Jumat

Jangan Panik Aku Tidak Gila #16

Malam datang bertabur bintang setelah sore sebelumnya memaksa aku dan nona meringkuk di teras luar rumah demi menghindari hujan. Seperti malam sebelumnya sekarang ini pun sama, aku memilih untuk mendekat di perapian sambil pisau kecil aku tancapkan di tanah. Nona tahu, dan dia memilih untuk tinggal di kolong rumah. Baru kali ini aku ingin menikmati bintang tanpa ada nona di sampingku. Biarlah, toh tadi sore saat hujan mengguyur aku sudah mendekapnya di teras depan rumah, sementara perempuan itu ada di dalam rumah.

Sesekali dia membuka jendela dan mencoba memberi isyarat biar aku masuk. Bahkan perempuan bercelana pendek dan berkaoskan milikku sampai menarik bahuku demi melihat hujan deras datang disertai angin kencang. Belum lagi petir yang datang bersahutan. Kadang aku melihat petir itu sangat dekat, hanya di puncak bukit atas rumah. Tapi aku diam tak berkutik sambil kedua tangan tetap memeluk nona. Lebih baik terciprat tetesan air hujan daripada harus menatap perempuan itu yang segala galanya menggoda. Kalau saja aku tak teringat Yun keponakanku tersayang putri bungsu Om Irawan dan Tante Neni, bisa jadi sedari saat hujan datang itu aku sudah mencengkeram dan melumatnya sampai habis. Toh badai dan angin tak akan menolongnya. Beruntunglah aku masih bisa menahan diri. Semua hanya gara gara perempuan bertengkuk menawan itu seumuran dengan Yun. Melukainya sama saja seperti melukai Yun dari jarak jauh. Ah, rindu aku dengan Yun. Bagaimana ya kabar dia?

Aku reflek membalikkan badan kala telinga ini mendengar langkah langkah kaki mendekati perapian. Ternyata perempuan yang sepantaran dengan Yun. Sarung milik Haji Abbas dia gunakan untuk menutupi badan. Aneh, padahal udara tidak begitu dingin. Dia ikut duduk di dekatku sambil tangannya menyodorkan satu sarung lagi. Yang ini pemberian kakek Sura’i berbarengan saat beliau memberiku songkok warna hitam. Aku menerimanya meskipun tidak aku gunakan untuk membungkus tubuh seperti yang dia lakukan. Hanya aku kalungkan di leher menutupi bandana yang selalu melingkar. Lama dia dia hanya duduk duduk saja sambil memandang perapian. Sesekali ekor matanya memandang ke arah pisau kecil yang aku tancapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Aku hanya tersenyum padanya saat sesekali saling pandang. Tiba tiba badannya dia hadapkan ke aku, sama persis seperti dua orang yang sedang bermain catur. Bukan itu saja, kali ini tangan kanannya menepuk nepuk bahu kiriku, memaksaku untuk memperhatikan apa yang akan dia perbuat. Tentu saja hanya dalam hitungan detik tatapan dan perhatianku sudah tercurah padanya. Mula mula dia seperti sedang akan memimpin orkestra dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dadanya yang masih tampak membukit meski di keremangan. Tak lama setelah itu jari jarinya bergerak membentuk pola pola tertentu. Aku hanya diam, terperangah melihat tingkahnya. Dia mengulanginya lagi dalam gerakan jari yang sama. Melihat aku hanya diam dan tak bereaksi, dia seperti agak putus asa. Begitupun, dia mengulangi lagi gerakan itu untuk yang ketiga kalinya. Dan aku masih terperangah tak bereaksi. Pada akhirnya dia bangkit, matanya sembab, dan berlari ke rumah dengan terisak. Aku tidak mengikutinya. Aku lebih memilih untuk tetap di dekat perapian sambil merebahkan diri menatap bintang yang bertaburan. Terasa sangat dekat bintang bintang itu.

