Rabu

Jangan Panik Aku Tidak Gila #6

Awalnya gelap. Lama kelamaan remang remang. Ada kulihat setitik cahaya yang bisa tertangkap oleh sudut mataku. Pelan pelan semakin jelas, baru kemudian benar benar jelas. Tidak ada warna putih yang menandakan aku berada di ranjang sebuah rumah sakit atau sedang menatap dinding dinding tembok rumah sakit jiwa. Semuanya masih didominasi oleh warna hijau. Sangat jelas terlihat dedaunan di sekitarku. Khas hutan rimba. Ternyata aku masih di tempat yang sama saat aku terkapar.

Tidak ada siapa siapa selain sinar mentari yang menyilaukan mata diantara celah celah dedaunan. Rupanya aku dibangunkan oleh hangatnya sinar mentari. Aku mencoba untuk berdiri, tapi sayangnya aku tidak kuasa memerintah tubuhku untuk melakukan keinginan hati. Untuk menggerakkan leher saja aku kesulitan. Aku bahkan tidak merasa bahwa aku mempunyai sepasang kaki. Benar benar tidak bisa aku rasakan. Hanya saja aku masih memiliki sepasang tangan yang terkulai lemah. Beruntung aku masih bisa menggerak gerakkan ujung jariku. Hanya sekedar bergerak saja, selain itu aku tidak bisa apa apa lagi. Tapi tak apalah, setidaknya dengan bisa menggerakkan ujung ujung jari, aku bisa percaya bahwa aku masih hidup. Aku masih yakin bahwa jiwaku belum berpisah dengan badan, pertanda aku masih berada di dunia.

Tapi ada yang ganjil. Aku merasakan dingin tapi tidak kedinginan. Lebih tepatnya, tubuhku seperti dililit oleh sesuatu yang menyebabkan rasa dingin. Terutama punggung. Selain dingin, punggungku perih. Apakah ada luka yang menganga di punggungku seperti luka di pipi kananku yang sampai saat ini masih membekas? Apakah saat terjerembab tadi punggungku tergores oleh batu yang sangat runcing dan tajam? Semakin aku merasakan perih di punggung, semakin aku yakin bahwa di sana ada luka. Entah oleh apa. Ingin benar aku melihatnya, sayangnya aku tidak bisa. Dalam keadaan normal dan sehat saja aku tidak bisa melihat punggungku sendiri secara leluasa, kecuali dengan menggunakan cermin. Ah, pada saat aku terkapar tak berdaya seperti inipun Tuhan masih memberikan pelajarannya, bahwa mata kita tidaklah sempurna. Terbukti kedua mata kita tidak bisa memandang punggung milik kita sendiri. Padahal, sangat mudah melihat punggung orang lain, sampai pada kesalahan kesalahan yang diperbuatnya, sekecil apapun kesalahan itu.

Dengan segala cara, aku paksa mata ini untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Kukerahkan semua tenaga yang tersisa ini untuk menggerakkan tangan kananku. Dan, berhasil. Tidak terlalu lama kemudian kuhempaskan kembali ke rerumputan. Sekarang aku mengerti mengapa tubuhku merasakan sesuatu yang dingin mengecup. Melihat dari telapak tanganku sampai pada pergelangan, ternyata tanganku terbungkus oleh kulit pohon pisang yang masih basah dan diiris tipis tipis. Sepertinya seluruh tubuhku dibalut oleh bahan yang sama. Aku bisa merasakannya Dari ujung kaki, betis, perut, dada sampai batas leher, juga kedua tanganku. Sayangnya posisi tidurku rata rata air, bahkan cenderung ujung kepalaku lebih rendah dari ujung kaki. Entah disengaja atau memang posisi tempatnya mengharuskan aku demikian.
Bicara tentang pembalut yang terbuat dari kulit pohon pisang yang diiris tipis tipis, ingatanku melayang pada bungkusan yang aku temukan tadi pagi dan aku taruh di karung menjadi satu dengan kentang. Suara lemparan bungkusan itulah yang menghentikan tawaku semalam. Apa benar semua ini berhubungan dengan si kecil yang kemarin aku bantu melepaskan diri dari bongkahan pohon berdiameter dua kali paha orang dewasa? Apakah dia yang membalutkan ini? Untuk apa? Apakah aku benar benar terluka? Kalau terluka hanya karena terjerembab seperti yang aku ingat, apakah aku harus dibalut seperti ini? Apakah dia berniat menolongku? Atau sebaliknya, hendak menyantap akukah dia? Yang aku rasakan, ini bukanlah sebuah balutan yang begitu saja. Aku yakin sebelum dia membalutkan ini, ada sesuatu yang melumuri badanku. Aku bisa merasakan ini karena dulu aku juga pernah mempunyai pengalaman yang sama, saat lukaku diobati oleh kakek Sura’i dengan ramuan dedaunan yang ditumbuk dan dioleskan ke tubuhku. Ya, aku yakin bahwa di balik balutan ini ada semacam ramuan yang dioleskan ke seluruh tubuhku. Dan orang yang jatuhnya terjerembab dikarenakan kelelahan, tidak mungkin dilumuri semacam obat di sekujur tubuhnya, kecuali hanya bagian bagian yang terluka saja. Apakah aku sedang dibumbui untuk kemudian disembelih dan disantap? Melihat balutan yang aku rasakan ini saja, aku tidak percaya kalau si kecil melakukannya sendirian. Pasti si kecil punya teman yang sama kecilnya. Bisa hanya berdua saja, bisa juga sangat banyak sekali. Dan itu adalah alasan yang tepat untuk menyantap aku ramai ramai. Tiba tiba aku bergidik. Takut dalam kesendirian.

Aku menebak dan terus menebak, berpikir dan terus berpikir. Tapi percuma saja, aku sudah tidak bertenaga, sudah tidak kuasa atas badanku sendiri. Untuk merasa takut juga sudah terlambat. Apalagi yang aku takutkan sekarang? Kalaupun aku harus mati dengan cara disantap ramai ramai oleh si kecil dan sejenisnya, biarlah. Nyai dan Haji Abbas mungkin akan sedih dan kehilangan, tapi tidak akan lama karena toh aku tidak mempunyai ikatan darah dengan mereka. Ali dan mas Aim pasti akan terlambat mendengar kabar ini, dan efek dari keterlambatan itu sangat menguntungkan. Mereka tidak akan terlalu merasa kehilangan. Atau bisa jadi juga tidak merasa kehilangan sama sekali. Om Irawan sekeluarga tidak akan tahu tentang ini. Apalagi dengan keluarga Pak Ilham dan keluarga kakek Sura’i. Hewan hewan ternakku, tidak mungkinlah mereka menangis. Pasti akan ada orang baik yang akan mengurus mereka. Karena sampai hari ini aku masih yakin bahwa Tuhan akan memberikan rejeki pada seluruh mahluknya, tidak terkecuali pada hewan hewan ternak. Sudah tidak ada waktu lagi untuk takut pada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, seperti tadi pagi. Ternyata, ketakutan hanya mengantarkan aku pada ketidak berdayaan. Sudah waktunya untuk berani menghadapi yang akan terjadi. Menyadari ketakutanku tadi pagi yang sama sekali tidak beralasan secara nyata dan hanya mengantarkan pada situasi yang seperti sekarang ini, tiba tiba saja aku ingin tertawa. Dan tertaawalah aku sekeras yang aku bisa. Semakin aku tertawa kencang, semakin punggungku merasa sakit, tapi aku tak kuasa menahannya, seperti tak kuasanya aku menggerakkan onderdil onderdil tubuhku. Kalau saja telingaku tidak mendengar sebuah suara yang semakin lama semakin mendekat, mungkin aku masih tertawa.

