Aku masih bernafas, masih butuh makan, masih senang berkreasi, masih paham apa dan bagaimana itu manusia, dan sangat benar benar mengerti bahwa seratus ditambah seratus sama dengan dua ratus. Sayangnya aku sudah terlanjur dianggap gila.
Padahal usiaku masih sangatlah muda, belum lagi tiga puluh tahun. Dan sudah hampir satu tahun ini aku mengemban sebutan itu, gila. Aku sangat menyayangkan ini. Bagaimana tidak menyayangkan, aku tumbuh besar diantara orang orang waras dengan tingkat ekonomi diatas rata rata, modern dan terpelajar. Tapi justru dari merekalah aku menerima predikat gila. Sungguh situasi yang benar benar gila!
Sebuah pesan saat membaca ini. Jangan panik aku tidak gila.
Semuanya berawal dari suatu hari, saat aku lagi sibuk sibuknya menyiapkan jamuan makan siang di perusahaan milik Almarhum Papa yang sudah tiga tahun ini aku kelola. Jamuan itu sendiri aku persiapkan untuk seorang partner bisnis dari Bahrain yang tertarik dengan pendapatan perusahaan dan ingin menanamkan sahamnya. Jadi aku harus mempersiapkannya sedetail mungkin karena aku memang butuh target ini goal. Tapi belum lagi partner bisnisku datang, aku sudah dikejutkan oleh langkah kaki si Yudi, sopir pribadiku.
“Ada apa Yud?”
Tanyaku demi melihat wajahnya yang misterius tapi mudah ditebak. Mudah ditebaknya lantaran dia tidak terbiasa menampakkan wajah yang sepucat itu. Jadi aku langsung bisa mengira bahwa Yudi membawa sebuah berita dan itu bisa jadi sangat mengejutkan.
“Anu Pak Yopi, anu..” Kata Yudi terbata bata.
“Anu gimana sih?” Sambungku.
“Duduk dulu Yud, tarik nafas dan tenangkan diri dulu”
Aku mengatakan itu karena aku juga kebingungan harus berkata apa. Yudi tidak bisa berbuat apa apa selain menuruti perkataanku. Aku memanggil Arimurti, sekretaris pribadiku yang berlalu lalang sibuk menyiapkan jadwal makan siangku dengan tamu yang sedianya tidak dilaksanakan di sebuah restoran, tapi di ruang santai perusahaanku. Aku minta tolong pada Arimurti untuk mengambilkan Yudi segelas air mineral.
“Anu Pak Yopi”.
Yudi mulai bisa menguasai dirinya sendiri dan berusaha mengucapkan sesuatu padaku.
“Ya ada apa Yud?” Kataku sambil menanti kata kata yang belum keluar dari mulut sopir pribadiku ini.
“Anu Pak, Bu Tita Pak”
Yudi kembali tertatih tatih bicaranya.
“Ya, ada apa dengan istriku?” Ucapku sambil pikiranku mulai berusaha menebak ada apa gerangan. Lama Yudi terdiam. Aku menunggunya sambil mencoba tidak berusaha mendesak Yudi. Karena Yudi tidak juga membuka mulut, aku mulai tidak sabar untuk mengetahui ada apa dengan Tita istriku. Merasa terdesak oleh pertanyaanku, Yudi bukannya malah menjawab ada apa dengan Tita tapi dia bercerita tentang bagaimana dia bisa sampai ke kontorku.
“Saya kesininya naik angkutan Pak”
Jelas ini membuatku semakin penasaran. Ada apa ini? Batinku. Namun tidak lama rasa penasaranku. Yudi akhirnya bisa menceritakan semuanya dengan begitu lancar, kronologis dan sempurna setelah sebelumnya aku membentaknya.
*******
Itu adalah hari pertama aku sukses mendapat predikat gila dari orang orang di sekitarku. Hari dimana Tita, perempuan yang paling aku cintai, menghancurkan segalanya. Bukan saja dia kembali pada pelukan Hidayat kekasih lamanya, Tita juga berhasil sempurna meringsekkan semua yang aku punya. Tidak hanya uang simpanan perusahaan yang dia jebol, perusahaan milik Papa itu sendiri pun turut ia jual. Sampai pada hal yang sekecil kecilnya ia sikat habis. Rumah dan sertifikatnya juga dengan manis ia pindah tangankan. Semua seakan berhamburan, termasuk mobil yang biasa Yudi bawa untuk mengantar jemput aku.
Hari itu juga aku tertawa sekeras kerasnya dihadapan Yudi yang otomatis mempunyai predikat baru, sebagai mantan sopir pribadi seorang eksekutif muda, Yopi Firman Jauhari. Aku tertawa dan terus tertawa, tak perduli pada tatapan iba kedua mata Yudi. Juga tak kuperdulikan kata kata Arimurti yang juga otomatis menjadi mantan sekretaris pribadiku. Entahlah, barangkali Arimurti sedari awal turut mendengar apa yang telah Yudi paparkan. Karena tak henti hentinya Arimurti berkata
“Sabar Pak, Sabar Pak”
Begitu berulang ulang yang justru membuat aku terus tertawa. Tawa itu sulit aku hentikan hingga hari ini, setelah hampir satu tahun dari peristiwa itu. Peristiwa dimana Yudi mendongengkan sebuah lelucon padaku. Ya, semuanya menjadi seperti lelucon pada akhirnya.
Aku tertawa maka aku gila.