Perlahan tangan kiri ini kulayangkan ke atas dengan telapak tangan menghadap ke atas seperti ingin menahan langit yang akan runtuh. Dari sela sela jari dapat kulihat dengan jelas beberapa bintang gemerlap. Sangat indah. Ternyata bintang memang tidaklah jauh. Buktinya sekarang kerlap kerlipnya ada di sela sela jari tanganku. Sambil menatap bintang diantara celah jari, aku mulai menggerak gerakkannya. Aku mengawalinya dengan simbol simbol yang sama persis digerakkan oleh jemari tangan perempuan berambut pendek dan bertengkuk aduhai. Sangat sempurna aku mengulang ulang gerakan itu. Tidak itu saja, kali ini aku mulai dengan simbol simbol yang lain tanganku terus menarikan jemari. Sesekali aku istirahat hanya untuk menambah kayu di satu satunya perapian yang sudah bertahan sebelas hari. Kalau saja tak ingat bahwa aku belum menggores tanda hari di dinding, mungkin aku tak akan beranjak ke tiang rumah. Masih kudengar suara isak perempuan yang usianya masihlah teramat muda. Tapi aku tak berusaha untuk menghiburnya. Malam ini yang dia butuhkan adalah istirahat. Kemudian aku ke perapian lagi, merebah dan kembali hanyut dengan jari jari tangan yang membentuk simbol. Saat ayam mulai berkokok aku baru berangkat ke dunia lelap.
Rintik gerimis dan gonggongan nona saling bekerja sama untuk membangunkan aku dari mimpi. Ya, kali ini aku bermimpi. Sangat panjang. Padahal yang aku impikan hanya menggerak gerakkan kedua tanganku sehingga membentuk aneka macam gerakan. Kadang hanya jari jari ini yang bergerak, kadang jari telunjuk membentuk semacam lingkaran di udara yang kosong, dan masih banyak lagi. Aku terbangun tapi tidak beranjak kemana mana. Kubiarkan saja gerimis yang berubah menjadi rintik hujan. Ada kulihat perempuan itu yang menatapku tajam dari garis pintu, berhimpit dengan nona di sebelahnya. Tapi aku tetap saja tak beranjak. Bahkan saat rintik kecil berubah jadi hujan lebat. Tidak itu saja, perapian yang tinggal satu satunya dan harus aku pertahankan, kubiarkan saja tertusuk oleh jutaan anak panah yang diluncurkan oleh langit. Tak sedikitpun kaki ini kulangkahkan untuk segera mencari rerumpunan yang bisa aku gunakan untuk menutupi bara api. Biarlah perapian ini padam, aku tak perduli. Lebih penting bagiku untuk mengobarkan jilatan jilatan api yang hidup dalam hati sekarang ini. Jilatan ini kutiup dan kukipas kipas dengan daya ingatku. Sampai kemudian aku beranjak dalam keadaan basah kuyup di sekujur tubuh. Air yang mengalir ke wajahku seakan akan memaksa aku untuk mencuci muka tanpa harus pergi ke sendang. Biarlah aku basah, asal perapian dalam hati ini tetap menyala. Petir mulai menyambar apa saja di bukit ini yang dia anggap sombong dan seperti ingin menyaingi tingginya langit. Angin berhembus kencang dari puncak bukit seakan hanya ingin menerpa tubuhku. Tak kudengar lagi gonggongan nona, yang kutahu hanya tangan yang melambai tak henti dari si tengkuk aduhai. Tapi aku tetap tak bergeming. Masih ditempatku berdiri dan masih berusaha mengobarkan perapian yang kutempatkan jauh di lubuk hati. Sekuat tenaga aku mencoba mencari tahu arti di balik jemari perempuan berbetis mulus semalam dikala bintang masih bertaburan. Dan berhasil. Itu yang membuatku meloncat loncat memutari perapian yang telah terbunuh hujan. Perempuan muda berbibir sensual yang ada di garis pintu masih saja melambaikan tangan saat aku berlari ke arahnya. Semburat garis garis di wajahnya menandakan dia seperti kebingungan antara menutup pintu atau tetap di tempat saat aku semakin mendekat. Tapi dia memilih untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wajah yang pias.

Kurang dari dua meter dari tepian teras rumah, baru aku menghentikan langkah. Napasku tersengal karena terlalu lama meloncat loncat. Walau begitu aku tak perduli, tak kubiarkan tubuh ini istirahat hanya untuk mengatur napas. Masih dengan bahu dan dada yang mengguncang, aku ambil posisi seperti dirijen, dan tanganku mulai menari di bawah butiran air hujan. Angin masih berhembus kencang saat kuturunkan kedua tanganku. Yang kulakukan kemudian adalah diam di tempat dengan pandangan menghunjam ke arah sorot mata perempuan di samping nona. Aku menanti tangannya menari diantara udara kosong. aku ingin melihat lagi tangan tangan yang semalam bergerak indah di bawah bintang bintang. Tapi bukan itu yang dia pilih. Dia lebih memilih untuk beranjak dari garis pintu meninggalkan nona yang kini bermata sayu. Ya, itu yang dia lakukan sebelum akhirnya kedua telapak kakinya membuat sebuah tumpuan di bibir teras, lalu meloncat ke arahku seperti terbangnya merpati. Sementara aku menyambutnya dengan kedua tangan yang melebar hingga akhirnya aku dan perempuan itu berdekapan. Dalam rintik hujan yang membasahi wajahnya, dapat kulihat dengan jelas air yang lain di bawah kedua matanya. Jelas itu bukan air hujan. Aku dan dia masih berpelukan sementara petir sesekali menyambar puncak bukit di atas rumah ini.
Dua orang berlawanan jenis, saling tak bisa berkata kata, saling berpelukan erat di tengah hutan tanpa ada orang lain selain seekor anjing di garis pintu yang aku lewati begitu saja saat membopong tubuh montok yang butuh kehangatan. Kami berciuman begitu lama, kulumat habis bibirnya, tengkuknya, bukitnya, hingga tiba tiba aku sadar aku sudah menindih tubuh mulus yang bibirnya merintih. Aku tersentak untuk kemudian terlintas wajah Yun putri Om Irawan yang seusia dengan perempuan di bawah kelaki lakianku sekarang ini. Itu yang membuatku untuk segera beranjak dan meninggalkan begitu saja tubuh mulus yang tengkuknya merona. Tidak, aku harus pergi. Dengan kejantananku yang masih berdesir hebat, kutinggalkan begitu saja seorang perempuan muda yang tak hanya cantik, tapi juga menggoda.