Tepat di sebelah kanan kepalaku yang terbaring dengan posisi tubuh telentang, aku bisa melihat dengan jelas postur tubuh si kecil, dia yang aku temui kemarin. Tanpa sekat dan begitu dekat. Kalau saja aku dalam keadaan sehat, mungkin aku akan mudah meraihnya. Mungkin juga aku akan senang memain mainkannya seperti sebuah boneka. Sayangnya saat ini aku hanya bisa memandang lewat sudut mataku dengan perasaan yang bercampur baur. Antara takut disantap dalam keadaan hidup hidup dan bertanya tanya apa gerangan yang akan terjadi. Dia sama sekali tidak bersuara. Hanya sorot matanya saja yang menatapku tajam, seperti hendak membalas apa yang aku perbuat kemarin siang. Tiba tiba tangan kanannya dia rentangkan ke atas, menyatukan antara ibu jari dengan jari tengah, lalu dia gerakkan menggesek hingga menyebabkan timbulnya suara. Sangat jelas aku mendengarnya. Mungkin karena dia biasa melakukannya. Mungkin juga karena telinga kananku sangat dekat dengan arah datangnya suara. Yang pasti setelah suara itu melesak, ada kudengar suara langkah langkah kecil yang keluar dari semak semak menuju ke arahku. Sekarang aku bisa melihatnya dengan sedikit lebih jelas.
Ada banyak mahluk seperti si kecil yang mengerubungiku. Sangat dekat hingga aku bisa memandangi wajah mereka satu persatu. Semua yang berjenis kelamin laki laki bertelanjang dada. Sementara aku bisa menebak mana yang perempuan dari mereka. Selain dadanya membuah dan sedikit membusung, ada penutup di dada mereka. Semuanya kain. Lebih tepat bila aku gunakan kata kata bekas kain, dilihat dari warnanya yang tidak menentu dan jenis kainnya yang sama sekali tidak berseragam. Ada yang tebal, tipis, beludru, ada juga yang bekas kaos disobek. Modelnya asal asalan. Terkesan hanya untuk menutupi bagian tubuhnya saja. Bisa jadi mereka mencari kain kain itu di sungai ataupun di pantai yang ombaknya seringkali menyeret sampah. Itu kemungkinan paling masuk akal. Mereka mencari kain diantara sampah sampah pantai dan sungai.
Ingin rasanya aku memejamkan mata saja. Seandainya mereka benar benar akan menyantapku, aku berharap saat mereka melakukan itu, aku sudah dalaam kondisi tidur nyenyak. Setidaknya, tidak sesakit saat aku terjaga. Kali ini aku benar benar tidak tertawa. Kembali ketakutan, tapi tidak bisa memejamkan mata. Sungguh aku takut, tapi terlambat. Tidak ada pilihan lagi bagiku selain memandangi wajah mereka satu persatu. Kalaupun harus mati, aku ingin sebelum aku mati aku masih bisa memandang sesuatu yang seumur hidup jarang aku temui. Dan merekalah yang jarang aku temui. Kemarin saja hanya sepintas dan hanya satu si kecil. Sekarang banyak. Aku juga tidak butuh mengendap endap untuk menatap mereka. Mereka sudah ada disini, di sekelilingku. Kini masalahnya adalah aku mau menatap mereka atau tidak. Dan inilah keputusanku, menatap mereka dengan tatapan biasa biasa saja. Tidak mencoba bersahabat, tidak mencoba menyembunyikan rasa takut, dan tidak mencoba tersenyum, berharap mereka tidak menyantapku. Aku merasa sebentar lagi tugasku di dunia ini usai, jadi buat apa aku berpura pura?

Mereka mempunyai rambut yang panjang. Ada yang digelung, ada yang di ikat dengan tali, dengan gulungan kain, dengan gulungan kulit pohon pisang, dengan kulit binatang, juga ada yang memilih untuk membiarkan saja rambutnya jatuh terurai. Konstruksi wajahnya sama persis dengan milikku. Satu mulut, dua mata dan dua telinga. Begitu juga dengan organ tubuh lainnya. Mulai dari kaki, tangan, jari jari, semua sama dengan yang aku miliki. Bedanya hanya pada masalah ukuran saja. Telapak kaki mereka juga menyentuh tanah. Pertanda mereka adalah benar benar sebuah mahluk bermaterial kasar dan sama sekali bukan mahluk halus. Yang lebih meyakinkan aku akan hal ini adalah saat beberapa dari mereka menyentuhku. Sebuah tanda paling primitif tentang sebuah keberadaan. Mereka benar benar nyata dan ada.

Aku bisa lebih jelas melihat mereka karena saat ini posisi tubuhku bersandar. Mereka ramai ramai mengangkat punggungku. Bukan untuk memindahkan posisi dari satu tempat ke tempat lain. Tapi memberi sandaran pada punggung dan kepalaku. Pada saat mereka melakukan itu tadi, yang ada di hatiku hanyalah ribuan prasangka berkecamuk campur baur jadi satu. Aku benar benar memejamkan mata. Selain sudah mengira itu adalah waktunya mereka berpesta pora, hanya kedua mataku inilah organ tubuh yang masih bisa dan paling mudah aku perintah. Itulah mengapa tadi aku benar benar memilih untuk memejamkan mata. Tapi ternyata mereka hanya menginginkan aku untuk bersandar. Dan jujur, ini adalah posisi yang jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Selain itu, mataku jadi leluasa memandang. Daya jangkaunya lebih luas dan lebih merdeka. Padahal mereka membuat sandaran itu dari potongan potongan kayu yang disusun sedemikian rupa dan di ikat antara satu sama lain hanya dengan kulit pohon pisang. Setelah menyandarkan aku, salah satu perempuan dari mereka menyuapi aku dengan daun daun yang ditumbuk dan rasanya anyir. Perempuan ini lebih besar dan lebih tinggi dari si kecil, pertanda dewasa. Cara menyuapkan daun daun tumbukan itu juga dengan menggunakan daun yang di bentuk sedemikian sederhana, hingga berfungsi menjadi semacam sendok. Setelah beberapa kali telan, baru ada orang kecil lain yang bergerak maju. Kali ini laki laki dan aku rasa usianya paling tua dari mereka semua. Dia menyuapi aku dengan madu, dengan menggunakan daun lain sebagai sendok tapi bentuknya sama seperti yang digunakan oleh perempuan yang tadi juga menyuapi aku. Anggap saja namanya sendok daun. Suapan terakhir adalah air putih.

