Curah Nongko Dan Sebuah Cerita
Kendaraan yang aku tumpangi berhenti di sebuah daerah pinggiran kota Jember. Jember Selatan daerah Curah Nongko tepatnya. Dua hari mereka disana, ngobrol sana sini menemui beberapa orang, lalu pulang kembali ke Blora dengan membawa muatan yang di taruh di bak pick up warna hitam tempat aku tidur selama dalam perjalanan kemarin. Aku tahu mereka pulang kembali ke Blora karena saat berbicara dengan orang terakhir yang mereka temui di daerah Curah Nongko, aku ada di antara mereka. Salah satu dari dua orang baik tersebut juga secara singkat menjelaskan tentang siapa aku dan mengapa aku ada di antara mereka. Pada intinya mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa apa tentang diriku. Siapa namaku dan hendak kemanakah aku. Mereka juga menambahkan bahwa selama dalam perjalanan aku tidak pernah bicara, lebih banyak tertawa sendirian tanpa arti yang jelas, tapi tidak pernah melakukan hal hal yang membahayakan. Ah, sebuah penilaian yang baik dari orang yang juga baik. Orang yang mereka ajak bicara hanya manggut manggut saja sambil sesekali pandangannya terarah tepat di kedua bola mataku.
Sebelum masuk ke dalam mobilnya, salah satu dari kedua orang itu sempat menawari aku untuk naik kembali ke atas bak kendaraannya. Entah benar benar menawari atau tidak, aku tidak lagi perduli. Aku tidak menggelengkan kepala, tidak tersenyum, tidak juga tertawa meledak. Diam, hanya itu reaksiku. Saat Bapak yang dari tadi diajak bicara oleh mereka mencoba memberi isyarat padaku untuk naik ke atas mobil pun, aku tidak bereaksi. Satu satunya pemberontakanku adalah diam seribu bahasa. Dan tidak lama kemudian mereka pun pergi. Entahlah, barangkali mereka lelah membujukku, atau bisa jadi juga pasrah. Lebih tepatnya, mereka memasrahkan aku pada kehendak Tuhan.
Tinggallah kini hanya ada aku dan seorang lelaki separuh baya yang sepertinya bingung hendak bereaksi apa terhadapku. Aku sendiri tidak terlalu pusing dengan Bapak ini. Saat ini, satu satunya yang aku kerjakan adalah memandangi kepergian mobil pick up warna hitam hingga aku merasa yakin bahwa mobil itu telah hilang dari pandanganku. Satu belokan lagi dan.. Tugasku untuk mengantarkan kepergian mobil pick up dan orang orang baik di dalamnya telah selesai. Pandanganku sekarang hanya bisa menyapu dedaunan, pohon, dan deretan rumah rumah warga sekitar. Terlihat banyak rumah disini, bahkan banyak yang jadi satu dengan took pracangan. Rumah rumah yang berjajar terkonsentrasi di pinggiran jalan aspal yang berlubang sana sini, menuju ke arah portal gerbang Taman Nasional.
Bapak yang jaraknya hanya kurang dua meter di samping kiriku ini sepertinya hendak mengatakan sesuatu. Tapi urung, beliau lebih memilih berbalik arah dan melangkahkan kedua kakinya untuk segera beranjak dariku. Aku tidak mencoba mengikutinya dengan langkah langkah kecil, melainkan hanya dengan pandangan mata saja. Sama seperti saat aku mengantarkan kepulangan orang orang baik barusan. Pandanganku terhenti pada saat Bapak tersebut membuka pintu rumahnya untuk kemudian menutupnya. Jaraknya dari tempat aku berdiri tidak begitu jauh, sekitar dua puluh meter. Rumah yang sederhana, sangat identik dengan rumah rumah perkebunan pada umumnya. Kecil, berdempet dengan rumah rumah lainnya, dan tersedia teras di depan rumah. Hampir semua halaman depan rumah warga sekitar dirawat dengan baik. Rata rata dari mereka banyak yang menanam bunga dan tanaman obat. Tapi entahlah, aku tidak tertarik untuk singgah di salah satu teras mereka meskipun hanya sekedar melepas penat.
Sebentar lagi malam tiba, awan sudah mulai berarak untuk berganti warna. Sayup namun pasti aku dengar suara pengingat untuk sholat maghrib. Tiba tiba aku baru sadar, sudah lama aku hanya berdiri mematung di dekat rumah bapak yang rumahnya hanya berkisar dua puluh meter dari tempat aku berdiri. Ah, pantas saja sedari tadi banyak orang yang kebetulan berlalu lalang di dekatku, ada ada saja yang mereka lakukan. Reaksi paling banyak adalah tertawa sambil tatapannya tertuju ke arahku, lalu menyilangkan jari telunjuk tangan kanannya ke jidat. Ah, usang, pikirku. Aku sudah mengerti isyarat itu sejak aku ada di kediaman Bapak Ilham. Bukankah itu isyarat yang dibuat bahan guyonan saat aku masih di Sumber Jeruk? Atau jangan jangan isyarat itu memang kebiasaan orang orang Jember dalam menyambut pendatang. Ah, entahlah, biarlah mereka begitu. Aku anggap saja ini sebuah salam perkenalan untuk seseorang yang ingin berlabuh di kampung mereka.
Sebelum hari benar benar malam, segera aku langkahkan kedua kakiku yang tak beralaskan apa apa ini menuju ke arah datangnya suara adzan yang aku dengar barusan. Kalaupun bukan masjid yang besar, pastilah sebuah surau yang kecil, pikirku. Dan di dalam tempat ibadah seperti itu, aku yakin ada tersedia tikar meskipun hanya selembar. Dan dengan selembar tikar, aku berharap tidurku bisa sedikit lebih menyenangkan daripada saat tidur dalam sebuah perjalanan, dari satu bak kendaraan ke satu bak kendaraan yang lain.
