Kamis

Saya Pernah Menjadi Pembicara Yang Bodoh

Satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 15 September 2008, saya pernah diundang oleh kawan kawan LPME ECPOSE, sebagai pembicara di acara mereka.

Saya tidak sendirian, tetapi berdua dengan Mas Bambang Ngab Teguh, orang yang memiliki segudang aktivitas, tidak sesantai saya. Dia menjabat sebagai Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria di Bandung. Selain itu juga sebagai Koordinator Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif Region Jawa Timur. Belum lagi aktivitasnya di Lembaga Studi Dialektika dan Perspektif Jember. Sedangkan saya, satu tahun kemarin saya lagi sibuk sibuknya kerja sebagai surveyor kompor elpiji, hehe.

Kembali ke acara kawan kawan ECPOSE. Disana mereka mengangkat tema Dinamika Kehidupan Mahasiswa Di Kampus. Sebuah tema yang menarik dan mudah akrab di telinga kita.

Kenapa ya mereka mengundang saya? Apakah karena saya dulunya adalah anak yang terbiasa hidup di UKM Pencinta Alam? Ah kalau hanya itu di UKM Ekonomi juga banyak, tidak harus mengundang saya yang lulusan Sastra. Terus kenapa ya? Yang pasti karena saya dianggap mengerti tentang Dinamika Kehidupan Mahasiswa Di Kampus, maka dari itulah saya diundang. Tapi darimana mereka tahu kalau saya mengerti? Batin saya terus berkecamuk memikirkan masalah yang sebenarnya tidak sangat penting untuk saya pikirkan. Sampai acara dimulai pun saya tidak berhenti memikirkannya.

Sedari awal acara, saya lebih memilih untuk diam. Kalaupun harus berbicara, itu karena pinter pinternya Mas Bambang Ngab Teguh saja memancing biar saya proaktif. Setelah mengimbangi dengan satu dua kata saja, saya kembali diam.

Tiba tiba di pertengahan acara ada satu pertanyaan yang mengusik batin saya. Barangkali inilah jawaban dari pertanyaan saya sendiri, mengapa mereka mengundang saya.

Salah satu dari mereka menyesalkan adanya perselisihan yang berakhir dengan bentrok fisik antara oknum dari Lembaga Pers Mahasiswa FKIP Jember dengan oknum dari Mapala, juga dari Fakultas yang sama, hanya berselisih beberapa hari saja sebelum acara ini diadakan.. Jadilah akhirnya saya menjadi satu satunya Pencinta Alam yang ada diantara para Jurnalis.

Ah ini rupanya, batin saya. Tetapi tidak juga, bukan karena itu. Terbukti di akhir acara moderator mengatakan rasa terimakasihnya pada pembicara yang sudah bersedia datang, tidak terkecuali saya.

Moderator selalu menghubung hubungkan saya dengan tamasya band dan lagu lagu ciptaan saya. Oh, saya baru tahu di akhir acara, ternyata mereka tertarik dengan salah satu lagu saya yang berhasil sedikit menangkap dinamika kehidupan yang ada di kampus. Pantesan..

Hari itu saya menemukan satu kebenaran bahwa Saya adalah pembicara yang bodoh. Itu kesimpulan saya setelah tidak ada lagi alasan yang bisa saya temukan untuk menutupi kebodohan ini.

Para netter, Salam Lestari…!!!

3 komentar:

  1. walah, bisa jadi itu perasaan mas tamasya saja, hehe ....

    BalasHapus
  2. kekuatan tamasya itu terletak pada kesederhanaan, kesederhanaan bermusik, lyric yang cenderung lugas, kesederhanaan penampilan.style itu yang gak dimiliki para indie jember lain. tamasya jujur dalam berkarya, i e lof tamasya

    BalasHapus
  3. @ Bpk Sawali : Wah nama saya bukan tamasya Bapak, hehe.. Itu nama band tempat saya dan kawan kawan berproses. Bapak bisa memanggil saya Hakim. Makasih ya Bapak Sawali. Peran saya sebagai pembicara diatas memaksa saya untuk kembali berpikir, merenung dan memaknai begitu banyak hal, termasuk definisi tentang apa itu pandai dan apa itu bodoh..tengkyu Bapak..

    @ Brade Letoy DKK : waduh, brade Letoy kok mbahas tamasya ya??haha..Tapi makasih banget masukannya. Kangen berdansa bareng tamasya lagi ya? Uhui..

    BalasHapus