Dalam sehari semalam, aku mendapat perlakuan yang sama. Disuapi pagi siang dan menjelang malam, dengan menu yang sama. Setiap pagi balutan kulit pohon pisang yang melilit tubuhku diganti dengan yang baru. Benar dugaanku dulu, bahwa sebelum melilitkan kulit pohon pisang, mereka melulurkan semacam ramuan ke seluruh tubuhku kecuali wajah. Yang paling lama dan sepertinya paling serius mereka tangani adalah bagian punggung. Memang dapat kurasakan luka gores memanjang vertikal di punggungku. Terdiri lebih dari beberapa garis luka gores, dan bisa jadi lebih dalam dari luka di pipi kananku. Percaya atau tidak, ini sudah hari kesepuluh aku bersama mereka. Aku menandainya dengan mengumpulkan batu kerikil berjajar di bawah sandaranku, dengan tangan kanan dan tentu saja dengan susah payah. Terutama tiga hari pertama. Untungnya, semakin hari keadaanku semakin membaik. Aku sudah bisa melambaikan tangan, bisa memutar leher, dan yang utama aku bisa menggerakkan kakiku. Bahkan aku sudah bisa berdiri. Sayangnya belum benar benar kuat melangkah. Itulah mengapa hari hari selanjutnya lebih banyak kuhabiskan untuk melenturkan persendian dan melatih kedua kaki ini untuk kuat melangkah. Karena inilah yang paling aku butuhkan untuk bisa kembali pulang ke keluarga Haji Abbas.

Selama aku bersama mereka, tidak satupun dari mereka yang mengeluarkan suara dari mulutnya. Semua dilakukan dengan isyarat tangan. Padahal aku tahu bahwa mereka memiliki bahasa. Ini bukan hanya sebuah dugaan. Hampir setiap saat di siang hari aku sering melihat beberapa dari orang orang kecil ini saling berbisik, kemudian tertawa lepas. Biasanya saat mereka tertawa, aku juga ikut tertawa. Lebih lepas, lebih nyaring, dan lebih menggelegar. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan itu. Kalau sudah demikian, mereka kembali tertawa, mentertawakan caraku tertawa. Saat mereka tertawa kembali, tentu saja aku ikut tertawa, mentertawakan mereka yang mentertawakan aku. Begitu seterusnya sampai ada salah satu dari mereka yang memberi isyarat dari mulutnya.

“Ssssssttttt”
Itu adalah salah satu bahasa yang keluar dari mulut mereka dan bisa aku dengar jelas. Sebuah kata kata abstrak yang maknanya adalah permohonan untuk tenang. Kata yang sederhana, sssssssttttttttt… Di luar kata itu, tidak ada yang lain lagi selain suara tawa. Selebihnya adalah gerak gerik mulut yang tampak dari jauh, menandakan mereka sedang bercakap cakap. Entah apa bahasa mereka. Sudah berkali kali aku coba untuk menajamkan pendengaranku tapi tetap saja tidak berhasil. Sepertinya mereka juga tahu bila aku ingin mengerti bahasa mereka. Bisa jadi mereka hanya membalasku. Bukankah aku tidak pernah mengeluarkan kata kata selain suara tawa berderai?
Ada lagi yang tidak pernah berhasil aku lakukan selain gagal mengetahui bahasa apa yang mereka pergunakan. Aku tidak pernah berhasil menghitung berapa jumlah mereka. Berapa jumlah yang laki laki, berapa yang perempuan dan berapa yang masih bocah. Kadang yang sudah aku hitung, aku hitung kembali. Ini semua karena cara mereka melakukan pergerakan terlalu cepat. Apalagi sekarang saat aku sudah bisa menggunakan kedua tanganku. Otomatis mereka tinggal menyodorkan makanan padaku, dan aku menyantapnya. Tidak lagi di suap seperti hari hari yang lalu. Mereka juga tidak pernah mengerubungiku lagi. Menyentuh apalagi. Tidak pernah. Bisa dikatakan, saat ini mereka seperti menjaga jarak denganku. Malam hanya aku lewati dengan memandang bintang. Awal awal dulu, ada saja beberapa dari mereka yang duduk berlama lama di sekitarku, kadang sampai aku tertidur. Sekarang tidak lagi. Apalagi setelah aku bisa berjalan meskipun tertatih. Ada lagi yang tidak pernah mereka lakukan padaku bahkan pada saat mengganti balutan dari kulit pohon pisaang yang diiris tipis tipis. Biasanya para bocah yang tentu saja ukuran tubuhnya sangat kecil sekali, senang mempermainkan alat kelaminku pada saat dulu aku benar benar tak berdaya, sekarang tidak lagi. Kalaupun ada yang berusaha mendekat, belum apa apa sudah ada suara ssssssttttttt dari salah satu orang kecil yang mengganti balutanku. Cara membalut tubuhku pun begitu cepat. Tapi hebatnya, hasilnya begitu sempurna. Tidak mungkin akan tercipta balutan yang semengagumkan ini jika bukan dari tangan tangan yang sedari kecil ditempa oleh kehidupan, untuk selalu dan selalu berusaha bertahan hidup.

Orang orang kecil yang begitu menghargai hidup, seperti itulah mereka. Orang orang yang mempunyai pola pikir dan gaya hidup alami, dan yang mempunyai cara pandang yang berbeda tentang hutan. Bahwa hutan bukan hanya sekedar hutan. Tapi kekasih, sesuatu yang layak dicinta dan dipertahankan keberadaannya, juga sebagai rumah, sebuah istana yang senantiasa selalu dijaga keutuhannya. Mereka adalah orang orang kecil yang terpinggirkankan. Bukan, bukan terpinggirkan. Kemungkinan mereka sengaja meminggirkan diri sendiri, karena tahu diri bahwa kondisi mereka hanya akan menempatkan mereka pada status dunia entertaint. Aku yakin mereka masih punya harga diri. Tidak ingin menggadaikan hidupnya pada sebuah arena sirkus, hanya demi beberapa lembar uang dan beberapa detik gemuruh tepuk tangan. Karena dari segi konsep tentang hubungan manusia dengan hewan, mereka lebih mulia dari manusia manusia berperadaban modern. Tidak mungkin mereka tega hidup satu atap dengan seekor gajah yang salah satu kakinya dirantai. Apalagi mengetahui banyak hewan sirkus yang di siksa hanya untuk menirukan sebuah gerakan. Pada dasarnya, prinsip mereka sederhana. Mereka tidak mau dihewankan, maka mereka tidak akan memanusiakan hewan. Sangat simpel. Aku berkaca pada diriku sendiri selama ada di tengah tengah mereka. Mereka tidak akan pernah menolongku yang terjerembab entah karena dikejar apa, apabila aku tidak pernah menolong salah satu dari mereka. Mereka juga tidak pernah menunjukkan bahasanya padaku selain kata kata ssstttttt.. Ini terjadi karena aku sendiri tidak pernah berusaha mengucapkan sepatah kata pada mereka. Untuk alasan yang lain, mungkin saja mereka mengerti bahwa predator di peradaban jauh lebih licik dan kejam dari sekedar seekor harimau jawa, biawak, ular, dan segala predator yang hidup di hutan rimba. Entahlah, yang pasti aku salut pada mereka, orang orang kecil yang survive di dunia yang besar. Selalu ada cinta buat manusia manusia kecil, apapun bahasa yang digunakan.