Hujan sedari tadi reda. Suasana hutan berubah cerah dan aku baru saja keluar dari rerimbunan hutan. Kali ini dipunggungku ada sebuah tas ransel besar warna hitam yang diatasnya bertuliskan the black scraft. Entah apa maksud tulisan di sebuah emblem kain itu. Aku yakin tas ini milik perempuan yang hampir saja kureguk keperempuanannya. Tak sadar ternyata aku sudah ada di depan pintu rumah. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, tapi aku tertegun dan diam tak beranjak. Bersamaan dengan itu, pintu rumah perlahan terbuka. Perempuan itu menyambutku dengan wajah yang sulit kutebak. Bisa jadi di saat yang sama dia juga sulit menebak apa gerangan yang ada di pikiranku. Kami berdua sama sama salah tingkah. Terbukti saat aku merangkai kata dengan jemari.

“Maaf..”
Di saat yang persis dia juga merangkai kata yang sama dengan rangkaian tanganku. Kami sama sama tersenyum. Kemudian dia tertawa. Tentu saja tawanya menimbulkan suara yang lucu. Suara yang tercipta dari lidah yang pendek. Tapi syukurlah, setidaknya dia masih punya pita suara.

“Ini milikmu?” Dia menganggukkan kepala saat aku menanyakan akan keberadaan tas yang aku temukan di bibir jurang. Aku tahu isyarat itu. Menganggukkan kepala. Tidak butuh menjadi seorang tunawicara jika hanya ingin mengerti arti dari sebuah anggukan. Tapi mengapa aku sendiri tidak pernah berbuat hal yang sama saat dulu orang orang di sekitarku menanyakan banyak hal? Entahlah. Andai saja Haji Abbas tahu bahwa saat ini aku bisa berkomunikasi dengan manusia.

*******

Namanya panjang, aku sampai susah mengikuti gerakan tangannya. Tentu saja dia harus mengulang beberapa kali, mengingatkan aku saat dia pertama kali mengatakan sesuatu di bawah bintang bintang. Padahal semalam dia hanya mengucapkan, aku bisu. Itu saja, dan dia mengulangnya sampai tiga kali. Baru tadi aku menjawabnya di antara butiran hujan deras dengan jawaban yang tak kalah pendek. Aku mengerti. Itu yang aku katakan pada Pamela Revi Marandiobox Marada. Ya, itu namanya. Padahal nama panggilannya tak sepanjang itu. Box. Dia senang bila aku juga mau memanggilnya begitu. Sudah barang tentu aku lebih senang memnggilnya Box daripada harus memanggilnya dengan nama lengkap. Saat kukatakan padanya bahwa malam ini tak ada lagi perapian karena aku tak punya korek lagi selain korek yang gasnya habis, dia berkata jangan khawatir. Dengan cekatan Box membongkar tasnya yang basah. Dia membongkarnya di teras rumah dan aku membantu menatanya. Semua barang barang Box kering. Ini karena Box membungkus semua barangnya di sebuah plastik bening yang besar sebelum benar benar menaruhnya di ransel. Box menyebut nama plastik besar itu dengan istilah plastik packing, sementara ransel dia sebut carrier. Padahal pak Mu’i menyebutnya sahara. Ternyata satu barang bisa memiliki banyak nama. Macam macam yang Box bawa. Untuk ukuran perempuan, ini adalah jumlah barang bawaan yang sangat banyak dan memberatkan. Tapi Box bilang semua itu demi kebaikan saat ada di lapang. Padahal yang aku tahu, kita hanya butuh korek, pisau dan setidaknya perlengkapan tidur untuk bisa hidup nyamaan di dalam hutan. Box terlalu banyak teori hingga menyebabkannya tersesat seperti sekarang ini. Saat aku mengucapkan ini dia tersenyum. Senyum yang masih saja sangat menggoda.