Itulah kalimat yang paling cocok untuk menggambarkan siapa aku. Laki laki muda berusia belum lagi tigapuluh tahun, Yopi Firman Jauhari. Anak tunggal dari pasangan Sudibyo Firman Jauhari dan Ngatiningsih yang meninggal dunia tiga tahun kemarin pada sebuah kecelakaan pesawat terbang. Mereka adalah orang tua yang meninggalkan banyak hal selain rasa kehilangan yang sebegitunya. Perusahaan dan harta yang berlimpah. Tapi semuanya lenyap hanya dalam hitungan jam. Bukan itu yang membuat aku tertawa. Ada yang lebih lucu dari semua lelucon yang ada di jagad komedi di dunia ini. Tidak lain adalah tentang Tita itu sendiri.
Tita Rizki Ananda, nama yang cantik untuk perempuan yang memang kecantikannya begitu sempurna. Dialah istriku. Dialah satu satunya orang yang tahu, mengerti dan mampu memahami aku. Setidaknya dulu aku memiliki pandangan yang seperti itu. Tita lima tahun lebih tua dari aku. Sedari kecil hanya hidup bersama Papanya, karena ibunya meninggal dunia beberapa menit setelah Tita dilahirkan. Papa Tita menghabiskan sisa hidupnya untuk mencurahkan kasih sayangnya pada Tita, hingga mengabaikan untuk mencari istri lagi sebagai pengganti almarhumah ibu Tita yang telah tiada.
Dulunya aku mengenal Tita sebagai asisten dosen saat aku kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, kota dimana aku lahir dan tumbuh dewasa. Saat aku menempuh Master managemen di Singapura, hubunganku masih terjalin baik meskipun masih belum berstatus apa apa. Saat itu Tita masih jalan bareng dengan Hidayat, seorang eksekutif yang bergerak di bidang entertaint. Aku sendiri berpacaran dengan Tita sesaat setelah aku kehilangan orang tuaku, dan saat Tita juga baru saja bubar dengan Hidayat.
Semua berjalan baik baik saja hingga saat aku mempersuntingnya. Ayahnya juga menerimaku dengan hangat. Pantas jika aku menganggapnya sebagai Bapak Mertua paling sempurna sedunia. Beliau meninggal dunia dua tahun lalu karena sakit. Wajar jika kami sangat kehilangan, terlebih Tita istriku karena kedekatannya sedari kecil. Bagi Tita, papanya adalah juga mamanya, dua dalam satu.
Sampai pada hari dimana Yudi menceritakan segalanya, semuanya aku anggap baik baik saja. Paginya sebelum aku berangkat ke kantor dengan diantar Yudi, Tita masih menyiapkan sarapan untukku. Dia menemaniku, mengambilkan air putih, menata kembali piring yang selesai aku pakai sarapan, untuk kemudian Tita berikan pada Mak, pembantu rumah tangga kami. Sungguh semua baik baik saja. Menurutku tidak ada yang ganjil hari itu. Tita bahkan dengan mesra membetulkan dasi yang menurutku sudah rapi. Mengantarkan aku sampai teras depan, memberi kecupan pagi, ritual harian sebelum aku masuk ke dalam mobil bersama Yudi. Terakhir komunikasiku dengan Tita hari itu adalah lambaian tangan. Persis di depan teras, masih dengan menggunakan daster, Tita melambaikan tangannya mesra. Dari dalam mobil aku membalas lambaian tangannya dengan sebuah lambaian yang tegas namun tidak kalah mesra. Dan Yudi tahu itu. Aku bisa melihatnya sepintas, tersenyum dari kaca spion depan, karena aku duduk di belakang.
Hari yang sangat sempurna untuk sebuah pasangan muda meskipun belum lagi dikaruniai keturunan oleh Yang Di Atas. Dan tiba tiba semuanya menjadi lenyap begitu saja bersamaan dengan berhamburannya kata kata yang keluar dari Yudi, orang yang menjadi saksi kemesraan antara aku dengan Tita di pagi yang indah. Dan itu semua terjadi hanya dalam sekejap saja. Bukankah itu sangat lucu? Itu yang membuatku tidak bisa berhenti tertawa. Setiap kali aku mengingatnya, saat itu juga aku tertawa.
Sungguh aku masih bisa membaca waktu, tabloid, dan tulisan. Aku masih mampu menghitung uang. Aku masih sangat mengerti bila ada dua orang yang bicara dalam dua bahasa asing, Inggris dan bahasa isyarat. Untuk bahasa isyarat, aku bahkan mengerti tidak saja bahasa isyarat yang digunakan di sini, tapi juga yang standart internasional. Menurut Om Irawan adik kandungnya Papa, mama yang mengajari aku belajar bahasa isyarat. Ini semua karena mama mendikasikan hidupnya untuk selalu aktif di lembaga sosial yang perduli dengan dunianya orang orang tuna rungu dan tuna wicara. Dengan bisa berbahasa isyarat, bukankan aku masih sangat waras? Kenapa harus aku yang di cap gila? Kenapa bukan Tita saja?
Aku masih sangat mengerti saat orang orang di sekeliling membicarakan tentang apa saja. Yang aku tidak mengerti adalah tentang bagaimana nasib partnerku yang dari Bahrain dulu. Aku juga tidak tahu bagaimana kabar Arimurti mantan sekretaris pribadiku. Tentang Mak mantan pembantu rumah tangga di rumahku sejak jaman orang tuaku masih ada. Hanya kabar Yudi saja yang aku tahu. Dia sekarang kembali ke kampung halamannya, Jember. Entah dia bekerja apa sekarang. Aku tahunya saat dia menjengukku pada saat aku dipaksa untuk mendapat perawatan intensif di sebuah Rumah Sakit Jiwa. Itu perjumpaan terakhirku dengan Yudi.