*******

Pagi yang indah. Aku baru saja terbangun. Padahal aku baru tidur saat malam benar benar larut. Kemarin petang hujan turun membasahi dedaunan hutan. Aneh, biasanya bila gerimis saja yang turun, beberapa dari mereka sigap menutupi aku dengan daun daun talas dan memberikan caping dari anyaman rotan untuk menutupi kepalaku. Kemarin saat hujan turun sangat lebat, tidak kulihat satupun dari mereka, orang orang kecil. Cakap benar perhitungan mereka. Darimana mereka tahu bahwa aku sudah pulih dan kuat untuk hanya sekedar mencari tempat perlindungan. Memang saat ini kondisi tubuhku membaik. Satu satunya rasa sakit yang aku derita hanya bagian punggung. Sayangnya di dalam hutan tidak ada cermin. Aku juga tidak tahu dimana letak sungai. Barangkali airnya jernih dan arusnya tenang, mungkin aku bisa bercermin disana hanya untuk sekedar melihat kondisi luka di punggungku.

Kondisi itu sebenarnya sudah bisa aku tebak. Sudah satu minggu ini mereka tidak membalut tubuhku dengan kulit pohon pisang yang diiris tipis tipis, yang pada akhirnya aku tahu mereka mengirisnya dengan pelat yang terbuat dari kulit bambu. Mereka hanya melumuri tubuhku dengan sebuah cairan, bukan lagi semacam ramuan dedaunan yang ditumbuk tidak begitu halus. Lumuran itu seperti minyak kelapa, tapi bukan minyak kelapa. Juga seperti madu, tapi bukan madu. Entah apa, hanya mereka saja yang tahu. Anehnya, mereka melakukan itu saat aku tidur. Aku benar benar tidak merasakannya. Kadang aku berpikir, bagaimana ya cara mereka melakukannya?
Pagi ini adalah pagi pertama dimana aku tidak mendapat luluran seperti beberapa waktu terakhir saat aku tertidur. Dan pagi ini juga ada yang membuat aku tersentak saat aku kembali ke rakitan kayu buatan mereka untuk tempat menyandarkan punggungku. Rakitan itu hanya berupa rakitan biasa. Yang menjadikan rakitan itu tampak sangat luar biasa tidak lain karena posisi rakitan itu begitu memperhatikan luka di punggungku. Bagaimana saat aku bersandar, luka di punggungku tidak bersentuhan dengan apapun, tapi aku tetap nyaman bersandar. Itulah kelebihan dari rakitan yang hanya diikat dengan kulit pohon pisang. Tersentaknya aku bukan lantaran memikirkan kembali fungsi rakitan tersebut. Ada yang lain di sisi rakitan itu. Pagi ini di sisi rakitan tersebut sudah ada celurit dan karung milikku. Lengkap dengan isinya. Sebuah bungkusan yang dililit sama dengan bahan untuk melilit tubuhku kemarin kemarin. Dari kulit pohon pisang yang diiris tipis tipis. Kentangnya juga masih ada. Tapi aku tahu ini adalah kentang baru, bukan lagi yang dulu. Ketambahan ada beberapa ubi jalar dan satu sisir pisang disana. Di sebelah karung ada baju milikku yang sudah koyak, apalagi bagian punggungnya. Ada banyak noda pekat pertanda darah yang sudah mengering. Di atas bajuku ada korek api berbahan bakar gas elpiji, juga milikku. Satu satunya yang tidak ada berjajar disana adalah celanaku, karena sudah satu minggu ini aku kenakan. Juga robek sana sini, tapi tidak terlalu koyak dan masih layak digunakan. Setidaknya untuk ukuran orang yang berada di tengah hutan. Lama aku merenung memandangi ini. Aku tahu maksudnya, mereka menganggap aku sudah bisa kembali pulang. Untuk urusan luka di punggung, barangkali mereka merujukku untuk rawat jalan saja. Aku memandang sekeliling, sama sekali tak ada tanda tanda mereka ada di sekitarku. Tidak juga ada firasat sepasang mata mengintaiku, seperti yang aku rasakan dulu sebelum akhirnya jatuh terjerembab dan mengantarkan aku untuk hidup bersama orang orang kecil yang hebat, sehebat saat mereka berkelebat.

Ya, sudah waktunya aku untuk kembali ke rumah keluarga Haji Abbas. Semoga pondok panggungku masih setia menanti, batinku. Aku tidak segera meraih barang barangku, tapi lebih memilih untuk menghitung jumlah kerikil di sebelah kanan bawah kayu rakitan tempat biasa aku bersandar. Kerikil itu adalah sebuah tanda yang aku gunakan untuk menghitung hari. Akupun mulai menghitungnya. Jumlahnya empat puluh satu kerikil. Berarti sudah satu bulan lebih aku ada disini, aku sendiri seperti tak percaya. Sepertinya tidak selama itu, sungguh. Apakah ada yang sengaja menambah kerikil ini? Tidak mungkin, mereka terlalu mulia untuk melakukan sesuatu yang serendah ini. Bagiku tidak penting membahas berapa lama aku disini. Yang pasti hari ini aku mendapat tanda bahwa aku sudah boleh pulang. Sama seperti seorang siswa sekolah dasar yang mendengar bunyi lonceng sekolah yang menandakan pelajaran usai dan boleh segera pulang. Seperti itulah aku saat ini.