Ini malam pertama seisi rumah terlihat terang. Box menyinarinya dengan sebuah lampu senter yang dia gantung di atas rumah dengan center yang menghadap ke bawah. Box juga membawa sebuah radio. Aku tidak asing dengan barang ini, tapi bukan berarti tidak terkejut. Box akhirnya lebih memilih untuk mematikannya saja. Makanan yang dia punya di dalam tasnya lengkap. Dia mengeluarkan beberapa roti yang langsung aku lahap dengan campuran madu. Box ikut ikutan. Baju bajunya juga ada beberapa potong, tapi dia masih saja menggunakan kaosku yang tak pernah aku cuci dengan detergen. Aku lebih senang mencucinya dengan dedaunan yang mengeluarkan busa. Daun jenis itu banyak di hutan. Kalau tak ada lagi, baru aku memilih daun waru. Meskipun aku juga menanam pohon waru di halaman, tapi untuk memcuci, aku lebih mencari daun waru di hutan. Biar daun waru yang ada di sini bertumbuh membesar hingga jauh lebih tinggi dari yang menanam. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri jika melihat bibit yang kita tanam dengan tangan sendiri, tumbuh besar hingga layak disebut pohon. Box bilang dia pencinta alam tapi tidak pernah sekalipun menanam pohon. Dia lebih senang kegiatan pencinta alam yang seperti panjat dinding, panjat tebing, kemping ke tengah hutan, naik gunung, susur gua, menyelam, dan yang tidak jauh dri itu. Ingin sekali aku bertanya pada Box, apa dia tidak malu menyebut dirinya pencinta alam? Tapi aku urung merangkai kata dalam jari. Bukannya apa, bersamaan dengan aku akan merangkai isyarat, dia mengeluarkan satu pak rokok filter. Satu lagi jenis mild. Sementara yang filter dia sodorkan ke aku, Box tangkas menyulut sebatang rokok mild. Harusnya aku bersorak saat ada rokok di genggamanku. Tapi aku tertegun menatap Box. Menyadari aku menatapnya, Box juga ikut menatapku sambil bertanya mengapa. Dan akupun mulai menarikan jemari. Dia tertawa dengan suara lucu saat menyadari pertanyaanku. Dia kembali menjawab, tapi tidak dengan sebuah jawaban melainkan sama sama pertanyaan
“Hanya karena aku perempuan?”
Itu kalimat yang tercipta dari rangkaian jemarinya, diiringi dengan suaranya yang terkekeh aneh.
“Tidakkah disini ada tulisan merokok dapat menyebabkan gangguan kehamilan dan janin?”
“Tidakkah di situ juga tertulis jelas bahwa rokok menyebabkan impotensi?”
Kali ini kami sama sama tertawa. Aku juga tertawa. Tawa yang yang renyah dan tidak meledak. Tapi ini adalah tawa pertama setelah puluhan hari keinginanku untuk tertawa menghilang tanpa jejak. Hanya nona yang mendongak kaget melihat aku tertawa. Suasana kembali sunyi. Hanya terdengar bunyi serangga bernyanyi menyambut hari yang anggun setelah tersiram hujan lebat. Hujan turun tak tentu akhir akhir ini, tapi sekali turun langsung sederas tadi. Kalau saja aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kesulitan air, mungkin saat hujan datang aku akan mengeluh panjang. Barangkali mengeluh adalah naluri dasar manusia. Bisa jadi Hawa tercipta dari Adam yang mengeluh pada Tuhan karena kesepian tanpa teman. Dari keluhan itu Tuhan mengambil tulang rusuk Adam sebagai material penciptaan Hawa. Tapi apa mungkin? Ini diluar batas kemampuanku, pikirku. Ibaratnya aku hanya diberi daya nalar sepanjang seratus meter, sedangkan persoalan barusan ada di titik dua ratus meter, titik dimana Tuhan meletakkan rahasianya. Tuhan memang hebat. Box memecahkan kesunyian dengan menepuk pelan pundakku. Ah, ternyata dia mengusulkan untuk membut api unggun sembari tangannya menyodorkan korek api. Aku mengiyakan dan mengajaknya keluar. Tapi Box bilang, dia minta ijin mau ganti pakaian dulu. Box juga menambahkan tarian jarinya untukku. Artinya, api unggunnya di depan teras kayu saja jangan jauh jauh. Aku mengangguk. Anggukan pertama dari seorang Yopi Firman Jauhari yang biasa di panggil si kacong. Tak lama kemudian aku keluar sambil menutup pintu rumah rapat rapat.
Aku berjongkok menghadap teras dan pintu rumah sementara di depanku nyala api unggun telah berkobar. Di sebelah kanan perapian sengaja aku sediakan bertumpuk tumpuk batang kayu agar saat api akan padam aku tak perlu lagi melangkah mengambilnya di belakang rumah. Sementara di sebelah kiri perapian aku hampar sebuah matras milik Box yang tadinya digunakan untuk pelapis di dalam ransel dan juga terbungkus plastik packing. Matras yang seperti itu namanya matras dinding, itu kata Box. Pantas saja matras warna hitam ini jauh lebih tebal dan kaku daripada matras yang aku buat alas di dalam rumah. Kreekkk.. Aku mendongakkan kepala saat telingaku mendengar suara pintu yang terbuka. Dan di sana, tepat di tengah tengah garis pintu, dapat kulihat Box diantara asap dan jilatan api. Melihat Box diantara asap perapian, seperti bercermin di atas air bening yang bergelombang setelah sebelumnya dilempari kerikil kecil. Namun begitu jilatan api dan percikan bara yang terbang ke udara tak bisa menyembunyikan kecantikan Box malam ini. Pantas saja aku dibuatnya menunggu sangat lama. Box mengenakan kaos khas Bali yang berwarna kuning dan ada gambar leak di depan kaos itu. Kainnya begitu tipis, hingga lengannya yang tak kalah putih dengan betis kakinya terlihat, apalagi ukuran baju model ini terlalu kecil buat Box. Jadi kain yang harusnya bisa menutup kedua lengannya tertarik ke atas. Hanya melihat lengannya saja aku berdesir. Belum lagi melihat dadanya yang.. Ah, aku tak bisa menggambarkannya. Otakku terlalu takut untuk menatapnya lagi. Tapi apanya lagi yang bisa kupandang untuk meredam kelaki lakianku? Kakinya terlalu sempurna untuk kupandang. Dia hanya mengenakan celana pendek sepuluh senti di atas lutut dan dengan jenis kain yang sama. Warna dan coraknya juga sama, kuning. Wajahnya? Apalagi. Sepertinya sedari tadi dia lebih konsentrasi untuk mengobrak abrik wajahnya daripada hanya untuk berganti pakaian. Pakaian yang sesederhana itu tak akan butuh waktu lama untuk dikenakan. Apalagi melihat keseriusannya menjepit rambut pendeknya dengan sebuah jepit yang juga berwarna kuning. Hanya satu jepit saja di rambut sebelah kirinya. Tapi mantab dan pas. Dan mahluk indah itu kini sudah ada di depan mata, duduk begitu saja di atas matras dengan matras yang mau nggak mau semakin menarik kain celana pendeknya. Itu sama saja Box memamerkan paha mulus tanpa belas kasihan. Jujur aku menderita. Tak mungkin aku berdiri di saat seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di rerumputan saja sambil mata ini aku fokuskan hanya pada perapian. Saat Box melempar sebungkus rokok filter, aku kembali menatapnya. Sialnya, aku tak sadar bila terlalu lama memandang wajahnya. Benar benar cantik. Apakah aku terpikat oleh Box? Ah, tidak. Kesetiaanku hanya untuk Ning dan besok aku akan mengantarkan Box sampai ke jalan menuju kampung Curah Nongko. Batinku berkecamuk, tapi semua tersapu begitu saja saat jemari Box mulai menari nari. Singkat, tapi berhasil membuatku tercekat. Box menanyakan Ning. Jemarinya jelas mengatakan tentang sebuah kalimat pendek, siapakah Ning. Haruskah aku menjawabnya? Sementara aku berpikir, tangan Box kembali menari. Kali ini lebih panjang. Ternyata dia mengetahuinya saat aku berlari ke hutan dan akhirnya kembali dengan membawa tas besar miliknya. Aku bahkan belum membacanya, hanya itu jawabanku untuk menanggapi pertanyaannya. Merasa tidak puas, Box kembali menggerakkan jemarinya di udara kosong.