Bicara tentang Rumah Sakit Jiwa, dua ratus hari aku disana. Om Irawan, satu satunya saudara kandung Papa, dia yang menjebloskan aku di tempat yang sangatlah tidak pernah aku impikan. Karena menurut analisis Dokter aku hanya membutuhkan masa istirahat yang panjang, maka aku dipersilahkan pulang dengan catatan setiap satu minggu sekali wajib kontrol. Om Irawan, yang rumahnya satu kompleks dengan bekas rumahku, membawa aku pulang. Dan disinilah aku sekarang. Di rumah Om Irawan.
Semua orang sepertinya menganggap aku adalah sebuah ancaman. Aku bisa melihatnya dari mata orang orang sekitar memandangku. Tidak usah jauh jauh, Tante Neni istri Om Irawan sendiri, selalu menghindar untuk bertatap muka denganku. Juga Yun, saudara sepupuku yang anak bungsu Om Irawan. Dari teras depan, untuk menuju rumah induk Yun harus melewati kamar depan tempat aku tinggal. Dan dia selalu berlari demi menghindari bertemu dengan aku. Dan aku selalu tertawa sekeras kerasnya setiap kali aku menjumpai adegan itu. Dalam sehari aku bisa tertawa lebih dari sepuluh kali untuk alasan yang sama. Apalagi kalau bukan melihat Yun lari ketakutan. Aku tahu hal ini semakin memperkuat pandangan keluarga Om Irawan terhadap kegilaanku. Tapi mau bagaimana lagi. Karena menurutku hal itu memang sangat lucu.
Om Irawan dikaruniai dua keturunan, laki laki dan perempuan. Yang perempuan ya si Yun itu. Anak nomor satu Om Irawan tidak ada disini, dia masih disibukkan oleh tugas tugas yang super padat di TNI AD. Namanya Ari, dia sepantaran dengan aku. Selama aku tinggal disini, Ari lima kali berkomunikasi dengan aku via telepon. Sebuah komunikasi yang tidak seperti biasanya dulu. Aku lebih banyak pasif mendengarkan celotehnya. Keaktifanku hanya pada saat aku ingin tertawa sekeras kerasnya. Alasanku tertawa sebenarnya sangatlah sederhana, Ari sudah banyak berubah. Entah, mungkin karena sekarang dia sudah menjadi seorang perwira. Untuk berbicara dengan sepupu terdekatnya saja dia harus banyak banyak memberi nasehat. Lebih tepatnya bukan memberi nasehat, tapi menggurui. Itulah alasan kenapa aku tertawa sekeras kerasnya. Dan dapat ditebak, Ari saudara terdekatku sedari kecil itu bisa dipastikan akan memiliki cara pandang yang sama terhadapku. Maksudku, sama seperti lainnya. Semakin yakin bahwa aku benar benar gila. Padahal aku hanya ingin tertawa. Hematku, aku akan menjadi benar benar gila manakala ada sesuatu yang begitu lucu tapi aku menahan diri untuk tidak tertawa.
Terhadap Yun sepupuku, Ari dan Tante Neni aku tidak pernah merasa jengkel atas semua yang mereka tunjukkan. Wajar, begitu menurutku. Sekarang siapa sih yang bisa berkomunikasi secara lepas dan tanpa beban terhadap orang yang pernah tinggal dua ratus hari lamanya di Rumah sakit Jiwa? Beruntung mereka masih mau memboyongku ke rumah yang menyejukkan ini. Bagiku, membawa orang yang dianggap gila untuk masuk ke dalam sebuah keluarga, itu adalah sebuah bukti rasa sayang yang begitu mahal dari orang yang berembel embel saudara. Lebih mudah membawa kembali seorang mantan narapidana daripada seseorang yang dinyatakan mengidap penyakit jiwa.
Itu alasan kedua yang membuat aku bisa bertahan. Tentang sebuah uluran kasih sayang. Sampai saat ini aku juga berhasil bertahan dari ocehan orang orang sekitar rumah Om Irawan yang nyata nyata dulunya adalah orang yang kukenal juga. Sampai detik ini pun aku masih mengenal mereka dengan baik. Hanya saja tak satu pun dari mereka yang bisa mengenaliku lagi, setidaknya sebaik aku mengenal mereka.
Selain juga aku mempunyai alasan yang lain, alasan pertama dan yang paling utama. Tidak lain adalah karena bekas rumah tempat aku tinggali dulu tidaklah jauh dari sini, hanya berjarak empat blok. Jadi kapan saja aku merindukan untuk menatap kenangan kenangan yang ada di rumah itu, aku tinggal melangkahkan kaki. Blok R nomor satu, itulah rumahku dulu. Entah siapa yang menjadi penghuni rumah itu sekarang, aku tidak tahu dan memang tidak ingin tahu.
Ada sesuatu yang pelan tapi pasti merubah keadaan. Seperti sebuah dimensi yang aku sendiri tak bisa memahami dimensi apakah itu. Setiap kali aku melangkah keluar melewati pos satpam keluarga Irawan, setiap kali itu juga Pak Tik dan Agus, dua satpam Om Irawan, memandangku penuh tanya. Tidak jarang kedua pasang mata yang penuh tanya itu meneruskan lewat kata kata.
