Hmmm, kangen bertamasya ria alias rindu membicarakan tamasya. Nggak nyangka sudah tiga setengah tahun kebersamaan ini. Kalau dihitung dari lagunya malah dua tahun lebih tua.
Padahal tadinya saya hanya seorang pencinta alam biasa. Padahal tadinya saya hanya menyuarakan keresahan akan apa yang terjadi, hanya lewat sebuah kertas. Kertas itu sama sekali tidak berpengaruh, karena memang saya bukan jurnalis.
Setiap kali selesai menulis, kertas kertas itu tersimpan rapi di bawah kasur, atau di slempitan lemari, atau dimanapun saya suka.
Kebiasaan itu terhenti manakala saya mengenal dunia blog. Dunia menulis tanpa kertas. Oh indahnya. Tapi tetap saja permintaan kertas dunia semakin meningkat. Pohon tetap bertumbangan.
Tadinya saya suka melukis. Bahkan pernah lebih lima puluh kali menjadi juri lomba mewarnai. Ya, lebih lima puluh kali, saya menghitungnya.
Itu semua terhenti sejak dunia digital merambah negeri ini.
Masalahnya tetap sama. Permintaan akan bahan baku kertas tak terkendali. Lagi, pohon bertumbangan.
Saat negara negara maju menyuarakan global warming, sementara permintaannya akan minyak tetap menggila, saya marah. Saat negara negara berkembang ingin menyusul negara maju, ingin seperti dubai, ingin seperti new york, saya marah.
Saat orang orang di sekitar saya memuja muja perhiasan emas, saya marah. Hmm, kenapa harus marah? Tuhan saja tidak marah. Ya benar, Tuhan tidak akan marah jika kita menggunakan sumber daya yang ada sesuai dengan batas kebutuhan.
Saat emas dijadikan logam pendukung untuk perangkat lunak semacam komputer, mungkin Tuhan tersenyum. Saat logam emas dijadikan alat tukar dunia, bisa jadi kita semua mengamini. Tapi entah apa yang akan terjadi jika kita hanya menggunakan emas untuk kesenangan semata.
Jangankan Sang Pencipta, Bumi ciptaan Nya saja akan marah.
Saat bumi marah, semua uring uringan. Saling menuding nggak jelas. Saling melempar tanggung jawab. Saling memfitnah. Ah, itukan busuk, itukan nggak baik, itukan tidak jantan namanya.
Cerita yang lain
Saya tinggal di kota kecil Jember. Namanya juga kota kecil, harusnya tidak sebombastis kota besar. Tapi jangan salah, seluruh kota kecil di negeri ini sedang bergerak menuju kemajuan, tentu saja dengan persepsi yang seperti itu.
Kini di kota kecil ini, sulit membedakan mana yang lebih penting, beli beras apa kredit sepeda motor. (Maaf buat keluarga tamasya yang kerjanya di dealer atau semacamnya)
Mutu jalan tetap, tapi jumlah penggunanya yang tidak tetap. Bergerak terus terus dan terus.
Saya resah, saya gelisah dan saya marah. Tapi saya tahu, saya tidak bisa memaksa semua orang untuk perduli lingkungan. Lha wong saya saja masih belajar.
Saya suka menciptakan lagu, ya benar. Meskipun dalam bermain gitar tegas saya bilang, saya pas pasan. Tapi saya tidak memetik gitar dengan tangan.
Lalu seorang sahabat bernama Mungki Krisdianto tiba tiba merecord lagu ciptaan saya. Catherine, ya saya masih sangat mengingatnya.
Lalu sayapun take vokal. Suara saya di edit, di kompres dan di uthek uthek mirip seperti saat ibu saya membuat kue. Seperti itulah nasib suara saya.
Lalu lagu itu beredar dari mulut ke mulut. Dari satu tempat tongkrongan ke tempat yang lain. (Saya sedang tidak mood untuk menceritakan bagaimana dulu saya nongkrong, hehe)
Lalu masih atas uluran tangan brade Mungki, saya niat merekam lagu lagu saya yang lain. Peredarannya masih sama, dari mulut ke mulut. Dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ceritanya panjang, orang orangnya pun banyak. Tak mungkinlah saya tuturkan semua dalam satu artikel. Ini saja sudah panjang, hehe. Maaf ya kawan kalau tulisan ini membuatmu lelah.
Bagaimana ini, lanjut? Oke, sedikit lagi kok.
Waktupun bergulir, detik demi detik berlalu. Tiba tiba seperti mak cling, saya sudah ada di antara orang orang hebat lainnya. Ya mereka menamai dirinya dengan tamasya. (kalau saja di dunia ini tak butuh tanda, pastilah band kami tak perlu nama)
Kenapa tamasya? apa artinya? siapa saja mereka?
