Alam raya sekolahku. Kalimat pendek itu menghiasi kaos warna hitam milik seorang pengamen jalanan yang biasa mangkal di alun alun kota Jember. Sederhana, tapi berhasil mengajak saya berpikir. Apa benar begitu? Dari pengalaman sepele itu saya mencoba kembali mengingat ingat saat dimana saya pernah mendaki gunung.
Saya tidak sering naik gunung, hanya beberapa kali saja. Tapi dari beberapa kali itu saya sudah bisa mengambil banyak petuah kehidupan. Turun dengan selamat, itu pelajaran pertama. Belajar dari pengalaman pertama naik gunung. Setinggi apapun gunung yang kita daki, ternyata puncak bukanlah segala galanya. Bukan tujuan utama dan bukan satu satunya agenda yang harus dinomor satukan. Turun dari puncak gunung dengan selamat itulah segalanya.
Pelajaran kedua lebih sederhana dari yang pertama, yaitu bersiap siap untuk kesepian. Mendaki gunung adalah kegiatan yang berbanding lurus dengan yang namanya sepi. Saat kita berhasil meraih puncak, saat awan yang bergumpal ada di bawah telapak kaki kita, dan saat tangan kita seolah olah bisa menggapai langit, jangan pernah berharap ada tepuk tangan disana. Pelajaran kedua ini mengantarkan saya pada sebuah pemikiran, bahwa seorang pencinta alam bukanlah superstar.
Pelajaran sederhana yang lain adalah tentang hidup. Memang tidak akan pernah ada habisnya jika disini saya bercerita tentang hidup. Akan saya kerucutkan saja pada pola pikir seorang pencinta alam tentang kehidupan.
Kehidupan berbanding lurus dengan kematian. Apa saja yang bernyawa pasti akan merasakan mati, tidak terkecuali saya sendiri. Bedanya, anak anak PA sudah terlanjur di cap sebagai manusia manusia yang senang mempermainkan hidup. Klaim ini tentu saja beralasan. Lihat saja kegiatan para pencinta alam, selalu berdekatan dengan malaikat pencabut nyawa. Namun demikian saya mempunyai pandangan yang sedikit berbeda. Coba kita renungkan kembali. Lebih banyak mana orang meninggal dunia, di puncak gunung atau di atas kasur?
Para netter, seorang pencinta alam adalah seorang yang berpikir bahwa sebutir nasi adalah juga sebutir nyawa. Begitu juga dengan setetes air, itu adalah setetes nyawa. Tidak ada yang berbeda antara kaum mayoritas dengan para pencinta alam. Sama sama memberi penghargaan yang tinggi pada hidup dan kehidupan. Bahkan bisa jadi, para pencinta alam satu tingkat lebih tinggi dari kaum mayoritas. Boleh jadi ini dikarenakan bintang yang dilihat para pendaki lebih bertebaran. Atau bisa juga gara gara kegiatan pencinta alam yang memang membutuhkan konsentrasi tinggi dan penghargaan pada setiap hembusan nafasnya.
Kembali pada kalimat pendek diatas. Alam raya sekolahku. Itulah formula ajaib para pencinta alam. Kenapa rata rata dari mereka berkarakter, tidak lain karena mereka sekolah di universitas alam raya dan berguru pada pengalaman. Sungai, gunung dan jalanan adalah laboratorium para pencinta alam. Itu adalah tempat yang selalu dituju para pencinta alam manakala mereka butuh bertafakkur.
Selalu ada cinta untuk orang orang yang senang menjadi pelaku kelestarian alam. Semoga tidak berhenti pada mendaki gunung saja. Dan semoga selamanya berdansa dengan alam raya.
Salam Lestari…!!!
0 komentar:
Posting Komentar