“Mas Yopi mau kemana?”
Aku hanya tersenyum. Seperti biasanya mereka membukakan pintu gerbang dengan sekali pencet karena mereka tahu aku pasti kembali. Ada semacam kepercayaan antara aku dan keduanya. Sama sama tidak mempersulit. Caraku tidak mempersulit pekerjaan mereka adalah selalu kembali ke rumah Om Irawan.
Hari ini aku ingin melihat bekas rumahku yang sudah ditinggali oleh pemilik baru. Seperti yang sudah sedikit aku ceritakan, aku harus melewati empat blok terlebih dahulu untuk bisa memandang bekas tempat tinggalku, tempat dimana ada jutaan kenangan tertinggal disana. Untuk melewati empat blok bukanlah sesuatu yang menyenangkan karena mau tidak mau aku juga harus rela menerima puluhan ocehan yang tak tentu arah. Apalagi kalau bukan ocehan mantan para tetanggaku yang sibuk mempergunjingkan aku.
“Kasihan ya mas Yopi, masih muda sudah gila”
Kalimat itu yang paling populer ditelingaku.
Ada lagi. Kalau aku harus melewati segerombolan bocah bocah yang sedang bermain. Begitu melihat aku di ujung blok, bocah bocah ini langsung lari ketakutan. Bahkan ada yang berlari sambil menjerit histeris.
“Maaaa…Paaaa, ada Om Yopiiiiii….”
Seperti itulah biasanya. Dan memang selalu begitu. Hingga akhirnya ada beberapa wakil dari warga yang bloknya sering aku lewati berkunjung ke kediaman Om Irawan. Mereka menyampaikan pada Om Irawan tentang kelakuanku yang katanya menciptakan keresahan warga. Ujung ujungnya keluarga Om Irawan juga yang kena getahnya. Beruntung aku tidak Om Irawan kirim kembali ke rumah sakit jiwa. Dengan segala cara Om Irawan berusaha menenangkan warga dan mengatakan bahwa aku tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan warga. Itulah Om Irawan. Dan tentu saja sebagai manusia yang waras tapi dianggap gila, aku membalas kebaikan yang Om Irawan ulurkan dengan tidak berbuat sesuatu yang meresahkan.
Tapi untuk masalah tertawa, aku sendiri tidak bisa mencegahnya. Bagaimana aku tidak tertawa, setiap waktu selalu ada saja yang memaksa aku untuk tertawa. Entah itu ocehan gerombolan bocah dibelakangku yang membunyikan yel yel secara kompak.
“Gila..gila..gila”
Begitu seterusnya. Bukankah itu lucu dan layak untuk ditertawakan?. Maka tertawalah aku sekeras kerasnya. Jika karena tertawaku dianggap terlalu keras dan dinyatakan polusi suara oleh ibu ibu, akupun kembali tertawa. Apalagi jika ada satu dari mereka yang nyelutuk sangat pedas sekali, aku akan tertawa lebih keras karena menurutku hal hal demikian adalah sesuatu yang sangat lucu sekali. Aku terus tertawa sambil membelah blok demi blok. Hingga akhirnya sampai juga aku persis di depan rumah yang lekuk lekuknya masih sangat aku kenali itu. Seperti biasanya, gerombolan bocah bocah segera menjauh manakala langkahku sudah mendekati rumah blok R nomor satu. Sebuah rumah di perumahan kelas elit namun sayangnya ramai, tidak seperti perumahan elit pada umumnya. Bocah bocah itu sudah hafal, manakala aku sudah berdiri disini, aku akan memandang rumah itu sangat lama sekali, kadang aku bisa bertahan seharian disana. Tak ada yang aku kerjakan selain tertawa dan terus tertawa, untuk kemudian diam. Setelah itu kembali melangkahkan kaki ke rumah Om Irawan. Sebuah ritual yang mudah dihafal oleh orang sekitar perumahan.
Ada yang lain kali ini, manakala aku menatap sebuah rumah yang tidak saja menyimpan cerita perjalanan hidup kedua orang tuaku, tapi juga kenangan terlucu sedunia yang pernah digoreskan dengan amat manis oleh seorang Tita. Teras depan rumah itu tampak jelas dari sini, karena pagarnya sudah tidak lagi berdiri megah alias sudah rata dengan tanah. Bukan hanya pagar rumah itu yang rata dengan tanah, hatiku juga ambruk melihatnya.
Aku masih ingat ketika kapan hari Pak Tik bercerita tentang sepenggal hidupku dikala masih bocah dulu. Katanya, aku senang bergelayut dari satu pipa pagar ke pipa pagar yang lain. Kadang aku terjatuh. Bisa dipastikan, seisi rumah akan kalang kabut hanya gara gara aku terjatuh. Padahal aku baik baik saja. Kadang juga aku hanya berpura pura sakit. Bahkan kata Pak Tik, aku pernah pura pura habis terjatuh padahal tidak. Begitupun, aku masih saja dirawat. Sesekali juga dipanggilkan seorang dokter. Akhirnya seisi rumah mengetahui kalau aku hanya berpura pura. Efeknya selain malu adalah harus mau menjalankan hukuman. Pelajaran yang mengajarkan bahwa pura pura jatuh dari pagar rumah itu tidak menyenngkan. Barangkali itulah yang membuat aku tidak senang berpura pura.
Seperti saat ini dikala aku sering menertawakan banyak hal. Aku tidak berpura pura. Aku tertawa karena memang ada begitu banyak hal yang menggelikan dan itu secara naluriah menuntunku untuk tertawa. Apakah hanya karena aku mencoba jujur terhadap realita yang ada maka aku dianggap gila? Padahal untuk menjadi gila seharusnya seseorang butuh banyak hal yang imajinatif dan di luar nalar. Aku tidak seperti itu. Setengah gila pun aku tidak.
Sebelum sempat aku meneruskan lebih lanjut pergolakan batin yang semakin seru ini, aku dikagetkan oleh bunyi klakson. Ternyata ada sebuah truk pengangkut bahan material bangunan yang akan melintas tepat di tempat aku berdiri. Aku menggeser posisiku sekitar lima meter ke kiri, mendekati tempat yang tadinya adalah lokasi pintu gerbang utama menuju rumah. Disamping tempat aku berdiri, seharusnya ada pos penjaga. Tak nampak lagi kini. Yang ada tinggallah reruntuhan batu bata dan retakan retakan batu lepoknya. Setelah truk itu lewat, aku tidak kembali pada posisi awal, tapi tetap ditempat dekat reruntuhan pos jaga. Sementara di dalam rumah ada sekitar dua puluhan pekerja kuli bangunan plus beberapa pengawas, sibuk dengan aktivitasnya masing masing. Jumlah pekerja yang terlalu banyak untuk ukuran renovasi rumah tinggal. Jelas ini bukan renovasi yang setengah setengah.
Sekarang aku berdiri tepat diatas reruntuhan pos jaga. Diantara sekian banyak orang yang berlalu lalang di depan mataku, mereka tidak akan percaya jika aku ceritakan sebuah kisah sederhana. Bahwa aku adalah pemilik pertama rumah ini. Kalaupun aku menceritakannya sambil meraung raung, tetap saja mereka tidak akan percaya. Itu malah akan memberi celah pada semua orang untuk lebih memantabkan predikatku sebagai si gila. Dan kalaupun aku lebih meraung lagi menceritakannya, aku yakin mereka akan terganggu. Padahal anak istri mereka menunggu hasil jerih payah mereka membanting tulang. Dan satu satunya pilihan terbijaksana adalah diam. Dan akupun diam, tidak bicara, dan yang lebih tidak seperti biasanya adalah tidak tertawa. Apa lagi yang bisa aku tertawakan? Satu satunya alasanku bisa bertahan di rumah Om Irawan tanpa bekerja, makan tinggal makan, adalah rumah ini. Karena rumah inilah aku bisa bertahan dari cemoohan banyak orang. Apalagi yang mencemoohku adalah orang orang yang aku kenal. Bayangkan sendiri bagaimana sakitnya jika setiap langkah kita di ilustrasi oleh suara suara yang bukan musik tapi sebuah ejekan, makian, umpatan, gunjingan, dan semuanya memekakkan telinga.
Bolehlah aku mengalami masa kehilangan yang sebegitunya saat kedua orang tuaku meninggal dengan cara yang tragis. Bolehlah aku kehilangan seseorang yang aku cintai dengan kehilangan yang menyayat kalbu, bolehlah aku kehilangan harta dan rumah ini, tapi setidaknya aku masih bisa melihat rumah bekas tempat tinggalku ini, dari jarak dekat. Setidaknya aku masih bisa numpang bernostalgia dengan kenangan kenanganku. Dengan mengecup kenangan aku jadi punya harapan. Dan dengan adanya harapan aku jadi tangguh bertahan hidup. Tak perduli nantinya aku di cap post power sindrom atau sindrom sindrom yang lain, atau apalah namanya aku tak perduli. Yang penting aku bisa bahagia dan sanggup bertahan dari segalanya. Kalau seperti ini bagaimana? Aku jadi tidak memiliki alasan untuk tinggal lebih lama lagi disini.
Hari sudah sore menjelang petang. Para pekerja bangunan satu persatu mulai beranjak pulang dan aku masih bertahan duduk ngelesot di atas reruntuhan puing puing yang tadinya pos penjaga. Kalau tidak teringat Pak Tik dan Agus, satpam satpam yang murah senyum dirumahnya Om Irawan, mungkin aku bisa lebih lama lagi disini. Kasihan mereka jika aku duduk lebih lama lagi. Waktu mereka untuk pulang akan sedikit molor. Akupun bergegas melangkahkan kaki ke arah tempat tinggal Om Irawan, diam tanpa suara tawa karena memang tidak ada yang layak ditertawakan. Sesampainya di rumah Om Irawan, aku langsung ngeloyor masuk. Tidak kulihat Pak Tik dan si Agus di pos depan, padahal pintu gerbang terbuka sedikit. Ternyata mereka lagi antri mandi di Kamar mandi belakang. Pantas jika pintu gerbangnya terbuka sedikit, mereka takut saat aku kembali mereka sedang mandi, jadi pintu sengaja dibiarkan terbuka sedikit. Ah, orang orang yang baik, batinku.
*******
Kamar yang aku tinggali ini ukurannya sangat luas jika harus dihuni sendiri. Tadinya sebelum aku tinggal disini, ruangan ini adalah kamar tamu. Setelah aku tinggali, ruangan ini lebih diperbaiki lagi biar lebih nyaman. Sebuah keluarga yang baik.