Lama aku mengamati barang barang milikku. Kuraih karung, kuambil satu buah pisang, kukupas kulitnya untuk kemudian kumakan buahnya. Lumayan untuk menyegarkan usus usus dalam perutku. Saat hendak menutup karung, sepintas aku lihat lagi bungkusan yang dulu datangnya dimalam hari dengan cara dilemparkan begitu saja ini. Segera aku meraihnya. Aku tatap kembali. Tidak mungkin barang pecah belah. Terus apa? Ah, biarlah aku tidak membukanya. Aku juga tidak ingin membawanya pulang. Tapi rasa penasaran ini tak kuasa untuk tidak membuka bungkusan yang berbentuk sedikit kotak. Beberapa detik kemudian tangan kananku sudah meraih celurit. Melalui ujungnya, pelan pelan aku buka juga akhirnya bungkusan itu.

Sebuah tanah liat yang sudah berbentuk. Ya, hanya itu yang ada di dalam bungkusan yang terlilit rapi ini. Tidak berwarna selain warna tanah liat itu sendiri, coklat terang kemerah merahan. Anehnya tidak ada retakan, tidak juga ada cuilan di dasar tanah liat yang sudah berbentuk tersebut. Padahal datangnya dengan dilempar. Yang sedikit unik lagi, warna tanah liat tidak coklat pekat seperti biasanya, melainkan coklat agak terang, persis warna baju seragam terbaru milik polisi. Mirip juga dengan warna kulit orang orang kecil. Yang aku juga tidak habis pikir, mengapa tanah liat ini berbentuk kepala harimau?

Aku pikir tanah liat berbentuk kepala harimau yang tidak begitu sempurna ini tidak usah aku bawa saja, jadi aku biarkan tanah liat itu ada bersama kerikil kerikil penghitung hari. Sebentar kemudian aku sudah menenteng karung. Sengaja tidak aku cangklong di pundak, khawatir akan bersentuhan dengan luka di punggungku. Tinggal baju yang sudah koyak, celurit dan korek api. Aku merenung sejenak. Lalu aku berpikiran, harus ada yang bisa aku tinggalkan buat mereka selain kenamgan pernah merawatku. Nah, dari yang sedikit ini, aku memilih untuk meninggalkan saja baju dan celurit, sedangkan korek api tetap aku bawa, khawatir nanti masih harus bermalam di hutan. Untuk baju, meskipun sudah koyak, aku yakin mereka membutuhkannya. Begitu juga dengan celurit. Mereka bisa menggunakannya untuk mengiris kulit pohon pisang. Bagaimanapun, manusia rimba butuh senjata manual seperti pisau ataupun clurit. Ini adalah pacar pertama bagi mereka, setidaknya teman setia untuk bertahan hidup.
Setelah korek kukantongi, segera aku melangkahkan kaki. Tanpa suara dan tanpa tawa. Tapi belum lagi langkah ketiga, aku sudah dikejutkan dengan suara dan semak yang bergoyang persis di samping kiri sejajar dengan tempat aku berdiri saat ini. Ternyata si kecil yang pernah aku bantu untuk membebaskan diri dari himpitan batang pohon. Sekarang ini aku sudah tidak terkaget kaget bila sewaktu waktu bertatap muka dengan salah satu dari mereka, walau dengan cara yang selalu mengagetkan.
Dia tidak langsung menuju ke arahku, melainkan bergerak membelakangi ke arah kerikil kerikil penanda hari dan tempat dimana aku meletakkan tanah liat yang berbentuk kepala harimau. Dia mengambilnya dengan satu tangan saja. Hebat, padahal itu agak berat. Sangat berat untuk jari jari tangan yang semungil miliknya. Tapi dia terlihat begitu santai dan wajar membawanya. Tiba persis dihadapanku, dia yang hanya mengenakan kain sebagai pengganti celana pendek, meletakkan tanah liat itu ke bawah, diantara telapak kakinya. Lalu berdiri lagi, mendongak ke arah wajahku sebentar sambil tangan kanannya merogoh rogoh kain yang ternyata ada tempat tersembunyinya semacam saku celana. Setelah berhasil menemukan sesuatu yang dia cari, dia kembali mendongak ke arah wajahku sambil kedua matanya bertatapan langsung dengan kedua mataku. Tangan kanannya menyodorkan sesuatu. Aku tidak segera mengambilnya, melainkan jongkok, berharap bisa sejajar dengan si kecil. Sayangnya, aku masih lebih tinggi. Si kecil sama sekali tidak merasa terancam saat aku jongkok. Terbukti dia tidak menyurutkan posisi barang satu langkahpun. Tangan kanannya juga masih menyodorkan sesuatu. Tangan yang begitu mungil, jadi tidak mungkin dia menyembunyikan sesuatu dariku dalam genggamannya. Sebenarnya dia tidak benar benar menggenggam. Sesuatu yang dia sodorkan padaku itu tidak lain adalah sebuah batuan yang sudah digosok halus. Orang orang biasa menyebutnya batu akik. Aku percaya bahwa batuan ini dia sendiri yang menggosoknya karena selama kemarin aku tidak bisa bergerak, dia sering ada di dekatku sambil menggosok gosok batu itu dengan alat yang sepertinya juga dari batuan. Sementara saat dia menghaluskannya aku juga tahu. Dia memanfaatkan beberapa jenis daun untuk menggosoknya. Aku bahkan tahunya batu ini sejak lima kali lebih besar dari besarnya yang sekarang. Yang aku tidak habis pikir adalah kenapa saat ini batuan itu sudah ada di kayu lingkar yang tengahnya bolong dan sudah bisa dikatakan sebagai cincin? Lebih mengherankan lagi, saat si kecil menunjuk tangan kiriku dan menunjuk ke arah jari manis dengan sedikit menyentuh kulit, saat aku terima sodoran darinya dan coba aku pasangkan ke jari manisku, kenapa sangat pas sekali? Kapan dia mengukurnya? Lagi lagi aku salut dengan cara kerja orang orang kecil ini. Tapi sebelum aku sempat mengucapkan salam perpisahan walau hanya dengan sekedar suara tawa, si kecil secepat kilat berlalu dariku, dengan sebelumnya menyempatkan diri menyambar tanah liat berbentuk kepala harimau yang letaknya tepat diantara kedua telapak kaki mungilnya. Ah, lagi lagi aku dibalasnya. Barangkali mereka tahu kalau aku tidak senang dengan yang namanya suasana perpisahan.

Pada akhirnya aku benar benar melangkahkan kaki. Sesekali aku mengangkat tangan kiriku dan memandang ke arah jari manis. Disana sekarang sudah ada cincin berbingkai kayu berhias batu akik berwarna coklat campur, persis seperti warna kulit pohon pisang. Bercampur antara coklat tua dan coklat muda. Sangat serasi dengan bingkainya, entah terbuat dari kayu apa bingkainya. Yang aku kagumkan adalah daya rekat antara batu dan kayu. Sama sekali tidak menggunakan penjepit, seperti biasanya penjepit yang digunakan di pojok pojok batu akik yang berbingkai besi atau kuningan. Si kecil lebih memilih menggunakan perekat. Tak tahulah, lem seperti apa yang dia gunakan hingga hasilnya menjadi sesempurna ini.

*******

Jalan yang aku susuri sama sekali bukan jalan manusia. Kadang aku harus sering sering merunduk untuk melewati rotan dan kayu kayu yang merintang. Dan itu membuat punggungku sakit. Tapi aku tetap memilih untuk meneruskan perjalanan, khawatir perjalanan ini akan memakan waktu lama. Satu satunya yang bisa aku jadikan patokan adalah sinar matahari. Saat ini aku tidak lagi perduli mana arah yang tepat untuk menuju rumah Haji Abbas. Yang aku butuhkan hanya sebuah peradaban. Jadi di kampung mana nanti aku bisa singgah, maka aku akan singgah. Meskipun sebenarnyalah kali ini aku benar benar tidak ingin kehilangan keluarga Haji Abbas. Karena bagaimanapun aku meninggalkan tanggung jawab di sana. Bunga bunga, bibit tanaman dan hewan ternak. Aku harus bisa menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Setidaknya hari ini aku dapat menemukan jalan setapak, itu sudah sangat menggembirakan. Sebab yang aku tahu, jalan setapak akan mengantarkan aku pada peradaban, karena jalan setapak adalah jalannya manusia.

Hatiku benar benar seperti akan meledak kegirangan, saat pertama kali kedua telapak kaki yang telanjang ini menginjak jalan setapak untuk yang pertama kali. Ya, akhirnya kutemukan juga jalan yang akan mengantarkan aku pada sekumpulan manusia. Sayangnya, hari sudah terlalu sore. Sebentar lagi gelap akan menghapuskan segala warna yang menghias seisi hutan. Gelap sama dengan tak ada cahaya. Dan tak ada cahaya berarti tak ada warna. Pantas jika orang orang pintar menyimpulkan, segala warna yang ada di dunia ini dimulai dari cahaya. Dalam arti lain, cahaya adalah sebab musabab mengapa di dunia ini ada begitu banyak warna. Sambil memikirkan itu, aku terus saja melangkahkan kaki sambil tak henti hentinya tertawa. Aku tertawa karena senang, sudah sangat lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di jalan setapak. Apalagi hari kepulanganku ini, harga jalan setapak tak mungkin bisa aku hargai dengan mata uang apapun, tidak juga dengan segenggam emas.

Aku berjalan dan terus saja berjalan, meskipun langit telah berdagrasi warna dari terang ke jingga, dari jingga ke abu abu, dan dari abu abu menuju gelap. Dikala hari benar benar gelap, masih saja aku berjalan. Sekarang ini aku lebih mudah memandang dalam gelap, walaupun tak sedang purnama. Mungkin karena aku terlalu lama bergaul dengan gelap tanpa sinar apapun kecuali sinar sinar alami. Yang aku butuh dan rindukan hanya satu, menatap manusia manusia lain, yang ukuran tubuhnya tidak jauh beda dengan aku, yang bisa marah, tersenyum, dan bisa berkata kata. Orang orang seperti Haji Abbas, Nyai, mas Aim, Ali, Kakek Sura’i, Yu tatik, Pak Ilham, Ibuk istrinya Pak Ilham, Ogah, Om Irawan, Tante Neni, Yun, Kang Iben, dan semuanya. Aku butuh berkumpul dengan orang orang seperti mereka.

Berjalan dan terus berjalan, hanya itu yang aku lakukan. Hingga entah pada langkah keberapa juta, aku terhenti di sebuah tikungan. Bila langkah ini aku teruskan, pastilah aku terperosok ke dalam jurang yang aku sendiri tidak pasti apakah dalam atau biasa biasa saja. Tetap saja itu adalah sebuah jurang. Dalam kondisiku yang seperti ini, terpeleset sedikit saja bisa berakibat fatal. Karena aku tahu aku belum benar benar sehat. Untuk bermalam di sini juga bukan sebuah pilihan yang bijak. Kalaupun aku memutuskan hendak bermalam, harusnya sejak petang tadi aku memikirkannya. Paling tidak, saat keadaan masih belum segelap ini, aku bisa observasi. Kini tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain melanjutkan perjalanan malam. Dengan sangat hati hati, aku teruskan langkahku di tikungan yang tepinya menjorok tajam ke bawah dan tanpa ada sesuatupun yang bisa aku jadikan pegangan. Pelan tapi pasti aku mulai melangkah. Dan berhasil. Setelah melewati rintangan alam dalam gelap yang mirip outbound itu, aku kembali meneruskan langkah sambil tertawa tawa. Sendirian di dalam hutan, berselimutkan gelap malam, dan tertawa lepas. Tingkahku tidak lebih seperti seseorang yang baru saja keluar dari penjara setelah sebelumnya di vonis mati. Tapi tak apalah, barangkali dengan tertawa bisa membantu mempercepat proses penyembuhan luka yang ada di tubuhku. Siapa yang tahu..
Tempat aku berdiri kali ini adalah sebuah punggungan perbukitan. Dan jauh di depanku, dapat aku lihat sesuatu yang berwarna terang berkumpul dalam satu wilayah. Yang aku tahu itu adalah warna lampu. Itulah yang menghentikan langkah dan tawaku. Tapi tidak terlalu lama. Yang terjadi kemudian adalah aku kembali tertawa lebih lepas dan kembali melangkahkan kaki. Kali ini lebih cepat. Sesekali aku selingi dengan berlari, manakala kondisi jalan setapak mengijinkan aku untuk melakukan itu. Sampai pada akhirnya, tibalah aku di pinggiran tempat yang aku tuju. Ada banyak rumah berjajar. Beberapa lampu sudah mulai ada yang dipadamkan. Tapi ada juga yang masih menyala terang. Sebenarnya bila dibandingkan dengan keadaan rumah yang ada di kota, jajaran rumah ini tidaklah bisa dikatakan banyak. Tapi bagiku ini lain. Tetap saja ini adalah sebuah jajaran rumah yang banyak. Daripada sebelumnya, yang aku lihat hanya daun dan daun.

Aku memilih untuk tetap tinggal di pinggiran kampung. Ada sebuah gudang beratap seng tidak jauh dari tempat aku berdiri. Sisi sisinya terbuka tanpa ada dinding yang menutupi. Hingga terlihat jelas pilar pilar yang menyangga bangunan sederhana namun terlihat kokoh itu. Segera aku kesana. Sampai disana aku menemukan tumpukan jerami di atas lantai yang semennya sudah banyak yang terkelupas sana sini. Melihat jerami yang bertumpuk itu, rasa lelahku seperti berdemonstrasi menuntut haknya untuk segera di istirahatkan. Mau bagaimana lagi, jiwaku sendiri sepertinya juga sangat lelah dan butuh merebah. Setelah mengamati sekeliling, baru kemudian kuputuskan untuk merebahkan diri diantara tumpukan jerami. Ah, ternyata bohong jika hidup adalah sebuah pilihan. Hidup tidaklah seperti itu. Hidup adalah sebuah keputusan. Lihat sendiri, untuk memulai tidur saja, badanku masih harus menunggu keputusan dari si empunya badan, aku sendiri. Tak lama kemudian, aku tertidur lelap tanpa sempat bermimpi. Tidur bersama rasa lelah, haus, lapar dan rindu pondok panggung. Semua bercampur dan teracik jadi satu.

Sinar matahari menyengat kulitku yang tak berlapis apa apa. Jerami yang sengaja kutumpuk untuk menenggelamkan tubuhku menghindari dingin semalam, tak kuasa menahan panas sang surya. Akupun terbangun. Belum sempat aku merapikan jerami jerami dari tubuh, mataku sudah dikagetkan oleh kehadiran banyak orang di sekitarku. Mereka tidak sedang memperhatikan aku. Tidak juga sedang menjagaku, seperti kesan pertama saat awal dulu aku ada di masjid Haji Abbas. Mereka beraktifitas. Setelah lamat lamat aku perhatikan, baru aku tahu bahwa mereka sedang menghadapi musim panen. Suasana gotong royong, itulah pemandangan yang terbentang di sekitarku. Kekagetanku yang lain, ternyata aku baru tahu bahwa tempat aku tidur semalam ternyata berdempetan langsung dengan areal persawahan.

Hari sudah siang. Aku bisa menandainya hanya dengan melihat posisi matahari. Sekitar dua jam lagi bisa dipastikan matahari akan ada tepat di atas kepalaku. Barangkali orang orang yang bergotong royong ini tidak akan memperhatikan aku seandainya aku tidak membuka hariku yang indah ini dengan suara tawa nyaring terbahak bahak. Sungguh ini adalah hari bersejarah buatku, setelah sekian lama tidak berada di tengah tengah orang yang bentuk tubuhnya rata rata sama seperti bentuk tubuh yang aku miliki. Beberapa dari mereka memicingkan mata. Ada juga yang ikut tertawa. Ada yang lari menjauh dari aku, tapi kemudian ikut tertawa bersama teman temannya. Ada yang hanya berkomentar.

“Oh, tibakno wong edan toh..”
Aku masih saja tertawa, menyadari perjalananku kemarin hingga larut malam membuahkan hasil. Sekarang aku tak lagi merasa hampa dan sendiri. Bersama mereka, dapat kurasakan jiwa seorang manusia yang utuh, meskipun bisa jadi caraku bersosialisasi dan berinteraksi mereka anggap sama sekali tidak wajar. Tidak apa apa. Aku tidak mau tahu tentang itu. Yang aku inginkan hanya seperti ini, tidak jauh jauh dari sesama manusia yang besar tubuhnya tidak terlampau jauh dengan ukuran tubuhku.
Yang lebih membuatku senang ada diantara mereka adalah karena mereka menganggap aku bukanlah sebuah ancaman. Sebagi manusia normal yang seringkali dianggap gila, tentu saja ini adalah zona kenyamanan tersendiri buatku. Terbukti dari sikap mereka yang meneruskan saja aktifitas yang tadinya sempat terhenti karena beberapa saat terpancing untuk sekedar memperhatikan aku. Bahkan seorang ibu ibu ada yang menghampiriku. Tanpa berkata kata dia mengulurkan tangannya langsung ke arahku dan begitu dekat. Ibu ibu itu memberiku sebungkus nasi yang ketika aku terima dengan tangan kananku, dapat aku rasakan bahwa isi di dalamnya masihlah hangat. Nasi bungkus itu ludes dalam sekejap. Nasi bungkus itu bukan hanya sekedar simbol sebuah ketidak terancaman mereka, bukan juga masalah mengenyangkan. Ini masalah kehangatan dalam kebersamaan. Terlepas dari itu, nasi bungkus yang baru saja aku ludeskan ini berhasil menyejukkan dahagaku akan aroma butir butir nasi. Sesuatu yang empat puluh hari lebih tidak pernah aku jumpai.

Setelah puas dengan nasi bungkus, secangkir teh hangat dan sebatang rokok pemberian orang orang yang sedang bergotong royong itu, aku meninggalkan mereka dengan langkah langkah kecil dan gema suara tawa. Sekarang aku tidak lagi membawa karung yang berisi ubu jalar dan kentang. Aku sengaja meninggalkannya di dalam keranjang milik seorang ibu yang tadi telah memberi aku sebungkus nasi dan sedikit persahabatan. Sebenarnya bukan hanya itu yang aku tinggalkan, ada lagi. Beberapa bercak darah yang keluar dari punggungku. Ini juga menyebabkan ada beberapa helai jerami yang lekat dipundakku tapi sengaja aku biarkan. Bukan sebuah masalah, pikirku.
Aku berjalan dan terus berjalan menyusuri beberapa rumah yang hampir semuanya sepi. Bisa jadi si empunya rumah ini adalah orang orang yang tadi bergotong royong memanen padi. Kadang aku berjalan sambil tertawa, kadang hanya diam, kadang juga berjingkat jingkat karena jalan yang aku lewati adalah bebatuan. Yang aku tahu, bebatuan menyimpan panas matahari dan itu tidak nyaman buat telapak kaki tanpa alas. Langkahku terhenti di depan sebuah warung kopi. Bukan lantaran aku ingin mengambil sesuatu di warung itu. Aku sudah kenyang dan belum butuh makan. Langkahku terhenti bukan karena itu. Ini tidak lain karena telingaku menagkap sebuah suara. Dan sangat bisa dipastikan suara itu ditujukan padaku.

“Agshtafirrullah.., Kacong..??!?”
Saat kuarahkan wajah ini pada arah datangnya suara dengan langkah yang terhenti, barulah aku tahu siapa orang yang memiliki suara yang terdengar memekik itu. Dia adalah warga Curah Nongko yang kambingnya paling sering aku carikan rumput. Namanya Pak Mu’i. Berperawakan kecil dan agak kurus, tapi orangnya gesit lagi sehat. Sedang apa ya dia di sini? Aku membatin sambil tetap termangu di tempat terakhir aku menghentikan langkah. Serta merta pak Mu’i berdiri dari kursi warung dan menyongsongku. Sesampainya, dia merangkul bahuku dan mengarahkan aku menuju warung. Aku hanya diam pasrah tanpa tawa.

Ada dua orang lagi laki laki seumuran pak Mu’i di warung yang kecil ini. Sementara si pemilik warung adalah seorang ibu yang sudah agak sepuh. Beberapa kali pak Mu’i memberi aku isyarat untuk makan, tapi aku hanya diam tak bereaksi. Aku hanya bereaksi saat dia menawari rokok kretek plus korek api. Tentu saja aku tangkas mengambilnya. Segera aku nyalakan dan pada hisapan pertama, aku menghisapnya dalam dalam.

“Ini warga di kampung saya, namanya Kacong”
Pak Mu’i mulai mencoba mencairkan suasana yang sempat lengang. Aku tidak tahu pada siapa kalimat itu pak Mu’i tujukan, pada kedua lelaki di dalam warung atau pada ibu si empunya warung ini. Tak ada yang berkomentar sampai pak Mu’i kembali melanjutkan kisahnya tentang aku. Mulai dari pertama kali aku datang di desa Curah Nongko yang masuk kecamatan Tempurejo, sampai keseharianku di rumah Haji Abbas. Mereka manggut manggut, kadang ikut mengomentari ucapan pak Mu’i, tapi lebih sering adalah berupa pertanyaan. Macam macam pertanyaannya. Tentang apakah memang tidak ada yang tahu di mana sanak saudaraku, tentang apakah aku benar benar bisu, dan tentang kondisi punggungku yang sampai hari ini aku tidak tahu seperti apa bentuk lukanya. Pak Mu’i menjawab apa yang dia tahu dan mengatakan tidak tahu saat dia memang tidak tahu. Mereka bercerita dan terus bercerita, sementara aku sudah menghabiskan dua batang rokok dan satu cangkir kopi yang dipesankan oleh pak Mu’i. Merasa pembicaraan mereka masih panjang, aku meraih rokok kembali dan menyalakannya untuk yang ketiga kali. Tak ada alasan bagiku untuk menjauh dari warung. Sinar mentari siang ini benar benar unjuk gigi menampakkan keperkasaannya. Lagipula, hanya pak Mu’i yang aku kenal di desa yang pada akhirnya aku tahu bernama desa Andongrejo ini. Aku toh terhanyut juga bersama obrolan obrolan mereka yang mengurai panjang lebar tentang seseorang yang mereka namakan Kacong.

Dari cerita pak Mu’i di warung ini, aku jadi tahu tentang gambaran orang orang kampung selama aku dinyatakan hilang oleh Haji Abbas. Ternyata banyak dari orang orang kampung yang menjadi sukarelawan untuk menjadi tim SAR. Mereka terdiri dari beberapa bagian. Paling banyak adalah yang mencari aku ke dalam hutan. Sisanya berpencar. Ada yang mencari aku di perkebunan karet Blater, Cawang, kebun pantai, PHPA, ada yang mencari tahu ke beberapa instansi seperti rumah sakit dan kepolisian. Bahkan ada yang sampai sengaja mencariku ke pasar pasar yang ada di Ambulu. Setelah satu minggu kemudian aku belum juga ditemukan, Haji Abbas menghimbau orang orang untuk menghentikan pencarian.

“Kita pasrahkan saja Kacong pada Yang Maha Kuasa..”
Itu adalah kata kata Haji Abbas yang keluar dari mulut pak Mu’i. Sungguh mengharukan. Ternyata masih ada cinta yang tersisa untukku di Curah Nongko. Begitu terharunya aku sampai sampai aku larut dalam tawa berkepanjangan. Ya, aku tertawa di warung kecil ini, meledak. Dan seperti yang sudah sudah, aku tak kuasa untuk menghentikannya. Aku masih saja tertawa saat pak Mu’i meneruskan ceritanya tanpa merasa terganggu oleh suara tawaku. Dia bercerita tentang keinginan Nyai untuk membuat selamatan semacam tahlil. Bukan selamatan yang menandakan aku telah mati, bukan itu ternyata yang Nyai maksud. Tapi tahlil untuk keselamatanku. Semacam doa bersama, mendoakan apa yang terbaik buat aku. Dan Haji Abbas mengabulkannya. Dia mengundang orang orang kampung sekitar masjid untuk mengadakan tahlil, tapi tidak sampai tujuh hari. Hanya sekali saja pelaksanaan tahlil tersebut. Ini juga membuat aku terharu dan kembali tertawa keras. Ternyata Haji Abbas dan Nyai benar benar melaksanakan kata kata yang pernah Haji Abbas ucapkan, menganggap aku anak angkat. Padahal meskipun seandainya itu hanya sebuah kata kata kosong pun, toh aku sudah sebegitu nyaman mendengarnya.

Dengan bersusah payah, akhirnya berhasil juga pak Mu’i membujukku untuk naik ke atas sepeda motor yang dia kemudikan. Ini juga berkat kesabaran dua orang yang tadinya ada di dalam warung. Dengan telaten mereka berdua menuntunku untuk mau dan bisa duduk di belakang punggung pak Mu’i. Aku bukannya tidak bisa duduk di atas sepeda motor. Tapi takut. Suaranya yang bising mengingatkan aku pada suara si janda, truk milik pak Ilham pada saat dulu terjadi kecelakaan. Tapi pada akhirnya aku naik juga. Bagaimanapun, rasa takutku jauh lebih kecil dibanding dengan rasa kangenku pada bunga bunga, hewan ternak, pondok panggung dan semuanya. Terlebih aku rindu memandang wajah Haji Abbas dan Nyai. Aku akui, mereka berdua memiliki wajah yang menyejukkan.

Berita tentang kedatanganku membuat warga sekitar masjid gempar. Banyak dari mereka yang sengaja datang ke kediaman Haji Abbas dan Nyai hanya untuk mendengar cerita tentang aku. Menurut pembicaraan beberapa dari mereka, rumah pak Mu’i juga tak luput dari serbuan warga. Ada saja yang mereka tanyakan. Beruntunglah, hal menghebohkan ini tak berlangsung selama lamanya. Aku tidak akan tahan hidup diantara suara gaduh dan pembicaraan seputar itu itu saja. Memasuki minggu kedua, segalanya mulai mereda dan mulai berjalan normal seperti sedia kala. Ini juga berkat tangan dingin Haji Abbas. Dengan kesabaran ekstra beliau selalu berusaha menjawab keinginan publik dengan pilihan kata yang bijak dan tidak membola salju hingga menyebabkan timbulnya pertanyaan baru.

Saat pertama kali aku tiba di Curah Nongko, pak Mu’i langsung meluncurkan sepedanya ke rumah Haji Abbas. Tentu saja Haji Abbas dan Nyai kaget bercampur senang. Sebuah ekspresi naluriah yang nilai kejujurannya tak terbantahkan. Aku bisa menangkapnya dengan hati dan kedua bola mataku sendiri. Di hari pertama kedatanganku itu, kediaman Haji Abbas sudah penuh dikelilingi oleh warga yang tak henti berdatangan. Sampai sampai Haji Abbas mempersilahkan mereka di dalam masjid dan meminta bantuan beberapa ibu ibu untuk membantu Nyai menyiapkan hidangan ala kadar. Bagaimana dengan keadaanku sendiri?

(Bersambung)

2 komentar: