Oleh RZ Hakim
Saya mengenal sosok Mama Yuli ketika dulu kawan-kawan Jember membuat acara bertajuk Tribute to Manusela. Heran saja, ternyata ada figur sekeren beliau di dunia nyata. Bertahun tahun mengabdikan hidup pada sebuah SD (di pedalaman Manusela), sendirian dalam menghadapi 6 bilik kelas, bukan pegawai di dunia pendidikan, tidak dibayar, dan tidak berkoar-koar. Ah, Mama Yuli membuat mata saya terbelalak lalu berkaca kaca.
Dan kemarin, saat orang-orang di sekitar saya sibuk mendukung acara 'pesan dalam botol' dari berbagai sisi, saya berkenalan dengan segala hal yang tadinya asing.
Mula-mula saya mengenal KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kemudian ada banyak hal yang saya tahu tentang sistem pendidikan di negeri ini. Mulai dari dana BOS hingga berbagai kisah menprihatinkan seputar biaya sekolah.
Seorang kawan bernama Manda (dalam update statusnya) mengabarkan tentang apa yang terjadi di Sulawesi. Ini dia yang Manda tuliskan.
"Gara-gara raport hilang, anak SD di Sulawesi yang harusnya naik kelas 5, terpaksa mengulang lagi mulai kelas 1"
Saya merenungkannya, lama sekali. Kok bisa ya? Apakah harus begitu? Inikah otoda?" dan masih banyak lagi pertanyaan yang menguing-nguing di kepala. Tapi saya tidak sedang di Sulawesi. Kedua kaki ini masih berpijak di sebuah kota kecil bernama Jember.
Halo Jember, bagaimana kabarmu?
Ternyata di sini sedang marak kasus penahanan ijazah. Seperti yang dialami oleh Nur Hasanah, ijazahnya sempat tersangkut di SMPN I Sukorambi (sokaradio.com). Semua karena masalah gono gini alias biaya. Dikabarkan, 2 siswa yang baru lulus dari SMKN 3 Jember (Danis Hadi Prasetyo dan Ilham Arif Ramadhan) juga mengalami hal yang sama. Syukurlah, pihak DPRD Jember turun tangan.
Ah, lagi-lagi SMKN 3 Jember. Saya jadi teringat pengalaman 20 Juni 2012 yang lalu, saat mengambilkan raport anak tetangga saya, di SMKN 3 Jember. Dia kesulitan mengambil raport lantaran biaya. Bapaknya seorang kernet bus, sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Semua wali murid yang memiliki tanggungan biaya, dikumpulkan jadi satu di ruang perpustakaan sekolah. Kemudian dipanggil satu-satu, dan namanya terpampang di layar proyektor. Memang berat menjadi orang kurang mampu di negeri ini.
Detik terus berjalan. Kisah seputar mahalnya dunia pendidikan tidak semakin sedikit.
Tadi siang, hasil dari acara pesan dalam botol sudah terkirim berupa uang sejumlah Rp. 2.360.000. Buku-buku yang standart KTSP sudah ada yang meminta, bermanfaat.
Terima kasih semuanya. Saya sama sekali tidak pernah bosan untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas secuil doa dan cintanya di acara pesan dalam botol. Pun buat kawan-kawan saya di dunia maya, teristimewa untuk kawan-kawan Blogger Hibah Sejuta Buku. Matur nuwun..
Usailah sudah rangkaian acara PESAN DALAM BOTOL yang dimulai sejak 5 Juni 2012 hingga 7 Juli 2012 ini. Lalu, apakah sudah selesai? Apakah sampai di sini saja?
Kawan, ulurkan tanganmu. Saya butuh urun rembug. Butuh ide segar dari sisi manapun. Terima kasih dan salam lestari..
0 komentar:
Posting Komentar