“Siapakah Ning?”
Dan aku hanya bisa menjawab kalau aku tidak mengenalnya. Dia katakan kalau aku bohong padanya. Dia merangkai kata itu di jari yang tegas dan sedikit berguncang, ditambah lagi tatapan matanya yang tajam. Itulah tanda seru yang dimiliki oleh orang orang yang hidup dalam kesunyian. Box menyambung ucapan jarinya dengan arti, dia tahu aku bohong. Kata Box, dia mudah melihat perubahan wajahku yang pias dan tampak jelas bila menyembunyikan sesuatu. Aku bilang padanya, wajahku pias bukan lantaran dia bertanya tentang Ning tapi lantaran takjub melihat dirinya yang cantik. Tapi Box menghempaskan kata kataku dengan berdiri dan mengacungkan jari tengah ke arahku dengan tangan kirinya. Sambil terisak, dia berlalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu seolah olah itu adalah rumahnya sendiri. Padahal rumah itu aku rehab kembali hanya untuk menanti Ning. Apa salahku pada Box? Kenapa dia mudah menangis? Kenapa dia marah? Kenapa dia mengacungkan jari tengahnya ke arahku? Bukankah aku memang tidak mengenal Ning. Aku bahkan lebih mengenal dia daripada orang yang dia tanyakan, meskipun baru kemarin aku mengenalnya. Setidaknya, Box adalah orang pertama dimana aku bisa berkomunikasi dua arah. Tadi aku juga mengatakan hal yang benar. Wajahku berubah tidak lain selain karena menatap dirinya yang cantik. Tapi kenapa Box marah?

