut gimbal terkekeh kekeh sambil mengejar Yun. Reflek aku langsung menyongsong Yun, kudekap dia sebentar, kurangkul dengan tangan kanan, dengan maksud agar Yun membelakangiku. Dan beberapa detik kemudian, saat laki laki yang mengejar Yun itu hanya berjarak kurang satu meter dari aku dan Yun yang sekarang posisinya sudah ada di belakangku sambil tak hentinya menjerit, aku pun berbuat sesuatu. Mula mula aku terjang dada pak tua itu dengan lutut kaki kananku. Tidak cukup dengan itu, aku menambahinya sebuah pukulan. Tidak dengan kepalan tangan, tapi dengan siku tangan kananku dan tepat mengenai wajahnya. Laki laki itu terhuyung sebelum kemudian jatuh. Tak puas dengan itu saja, aku kembali menghampirinya, menindihnya sambil tangan kiriku mencengkeram erat kerah bajunya, sementara tangan kananku yang sudah terkepal siap siap melayangkan bogem mentah. Tapi tenaga yang sudah aku kumpulkan tepat di genggaman tangan kananku itu tidak begitu saja aku lepaskan. Ada sesuatu yang menahan kepalan tangan ini meluncur. Dan itu adalah suara Yun.
“Baaaaang, jangan Bang, sudah..cukup Bang..Yun mohon..”
Aku tidak menurunkan kepalanku, tidak juga melesakkannya. Hampir mirip dengan adegan film yang sedang di pause. Baru beberapa detik kemudian, saat aku mendengar suara isak tangis Yun, aku menurunkan kepalan tanganku pelan pelan. Juga genggaman erat tangan kiriku yang mencengkeram kerah baju, aku lepas pelan pelan. Kemudian aku berdiri, membalikkan badan berharap bisa menatap wajah Yun adik sepupuku tersayang. Sekilas aku melihatnya. Dia masih menangis sesenggukan, seperti seorang bocah kecil yang habis kehilangan boneka kesayangannya. Rambut Yun yang panjang sebahu menyembunyikan wajahnya yang berurai air mata. Entah mendapat kepercayaan diri dari mana, aku melangkah mendekati Yun, menyingkap rambutnya yang terjatuh dengan kedua tanganku. Dan dengan segenap kerinduan seorang kakak sepupu, aku mengecup kening Yun. Setelah itu aku kembali membalikkan badan dan melangkah menjauh. Sementara di belakangku satu demi satu warga mulai berdatangan, ingin mengerti tentang apa yang terjadi.
“Baaaaang, mau kemana?”
Teriakan Yun tidak menghentikan langkahku, tidak juga membuat aku memalingkan wajah. Aku kembali melangkah dan terus melangkah meskipun aku sendiri tidak mengerti hendak aku arahkan kemana langkah kakiku ini. Tiba tiba aku sudah ada di ujung gerbang perumahan. Aku mengambil langkah ke kiri melewati sebuah halte. Tepat saat aku ada di depan halte, ada sebuah bus berhenti. Ternyata orang di dekatku yang melambaikan tangan menghentikan bus itu. Tanpa pikir panjang aku juga ikut naik bus itu.
Di dalam bus, semua mata memandangku. Aku baru sadar ternyata saat aku keluar dari kamar tadi, aku tidak mengenakan baju alias telanjang. Bawahannya saja aku hanya mengenakan celana pendek potongan. Tambah lagi, aku tidak mengenakan alas kaki. Sempurna, sesuai dengan julukanku. Pantas saja semua pasang mata memandangku. Pantesan juga di pemberhentian berikutnya aku diturunkan secara paksa oleh kernet dan kondektur bus, tentu saja atas instruksi dari bapak Supir. Aku pun turun, sama sekali tidak mencoba membela diri. Hanya tertawa, itu saja.
Aku kembali tertawa seperti sedia kala. Lucu, begitu menurutku. Dunia hanya terbatas pada orang orang yang berbaju nyentrik dan mahal saja, bukankah itu lucu? Apakah mereka sudah lupa bahwa awal mereka datang ke dunia ini tanpa sehelai benang pun? Itulah yang membuat aku tertawa. Tawa yang beberapa waktu terakhir ini menghilang entah kemana.
Turun dari bus aku kembali melangkahkan kaki. Kalau pas ada bus lagi yang berhenti di dekatku, aku ikut naik lagi. Tentu saja diturunkan paksa kembali. Begitu seterusnya. Ada sekitar empat kali aku naik turun bus. Semuanya terhenti saat aku merasa lapar. Sebuah persoalan baru untuk kebiasaan yang juga baru, kebiasaan jalan kaki. Dimana aku harus makan? Tapi sesungguhnyalah aku tidak terlalu memikirkan.
Tiba tiba saja aku sudah ada di dalam warung makan kelas pekerja kasar. Aku duduk dan makan apa yang bisa aku makan dan yang terjangkau oleh tanganku. Setelah itu kembali melangkahkan kaki. Dan setelah kejadian pertama ini sukses, aku melakukannya terus menerus, dimanapun itu, dan setiap kali aku lapar. Aku tidak perduli apa reaksi pemilik warung, depot, restaurant atau apalah namanya, yang penting saat aku merasa lapar aku harus makan. Dan untuk makan aku harus ke tempat tempat yang seperti itu. Disanalah tempat dimana orang lapar mereparasi perutnya biar tidak lagi merasa lapar. Kalau pemilik tempat tempat yang seperti itu marah akan kedatanganku, mudah saja.. Jangan membuat tempat reparasi perut. Masalah selesai.
Entah ini sudah hari keberapa aku berjalan kaki. Sudah sangat jauh rasanya aku dari rumah keluarga Om Irawan. Sekarang disinilah aku, sendirian di atas truk yang sedang melaju. Kedinginan tanpa teman dan mendekap lutut dengan kedua tanganku di pojok kanan geladag truk. Entah akan kemana arah truk ini nantinya, aku tidak tahu. Yang aku tahu dan aku rasakan sekarang hanya satu. Aku begitu merindukan orang orang yang dulu begitu menyayangiku. Mama dan Papa, merekalah yang paling sering aku rindukan. Aku rindu mereka bukan berarti aku berat melepas kepergian mereka. Sama sekali tidak. Hanya saja aku seringkali terbayang saat saat yang indah yang pernah aku lewati bersama. Sesekali aku menerawang, mencoba membayangkan apa yang telah mereka rasakan. Hidupnya berakhir dengan sebuah ledakan dahsyat. Jika sudah begini, seperti yang sudah sudah, seluruh tubuhkku bergetar, seakan ikut merasakannya.
Aku terlahir dengan nama Yopi Firman jauhari sebagai anak tunggal, satu satunya anak laki laki dari keluarga besar Sudibyo Firman Jauhari, seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang jasa transportasi, lima besar terbaik di Indonesia. Sejak kecil tak pernah aku merasakan kerasnya tamparan Papa dan Mama. Aku dididik dengan sebegitu lembutnya. Ini juga yang menjadikan aku mempunyai sifat sifat manja yang tinggi. Terbukti saat mereka meninggalkan aku dengan cara yang sama sekali tidak penah aku bayangkan, akupun limbung. Saat itu, satu satunya orang yang tahu harus bagaimana memperlakukan aku hanyalah Tita, perempuan cantik yang aku cintai dan pada akhirnya menjadi istriku. Sayangnya, selain Tita berhasil menumbuhkan semangat baru dalam hidupku, dia juga berhasil meninggalkan jejak luka yang menganga jauh di dasar lubuk hati ini. Sebuah cerita yang sempurna dari seorang laki laki yang biasa termanjakan segalanya, bukan hanya fasilitas.
Lama aku berpikir tentang alur hidupku sendiri. Aku terlarut oleh penggalan penggalan cerita yang pernah aku lalui bersama orang orang yang aku cintai. Suasana di dalam truk yang sesekali mengguncang tubuh ini bahkan tidak berhasil menghentikan imajinasiku untuk terus menerawang memikirkan segalanya. Aku tidak berhenti pada sosok Papa Mama dan Tita saja, tapi orang orang yang ada di kediaman Om Irawan tidak lepas dari renunganku. Sedang apa kira kira Yun saat ini? Apakah dia saat ini juga memikirkan aku? Ah, harusnya aku kembali sebentar ke arah Yun saat dia terakhir berteriak memanggil namaku. Setidaknya aku bisa berpesan pada Yun untuk menutup pintu kamar yang aku biarkan terbuka ketika aku tinggalkan. Atau aku juga bisa titip kata kata padanya untuk disampaikan pada Om Irawan, Tante Neni dan semua yang ada di sana termasuk Kang Iben, bahwa saat ini aku sedang ingin berjalan jalan entah kemana. Tapi biarlah. Kalaupun saat ini aku mencemaskan mereka, biarlah ini menjadi kecemasan terakhir, karena setelah ini aku tidak akan mencemaskan mereka lagi. Tak akan ada lagi cemoohan dari kiri kanan bahwa mereka mempunyai saudara mantan penghuni Rumah Sakit Jiwa. Takkan ada lagi rasa was-was manakala Yun dan Tante Neni harus melewati kamar depan karena aku sudah tidak ada lagi disana. Bisa jadi dengan kulangkahkan kaki menjauh dari kediaman Om Irawan sekeluarga, itu semua adalah jalan terbaik, tidak terkecuali bagi aku sendiri. Dengan bebas melangkahkan kaki kemana hati membawa, aku bisa lebih percaya diri dan yakin bahwa sebenarnyalah aku tidak gila.
“Hwahahaha…”
Aku tertawa terpingkal pingkal sendirian di atas truk, setelah sadar dengan apa yang aku lamunkan. Benarkah aku sendiri tidak yakin kalau aku sehat jasmani dan rohani?
“Hahahahaha…”
Lagi lagi aku tertawa sekeras kerasnya. Beruntung aku sendirian di atas truk yang melaju kencang, jadi tidak akan ada yang terganggu oleh tingkah lakuku. Tidak juga bapak Sopir dan partnernya yang ada di depan karena selain memang ada sekat, suara tawaku tenggelam oleh suara angin yang bergemuruh. Belum lagi suara truk ini sendiri yang tek henti hentinya bertalu. Seperti sebuah soundtrack kehidupan saja.
Sudah dua malam aku ada di truk ini. Malam sebelumnya truk ini diparkir di salah satu pom bensin dan istirahat disana. Entah malam ini, apakah truk ini masih akan melaju atau mencari pom bensin berikutnya hanya untuk numpang parkir aku tidak tahu. Sesekali saat truk berhenti aku juga ikut turun. Biasanya Bapak sopir lagi ingin makan atau hanya sekedar istirahat sambil sesekali memeriksa keadaan truk. Kadang juga berhenti sebentar hanya untuk membuang hajat. Sudah dua kali ini aku ikut nimbrung di samping pak sopir beserta temannya, ikut mengambil makanan, tapi setelah selesai, seperti biasanya aku langsung naik kembali ke geladak truk yang papan belakangnya bertuliskan Kutunggu Jandamu. Sepanjang pendengaranku, aku tidak pernah mendengar Bapak Sopir yang baik itu menggerutu atas apa yang telah aku lakukan. Beda dengan temannya yang sudah dua kali mengumpat, tak jelas kepada siapa dia tujukan suaranya itu, yang jelas aku tahu tentang maksud ucapannya, untuk menyindir siapa lagi kalau bukan untuk aku.
“Dasar gila…”
Itu kata kata pertama yang aku dengar dari teman pak sopir, ketika pertama kali mereka tahu ada orang di geladak truk mereka dan itu aku. Berbeda dengan temannya, pak sopir malah melempari aku sebuah kaos demi melihat aku setengah telanjang. Kaos warna hitam polos berlengan pendek yang di punggung belakangnya ada tulisan UNITED, nama dagang sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan dan penjualan berbagai macam sepeda kayuh. Aku tahu itu karena dulunya sepertiga saham yang ada di UNITED adalah milik perusahaanku. Tapi bukan itu yang mengagetkan aku, bukan juga umpatan dari teman pak sopir, melainkan dari kebaikan pak sopir itu sendiri. Ada juga ternyata orang yang seperti pak sopir, menawarkan kebaikan pada orang yang sekumuh aku. Tak perduli apakah aku benar benar gila atau tidak. Itu yang membuat kaos hitam bertuliskan UNITED ini berbeda, tidak bisa disejajarkan dengan segala pakaian mahal yang pernah aku miliki. Kaos yang sekarang telah aku gunakan ini jelas lebih esensial dari pakaian pakaianku sebelumnya.
Hari sudah petang saat truk tiba tiba menghentikan suara mesinnya. Ternyata truk sudah parkir di suatu tempat. Perlahan aku mencari ancang ancang berdiri. Bermodalkan pada satu tangan memegang celah dinding truk, akhirnya aku berdiri juga. Segera aku melongokkan kepala keluar dengan kaki berpijak pada sela sela dinding biar kepalaku bisa lebih tinggi dari dinding truk sebelah kanan. Sebelumnya aku berpikir bahwa truk lagi parkir di sebuah pom atau warung makanan. Ternyata tebakanku salah. Pak supir memarkir truknya di sebuah halaman rumah. Disana juga sudah ada empat truk lain yang parkir. Jelas ini adalah tempat pemberhentian terakhir. Tanpa pikir panjang, sebelum dinding truk digedor oleh teman pak sopir seperti sebelumnya, segera aku meloncat turun. Masih mengenakan kaos warna hitam yang bertuliskan UNITED, aku begitu saja melangkahkan kaki menjauh dari truk. Tapi tidak sampai dua puluh langkah kugerakkan kaki ini, seseorang memanggilku dengan sebutan Nak.
“Eh nak mau kemana? Sini dulu nak, bapak ada sesuatu buat kamu”
Reflek aku membalikkan badan. Tak kusangka yang memanggilku dengan sebutan Nak itu tidak lain adalah bapak sopir truk, orang yang selama perjalanan tidak pernah mencoba mengajakku bicara. Lama aku tertegun, diam ditempat, tanpa tahu harus berbuat apa. Kalau saja bapak sopir itu tidak menghampiri dan menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya untuk kemudian mengajakku duduk di teras rumah tempat truk diparkir, mungkin aku akan tetap diam ditempat. Tidak lama setelahnya, bapak sopir yang baik hati itu membuka sebuah ruang komunikasi. Lebih tepatnya bermonolog di depanku, karena meskipun telinga dan kedua mataku menyimak apa yang beliau katakan, aku diam seribu bahasa. Seperti biasanya, aku kesulitan untuk memerintah bibirku sendiri untuk mengucapkan sesuatu.
“Ini rumah saya mas, yah cuma begini ini keadaannya, hehe..”
Aku tahu bapak sopir mengucapkannya dengan apa adanya dan dengan ekspresi yang tidak dibuat buat. Ya aku tahu itu karena aku sudah terbiasa berhadapan dengan orang orang yang bermanis kata dan bermanis muka di depanku hanya karena berharap tujuan bisnisnya dapat terealisasi. Aku tidak menemukan itu di wajah dan di setiap kata yang bapak sopir ucapkan. Bahkan caranya terkekeh saja apa adanya. Tidak ada maksud dan tujuan tertentu selain hanya karena memang ingin terkekeh. Entah apa yang bapak sopir tertawakan. Bisa jadi hanya karena mentertawakan hitam putihnya kehidupan.
“Siapa Pak?”
Seorang perempuan seusia Almarhumah Mama datang menghampiri tempat aku dan bapak sopir leyeh leyeh, membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat sembari menanyakan itu pada bapak sopir.
“Ohya Nak, perkenalkan ini istri saya satu satunya dan yang paling saya cintai, hehehe..”
Lagi lagi bapak sopir itu tertawa renyah, seperti tidak ada beban sedikitpun dalam kehidupannya. Saat istri bapak sopir yang pada akhirnya aku tahu namanya bapak Ilham ini mengulurkan tangannya, entah mendapat kekuatan dari mana, aku juga mengulurkan tanganku. Tapi kemudian bisa ditebak, aku kembali diam seribu bahasa. Hanya mendengarkan kata kata yang terangkai menjadi sebuah cerita tentang kehidupan bapak Ilham, juga dari bibir bapak Ilham, seorang sopir sekaligus pemilik truk yang rendah hati.
Tidak hanya teh hangat saja yang disajikan oleh istri bapak Ilham, tapi juga makanan. Kebetulan aku sangat lapar. Tanpa babibu langsung saja aku serbu sepiring nasi hangat dengan lauk ikan laut, tempe tahu, sayur asem, sambal dan kerupuk yang begitu menggairahkan, apalagi untuk ukuran perut yang selapar aku. Melihat caraku makan aku tahu teman bapak sopir yang pada akhirnya juga ikut nimbrung pada acara makan bersama ini sangat tidak suka. Tapi apa boleh buat, aku memang sedang sangat lapar. Bahkan tanpa mereka suruh, aku menambah porsi nasi karena memang disajikan model prasmanan ini. Dapat aku lihat, wajah teman bapak Ilham menjadi semakin kecut. Reflek aku tertawa terbahak bahak sambil tangan kananku masih menyangga piring dan pada saat aku belum lagi selesai mengunyah. Alhasil, banyak butiran butiran nasi berceceran di sana sini. Melihat kejadian ini aku yakin teman bapak Ilham semakin menjadi jadi ketidak sukaannya padaku. Terbukti dia begitu saja meletakkan piringnya padahal dia belum lagi selesai makan. Karena insiden ini jugalah istri pak Ilham akhirnya mengernyitkan dahi. Tentu saja aku tahu apa yang ada dalam pikiran istri pak Ilham. Pastinya tidak akan jauh jauh dari penilaian orang orang yang mengerti tentang aku sebelumnya. Menganggap aku gila. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak mengekspresikan apa yang aku rasakan bisa jadi aku terbiasa bersikap tidak jujur. Dan aku tahu itu tidak baik.
Teman pak Ilham yang aku tertawakan itu namanya Ogah, entah nama asli atau hanya sebutan saja. Aku tahunya itu saat pak Ilham menyuruhnya untuk meneruskan makan dengan mengambil piring baru.
“Sudahlah Ogah, ayo kamu makan lagi, biar sehat seperti saya, hehe..”
Seperti mendapat celah untuk melampiaskan kekesalannya, dia langsung saja menyambar ucapan bapak Ilham dengan kata kata yang emosional.
“Percuma saya makan lagi pak, sudah kenyang, saya juga merasa cukup sehat. Sekarang ini orang yang makannya lahap aja belum tentu sehat jasmani dan rohani pak..”
Begitu katanya sambil mengambil sebatang rokok dan tidak lama kemudian dia sulut rokok itu dengan korek batangan.
“hehe..”
Hanya itu yang keluar dari mulut pak Ilham. Sementara aku, begitu melihat ekspresi teman pak Ilham yang bernama Ogah ini kembali tertawa. Kali ini aku tertawa begitu keras, lebih keras dari sebelumnya dan meledak ledak. Melihat ini pak Ilham hanya tersenyum senyum saja, berbeda dengan ekspresi istri dan temannya.
Sungguh aku tertawa melihat ekspresi yang ditampilkan oleh temannya pak Ilham ini. Sedari awal, saat sepintas aku menangkap ekspresi wajahnya yang jijik melihat aku makan selahap lahapnya, aku tertawa. Pikirku, inilah cara paling jujur untuk mengungkapkan rasa lapar yang sebegitunya saat kata kata tak lagi bisa mewakili untuk menggambarkan hal hal seperti ini. Kenapa harus memberi penilaian sejauh itu? Bukannya aku tidak mengerti tentang apa dan bagaimana itu etika, bukan hanya itu duduk permasalahannya. Kalau hanya sesederhana adab sopan santun di meja makan, aku mengerti. Tapi ini masalahnya lain. Aku hanya berusaha jujur bahwa aku memang sangat lapar, itu saja. Kalau tentang semburan butir butir nasi yang ada di mulutku tadi, sebagai manusia normal, wajar saja istri pak Ilham memperlihatkan ekspresi yang seperti itu. Itu memang sebuah kesalahan. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya telah lewat. Toh semua tidak akan terjadi jika tidak ada kelucuan sebelumnya. Jika pada akhirnya mereka menganggap aku gila, itu bukan urusanku. Keputusan untuk mengklaim sesuatu itu mutlak ada ditangan mereka. Jika mereka mempunyai persamaan persepsi dan memutuskan bahwa aku gila, ya sudah. Biar saja aku berpredikat gila asal semua itu tidak menghentikanku untuk bisa tertawa secara lepas dan jujur.
Setelah acara makan yang berakhir dengan kaku dan tidak menyenangkan, aku dipersilahkan oleh pak Ilham untuk istirahat. Tidak di dalam sebuah kamar memang, tapi di dalam truk kumpul dengan ruang kemudi. Sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa rebah dan beristirahat. Setidaknya ini akan mengembalikan energi tubuh yang terkuras selama perjalanan. Selain empuk dan hangat, tempat dimana aku tidur sekarang ini bisa melindungiku dari gigitan nyamuk. Dan yang lebih penting lagi, ini adalah jalan tengah yang tidak merisaukan istri pak Ilham. Hari belum begitu malam saat aku tertidur di dalam truk yang dinding geladak belakangnya ada tulisan Kutunggu jandamu. Sebuah kalimat ringkas yang begitu merakyat. Entah siapa yang mengawalinya dulu.
Saat ayam mulai berkokok, aku terbangun dari tidur yang nyenyak. Ah, masih gelap, batinku. Aku meneruskan rebahan, bermalas malasan di kursi yang empuk. Tidur yang begitu nikmat meskipun dengan posisi tubuh sedikit menekuk, tidak bisa benar benar selonjor. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan sebentar lagi. Tidak mungkin aku tinggal lebih lama lagi disini, hanya akan menimbulkan masalah baru saja. Apalagi aku sangat yakin istri pak Ilham tidak akan mungkin senang jika dirumahnya ada orang gila hilir mudik. Sebenarnya bisa saja saat ini juga aku memerintah kedua kakiku melangkah entah kemana, yang jelas menjauh dari kediaman pak Ilham sekeluarga. Toh sekarang hari masih terlalu pagi. Tak akan ada yang tahu kepergianku. Ini akan lebih mempermudah kedua kakiku untuk melangkah. Tapi sebagai manusia normal yang terbiasa dicap gila, tidak mungkin rasanya meninggalkan begitu saja sebuah keluarga yang telah mengulurkan kebaikan. Cukuplah keluarga Om Irawan yang aku tinggalkan seketika tanpa pesan dan tanpa sempat membalas segala kebaikannya. Aku tidak ingin untuk kedua kalinya mengulang cerita yang sama. Aku harus berbuat sesuatu. Ya, aku harus melakukan sesuatu disini. Apapun itu, yang pasti bukan menemani pak Ilham berbincang bincang, pikirku. Setelah aku memiliki ancang ancang untuk berbuat sesuatu yang aku sendiri tidak tahu akan berbuat apa, segera aku turun dari truk. Bergerak gerak sebentar untuk melemaskan otot dan menghirup udara segar, lalu melangkah menuju teras. Tidak seperti dugaanku, ternyata di ruang tamu sudah ada pak Ilham berdua dengan istrinya lagi ngobrol sembari pak Ilham menikmati segelas minuman di cangkir, barangkali secangkir kopi.
“Lho Nak, kok sudah bangun? Sini nak, ikut nimbrung sini”
Lagi lagi tidak sama seperti tebakanku. Bukan masalah isi cangkir itu, tapi tentang asal suara yang dapat aku tangkap dengan sangat jelas. Kata kata itu bukan keluar dari bibir pak Ilham, melainkan dari istri beliau. Aku benar benar salah sangka. Padahal sangkaku istri pak Ilham akan berekspresi tidak seperti pagi ini, setelah kejadian makan malam kemarin.
“Lho kok malah bengong, sini Nak..”
Kali ini suara pak Ilham yang menimpali. Tetap saja aku tidak beranjak dari tempat aku berdiri.
“Sudah sholat subuh?”
Pak Ilham menambahi ucapannya dengan sebuah pertanyaan. Melihat aku tidak berekspresi apa apa, istri pak Ilham menimpali ucapan suaminya sendiri.
“Bapak ini gimana seh, lha wong kita belum tahu apa agama nak ini, kok sudah ditanyain sudah sholat subuh apa belum”
“Oh iya yah, hehe..”
Jawaban sederhana pak Ilham yang disertai suara kekeh renyah khasnya itu berhasil menggugah memoriku tentang kata kata sholat dan agama. Bila ditelusuri dari Papa dan Mama yang taat memeluk agama Islam dan juga pernah menunaikan ibadah haji, sudah pasti aku juga beragama yang sama. Tapi benarkah seperti itu? Kalau iya, kapan ya terakhir kali aku sholat? Semakin bingung aku dengan pertanyaan pertanyaanku sendiri, semakin aku berdiri kaku mematung tanpa memperdulikan tawaran tawaran sepasang suami istri yang baik hati untuk masuk ke dalam ruang tamu dan duduk bersama mereka. Pada akhirnya aku lebih memilih untuk kembali melangkahkan kaki ke arah truk yang dinding geladak belakangnya bertuliskan Kutunggu Jandamu. Kubuka pintu kemudi, lalu aku masuk kedalamnya. Sekitar satu jam aku berada disana. Tidak melakukan apa apa selain berpikir tentang apa sebenarnya agamaku, dan mengapa manusia butuh mempunyai agama. Aku tahu kebutuhan akan itu karena aku ingat di kartu identitasku dulu juga ada barisan huruf dengan abjad A, G, A, M dan A, lalu diakhiri dengan tanda baca titik dua. Dan aku masih sangat ingat huruf huruf berikutnya setelah tanda baca titik dua. Itulah yang membuat aku berkesimpulan bahwa manusia butuh memiliki agama. Sama seperti pekerjaan yang juga tertulis di kartu identitas, barangkali agama dibutuhkan sebagai status sosial. Ah entahlah, aku semakin bingung saja. Lama lama aku bisa menjadi gila memikirkan apa sebenarnya agama yang cocok buat aku.
Dari arah teras depan rumah pak Ilham, dapat kulihat dari spion truk sebelah kiri bahwa istri pak Ilham sedang membawa nampan menuju ke arahku. Inilah saat yang tepat untuk berbuat sesuatu dan tidak selalu menyusahkan keluarga pak Ilham, batinku. Segera aku turun menyongsong istri pak Ilham. Melihat aku turun dan melangkah menghampiri, istri pak Ilham menghentikan langkahnya. Bukan lantaran takut seperti dugaanku, beliau malah tersenyum ramah.
“Ayo nak, sarapan dulu. Ibu sama Bapak sudah sarapan, baruuu saja”
Istri pak Ilham mengatakan itu sembari menyodorkan nampan berisi sepiring nasi dan segelas air putih padaku. Aku menerimanya tanpa ekspresi lalu meletakkannya di lantai teras yang berlatai semen biasa, tidak menggunakan tekel apalagi batu keramik. Tidak lama setelah itu aku mulai menyantap semua yang tersaji tanpa harus menunggu istri pak Ilham menawari. Istri pak Ilham tersenyum lalu kembali masuk melewati ruang tamu berukuran tiga kali empat sembari membawa kembali nampan yang sudah kosong. Tidak lama kemudian beliau keluar lagi, berjalan ke arahku dengan kedua tangannya memegangi nampan yang sama. Kali ini beliau membawakanku secangkir teh hangat dan beberapa batang rokok kretek milik pak Ilham. Tentu saja aku menerimanya dengan mata yang berbinar.
Tak terasa sudah tiga hari ini aku ada di rumah keluarga pak Ilham. Aktifitasku disini hampir sama dengan pada saat aku tinggal bersama keluarga Om Irawan. Makan, minum, merokok, tidur, buang hajat, jalan jalan, dan hal hal kecil lainnya. Tapi ada yang berbeda disini. Mungkin hanya dalam hal tidur saja yang berbeda. Disini aku tidak lagi tidur di dalam kamar yang kasurnya sebesar seperenambelas kolam renang, melainkan dua malam sudah aku tidur di bangku supir dibalik stir truk. Sedang semalam, aku tidur di teras berselimutkan kain spanduk bertuliskan Dirgahayu RI. Itu karena truk yang ada bukan truk yang biasanya. Entahlah, mungkin aku sudah terbiasa tidur hanya dengan truk yang ada tulisan Kutunggu Jandamu. Heran, aku benar benar menikmati model tidur yang serampangan ini. Perbedaan yang lain, disini aku ada aktifitas diluar makan, minum, tidur, merokok dan jalan jalan saja. Ya, setiap hari aku enjoy melakukan beberapa hal yang seumur hidup baru kali ini aku lakukan. Itu tidak lain adalah memberi makan ikan lele di kolam belakang rumah pak Ilham, membersihkan kandang ayam yang tempatnya persis di atas kolam lele, dan sore harinya ikut pak Ilham ke sungai memandikan truk kesayanganku, apalagi kalau bukan truk yang bertuliskan Kutunggu jandamu. Sungai tempat memandikan truk itu tidaklah dalam. Paling paling dalamnya hanya selutut orang dewasa. Yang menjadikannya menarik dimataku adalah karena sungai itu sangat lebar, selain juga ada banyak kendaraan lain yang ikut dimandikan. Paling banyak adalah kendaraan model pick up, baru lainnya adalah truk dan sepeda motor. Sore hari sungai itu berubah menjadi semacam ritual para sopir dan kernet angkutan. Pak Ilham biasa menyebutnya dengan istilah kali bening, sempalan kecil dari sungai besar, tapi lebih lebar dari sungai induk. Padahal sejauh mata memandang, air yang ada di kali bening tidaklah sama seperti namanya, melainkan berwarna keruh kecoklatan. Barangkali memang dulunya sungai ini berair jernih.
Bersama pak Ilham aku jadi tahu tentang banyak hal. Meskipun aku selalu diam seribu bahasa, pak Ilham selalu bercerita tentang apa saja setiap kali ada kesempatan berdua dengan aku, apalagi pada saat memandikan si Kutunggu Jandamu. Ada saja yang beliau ceritakan seakan akan tidak pernah habis stok cerita beliau, dari cerita yang sepele sampai pada cerita yang sangat sepele sekali. Dari beliau jugalah aku tahu bahwa daerah yang tanahnya aku pijak saat ini adalah tanah kelahiran Yudi, mantan sopir pribadiku dulu. Ya, saat pak Ilham berkata padaku bahwa nama kota ini adalah Jember Jawa Timur, ingatanku langsung melayang pada Yudi. Aku masih ingat betul saat Yudi menjenguk saat aku di RSJ. Dia berpamitan untuk kembali pulang ke tempat tinggalnya, Jember. Entah bagaimana kabar Yudi saat ini, aku begitu merindukannya. Sayang aku benar benar tidak tahu dimana Yudi tinggal. Kalaupun tahu, akan sangat sulit sekali bagiku untuk mencarinya karena aku buta akan kota ini. Aku lupa apa aku dulu pernah ke kota ini atau belum sama sekali.
Rumah pak Ilham tidak berlokasi di pusat kota, bahkan dikatakan pinggiran saja tidak. Lebih tepatnya sangat pinggir sekali. Di kecamatan Kalisat desa Sumber Jeruk. Orang orang di sekitar rumah pak Ilham hampir kesemuanya menggunakan bahasa daerah Madura. Jarang menggunakan bahasa daerah Jawa. Pak Ilham dan istrinya adalah diantara yang jarang itu. Ya, mereka menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Hanya saat berdongeng denganku mereka menggunakan bahasa Indonesia. Dari cerita cerita monolog pak Ilham padaku, aku jadi tahu daerah kelahiran pak Ilham. Beliau lahir di Banyuwangi. Saat kelas tiga SMP pak Ilham pindah kemari ikut kakeknya dari pihak orang tua laki laki, sampai dengan sekarang. Aku tidak tahu pasti sebab kepindahan itu, pak Ilham tidak menceritakannya secara detail, selain juga aku tidak terlalu memusingkannya. Beliau meneruskan sekolahnya sampai tamat STM Negeri Jember ambil jurusan mesin. Sedangkan istri beliau lahir dan besar di Blora. Mereka bertemu saat pak Ilham kerja honorarium di sebuah instansi di kota Blora. Lima tahun pak Ilham kerja disana. Ah, pak Ilham menceritakan masa nostalgianya dengan mata yang bercahaya, mata orang yang penuh cinta. Pantas mereka berdua langgeng sampai hari ini, pikirku. Dari selentingan selentingan cerita itu pada akhirnya aku tahu mereka pernah dikaruniai seorang putri, Astri namanya. Namun sayang takdir berkata lain. Pada saat Astri berusia sekitar delapan belas tahun, dia mengalami sakit sampai nyawanya tidak tertolong. Saat itu Astri duduk di bangku SMA kelas tiga, satu bulan sebelum ujian akhir sekolah dilaksanakan. Pak Ilham menceritakan itu dengan tanpa tersendat sendat, tanda beliau mempunyai tingkat ketulusan tingkat tinggi. Hanya orang orang yang terlalu sering makan asam garamlah yang memiliki karakter seperti itu.
Hari hari selanjutnya aku lalui seperti sebelumnya. Entahlah, semakin aku sering mendengar dongeng keluarga Ilham, semakin aku tidak memiliki keinginan untuk beranjak pergi, seperti rencanaku sebelumnya. Bersama mereka aku jadi mengerti tentang apa itu kesetaraan. Bahwa setara adalah tidak perduli apakah kita pandai bicara atau tidak bisa bicara sama sekali, semuanya dianggap sama sama manusia, setara. Bahwa setara adalah tidak perduli apakah kita dulunya begini dan begitu, jika sudah sampai waktunya untuk makan bersama, maka kita harus bisa duduk sejajar dengan siapa saja, tak perduli jenis kelamin apalagi jenis kemampuan otak kita. Tidak ada istilah klaim disini. Seandainya ada sesuatu yang tidak pada porsinya, mereka tidak begitu saja memberi label pada seseorang atau sesuatu, melainkan sama sama saling mencari jalan keluar yang terbaik dan berusaha menghindari untuk membicarakan seseorang dari belakang. Sebuah model keluarga kecil yang tidak pernah aku temukan sebelumnya di keluarga yang lain. Lebih mengutamakan ketenangan jiwa daripada harta benda. Tidak ada itu dalam teori manajemen.