Ah tidak.. Bukannya malas menceritakan. Tapi tidak sekarang, lain kali saja kawan. (Kalau kau tetap memaksa, percayalah aku juga akan tetap diam. Pada beberapa mc / presenter pun kadang aku diam)
Nah, sampai dimana tadi? Ohya, tamasya.
Saya marah, lalu saya menciptakan lagu. Sayangnya (kabar buruk) sayalah yang menyanyikannya. Ow ow ow.. apakah saya bisa? Bisa. Itu kata almarhum Modiq. Kata brade Mungki, kata Kartolo, Feri K2, Ananda Kernet, Dlahom, Lethoy dan masih banyak lagi.
Dan buat kalian yang namanya tidak saya sebut di sini, tolong simpan rapat rapat cerita tentang kisah pertama kali tamasya bernyanyi. Itu bukan konsumsi publik kawan, hahai..
Sekarang kita kembali lagi ke kalimat, 'waktu terus berlalu bla bla bla..'
Sepuluh hari lagi genap tiga setengah tahun usia tamasya band.
Maaf kawan, suara ini tetap sama, tidak meningkat sedikitpun. Okelah nanti aku usahakan untuk jalan jalan biar nafas ini kuat, cihui.. Seperti my father. Tahu kan? My father is Forest Gump.
Maaf lagi untuk gaya panggung. Masih parah, masih pemalu (semoga tidak terlalu sin ngisini). Maaf tentang penampilan yang alakadarnya. Maaf tentang.. Aaagh, pokoknya banyak, semuanya.
Berjanjilah jika kalian sudah menemukan vokalis yang lebih baik, tempatkan saya di posisi pencipta lagu dan saya akan memetik gitar dengan hati. Dan akan saya sampaikan kisah kalian pada dunia.
Kawan, ini bukan tentang kekalahan. Ini bukan tentang ketidak sanggupan. Hanya saja ini adalah tentang siap siap menghadapi kenyataan. Siapa tahu ada yang melirik kalian untuk kesempatan yang lebih luas (Amin), percayalah bahwa suara ini tidak menjual, haha.. Petis saja tahu.
Hmmm, ternyata panjang juga tulisan ini. Kapan selesainya?
Okelah, sebagai penutup, ada kabar bahwa hari ini saya menciptakan lagu (dan untuk Cak Nank, maap lagunya yg itu belum selesai). Akan saya tuliskan reff nya saja. Tapi ini bukan untuk di record. Ini untuk kalian dulur dulurku tamasya.
Ini reff lagunya, dengan judul.. Ah tahu sendiri bukan? saya tidak pandai membuat judul. Terserahlah mau dijuduli apa.
Dengar dengar kawan aku kan pencinta alam
Saat mendaki yang kutemui hanya sepi
Tak ada sambutan tak ada tepuk tangan
yang ada hanya aku dan ciptaan Tuhan..
Dan penutupnya adalah, mari kita berdoa, mari kita belajar, dan mari kita berkarya. Salam lestari..
NB : Lagu ini lebih nyaman saat dinyanyikan di kamar mandi, saat kita telanjang, saat kita tak berdaya.
Atau dinyanyikan di atas genting, saat sendiri. Lebih indah bila malam hari, asal jangan diwaktu hujan.
Akan lebih lengkap jika berteman secangkir kopi.
Sudah, selesai hehe..
Penulis : RZ Hakim Acacicu.
aku pegang tiring-tiring masbro,, biar seru,, terus aku bisa jadi vokal belakang biar suara mu yg fals itu jadi indah karena suara ku yg juga fals,, dua suara fals lebih bagus dari pada satu suara fals .. hehehe
BalasHapuspuh kok pendek banget ceritane... kurang panjaaaang nurutku ceritane Tamasya iku..
BalasHapuswaow sangar... *sambil garuk2 perut*
BalasHapusayooo kapan launching STT #3
@Uni fitr4y : Hehehe, masuk akal Uni. Satu fals tambah satu fals jadinya kan gak fals, haha..
BalasHapusMakasih ya Uni,,
@Lozz Akbar : Ya kan ini bersambung Kang, sambungane yo urusanmu, hehe..
@Mas Waw : Lho opo'o wetenge? hihi..
Tadi malam sudah disepakati tanggalnya. nanti saya sms ya jer;
tak tunggu launchnya albumnya bos
BalasHapusOke Maturnuwon,,
BalasHapusheheh.. aku nemu juga loch blognya mantappppp nich lagu2nya masbro... aku boleh nyumbang lagu aku ga... :)
BalasHapusBoleh dong Mas Kamal,,hehe..
BalasHapus