Bila dilihat fasilatas yang ada di kamar yang aku tinggali ini, Om Irawan dan Tante Neni begitu mencurahkan perhatiannya pada keberadaanku. Makan selalu siap kapanpun aku lapar. Rokok selalu ada, bahkan belum habis sudah ada sebungkus lagi. Untuk alat alat elektronik saja bisa dikatakan sangat lengkap. Sayangnya, benar benar sangat disayangkan, Tante Neni takut dekat dekat denganku. Menatap wajahku saja aku rasa Tante Neni tidak berani. Sama seperti Yun, sepupuku yang anak bungsu Tante Neni, sama sama merasa terancam bila harus dekat dengan aku. Padahal jauh di lubuk hati, aku tahu bahwa aku pernah sangat dekat dengan Yun, adek sepupuku itu.
Aku sibuk mencari, mengingat dan memikirkan masa indahku bersama keluarga Om Irawan yang kini semakin hari semakin jauh dari janngkauanku. Aku yakin Om Irawan malu atas klaim yang orang orang berikan pada kelakuan dari putra Almarhum kakak kandungnya, yang tak pernah berhenti tertawa. Sedangkan Tante Neni dan Yun, mereka tidak hanya malu tapi juga takut dan merasa terancam hidup seatap dengan aku. Ya aku tahu betul itu. Untuk Ari, aku nggak tahu bagaimana karena aku belum pernah bertatap muka secara langsung selama aku tinggal dirumahnya. Tapi menangkap kesan suaranya di telepon, aku tahu ada banyak hal yang berubah pada Ari. Dia lebih pada seorang Ari yang Perwira AD daripada seorang Ari yang sepupu terdekatku. Ah entahlah.. Sekuat tenaga aku mengerahkan daya ingatku hanya untuk bernostalgia dengan masa masa manis bersama keluarga Om Irawan yang memang menjadi satu satunya keluarga terdekat yang ada. Sayangnya, aku selalu tidak berhasil memutar ulang rekaman rekaman kenangan itu. Entahlah, barangkali aku terlalu pelupa.
Kalau saudara dari pihak Mama hanya ada seorang, namanya Tante Wenny. Sayang Tante Wenny juga turut meninggal dunia dalam tragedi kecelakaan pesawat karena Tante juga turut menemani perjalanan Papa dan Mama. Praktis tinggal keluarga Om Irawan keluarga terdekat yang aku punya. Aku berusaha keras mengingat dan terus menelusuri masa masa indah itu, sampai pada akhirnya akupun tertidur. Di dalam tidur aku bermimpi sedang bertamasya bersama Tante Neni, Yun, Ari dan Om Irawan.
Saat aku terbangun, hari masih agak gelap karena mentari belum benar benar membagikan sinarnya.
“Tumben mas Yopi sudah bangun”
Sebuah suara menyambutku saat aku baru saja membuka pintu kamar. Tentu saja aku terperanjat kaget karena memang tidak biasanya aku bangun pagi. Apalagi mendapat sapaan normal yang tidak dibuat buat. Ah ternyata Kang Iben, tukang kebun keluarga Om Irawan. Aku membalasnya dengan senyum.
“Ini mas Yopi, saya baru saja bikin secangkir kopi, barangkali mas Yopi mau secangkir berdua dengan saya. Atau saya buatkan saja ya?”
Cerocos Kang Iben. Aku tidak menggubris ucapannya tapi melangkah mendekat. Ku ulurkan tangan untuk menggapai cangkir yang berisi kopi buatan Kang Iben itu, kudekatkan ke bibir yang belum lagi gosok gigi ini, dan srut srut srut.., aku menerima tawaran Kang Iben dengan langsung menyeruputnya. Seperti biasanya, tanpa berkata kata. Setelah itu aku masuk ke kamar sebentar dan kembali keluar sembari menenteng dua pak rokok. Satu sudah terbuka dan satu lagi yang belum terbuka aku sodorkan pada Kang Iben, satu satunya orang yang mau berbagi kopi denganku tanpa rasa takut.
“Waaahh, makasih banyak lho mas Yopi, kebetulan, saya sebenarnya mulai tadi nunggu toko depan buka, pengen cepet cepet ngerokok, hehe..”
Kang Iben tertawa sambil tangannya membuka bungkus rokok.
“Ini buat saya semua nih?”
Kang Iben kembali bertanya padaku. Aku hanya tertawa nyengir menatapnya. Kang Iben juga ikut tertawa renyah. Pada akhirnya dia juga ikut menyeruput kopi buatannya sendiri yang tadi sudah aku seruput. Lalu meneruskan ocehan paginya.
“Mas Yopi mas Yopi.., gara gara sampean tidak pernah ngomong sama orang, dieeeeemmmm saja, sampean itu disangka yang nggak nggak lho sama orang orang. Ada yang nyangka gini lah gitu lah, wuih macem macem pokoknya. Kalau saya tidak tahu siapa dan apa kebiasaan sampean sejak dulu mas, pasti saya begitu saja percaya sama ocehan orang”
Aku kembali nyengir sambil mata tetap fokus menatap gurat wajah Kang Iben. Lalu Kang Iben kembali bicara.
“Padahal kalau saya sendiri ya santai dengan omongan omongan itu alias tidak percaya. Soalnya saya tahu gimana mas Yopi. Saya gini gini ini sudah lima belas tahun lho, kerja ikut juragan Irawan. Nah karena sama pak Irawan saya sering diajak ke rumahnya mas Yopi karena disana nggak ada pegawai yang khusus mengurusi kebun, jadinya saya sedikit banyak ngerti sama mas Yopi, gitu lho mas”.
Terus saja aku mendengarkan ocehan Kang Iben sambil sesekali aku menyeruput kopi yang sudah mulai menghangat tidak sepanas pas pertama kali nyeruput tadi. Kang Iben melanjutkan ucapannya.
“Biasanya kalau mas Yopi diam seribu bahasa itu tandanya mas Yopi lagi menginginkan sesuatu, hehe.. Betul kan mas, hehe..”
Kang Iben tertawa terkekeh kekeh sambil kembali melanjutkan kisahnya tentang diriku. Kali ini tentang saat aku masih duduk di bangku kelas satu SMA. Awal Kang Iben ikut Om Irawan ke sini bersama istrinya yang kemudian juga ikut bekerja sebagai juru masak di rumah ini.
“Saat itu mas Yopi ngambek berhari hari tidak bicara sama siapa saja termasuk ndoro putri mamanya mas Yopi sendiri. Waduh saya masih ingat itu mas, itu awal saya kerja ikut keluarga juragan Irawan ini dan pertama kalinya disuruh bantu bantu ngurusi kebun di rumahnya sampean. Semuanya pada bingung, pada mikir, kenapa ya mas Yopi ngambek nggak mau bicara? Pingin dibelikan apa ya mas Yopi? Beneran mas, ndoro Papanya sampean sampai pikirannya larinya kesana. Mau dibelikan mobil, nanti salah modelnya, takut ngambeknya mas Yopi tambah parah. Setelah semuanya hampir putus asa lantaran nggak ngerti kenapa sampean ngambek, eh baru terakhir-terakhirnya itu mas Ari nongol, cerita kalau sampean lagi patah hati, hahaha…”
Kali ini Kang Iben tidak terkekeh sendirian, tetapi berdua dengan aku. Yah, aku benar benar tertawa demi mendengarnya. Semacam ada sesuatu yang baru saja menyiram keterasingan jiwa yang telah lama tandus. Tawaku terhenti manakala dari jauh aku lihat Tante Neni mengernyitkan dahi menatap kami berdua. Barangkali Tante menganggap aku sudah sedikit membaik atau sebaliknya, menganggap Kang Iben ketularan gila. Gara gara khayalanku sendiri itu aku kembali tertawa lepas dan lebih keras dari sebelumnya.
Kehangatan pagi itu diakhiri dengan Kang Iben yang mohon diri untuk melaksanakan tugasnya, apalagi kalau bukan mengurusi taman. Aku mengantarkan kepergiannya dengan tetap terkekeh kekeh. Setelahnya, aku kembali kedalam kamar, merebahkan diri sambil berpikir akan kata demi kata yang diucapkan oleh kang Iben.
Benar juga Kang Iben. Kenapa aku menjadi malas bicara? Oh tidak tidak. Aku bukannya malas bicara, tapi memang tidak pernah bicara sekalipun dan dengan siapapun, setelah kejadian itu. Kenapa ya?
Aku memikirkannya seharian. Keluar hanya sekali, memberikan jatah rokokku pada pak Tik dan Agus, seperti biasanya, lalu kembali ke dalam kamar. Tenggelam dalam kecamuk pikiranku sendiri hanya untuk memikirkan semua ucapan kang Iben.
“Apakah aku menginginkan sesuatu?”
“Ah tidak mungkin aku menginginkan sesuatu. Aku tidak menginginkan apa apa. Tapi kenapa aku menjadi malas bicara dengan semua orang? Apakah aku sudah tidak bisa bicara lagi?”
Aku berpikir dan terus berpikir, mencoba menebak nebak akan segalanya. Dan sedikit banyak aku menemukan beberapa hal baru, sepele, tapi baru aku sadari sekarang. Aku tidak pernah bicara, itu masalahnya. Itu juga yang membuat aku sempat dirawat di RSJ. Hanya karena aku malas bicara.
Setelah itu pikiranku terbang lagi. Teringat akan kata kata Kang Iben.
“Biasanya kalau mas Yopi diam seribu bahasa itu tandanya mas Yopi lagi menginginkan sesuatu, hehe.. Betul kan mas, hehe..”
Benarkah aku menginginkan sesuatu?
Pada akhirnya aku memikirkan kembali semuanya. Tentang kenapa aku sering tertawa tapi malas berkomunikasi dengan siapa saja, tentang kata kata kang Iben, tentang Tante Neni, Tentang Yun, tentang Om, tentang Ari, tentang Pak Tik dan Agus, tentang nasib rumah yang ada di blok R nomor satu, bahkan tentang Tita juga tak luput aku pikirkan. Sayangnya aku tidak menemukan jawaban. Nihil.
Kulayangkan pandangan ke seluruh kamar. Aku tidak punya ikatan apapun dengan kamar ini, juga dengan seluruh barang yang memenuhi ruang yang sekarang aku tinggali. Kenapa aku disini? Bagaimana jika keluarga Om Irawan tak ada ikatan persaudaraan dengan aku, apakah aku akan disini? Tak ada lagi blok R nomor satu. Tak ada lagi tempat yang akan aku tuju di perumahan ini meski hanya untuk sekedar jalan jalan. Bukankah itu sama saja dengan tak ada alasa untuk tinggal lebih lama di kediaman Om? Apa yang harus aku lakukan? Aku semakin konsentrasi untuk mencari jawaban yang paling masuk akal dan menyenangkan. Kutemukan juga akhirnya.
Kesimpulanku, tak ada lagi yang bisa menahanku untuk tinggal disini. Aku harus segera melangkahkan kaki. Kemana? Entahlah aku sendiri tidak tahu. Sudah lama aku tinggal di keluarga ini. Kasihan mereka, sekian lama menahan diri untuk mencoba tidak menggubris pandangan orang orang sekitar tentang aku. Kalau lebih lama lagi aku tinggal disini, itu berarti aku memperlama perasaan ketidaknyamanan keluarga Om Irawan, terutama pada Tante Neni dan si cantik Yun.
Aku tinggal disini karena ada uluran tangan yang begitu manis, juga karena ada blok R nomor satu. Bagaimana aku harus mengakhiri ini. Apakah aku langsung saja melangkahkan kaki dan tak kembali? Ah, itu baru gila namanya. Aku juga harus mengakhirinya dengan sesuatu yang manis. Setidaknya suatu saat mereka akan mengerti bahwa aku tidak gila.
Aku memikirkan itu, terus menerus. Aku tidak sadar kalau lama sekali aku memikirkannya. Tiga hari aku tidak keluar kamar hanya untuk memikirkannya. Selain memang sudah tidak ada lagi alasan kenapa aku harus keluar. Tak ada lagi blok R nomor satu. Tentu saja seisi rumah heran melihatku berubah drastis. Aku tak lagi memproduksi polusi suara yang biasa memecah keheningan. Ya, tiga hari ini sudah aku tidak tertawa. Sama sekali tidak tertawa. Aku terlalu sibuk untuk berpikir dan terus berpikir. Anehnya, oleh Tante Neni aku disangka sakit. Dan bisa ditebak, seperti biasanya dulu sewaktu aku masih dianggap wajar wajar saja, seorang dokter didatangkan hanya untuk memeriksa detak ketidak biasaanku ini. Kali ini aku tidak tertawa karena memang tidak ada yang lucu. Tante sendiri heran kenapa aku bisa berlaku semanis ini. Tidak seperti biasanya.
Oleh dokter aku dinyatakan kecapekan dan hanya butuh istirahat. Setelah dokter pergi, Tante kembali ke kamar yang aku tinggali tapi hanya sampai ujung pintu saja. Itupun karena ada Pak Tik, Agus dan Kang Iben di pos jaga. Tante menatapku, lalu membalikkan badan dan melangkahkan kaki menjauh dari kamarku. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan. Entahlah..
Kala sudah tidak ada siapa siapa lagi, saat hanya terdengar suara orang orang di pos jaga, aku kembali memikirkannya. Berpikir tentang bagaimana aku seharusnya, apa yang harus aku lakukan sebelum melangkahkan kaki menjauh dari sini, rumah keluarga Om Irawan. Bagaimana biar aku bisa meninggalkan kesan dengan manis. Satu satunya jalan aku harus bicara. Dengan bicara aku akan berkata kata. Dengan begitu mereka akan tahu maksudku. Tapi aku sendiri sudah mulai tidak yakin apakah aku masih bisa bicara atau tidak. Aku terus memikirkannya sampai aku terlelap. Entah, mungkin karena obat dokter yang sudah aku telan tadi.
Setelahnya, kerjaku hanya tidur, bangun, makan, merokok, minum kopi, dan sesekali ke kamar kecil. Praktis semuanya aku lakukan tanpa harus keluar kamar. Dan itu lumayan lama, terhitung dua minggu sejak aku diperiksa dokter yang didatangkan oleh Tante Neni. Kadang aku melihat Kang Iben beberapa kali melintas di depan kamar. Nggak tahu, barangkali dia merasa bersalah karena menjadi orang terakhir yang berceloteh denganku. Tapi apanya yang salah? Aku kira semua baik baik saja. Aku hanya terlalu mengerahkan seluruh energiku untuk berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari rumah ini baik baik, setidaknya tidak meninggalkan kenangan yang memuakkan. Tidak ada yang bersalah atas semua yang aku lakukan akhir akhir ini. Tidak juga Kang Iben. Beliau hanyalah orang baik yang kebetulan menjadi teman aku berkomunikasi, dan kebetulan nyambung meskipun tak sepatah kata keluar dari bibirku. Tetap saja aku merasa nyambung ngobrol dengan Kang Iben di pagi yang menyenangkan kapan hari.
( Bersambung..)
Mohon Maaf untuk kerapatan spasi, belum di edit.
bila ada kesamaan nama dan tempat itu hanya kebetulan saja...
BalasHapushehehehe...
kwereen. klo bisa pengantarnya lebih panjang lagi... dan sesi kedua di percepat terbitnya...
makasih bwat bacaannya y bro.
Mas Ronny Lethoy (aku terlaknat),makasih ya..
BalasHapussiiip broww
BalasHapuskeren, sip, jempol 100 wis...
BalasHapus@ Gatot : Keso'on..sekalian..Selamat ulang tahun Tot..Semoga selamanya berdansa dengan alam raya..
BalasHapus@ Kang Alka : Maturnuwon..
ssip..
BalasHapusbuat para pembaca penasaran..
dan terus mengikuti ceritanya...
Makasih Mbak Hanna,,tengkyu supportnya..
BalasHapusmembaca ini, sembari aku mendengarkan lagunya TEMAN, serasa ada didunia ketiga...
BalasHapus@ Ntit : Wah..Ini Ntit apa Tita Rizki Ananda? Haha..Thx dah mampir di tamasyakata..
BalasHapus