Tepat di depanku saat ini, ada sebuah masjid berukuran sekitar dua puluh meter kali dua puluh meter. Modelnya biasa saja, tidak terkesan artistik, namun nampak bahwa masjid yang berlepok dan berwarna putih ini kokoh. Satu satunya yang mengesankan aku adalah kubahnya yang menjulang indah meskipun tak begitu tinggi. Segera aku mengarahkan kakiku ke emperan masjid yang terdiri dari tiga trap. Aku duduk ngelesot di trap yang kedua, menghindari menindih banyak sandal yang ada di trap pertama. Agak lama aku duduk di sana, sampai pada akhirnya banyak jamaah perempuan dan beberapa laki laki keluar dari masjid. Demi melihat aku, salah satu dari mereka ada yang memekik. Bahkan ada juga yang menjerit setengah histeris. Tentu saja ini mengundang perhatian orang orang yang masih di dalam masjid. Banyak dari mereka berhamburan keluar hanya untuk mendapat kepastian, apa gerangan yang terjadi. Aku melihat beberapa wajah yang tadi sore aku lihat tertawa tawa ke arahku sambil terkadang menyilangkan jari telunjuknya ke jidat. Ada kulihat juga bapak yang tadi sempat sangat dekat sekali jaraknya dengan posisi aku berdiri. Dan beberapa lainnya aku tidak ada yang tahu. Macam macam reaksi mereka. Ada yang ngomel, ada yang menggerutu, ada yang cuma senyum, ada juga yang sok jadi pahlawan dengan mengambilkan sandal yang ada di sekitarku. Ini adalah sebuah fenomena lucu buatku. Tentu saja kelucuan ini menuntutku untuk bersikap jujur seperti biasanya. Dan tertawalah aku dengan semerdeka merdekanya. Tak satu pun dari mereka yang mencoba menghentikan tawaku. Dikala semua kelucuan kelucuan itu telah aku kupas habis dalam tawa, aku berhenti tertawa. Aku baru sadar bahwa sekarang hanya ada segelintir orang di sekitarku dan semuanya laki laki. Ah, ternyata aku terlalu lama tertawa. Tapi tak apalah, toh peristiwa tadi memang begitu menggelikan dan benar benar layak untuk ditertawakan. Lagipula, tak kurasakan lagi rasa sakit di luka pipi kananku dikala aku tertawa.
Orang orang yang tadi sore menyilangkan jari telunjuknya ke jidat, yang menandakan bahwa aku tidak waras, ternyata mereka semua melaksanakan shalat berjamaah. Seorang bapak yang tadi jaraknya sangat dekat denganku, yang urung untuk mengajak aku bicara seperti kang Iben dulu mengajak aku bicara, ternyata juga shalat. Aneh.. Padahal harusnya orang yang melaksanakaan shalat paham bahwa mengejek sesama mahluk Allah itu sama saja dengan mengejek Penciptanya. Jangankan mengejek sesama manusia, mengejek mahluk Allah yang lain saja, hewan dan tumbuhan, setahuku tidak dianjurkan. Lebih tepatnya, sampai hari ini aku tidak pernah mendengar anjuran ketuhanan yang seperti itu. Ohya, untuk bapak yang aku tidak tahu namanya, yang tadi jaraknya begitu dekat denganku, barangkali beliau tidak pernah mendengar kisah Nabi Sulaiman yang mengajak bercakap cakap pada siapa saja termasuk seekor semut kecil. Bagaimana dengan aku? Apakah orang yang mendapat predikat gila statusnya satu tingkat lebih rendah dari seekor semut kecil? Ah, lucu, sangat lucu.. Maka jangan salahkan aku bila sekarang aku kembali tertawa..
Kehadiranku malam itu di emperan masjid ternyata memberi pekerjaan baru pada beberapa pemuda desa Curah Nongko. Mereka begadang sampai mendekati subuh hanya untuk memastikan aku tidak melakukan sesuatu yang meresahkan. Tentu saja aku tidak perduli dengan kehadiran mereka. Pekerjaan baru yang lain adalah milik ibu ibu yang rumahnya berdekatan dengan masjid tempat aku melabuhkan diri. Sepanjang malam mereka tak henti hentinya membuatkan kopi dan jajan gorengan untuk beberapa pemuda yang lagi melaksanakan tugasnya, apalagi kalau bukan untuk mengawasiku. Sayangnya tak ada satupun yang menawari aku sesuatu. Aku sendiri tidak mencoba mengambil sesuatu yang ada di depan mereka karena aku tahu ini adalah masjid. Dan aku tahu masjid bukan tempatnya orang untuk mereparasi perut. Masjid adalah tempatnya orang orang untuk mereparasi hati. Setidaknya, saat dulu pak Ilham setiap Jumat mengajakku ke masjid, beliau tidak pernah mengatakan bahwa masjid fungsinya sama dengan warung. Dan itu berhasil mencegah tanganku untuk menyambar makanan yang tersaji di depan para pemuda ini.
Meski perutku keroncongan dan kerongkonganku menuntut untuk segera di aliri sesuatu, aku tidak bisa mencegah hati ini untuk tertawa. Ini memang membuat tubuhku lemas, tapi tak apalah asal aku masih bisa jujur mengekspresikan segala kelucuan di depan mataku. Ada ada saja tingkah para pemuda ini. Ada yang sengaja dari rumahnya menenteng gitar sebagai teman begadang. Bukankah ini lucu? Seorang pemuda di jaman yang serba mudah mendapatkan akses informasi, membawa gitar ke emperan masjid. Hahaha, non muslim saja tahu bahwa tak ada satupun utusan Tuhan yang gitaris. Bolehlah bermain gitar, asal tahu tempat dan tidak melalaikan. Nah kalau begini bagaimana? Haha..
Tawaku menyambung kembali lantaran beberapa saat kemudian aku dengar apa yang mereka bicarakan. Mengintip perempuan mandi di air sumber. Memang ini adalah cerita favorit bila melihat dari usia rata rata para pemuda di depanku. Sayangnya mereka menceritakan itu di tempat yang tidak semestinya. Lucu..sangat lucu sekali…
Malam pun semakin merangkak menjemput datangnya pagi. Bintang bintang masih bersinar di atas sana. Kerlap kerlipnya mengelabui mata kita tentang sebuah keberadaan dan tentang banyaknya kemungkinan. Benarkah bintang bintang itu masih ada? Tak ada lagi suara petikan gitar, tak ada lagi suara cekikikan. Yang ada sekarang ini hanya aku sendiri, menjaga beberapa pemuda harapan bangsa yang terlelap dari mimpinya masing masing. Dari pantulan sinar lampu neon masjid yang tidak sempat mereka matikan, aku bisa menatap jelas sisa jajanan di atas piring dan beberapa gelas yang sengaja dipinggirkan, yang di dalamnya masih ada kopi dan teh dingin. Kondisiku saat ini adalah lapar yang selapar laparnya, juga haus tiada tara. Tapi entahlah, seperti ada sesuatu yang menahan kedua tanganku untuk tidak mengambil apapun. Aku masih memegang prinsip, baik di perjalanan maupun di emperan masjid seperti sekarang ini. Bahwa aku hanya akan makan sesuatu di warung warung, di mana warung memang sengaja dibangun untuk orang orang yang membutuhkan makanan. Sedangkan disini, aku tidak bisa menerapkan prinsip itu. Alasannya jelas, masjid tidak sama dengan warung. Meskipun rasa lapar ini membuatku sulit memejamkan mata, aku tetap berusaha memejamkan mata. Berharap aku bisa tertidur pulas. Syukur syukur jika dalam tidur aku di anugerahi sebuah mimpi yang indah. Satu satunya mimpi yang indah malam ini dan yang sangat aku harapkan adalah bisa bermimpi memakan sisa jajanan di dalam piring tepat di depanku, lalu meneguk semua sisa minuman dalam cangkir itu. Itulah mimpi yang aku harapkan. Aku percaya, Tuhan memberikan rizki pada mahluknya dari tempat yang tidak disangka sangka. Nah, bukankah dunia mimpi juga tempat yang tidak pernah kita sangka sangka? Nabi Yusuf saja mendapat isyarat lewat mimpi, Ayah beliau sendiri perawinya.
Aku terus memikirkan itu sampai akhirnya akupun terlelap pulas. Tidak bermimpi apa apa. Tapi aku bersyukur, dengan tertidur pulas aku bisa menghindari rasa haus dan lapar meskipun hanya beberapa waktu. Lebih bersyukur lagi dikala aku terbangun. Sungguh menyenangkan aku bisa bangun dari tidur. Ini artinya, aku masih diberi kesempatan untuk menikmati hari yang indah. Sulit aku bayangkan seandainya Tuhan mengambil nyawaku pada waktu aku tertidur pulas.
Mentari sudah menunjukkan sinarnya saat aku terbangun. Sudah tidak ada para pemuda di sekitarku. Barangkali mereka pulang ke rumah masing masing pada saat selesai subuhan tadi. Emperan masjid terlihat bersih. Tak ada jejak yang menandakan bahwa semalam ada kehidupan di sini. Aku tertegun, masih memikirkan tentang sisa jajanan semalam. Tentu saja olah pikirku ini mengundang orkestra di dalam perut untuk segera menyanyikan sebuah lagu keroncong. Dan saat itu juga perutku benar benar berbunyi. Tentu saja aku tertawa. Apalagi yang aku tertawakan selain menertawakan onderdil tubuhku sendiri. Tuhan Maha Hebat. Jauh sebelum manusia menciptakan kendaraan dan bensin, Dia sudah menciptakan manusia dan segala kebutuhannya. Sungguh sebenarnya kita tidak bisa berkreasi, yang kita bisa hanya rekreasi. Inilah yang aku lakukan selama ini, rekreasi, berkreasi kembali, refreshing, menyegarkan kembali. Tamasya dari satu tempat ke tempat yang lain.
“Cong..”
Hah, aku tersentak demi mendengar kata cong yang terarah padaku dan tertangkap dengan sangat sempurna oleh kedua telingaku. Aku sangat tidak asing dengan nama itu, bukankah itu namaku saat aku bermain di kali bening dulu? Apakah orang yang memanggilku ini adalah salah satu dari warga sekitar kali bening? Yang pasti bukan Pak Ilham maupun ibuk, karena mereka memanggilku nak. Tanpa menunggu panggilan yang kedua, segera aku tolehkan kepala ke arah datangnya suara.
Aku tidak mengenalnya, dan bisa aku pastikan laki laki yang ada di depanku ini bukanlah orang yang pernah memandikan mobilnya di kali bening.
“Wah maaf, saya kira sampeyan lebih muda dari saya. Maaf ya mas..”
Laki laki yang rambutnya pendek dan rapi itu berkata dengan sangat santun dan bersahabat. Usianya kira kira tidak jauh berbeda dengan aku. Dia hanya mengenakan celana pendek menutupi lutut, warna hitam dan kaos warna kunimg pekat yang tak bergambar apa apa.
“Ini mas, kebetulan saya ada rejeki, mari kita sarapan bareng bareng”.
Dia mengatakan itu sambil tangannya mengeluarkan dua bungkus nasi, salah satunya dia sodorkan ke arahku dengan kondisi sudah terbuka. Tentu saja aku langsung ambil ancang ancang untuk tancap gas. Namun dengan tenang laki laki di depanku ini berkata.