Esoknya Box tak marah lagi padaku. Itupun gara gara aku duluan yang meminta maaf, bukan Box. Padahal harusnya kan.. Tapi sudahlah, aku lebih senang mengingat senyumnya saat menerima uluran tanganku daripada mengungkit siapa seharusnya yang layak meminta maaf. Masalahnya dia mengatakan padaku bahwa aku tidak boleh mengulanginya lagi. Bagaimana ini? Berarti dia benar benar menganggap aku salah? Di sisi yang sebelah mana? Tapi lagi lagi aku lebih senang mengingat wajahnya yang berbinar saat menerima uluran tangan. Aku dan Box melewati hari dengan berkebun, memberi makan ikan di sendang dengan daun talas, memberi makan ayam dengan campuran udang dan daun talas yang aku iris kecil kecil, lalu aku aduk jadi satu di timba. Setelah sarapan dan memberi makan nona, aku mengajak Box ke puncak bukit, melewati pohon kirai payung yang berdengung. Itu lantaran ada tiga kotak berisi lebah yang aku taruh persis di bawah kirai payung. Box bilang aku harusnya memberi mereka makan dari sari gula biar kualitas madunya lebih bagus dan banyak. Aku hanya tersenyum. Di atas puncak jelas terlihat punggungan yang meliuk dan perbukitan. Aku tunjukkan tanganku pada tempat tempat yang pernah aku jelajahi. Box sepertinya tidak percaya karena aku menunjuk ke hampir semua arah. Dia hanya bilang, apakah aku pernah bertemu harimau jawa? Dan akupun terheran, mengapa dia bisa tahu? Box masih menunggu jawaban yang keluar dari jemari saat aku lebih memilih untuk membuka kaos dan menunjukkan luka di punggungku. Di luar dugaan, setelah dia memandang luka cakar di tubuhku, wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut luar biasa sambil kedua telapak tangannya tengadah seperti orang berdoa, tapi menempel di dagu saja dengan kedua pergelangan tangan bagian dalam saling bertemu. Box meluncur turun begitu saja sambil sesekali menoleh, meninggalkan aku yang masih bertelanjang dada. Aku tidak mengejarnya, melainkan memasang kaos kembali sambil turun perlahan. Aneh, lagi lagi aneh mahluk yang bernama Box ini. Lebih aneh lagi saat langkahku sudah melewati kirai payung dan sejajar dengan ladang kecil yang aku tanami singkong. Aku melihat Box terburu buru keluar sambil meraih tas. Bukan tas besar yang dia bawa, melainkan tas milik Ning. Aku berlari mencegahnya tapi dia sudah berlari kencang dengan masih mengenakan kaos Bali warna kuning. Nona yang sedari tadi siaga dan sepertinya tahu kalaau ada yang tidak beres, aku perintahkan duduk di atas teras dengan pisau kecil ku arahkn lurus lurus ke arahnya dan ke arah teras. Ini berarti, apapun yang terjadi nona harus tetap menjaga rumah. Dan perintah yang tegas ini tak bisa di langgar. Sebelum aku hendak mengejar Box, aku bermaksud untuk menutup pintu. Tapi mataku keburu menatap selembar kertas yang di tulis dengan sebuah spidol besar warna hitam. Jelas ini spidol miliknya. Tulisannya singkat dan hanya satu kata saja. Selebihnya hanya ada sebuah tanda tanya.

Kacong?