Pak Ilham ternyata sudah hampir satu tahun ini tidak menyopiri sendiri truknya. Adapun kemarin dia ke Jakarta dari Jember berangkatnnya naik Bus. Itu semua karena Ogah, sopirnya. Ogah ada masalah disana pada saat melakukan pengiriman lombok. Entah apa masalahnya aku sendiri tidak bisa menangkap jelas pembicaraan pak Ilham bersama teman temannya dikala memandikan truk yang lain, bukan si Janda. Barangkali si Ogah terlibat masalah pelanggaran lalu lintas, mungkin kecelakaan atau pelanggaran yang lain. Menurut pak Ilham, pengiriman lombok bukan pekerjaan mudah. Karena penanganan lombok harus dilakukan secepat mungkin, jika tidak ingin kualitas lombok menurun. Jika kualitasnya menurun, penjualan akan tidak sesuai dengan yang ditargetkan. Kembali lagi tentang si Ogah, aku baru tahu bahwa si Ogah adalah supir dari truknya pak Ilham ya lantaran nggak sengaja turut mendengar cerita antara pak Ilham dengan rekan rekannya di kali bening. Tapi kenapa ya dalam perjalanan Jakarta Jember kemarin aku lebih sering melihat pak Ilham yang mengemudi? Cukup lama juga aku menyimpan rasa penasaranku. Sampai pada suatu hari di waktu yang lain si Ogah datang ke rumah pak Ilham. Dia kaget melihat aku masih ada disana, lebih kaget lagi saat tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang. Di depan pintu pak Ilham sudah menyambutnya dengan senyum yang lebar.
“Hai Ogah..Gimana tanganmu? Sudah sembuhkah?”
Yang namanya disebut hanya senyum senyum sambil sesekali menoleh ke belakang, ke arahku. Aku santai saja, ngelesot di ujung lantai teras yang menyiku lancip ke bawah.
“Punya peliharaan baru pak?”
Ogah berkata seperti itu sambil jempol tangan kanannya menunjuk ke belakang tanpa memalingkan wajah.
“Agstafirullah, jangan begitulah Ogah, tidak boleh menyejajarkan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lain, hehe..”
Kata kata pak Ilham jelas sangat memihak padaku, namun dengan nada dan pilihan kata yang tidak memojokkan si Ogah, apalagi diakhiri dengan suara kekeh khas pak Ilham yang mirip dengan suara tawa Kang Iben. Kata kata pak Ilham juga membuat aku tidak memperdulikan omongan si Ogah. Aku hanya diam tidak bereaksi apa apa, tidak juga tertawa. Beberapa menit kemudian aku beranjak pergi ke arah belakang rumah menuju kolam lele. Saat melewati ruang samping kiri rumah itulah aku kembali memikirkan kata kata pak Ilham tadi saat menyambut datangnya si Ogah.
“Hai Ogah..Gimana tanganmu? Sudah sembuhkah?”
Kalau tangan si Ogah cedera, berarti mungkin ada benarnya juga tebakanku. Dia mengalami kecelakaan saat mengantar kiriman lombok ke Jakarta, tangannya cedera dan kendaraannya di proses pihak yang berwajib. Karena itulah pak Ilham menyempatkan diri kesana. Selain mengurusi administrasi surat tilang dan lain lain, beliau juga menjemput si Ogah dan si Janda. Oh, aku manggut manggut sendiri sambil tetap berjalan ke arah kolam ikan lele yang atasnya ada kandang ayamnya. Tidak lama setelah itu aku tertawa keras. Bukan tertawa lantaran nasib si Ogah, bukan. Tapi karena aku kembali teringat apa yang tadi dilontarkan si Ogah pada pak Ilham.
“Punya peliharaan baru pak?”
Aku tidak berhenti tertawa. Sampai di bibir kolam pun aku masih tertawa. Istri pak Ilham yang lagi menjemur handuk tidak jauh dari tempat aku tertawa, ikut ikutan tertawa kecil.
“Apalagi yang kamu tertawakan nak?”
Beliau mengatakan itu sambil tetap ikutan tertawa kecil. Ah, seandainya Tante Neni dan Yun dulu bisa setenang istri pak Ilham dalam menerima kehadiranku, barangkali ceritanya akan berbeda. Aku memikirkan itu sambil tetap tertawa, tapi tidak keras dan juga tidak terlalu lama. Beberapa waktu kemudian aku sudah kembali tertawa sekeras kerasnya.
“Hwahahahaha…”
Lucu juga si Ogah itu. Apakah dia tidak bisa melihat dengan jelas? Aku bukan peliharaan siapa siapa. Aku melangkahkan kaki karena aku memang ingin melangkah, bukan karena leherku terjerat oleh sebuah rantai besi yang ujungnya ada dalam genggaman seseorang. Atau jangan jangan si Ogah takut mata pencahariannya hilang dengan mengatakan aku peliharaan baru? Bukankah kalau dicari mana yang lebih bisa dikatakan peliharaan, aku yang bebas ini ataukah si Ogah yang menjadi bawahan atas pak Ilham, bukankah jawabannya tentu saja akan lebih banyak tangan yang menunjuk pada si Ogah? Hwahahaha, lagi lagi aku tertawa meledak. Ah, hidup memang terlalu lucu, sayang bila tidak kita tertawakan.

( Bersambung )

1 komentar:

  1. menarik..
    ayo..ayo..terus...
    kecanduan suasana...
    kutunggu seterusnya

    BalasHapus