“Ohya mas, kalau mau cuci tangan dulu, di sebelah sana ya mas, mari saya antar”
Dia mengatakan itu sambil tangan kanannya menunjuk ke sebuah arah, lalu segera berdiri untuk mengantarkan aku. Seperti tersihir dengan kata katanya yang santun, akupun menurut. Kulangkahkan kakiku ke arah yang dimaksud. Dan beberapa detik kemudian aku sudah bermain air. Mula mula aku berkumur. Setelah itu minum beberapa teguk. Ah, nikmatnya, pikirku. Tapi aku urung untuk meneguk sampai puas, khawatir aku akan kenyang sebelum makan. Kemudian kubasuh tangan kananku dengan tangan kiri, terus berganti. Baru setelah itu aku cuci muka, sedikit membasahi rambut, mengusap ngusapnya, lalu kuteruskan dengan membasuh kedua kakiku. Segarnya. Padahal aku sudah hampir lupa bagaimana rasanya muka ini terguyur air. Sudah sangat lama sekali. Aku hanya berhubungan dengan air jika haus dan beberapa kebutuhan darurat lainnya. Bagiku, membasuh tangan, kaki dan muka bukanlah sesuatu yang periculum in mora. Itu hanyalah kegiatan yang tidak benar benar mendesak. Kali ini aku hanya bisa menertawakan hasil olah pikirku sendiri.
Setelah semuanya aku anggap selesai, segera aku menuju ke tempat dimana ada nasi bungkus menanti. Langkahku diikuti dengan langkah laki laki pembawa kabar gembira. Aku mengambil posisi duduk nongkrong, dengan kedua lutut hampir menempel di dada dan sedikit menungging, sementara laki laki di depanku mengambil posisi bersila. Tanpa menunggu mendapat tawaran untuk yang kedua kalinya, langsung saja aku santap menu nasi pecel dengan dua iris tempe goreng yang masih hangat plus sayur lodeh. Ada juga kerupuk yang saat kumakan memberi efek suara yang menentramkan. Belum lagi sambalnya, nikmat. Aku tidak butuh waktu lama untuk menikmati rejeki Tuhan yang datang dari tempat yang benar benar tidak aku sangka sangka ini. Padahal laki laki di depanku masih belum separuh perjalanan. Demi melihat aku makan dengan lahapnya, laki laki ini dengan rendah hati dan suara yang masih saja santun, mengatakan sesuatu padaku.
“Sepertinya mas masih kurang ya. Silahkan mas, habiskan ini jika mas mau, kebetulan saya sudah cukup”
Dia mengatakan itu sambil tangannya menyodorkan bungkus makanan miliknya yang sudah terbuka tapi belum lagi habis. Tentu saja aku menerima ini dengan mata yang berbinar. Sekali lagi, tanpa menunggu laki laki di depanku mengulangi tawarannya,
aku langsung tancap gas.
“Sebentar ya mas, saya ambilkan air putih dulu”
Dia beranjak pergi saat aku hampir selesai. Dan setelah aku benar benar selesai sarapan gelombang kedua, dia datang sambil membawa sebuah nampan kecil. Isinya air putih segelas, dan dua cangkir kopi yang masih bisa aku lihat asapnya di ujung cangkir, menandakan kopi itu bukan dari air termos. Yang lebih menyenangkan lagi, dia juga membawa satu pak rokok kretek. Benar benar pagi yang indah.
Suasana masih santai, sesantai laki laki di depanku membuka bungkus rokok kretek di tangannya, mengambil satu, di sulutnya, kemudian dia menjulurkan bungkus rokok itu ke arahku. Sengaja dia menyembulkan salah satu rokok hingga seperempat panjang rokok biar aku lebih mudah menariknya. Akupun mengambil tawaran manis itu. Tapi aku tidak ingin buru buru merokok, melainkan lebih memilih untuk menyeruput kopi dulu baru kemudian menyalakan rokok. Pada akhirnya aku dan laki laki di depanku sama sama merokok, kali ini di tangga masjid undak undak terbawah, tempat orang biasanya meletakkan sandal.
“Nama saya Ali mas, saya pendatang di sini. Kalau rumah orang tua saya jauh mas, di Busang pulau kalimantan. Saya sendiri sejak lulus SMP ikut saudara di Bekasi. Yah, bantu bantu gitu mas. Kalau saudara saya lagi otak atik mobilnya, saya bantu apa saja yang bisa saya lakukan. Kalau diam saja nggak enak mas, soalnya saya kan juga disekolahkan sama mereka. Setamat STM, mereka memaksa saya untuk meneruskan kuliah. Tapi saya kan juga tahu diri mas. Oleh karena itulah saya bersikeras untuk langsung cari kerja dan lepas dari mereka. Lalu dicarikanlah saya kerja oleh saudara saya itu. Di sebuah bengkel milik kenalan saudara saya. Tidak besar memang, tapi sangat membantu saya untuk belajar banyak hal. Memang jurusan saya mesin pas masih sekolah di STM Bekasi, tapi begitulah mas, saya lebih tertempa di bengkel milik Om Jun, nama juragan saya. Empat tahun saya disana. Saya juga sempat pulang di Busang mas. Tapi nggak lama. Saya balik lagi ke jawa setengah tahun berikutnya. Mau kembali ke Om Jun malu. Jadinya saya luntang lantung mengadu nasib dari satu bengkel ke bengkel yang lain, di banyak kota mas”.
Laki laki yang ternyata namanya Ali ini bicara begitu saja tanpa sekalipun memandang ke arahku, tapi menerawang. Aku bisa menemukan kejujuran di setiap kata yang dia rangkai. Mendengarnya berceloteh aku jadi teringat pak Ilham. Bukankah beliau juga pernah bercerita kalau beliau lulusan STM? Ingin sekali aku mendengar kelanjutan celoteh Ali tapi dari arah belakang punggungku ada kudengar suara langkah mendekat. Aku menahan diri untuk tidak menoleh.
“Hei Ali, asyik benar kulihat engkau ngobrol..”
Suara itu datangnya dari orang yang ada di balik punggungku. Suara laki laki yang terdengar punya wibawa.
“Wah, Haji Abbas, selamat pagi Pak Haji”
Kali ini Ali yang bersuara sambil tangannya mematikan ujung rokok kreteknya yang memang sudah habis.
“Selamat pagi kau bilang, bukankah ini sudah jam sembilan? Hehe..”
Bapak yang oleh Ali dipanggil Haji Abbas dan yang sekarang sudah ada di antara aku dan Ali ini tertawa terkekeh, mirip dengan tawa Kang Iben.
“Iya Pak Haji, lagi tidak ada garapan nih Pak Haji. Jadi bengkel saya tutup, lagian pengen libur dulu Pak”.
Ucapan Ali langsung di sambut tawa renyah Pak Haji Abbas
“Orang sekreatif kamu itu harusnya membuka bengkel di kota besar Ali, bukan di tempat seperti ini, hehehehe..”
Lagi lagi Pak Haji itu terkekeh.
“Waduh, pagi pagi sudah di puji kreatif, makasih lho Pak Haji. Tapi saya nggak mau jauh jauh dari anak istri saya Pak. Apalagi si Alden masih belum satu tahun Pak Haji. Istri saya si Ellis kan juga orangnya nggak betah disuruh tinggal di kota. Kemarin sebenarnya dapat tawaran dari saudara. Saat saya runding ke Ellis, dia bilang mau pikir pikir dulu katanya Pak, hehe..”
Mereka terus ngobrol hangat. Kadang sesekali mata Pak Haji Abbas menatapku ramah, dibarengi dengan senyuman. Dari pembicaraan mereka aku jadi tahu bahwa Ali punya satu anak lelaki yang masih kecil, Alden namanya. Sedangkan istrinya, Ellis, membuka usaha jahit kecil kecilan di rumahnya. Pak haji sendiri adalah orang yang mewakafkan tanahnya untuk masjid ini, sekaligus merawat dan mengimami shalat berjamaah. Sekalipun begitu beliau tidak sedikitpun menyinggung masalah aku tertawa semalam. Bersama mereka, aku menemukan apa yang akhir akhir ini aku cari. Teman. Ya, aku butuh teman bicara. Seenggak enggaknya, aku bisa merasa nyaman berada diantara orang orang yang sedang bicara dan sama sekali tidak terganggu dengan kehadiranku, seperti saat ini.
*******
Haripun berlalu, bulan berganti. Tak terasa sudah tiga minggu aku disini. Tempat berlabuh baru, orang orang baru dan suasana yang serba baru. Tak ada lagi pemuda yang menungguiku saat aku hendak beranjak tidur di emperan Masjid yang di bangun di atas tanah wakaf milik Haji Abbas. Hanya saja beberapa dari mereka masih suka menyilangkan jari telunjuknya di kepala saat bertemu denganku. Nyai, istri Haji Abbas, beliaulah yang seringkali mengingatkan orang orang untuk tidak bersikap seperti itu padaku. Ah, benar benar keluarga yang baik, batinku.
Ohya, aku juga punya beberapa potong pakaian, celana pendek satu, celana panjang satu, sebuah sarung dan satu selimut yang hanya aku pakai saat malam datang saja. Semuanya pemberian dari Ali, seseorang yang sering menceritakan banyak hal padaku hampir di setiap pagi setelah waktu subuh. Dari semua pemberiannya, hanya celana pendek yang aku minati. Sedang lainnya aku letakkan begitu saja di emperan masjid. Begitupun Ali tidak marah. Dia selalu bercerita tentang apa saja yang ingin dia ceritakan, tak perduli aku membisu, mematung dan tertawa sekenanya. Aku sendiri lebih senang beraktivitas pada hal hal yang berhubungan dengan air. Saat Ali atau Haji Abbas menimba air untuk wudhu, aku memperhatikan bagaimana cara mereka melakukannya. Esoknya, itu sudah menjadi aktivitasku. Tanpa ada yang menyuruh, aku menimba air di bak khusus untuk wudhu. Bahkan pada akhirnya, bak mandi masjid juga aku yang mengisi airnya. Di minggu kedua, saat Ali menguras bak bak itu, aku perhatikan baik baik. Seperti biasa, Ali melakukan itu sambil berkata kata. Bukan hal yang penting bagi kebanyakan orang, tapi ini adalah sebuah pelajaran penting dan juga benar benar baru bagiku. Bayangkan betapa hebatnya, Ali mengatakan padaku tentang pentingnya menguras bak bak itu setidaknya sebulan sekali. Selain masalah kebersihan, ini juga menyangkut kesehatan. Masih menurut Ali, dia bilang Tuhan senang pada orang orang yang kuat karena biasanya orang yang fisiknya kuat adalah orang yang pemberani. Nah, untuk menjadi seperti yang Tuhan senangi, mau tidak mau manusia harus mau dan mampu menjaga kebersihan dan kesehatannya. Sebuah pelajaran sederhana, murahan, namun akan menjadi istimewa dan sangat mahal manakala sang pengajar memaparkan itu dengan langsung mempraktekkannya pada kehidupannya sendiri. Harusnya seperti itulah sikap yang harus dimiliki para pendidik, apapun yang diajarkannya.
Biasanya setiap sore Nyai istri Haji Abbas menyiram bunga, baik yang di depan rumah Haji Abbas sendiri maupun yang di sekitar masjid. Sekarang Nyai tidak lagi menyiram yang bagian masjid, karena pelan tapi pasti aku juga belajar untuk menyiramnya setiap sore. Kabar baiknya, Nyai sepertinya senang dengan apa yang aku lakukan karena beliau bisa lebih fokus merawat bunga di sekitar rumahnya. Aku hanya tidak tertarik dengan satu hal, padahal itu dilakukan setiap hari. Tidak lain adalah menyapu lantai masjid. Aku lebih tertarik untuk menyapu pelataran masjid daripada lantainya, itupun tidak aku lakukan setiap hari. Lain lagi bila ada beberapa orang yang mengepel masjid. Bisa dipastikan aku akan berpartisipasi meskipun hanya akan membuat air yang bertumpah ruah saja. Begitupun, Haji Abbas tidak pernah mencoba mencegahku meski mendapat laporan dari orang yang mengepel masjid mengenai kekacauan yang aku timbulkan. Pengepelan ini sendiri hanya dilakukan seminggu sekali, pagi hari sebelum shalat Jumat dimulai.
Selama aku ada di sini, belum pernah sekalipun aku mencoba bergabung untuk ikut shalat berjamaah. Kerjaku setiap hari setelah bangun tidur hanyalah menunggu Nyai memanggilku untuk makan, menimba bak mandi dan bak untuk berwudhu, kadang mengurasnya. Setelah selesai ya sudah, aku keluyuran. Biasanya hanya di sekitar masjid saja. Sekitar waktu ashar, aku kembali ke masjid, menambah air di bak, baru kemudian menyiram tanaman. Kadang juga menyapu latar masjid. Malam hari aku manfaatkan untuk kumpul bareng orang orang kampung di salah satu rumah yang ada tivinya. Itu juga tidak sampai larut malam. Biasanya jam sembilan aku sudah ngantuk. Ini tidak lain karena siangnya aku terlalu banyak keluyuran. Tentang masalah aku tidak pernah merapatkan diri untuk turut shalat berjamaah, Haji Abbas, Nyai dan Ali tidak ada masalah. Terbukti mereka tidak pernah mengatakan hal ini padaku. Terutama Ali, dia tidak pernah berceloteh tentang apa itu shalat dan mengapa manusia butuh shalat. Sebenarnya aku tahu kenapa mereka tidak pernah membicarakan ini. Dulu pada minggu pertama aku ada di sini, ada seorang anak yang memaksa aku untuk shalat. Karena masih kecil, sekitar sepuluh tahun, dia mendorong dorong aku. Aku ingat itu waktu akan shalat maghrib. Ali dan Haji Abbas sendiri tahu adegan itu. Aku bukannya marah di dorong dorong seperti itu, melainkan tertawa. Dan tawaku sulit untuk aku hentikan, sampai sampai mereka menunda shalatnya beberapa saat sampai suasana kembali terkendali. Sayangnya suasana sepertinya tidak akan pernah terkendali, hingga aku dirangkul keluar oleh Ali. Bahkan ketika sudah ada di luar, aku masih tidak berhenti untuk tertawa. Ah, seandainya mereka tahu bahwa aku dulu pernah shalat jumat di saf terdepan di samping pak Ilham di sebuah desa yang bernama Sumber Jeruk.. Seandainya mereka mengerti..
Disebuah minggu pagi yang cerah, Ali datang ke masjid sambil melemparkan satu pak rokok kretek padaku. Aku menyambutnya sepenuh hati.
“Dapat rejeki aku mas..”
Ah, di sini hanya Ali yang memanggil aku mas. Ohya, bicara tentang panggilan, aku di sini dijuluki nama yang sama dengan saat aku tinggal bersama Pak Ilham dulu. Bukan nak, tapi kacong, panggilan yang lahir dari orang orang kali bening. Sebenarnya aku mengerti mengapa mereka juga memanggil aku kacong, karena aku pernah secara tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara Ali dan Haji Abbas. Dulu, saat masih hari kedua keberadaanku di sini.
“Aneh Pak Haji, kemarin saat saya memanggilnya cong, dia secara reflek terkejut dan mengarahkan pandangannya ke arah saya. Sepertinya dia mengingat ingat tentang sesuatu”
Ali mengatakan itu pada Haji Abbas, lalu yang di ajak bicara berkomentar.
“Barangkali orang terdekatnya dulu ada yang memanggilnya cong, jadi dia punya memori kuat dengan nama itu. Ya kita panggil saja dia kacong, barangkali bisa membantu kepulihan daya ingatnya”
Haji Abbas mengatakan itu seakan akan otakku memang sudah benar benar rusak dan butuh sesuatu yang emotif dan menyentuh, berharap akan bisa memperbaiki apa apa yang di anggap rusak. Tentu saja aku tidak bisa menahan tawa. Anehnya, ledakan tawaku itu tidak membuat mereka berhenti membicarakan aku. Pada akhirnya aku hanya berlalu dari mereka sambil melepas tawa. Kata kata terakhir yang sempat aku dengar sebelum aku benar benar berlalu dari mereka adalah tentang kemungkinan aku pernah mengalami sebuah peristiwa yang traumatis.
“Tidak mungkinlah orang bisu bisa tertawa sesempurna itu. Dia juga tidak tuli. Tawa seperti itu hanya dimiliki oleh orang yang lidahnya normal. Barangkali si kacong ini pernah mengalami sebuah peristiwa yang tidak nyaman dan membekas hingga kini, hingga menyebabkan dia membisu”
Haji Abbas mengatakan itu dengan suaranya yang karismatik. Biar sajalah mereka menebak nebak tentang aku, setidaknya sekarang aku punya teman dan tempat berlabuh. Entah sampai kapan aku tidak tahu dan tidak ingin membayangkan. Bagiku hidup adalah hari ini, esok adalah milik sang Sutradara Kehidupan.
Kembali pada Ali yang baru saja memberiku sebatang rokok kretek dan yang sekarang sedang aku hisap ini, ternyata dia tidak hanya membawa sebatang rokok saja. Ali juga membawa sebuah kabar. Sayangnya bukan sebuah kabar yang menyenangkan, setidaknya untuk aku.
“Saya diminta sama saudara saya yang Bekasi untuk tinggal disana mas. Katanya sih ada pekerjaan untuk saya. Mereka ingin saya mbengkel disana, dan semua biaya ditanggung saudara saya itu. Tadinya saya kira Ellis istri saya tidak setuju dengan ini. Soalnya ini bukan yang pertama kalinya saudara saaya menawarkan hal yang sama. Dan biasanya istri saya cuma bisa geleng geleng. Eh kok ndilalah yang sekarang ini justru dia yang antusias. Ya perempuan memang begitu itu ya mas, sulit ditebak, hehe..”
Kata kata itu meluncur begitu saja dari mulut Ali, ringan lepas dan apa adanya. Padahal itu sama saja seperti ribuan anak panah yang menembus dada orang yang mendengarkan kalimatnya. Tak ada lagi orang yang akan bercerita padaku dengan tulus seandainya Ali tak lagi di sini. Tapi mau bagaimana lagi, Ali adalah Ali, dan dia berhak menentukan akan diarahkan kemana langkah kakinya. Seperti biasa, aku menanggapinya dengan tawa yang sebegitunya. Bagaimana aku tidak tertawa, selama ini aku mencoba menghindari yang namanya perpisahan. Eh, pada saat aku hampir lupa dengan itu, tiba tiba Tuhan kembali memaparkannya tepat di depan mataku. Ternyata bukan hanya perempuan saja yang sulit ditebak, garis hidup orang sebaik Ali juga sulit ditebak.
“Saya punya seekor ayam betina dan dua ekor anaknya yang masih kecil kecil. Saya ingin sampean merawatnya. Nanti akan saya bawa kesini. Tidak usah sungkan sama Haji Abbas, saya sudah bilang kok. Ohya mas, kambing sudah saya jual buat uang saku ke Bekasi, tapi saya sisakan satu yang betina untuk mas. Kasihan kalau dijual juga mas, soalnya lagi bunting. Sampean rawat ya mas”
Ucapan yang begitu tulus dari orang yang seusia dengan aku. Jaman sekarang ini, langka mencari orang yang seperti Ali. Aku hanya bisa tertawa, diam, lalu tertawa kembali. Entah apa yang aku rasakan ini, situasi yang sulit untuk orang yang seperti aku. Saat Ali berlalu pergi dan kembali lagi bersama beberapa orang plus Haji Abbas untuk mengangkut kandang ayam dan menuntun seekor kambing, aku masih saja dirundung tawa. Berhari hari aku tertawa. Diamku hanya pada saat tidur saja. Saat mengisi air dalam bak aku selingi dengan tawa. Saat menyiram bunga pun sambil tertawa. Saat makan, saat menyapu latar masjid, saat melihat orang orang shalat berjamaah, saat mengikuti Haji Abbas yang mengajariku mencari rumput, bahkan saat buang hajat aku selingi dengan tawa. Semua aku kerjakan dengan tawa. Sampai pada akhirnya aku sadar, Ali sekeluarga telah berangkat ke Bekasi. Saat itulah aku lebih banyak diamnya daripada tertawa.
Ali, laki laki pembawa rejeki itu telah mengarungi dunianya yang baru. Semoga saja aku bisa setulus dia. Kini satu satunya yang bisa aku lakukan adalah merawat baik baik pemberian Ali, sebagai sebentuk rasa hormat pada seorang sahabat. Dan aku benar benar melakukannya, sebaik yang aku mampu.
Waktu yang semakin merangkak..
Bulan ke sembilan di masjid Haji Abbas..
Kambing pemberian Ali beranak dua, semuanya sehat. Dua ekor anak ayam juga sudah besar. Keduanya betina. Kabar baiknya, induk ayam saat ini sudah mengerami telur lagi, ada sekitar lima belas telur yang aku eramkan. Pejantannya adalah ayam milik tetangga.
Setiap pagi aku merumput, setelah tugasku mengisi air dan menyirami bunga selesai. Ohya, sekarang aku punya kegiatan baru. Keluar masuk hutan. Sore baru aku kembali dengan membawa rumput segar yang banyak sekali. Rumput ini bukan hanya untuk ketiga kambing pemberian Ali, tapi juga aku bagikan pada orang orang yang memiliki ternak entah itu kambing atau sapi. Aku memberikannya secara bergiliran, karena tidak mungkin aku memenuhi semuanya. Selain juga karena aku tidak mampu membawa rumput lebih banyak lagi dari hutan ke kampung. Cerita bahwa aku sering keluar masuk hutan ini di awali saat aku sudah mulai merumput sendirian, nggak lagi di temani oleh Haji Abbas. Dari sana aku mulai ikut orang orang yang juga merumput. Sepertinya mereka memang senang dengan kehadiranku. Terbukti mereka kadang yang menghampiriku ke masjid, sekedar mengingatkan sudah waktunya untuk mencari rumput. Mereka juga tidak pernah menunjukkan sikap yang tidak mengenakkan padaku, bahkan menyilangkan jari telunjuk ke jidat pun tidak. Entah, mungkin mereka sungkan sama Hji Abbas, atau sebaliknya, Haji Abbas yang menitipkan aku pada mereka.
Mula mula memang hanya di pinggiran hutan. Tapi lama lama sedikit masuk wilayah hutan. Begitu seterusnya sampai hari ini, saat orang orang hanya mencari rumput di pinggiran hutan, aku lebih senang blusu’an ke dalam hutan. Biasanya aku memang merumput dulu di pinggiran hutan, setelah itu aku kembali hanya untuk menaruh hasil rumput itu di kandang yang di bikinkan oleh Haji Abbas, jaraknya dari masjid agak jauh, sekitar lima puluh meter, dan masih di atas tanah milik Haji Abbas. Setelah selesai, baru kemudian aku kembali lagi untuk menjelajahi isi hutan, masih dengan membawa karung dan celurit. Seringkali bukan hanya rumput yang aku bawa dari dalam hutan, kadang kayu kering dan beberapa hasil hutan seperti sayur pakis. Untuk kayu kering, aku langsung membawanya pulang karena ini adalah jatah Nyai. Sedangkan sayuran, lebih sering aku titipkan ke para pedagang sayur yang hendak membawa sayurannya ke pasar. Aku memberikan begitu saja pada pedagang sayur, tanpa babibu. Lumayan, kadang aku dibelikannya beberapa batang rokok eceran. Kadang aku juga diberinya dua atau tiga lembar uang ribuan. Kalau kebetulan aku diberi uang, uang itu tidak aku belikan apa apa, tapi akan aku berikan pada Nyai Abbas, sama seperti saat dulu aku mendapatkan uang hasil cuci mobil di kali bening, dulu aku memberikannya pada Ibuk istrinya Pak Ilham.
Dari hasil hutan, bisa dipastikan setiap hari aku mendapat upah beberapa batang rokok dan beberapa uang ribuan. Entah itu dari pedagang sayur atau dari orang orang yang aku beri jatah rumput. Namun sampai detik ini aku tidak pernah mengikuti jejak orang orang untuk masuk hutan sampai menginap. Orang orang yang menginap di dalam hutan biasanya adalah orang orang yang mencari madu lebah, atau para pencuri kayu. Kalau para pencuri kayu lain lagi. Aku pernah bergabung untuk sekedar melepas lelah dan mendengar pembicaraan mereka di pinggiran hutan. Kadang mereka bisa sampai satu minggu di dalam hutan. Alat kelengkapannya hanya beras, wadah air, panci kecil, piring, gelas, alat alat menebang hutan, gergaji dan korek api. Ya, korek api menjadi sebuah alat yang vital jika seseorang memutuskan untuk menginap di dalam hutan. Tanpa korek api, hidup di dalam hutan akan menjadi sebuah penderitaan tersendiri. Istilahnya, korek api adalah peralatan paling dasar untuk bisa bertahan hidup. Dan tanpa korek api, rokok satu pak tidak akan ada artinya di dalam hutan. Kita juga tidak akan bisa membuat perapian untuk sekedar menghangatkan diri. Bubuk kopi dan gula akan tetap menjadi bubuk kopi bila tidak dibarengi dengan yang satu ini, korek api. Tak akan ada air yang bisa mendidih di dalam panci karena tak ada alat untuk memantik ranting ranting kecil yang berguna untuk mendidihkan air. Begitu juga dengan nasib beras. Beras tak akan pernah berubah menjadi nasi yang punel tanpa korek api. Jangan berharap bisa menjadi pesulap di dalam hutan, karena dalam dunia yang sebenarnya, mantra sim salabim sama sekali tidak bisa menandingi arti dari kehadiran korek api. Anak kecil yang pernah ikut bapaknya masuk hutan saja tahu bahwa korek api adalah sesuatu yang memiliki arti tersendiri. Kecuali kalau kita lebih senang mengundang datangnya api dengan cara lama dan primitif, itu lain lagi ceritanya. Tapi dari yang diajarkan orang orang kampung, ya itu tadi. Mengundang datangnya api dengan sebatang korek. Kesimpulannya, korek api adalah sekeping cinta yang harus dimiliki oleh para perambah hutan.
Seperti itulah keseharianku saat ini di desa Curah Nongko. Aku kehilangan Ali, tapi hidup terus berjalan tak perduli apakah kita akan terus meratapi nasib atau berjuang untuk mencari celah kebahagiaan baru. Tanpa Ali, aku berusaha untuk bergabung dengan orang lain para perumput dan pencari hasil hutan. Lagi pula sekarang aku punya teman setia, hutan. Bersamanya aku bisa bebas tertawa, bebas tidur merebah di rerumputan, bebas berteriak kapanpun aku mau, bebas mengambil sedikit miliknya, bebas bercerita dari hati ke hati, dan bebas untuk senantiasa mencumbuinya kapan saja aku ingin. Hutan tidak mungkin menikamku dari belakang selama aku tidak menikamnya. Yang lebih menyenangkan, hutan tidak pernah dan tidak akan pernah menyilangkan jari telunjuknya ke arahku. Ya, hutan tidak akan pernah memberi aku predikat gila. Dia juga tidak akan pernah berusaha meninggalkan aku, selama tangan tangan kotor manusia tidak menjamah dan menghilangkannya.
( Bersambung )
curah nongko??deketnya bende alit..
BalasHapustempat kenangan penyimpan suasana..
tak asing mendengar untaian beberapa nama dalam tokoh novel Jangan Panik Aku Tidak Gila...
BalasHapusAndai Aku Gila, orang2 tak akan mendekatiku
tak asing mendengar untaian beberapa nama dalam tokoh novel Jangan Panik Aku Tidak Gila...
BalasHapusAndai Aku Gila, orang2 tak akan mendekatiku
Yeah, akhirnya kutemukan juga si anonim misterius..hehe..Tengkyu Ntit..Makasih dah support "Jangan Panik Aku Tidak Gila",,
BalasHapus