Ya benar akulah yang dimaksud dalam selembar kertas itu. Kini aku tahu apa yang ada di benak Box hingga menyebabkan dia lari terbirit birit. Letak kesalahanku adalh memberikan nama asli padanya saat memperkenalkan diri. Yopi Firman Jauhari. Maksudku tak lain hanyalah untuk mengimbangi namanya yang panjang. Pamela Refi Marandio Marada, bukankah itu sangat panjang dan sulit? Lagian, bagaimana aku harus mengenalkan diri dengan nama kacong sedangkan dia menanyakan namaku bukan julukanku. Kacong adalah nama yang dianugerahkan orang orang padaku untuk menghargai kegilaanku. Barangkali seperti itu. Apakah nama semacam itu harus aku sandang selamanya? Aku terpekur dalam pikiranku sendiri sambil mata ini terus menerawang ke arah setumpuk kertas milik Ning. Aku harus membaca apa yang telah dibaca Box, pikirku. Tapi urung. Marih seperti kemarin kemarin, aku tak punya nyali untuk membacanya. Padahal aku tak ada maslaah dengan yang namanya membaca. Bagaimana ini, apakah aku harus mengejar Box? Tidak, aku hanya akan membuat dia ketakutan. Kalau dia sudah tahu sebutanku, berarti dia juga tahu dari orang orang kampung bahwa aku hanya seorang laki laki gila yang selalu tertawa. Box akan lebih takut lagi manakala dia sudah mendengar ceritaku tentang kubah yang pucuknya aku beri celana pendek milik si bangsat. Ah, si bangsat lagi. Kenapa semakin hari kebencianku padanya semakin luntur saja? Tapi aku tak sempat memikirkan si bangsat lebih lama lagi saat aku tersadar bahwa arah Box berlari menjauh dariku hanya akan mengantarkannya pada hamparan penuh Banteng. Demi menyadari itu aku terus meloncat dengan nona aku ajak serta, sementara rumah dan pelatarannya aku serahkan sepenuhnya pada Tuhan. Nona yang sedari tadi sepertinya mengerti apa yang terjadi, terus saja berlari di depanku sambil sesekali berhenti hanya untuk menatap ke arahku, seolah olah aku ini hanya seorang atlet yang dilatihnya berlari. Sepertinya aku sudah jauh berlari tapi Box belum juga berhasil aku pandang. Lelah mulai menghinggapi pikiranku, tapi bayangan tubuh Box yang di injak injak serombongan banteng membuat aku terus bertahan. Nona yang anjing saja kelelahan. Nampak jelas badannya bergetar dan lidahnya menjulur terus menerus, sementara napasnya tersengal. Aku memang tak pernah melatihnya berlari secepat dan sejauh ini. Berarti saat ini aku harus mengandalkan diri sendiri untuk mencari jejak Box. Ternyata kita memang tak bisa mengandalkan banyak hal hanya pada seekor anjing.

Mata Box nanar demi melihat kenyataan yang ada di depannya. Dia berhadapan dengan seekor banteng tua yang tanduknya patah satu. Box diam, karena mau bagaimana lagi, setiap gerakannya disusul oleh sebuah pandangan pandangan yang begitu mengancam. Wajahnya pucat pasi, pias, takut, semua bercampur jadi satu. Kedua matanya sudah berlinang. Dia terisak tapi bingung hendak kemana. Lari pasti mati, diam juga menghasilkan hasil yang sama Pada saat itulah aku menyeruak dari arah samping dan tiba tiba sudah kulihat adegan yang seperti itu. Padahal tdinya saat kudengar suara jeritan yang aneh, aku kira Box hanya terjerembab. Kali ini mataku yang nanar. Kulihat tak ada lagi perlindungan bagi Box selain sebuah pohon yang batangnya hanya sebesar pahaku. Pohon ini, satu kali seruduk saja akan tumbang, apalagi tubuh Box. Tak ada waktu untuk mencari solusi, apalagi waktu untuk memikirkan nona yang sekarang entah dimana. Begitu saja aku mencabut pisau kecil yang selalu kubawa kemanapun, kubuka sarungnya, lalu aku lemparkan pada badan banteng. Berhasil, dia menoleh ke arahku. Sayangnya hanya sekilas untuk kemudian kembali lagi menatap Box yang sepertinya tak punya nyali lagi untuk sekedar bergerak. Tak ada batu atau apapun di sekitarku untuk bisa kulemparkan pada si banteng bangst di depan Box. Hanya ini yang tersisa, pisau kecil. Dan semakin lama aku menatap tubuh banteng bertanduk satu, semakin aku teringat akan si bangsat. Dia tak beda dengan banteng ini, sama sama ingin memiliki apa yang ada di sekitarku. Semakin aku membayangkan si bangsat memiliki tanduk di kepalanya, semakin aku bernyali untuk membuat perhitungan dengan mahluk di depanku ini. Emosiku memuncak manakala kaki kanannya yang depan mulai berani menyaruk nyaruk tanah di hadapan Box yang terlalu lembut untuk diperlakukan seperti itu. Pada akhirnya emosiku benar benar tak bisa aku kendalikan malakala Box berteriak aneh dan melengking demi melihat banteng di depannya melakukan pergerakan ke arahnya. Box berlari ke arahku sekuat tenaga yang tersisa, saat tak ada lagi tempat yang bisa dia pecaya untuk dijadikan perlindungan. Banteng yang sudah tua ini terkecoh, mengerem langkahnya dan kembali menuju ke arah Box yang semakin dekat dengan aku. Aku jemput langkah langkah Box yang ketakutan, badannya aku raih dengan tangan tangan kiri yang kugerakkah menyamping untuk menghempaskannya, sedetik kemudian, dibalik badan Box yang sengaja aku dorong terjerembab, sudah ada kepala banteng yang siap menghabisi aku. Reflek kuayunkan pisau kecil di tangan kananku dari bawah ke atas dengan kepala sekuat tenaga aku jauhkan dari ujung tanduk kirinya yang ada di kananku. Aku tahu pisau yang aku tancapkan tepat sasaran. Oleh karena itulah setelah badanku aku banting ke kiri menghindari satu tanduk, aku biarkan tubuh ini terinjak beberapa kali oleh kaki kaki banteng itu. Dalam keadaan terpelanting tanpa bisa membedakan mana atas mana bawah itu, masih sempat kulihat wajah Box menjerit menatapku. Dia bahkan tidak berusaha berlari meninggalkan aku. Aku terpelanting, terinjak, terhempas, tapi sekuat tenaga berusaha bangkit kembali hanya untuk melihat keadaan Box diantara debu debu yang beterbangan meski aku ada di hamparan yang tak semuanya tanah kering. Kuliaht dengan Jelas kini Box tepat ada di samping banteng kuraang dari dua meter. Banteng itu sendiri telungkup dengan kedua betis kakinya kaki menyentuh tanah, sedang dagu bawahnya terluka oleh tusukanku yang mendarat tepat. Darah mengucur deras, namun tak menghentikannya untuk kembali mencoba berdiri sambil pandangannya kembali tersorot pada Box. Box menjerit dahsyat. Jeritan itu mampu mengumpulkan kembali sisa sisa tenaga di tubuh yang sakit luar biasa. Kulangkahkan kaki yang tak kuat lagi kuajak berlari, sementara kaki kiri yang terpincang pincang aku seret paksa untuk secepatnya melangkah. Pisau di tanganku masih kugenggam erat. Bahkan terpelanting seperti apapun, aku masih menggenggamnya erat. Aku baru menyadarinya saat banteng tersebut tak kuat lagi mengangkat tubuhnya. Ternyata ada beberapa luka sabet di kakinya. Bahkan di salah satu kaki belakangnya, sabetan yang tak kusengaja itu tepat melukai otot nadinya. Itu juga yang semakin membuatnya lemah. Itulah yang membuatku memutuskan untuk membiarkan saja banteng itu. Tugasku melindungi Box sudah selesai, perkara bagaimana nanti nasib banteng tua ini, aku serahkan kembali pada hutan. Sesaat kemudian aku sudah menatap wajah Box yang masih pucat tak berdaya. Tapi dalam ketidak berdayaan itu dia masih saja merasa takut dan terancam saat aku menghunjamnya dengan tatapan. Aku bisa melihatnya dari sorot mata indah milik Box yang jujur memaparkan apa saja yang dirasa oleh si empunya mata. Apalagi saat ini, ketika tangan kananku memegang erat pisau kecil yang penuh darah. Mana aku sadar kalu darah itu memenuhi dada, leher, dan sebagian wajahku. Aku baru mengerti saat coba mengikuti sorot mata Box yang menjelajahi tubuhku. Pantas saja dia seperti melihat orang gila yang juga monster, siap menikam pisau penuh darah ke lehernya.

“Jangan panik, aku tidak gila..”

Aku merangkaikan jemariku hingga membentuk kalimat itu dengan masih membelakangi banteng tua yang terluka. Hanya dalam waktu seperberapa detik saja dari kata kata yang terucap di jariku, banteng di belakangku rebah. Dan tak lebih dari sepuluh detik kemudian Box menangis sesenggukan. Aku biarkan dia menangis tersedu. Di saat yang sepenuh darah ini, barangkali perempuan memang butuh menangis. Apalagi menyadari kenyataan, dibalik rambut pendek dan jalannya yang gagah, Box memang mudah menangis. Agak lama kemudian, aku sudah menuntunnya pulang. Padahal bila ada di suasana yang wajar, harusnya aku yang butuh dituntun. Box baru menghentikan isaknya saat aku dan dia melewati sebuah kubangan dimana nona berendam. Box tersenyum. Aku menatapnya. Dia tersipu. Hanya nona yang biasa biasa saja, seperti tidak apapun sebelumnya. Kami bertiga pulang beriringan kesebuah rumah kecil nan indah. Apakah rumah itu untuk Ning? Entahlah, saat ini aku tak bisa menjawabnya. Bagaimanapun, waktu terus berjalan dan kita kita juga terus berjalan di dalamnya.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar