Jumat

Jangan Panik Aku Tidak Gila #15

Cerita lain di goresan yang kesembilan puluh tiga.

Sejak Insiden antara aku dan nona, semakin hari Ning semakin menjamur. Ini dikarenakan sudah tak ada lagi kaca bening yang menghias wajahnya. Wajah Ning perlahan makin tertutup oleh jamur yang menggerogoti senyum manisnya. Butuh waktu dua purnama bagi jamur jamur itu menutup keseluruhan wajah Ning tanpa menyisakan sebutir senyum pun. Dan hari ini, di goresan tiang yang berjumlah sembilan puluh tiga, aku mengubur senyum Ning di bawah pohon kirai payung, lengkap dengan bingkai piguranya. Sedang setumpuk kertas milik Ning yang sampai hari ini belum pernah aku jamah isinya, tidak turut aku sertakan. Begitu juga dengan ikat pinggang miliknya. Kalau untuk bandana, mana mungkin aku menguburnya. Menguburnya sama juga artinya dengan mengubur napasku sendiri.

Nona yang lukanya telah mengering setia menungguku mengubur senyum Ning. Dia merebah tak jauh dari aku yang bermata sembab. Ah, haruskah aku marah padanya? Bukankah ini semua gara gara nona? Bukankah dia penyebab terbangnya senyum Ning? Bukankah senyum Ning adalah satu satunya senyum yang pesonanya tak ternilai? Bukankah tak ada lagi yang bisa menandingi senyum Ning selain air yang mengalir di dalam surga? Apakah untuk ini semua aku harus menghabisi dan sekalian mengubur nona di samping senyum Ning? Tapi begitu mataku menatap goresan panjang di tubuh nona, aku tak bisa berbuat apa apa. Yang kulakukan hanyalah kembali pulang kerumah dengan mata yang masih berkaca kaca.

Dendamku pada si bangsat aku dedikasikan pada lubang yang menganga tak jauh dari depan pintu rumah. Lubang itu berbentuk seperti borobudur terbalik, semakin ke bawah semakin mengerucut. Hanya satu meter dari permukaan saja yang berupa tanah, seterusnya bebatuan cadas. Ini yang membuat kedua linggis jadi agak bengkok dan ujungnya membentuk gumpalan besi menumpul. Tapi tak apalah, untuk bisa menghantam mulut busuk si bangsat, apa saja akan ku keahkan. Pada akhirnya bentuk lubang ini tak lagi benar benar membulat, tidak juga kotak. Lebih menyerupai lingkaran sisi sisi telur ayam di kandang yang tak lagi berpagar tinggi. Elip dan memanjang, seperti itulah bentuk lubang yang aku gali dengan sekuat aku membacok jaket di tiang pondok panggung dekat masjid dulu. Siapa yang mengira kalau lubang yang aku gali bersama rasa dendam yang membara ini pada akhirnya memancurkan air. Ini bukan air hujan, bukan pula rembesannya. Air yang seperti itu tak akan mancur ke atas. Pancuran kecil yang tadinya hanya selidi itu semakin membuat aku bergairah untuk terus menghantam dinding dinding dan lantai cadas. Terus menerus hingga pancuran air tak lagi memuncrat melainkan mengalir biasa dengan jumlah air yang bertambah. Dan kini, di hari yang ke sembilan puluh tiga ini, ada terlihat banyak ikan yang hidup di sendang depan rumah. Ya, aku lebih senang menyebut lubang berair itu dengan sendang. Terdengar lebih merdu dan hidup. Aku merambah ke tengah tengah hutan dan menyusuri sungai sungai kecil berair bening. Sebegitu beningnya air sungai di hutan ini, sampai sampai aku bisa melihat ikan berenang di dalamnya. Aku menangkapnya dengan cara membuat semacam bendungan buatan yang berfungsi menghentikan laju air. Bendungan itu aku buat dengan menyusun batu membentang, dan di depan batu yang bertatapan langsung dengan arus air aku jejali dengan rerumputan. Lalu dari arah depan kugiring ikan ikan itu dengan kaos yang aku bentangkan di air menggantikan fungsi jala. Sesampainya di muka bendungan, aku menjaring ikan ikan itu dengan kaos yanga semakin aku buat membentang lebar, baru kemudian aku mengangkatnya ke atas. Sengaja aku membawa timba untuk mewadahi hasil perburuanku. Sementarai bawah tambak yang airnya otomatis menjadi surut, aku bisa mencari udang diantara batu batu. Hasil itu aku bawa pulang. Sebagian besar aku ceburkan ke dalam sendang, sebagian lagi aku bakar untuk mengisis perutku. Nona yang setia membuntutiku saat aku merambah hutan aku beri jatah lumayan banyak. Sengaja aku membiasakannya untuk memakan apapun hasil tangkapan dengan memasaknya terlebih dahulu. Entah dengan di godog , dipanggang atau dibakar. Di dalam hutan tak ada yang namanya minyak goreng, jadi hanya itu cara pengolahan makanan yang biasanya aku lakukan. Ikan di sendang semakin banyak, yang besar semakin besar sedang yang kecil semakin tumbuh besar. Jadi setiap kali aku ingin merasakan daging ikan, aku tinggal mengambilnya di sana. Caranya tidak lagi dengan membentangkan kaos hitamku ini. Aku lebih senang menombaknya dengan sebatang kayu yang ujungnya aku buat seruncing mungkin, seperti cara orang orang kecil mencari ikan. Semakin hari, semakin mahir aku menggunakannya.

Melihat hamparan tanah di sekitar rumahku saat ini, sama seperti melihat senyum Ning. Indah dan berwarna warni, meski masih didominasi warna hijau. Ini semua aku kerjakan sepulang dari terakhir kali turun kampung demi mencari yodium untuk luka nona. Saat itu aku tak hanya mendapatkan sebatang yodium. Ada berbatang batang yang kubawa dan aku tanam di halaman rumah ini, dan semuanya tumbuh. Bahkan sudah ada beberapa yang mulai berbunga warna merah terang dengan ujung ujungnya berbintik kuning. Yang berbunga ini dari yang aku cerabut bersama akar akarnya, sedang yang batangnya aku tancapkan begitu saja, hanya menunjukkan dedaunan yang semakin eksis. Dan seluruh tanaman yodium ini aku tanam mengelilingi sendang. Sementara agak jauh di sebelah samping kanan rumahku, dekat dengan pohon kirai payung yang akar akarnya menancap di tanah miring ibarat tebing kecil, aku membuat lahan bergelombang untuk aku tanami singkong. Meskipun masih butuh waktu untuk bisa memanennya, setidaknya kuncup daunnya bisa aku lalap. Pak Mu’i pernah bilang, daun ini tidak boleh dimakan oleh penderita darah tinggi. Hanya itu yang masih aku ingat, entah apa maksud pak Mu’i. Ohya, aku juga menanam bawang putih dan bawang merah di pinggiran ladang singkong yang kecil itu. Kutanam berderet dan rapi. Bawang bawangan ini awalnya aku rendam dulu di air hingga berkecambah, baru kemudian kutanam. Ada juga beberapa empon empon yang turut aku rendam, tapi tak kutanam berkumpul dengan deretan bawang. Aku menanamnya di sela sela yodium yang mengelilingi sendang. Beberapa jenis diantaranya aku tahu nama dan manfaatnya. Seperti jahe, kunir, kunyit, beras kencur dan laos. Dan itu semua aku dapat saat turun kampung mencari yodium untuk nona. Sementara yang lainnya yang juga aku dapat di tempat yang sama juga telah aku tanam, syukurlah semuanya makin bertumbuh. Tepat berjajar dengan ladang kecil yang aku tanami singkong, aku juga membuat ladang dengan bentuk sama sama bergelombang. Ladang kecil yang arahnya semakin mendekati dinding samping kanan rumah ini aku tanam kacang tanah. Lahan di sebelahnya, yang hampir berhimpitan dengan kandang ayam dan paling dekat dengan rumah juga aku olah menjadi ladang kecil. Tanahnya juga aku buat bergelombang untuk menghindari terendam air hujan yang ketika hujan biasanya mengucur dari atas lereng puncak bukit. Untuk yang ini, aku menanaminya dengan ubi jalar. Antara lahan ubi jalar ini dengan kandang ayam dibatasi oleh tiga pohon pisang yang besar batang bawahnya sudah hampir sebesar pahaku. Dan satu satunya yang tidak aku tanam di deretan lahan ini adalah bibit pepaya. Aku menanamnya di samping kiri rumah, berjarak beberapa jengkal dari dua batang pohon angsana yang aku stek. Keduannya kini telah mengeluarkan kuncup kuncup daun yang bergerumbul. Ku tanam semua bibit bibit pepaya itu berderet deret hingga ke bawah hampir mendekati tujuh pisang yang sekarang nampak lebih besar dari tiga pisang dekat kandang ayam. Semua bibit bibit pepaya yang aku tanam itu berasal dari satu pepaya masak yang juga aku ambil di meja belakang rumah milik orang kampung. Dan terlihat di goresan yang ke sembilan puluh tiga dan tujuh puluh hari setelah aku menanamnya, semua bibit pepaya tumbuh lebih tinggi dari pusarku, dengan batang paling bawah sebesar jempol kaki.
Suara ayam ayam kecil yang tak mau jauh jauh dari induknya mencuri perhatian untuk kupandang. Ayam ayam itu sudah banyak. Ada yang ukurannya tanggung, ada lebih kecil, ada yang lebih kecil lagi, ada juga yang baru kemarin menetas. Sisanya adalah ayam ayam dewasa yang dulu aku bawa dari kandang samping pondok panggung di pelatara rumah Haji Abbas. Kadang ada satu dari mereka yang mati. Aku menguburnya di samping kandang, sementara nona ada di sekitarku. Sejak tragedi sayap, dia tidak berani macam macam dengan ayam ayam ini. Yang ada sebaliknya, dengan setia nona menjaga ayam ayamku. Malam hari apalagi. Sedikit saja ada sesuatu yang mencurigakan terjadi di sekitar kandang, dia pasti akan lari memeriksa keadaan. Aku bisa melihatnya di celah celah dinding kanan di gelap yang semakin membuatku terbiasa. Itu semua karena nona aku biasakan tidur di luar. Lebih sering dia tidur di teras depan rumah dimana sudah kusediakan karung goni, kasur yang dulu setia menghangatkannya selagi masih terkapar oleh luka. Sekarang nona ada di depanku, diantara ayam ayam yang tak lagi aku beri pakan jagung. Barangkali nona ingin mengajak ayam ayam itu bercanda biar mereka tidak teringat kembali akan lezatnya jagung. Beberapa butiran jagung itu juga ada yang aku kecambahkan, tapi tak berhasil hidup saat kucoba menanamnya. Entahlah, barangkali musimnya tidak sesuai. Beberapa genggam lagi, aku sebar begitu saja di lereng perbukitan sebelah. Melihat hasil kecambah jagung yang mati matian aku tanam, aku tidak menaruh harapan sedikitpun pada butiran jagung yang kusebar itu. Seharusnya ayam ayam ini berhak atas butiran jagung. Mereka setia memberi aku asupan gizi lewat telur telurnya, sementara aku hanya bisa membuatkan mereka kandang sederhana saja. Sejak tragedi sayap dulu, kandang ayam ini tak lagi aku beri pagar kayu kayu tinggi, tapi kandang biasa saja. Ayam ayam itu bahkan bisa meloncatinya. Tadinya aku berencana hendak membuatkan pagar setinggi itu lagi, melihat kenyataan bahwa mereka adalah predator daun daun tanaman. Tapi pada akhirnya aku lebih memilih melatih nona untuk menjaga gerak gerik ayam yang sebanyak ini, bagaimana caranya agar mereka tak merusak tanaman. Tapi toh ayam ayam ini akan bertambah lagi, semetara nona tak akan sanggup menjaga ayam lebih dari ini. Pikiran ini segera membuat aku beranjak dari teras, mengambil peralatan, lalu segera bergegas ke belakang rumah tempat dimana kayu kayu aku tumpuk. Bagaimanapun aku harus membuat pagar meskipun konsekuensinya aku harus menyediakan pakan lebih untuk mereka. Setidaknya ini akan meringankan nona.

Kayu kayu di lereng bukit ini, dari yang berceceran di puncak bukit sampai yang ada di dasar bukit, aku tumpuk di belakang rumah hingga menggunung. Begitupun, tumpukan kayu ini tidak mengganggu seonggok batu besar yang sengaja aku tancapkan di situ. Di bawah batu yang seperti batu menhir itulah aku menguburkan senyum manis Ning.
Masih di hari yang sama. Rambutku semakin bertumbuh dan menutup kuping. Padahal pertama kali aku menemukan reruntuhan rumah ini, rambutku masihlah pendek. Haji Abbas yang memotongnya. Tak ada jambang dan janggut di daguku. Sedari hari terakhir di kantorku dulu, memang tidak pernah tumbuh rambut yang seperti itu. Tapi kali ini aku berkumis. Aku dapat melihatnya dari kaca spion milik Nyai yang aku taruh jadi satu di tas belanja bersama mangkuk plastik sisa wadah paku dan cetok. Melihat kaca spion dan tas belanja, aku jadi rindu Ning. Dulu, hanya gara gara senyum Ning aku jadi memotong motong sendiri rambutku sebelum akhirnya terpergok Nyai dan acara potong memotong rambut dilanjutkan oleh Haji Abbas. Juga tas belanja ini. Terlihat remeh tapi mampu menyimpan cerita tersendiri. Jari telunjuk dan jempol tangan kiriku masih mengelus elus kumis yang semakin tumbuh, sementara pandangan aku edarkan ke seisi rumah yang hanya sebesar matras yang sekarang aku pasang terbalik. Tidak ada banyak perabotan di sini di luar spion dan tas belanja berisi barang barang kecil. Yang paling terlihat mencolok hanya tas yang aku ambil dari kamar ning. Warnanya hitam berpadu dengan kuning pekat. Di dalamnya kusimpan kerpus, spanduk rentang, sebuah kaos ganti, satu sarung pemberian kakek Sura’i dan juga songkok warna hitam. Satu lagi sarung pemberian Haji Abbas, beberapa potong celana pendek dan kaos yang masih terbungkus rapi di plastik, yang bentuk dan warnanya dengan kedua kaos yang aku kenakan bergantian. Ah, kapan ya aku akan memakai kaos itu. Bukankah itu untuk menyambut saat Ning datang berkunjung? Kembali kuedarkan pandanganku pada barang barang selain peralatan. Barang barang peralatan seperti timba, beberapa cangkul dan dua cadangan gagangnya, pecok, linggis, celurit, semuanya jadi satu dalam karung lalu aku taruh di bawah rumah yang memanggung tak seberapa tinggi ini. Barang barang itu aku kumpulkan diantara banyak jurigen yang masih berisi air. Hanya golok, piring seng dan panci susun tiga yang aku taruh di dalam. Golok aku selipkan di sela sela dinding di pojok rumah dekat pintu. Sedangkan panci yang biasa aku gunakan menanak nasi tergantung persis di atas posisi golok, lengkap dengan wadahnya yang berwarna hijau lumut. Sementara di pojok satunya yang juga masih dekat pintu, ada sebuah tas kotak pemberian ibu pemilik warung yang dulu memberi aku korek, rokok, roti dan sebotol madu. Tas kotak itu kini aku buat sebagai tempat beras karena ada penutup resleting dan bahannya tidak membuat beras menjadi lembab. Beras itu sendiri masih tersisa lumayan tidak sedikit. Itu semua karena hanya aku dan nona yang memakannya. Dan setiap hari sama sama tidak butuh jatah nasi yang banyak. Terkadang aku melewatkan hari tanpa nasi, hanya mengandalkan hasil buruan di hutan. Ikan ikan segar, udang, ayam hutan, tupai, dan beberapa hewan kecil lainnya. Ah, apalagi ya yang ada di rumah ini? Aku hanya melihat lipatan sisa karung di bawah tas milik Ning dan tali sepatu warna hitam yang dulu kujadikan tali pengikat karung saat pertama kali hengkang dari pondok panggung. Di luar itu hanya ada barang barang yang melekat di badan menyatu dengan codet di pipi kanan dan bekas luka cakar di punggung. Satu lagi yang baru, kumis. Aku mengingat ini sambil menyadari, jari jariku belum berhenti mengelusnya. Dulunya, ada saja orang yang menyediakan waktu untuk mencukur kumisku. Apakah aku harus menemui Ning dengan kumis ini? Bagaimana kalau kumis ini membuat Ning lupa? Tapi biarlah, itu tak akan mungkin terjadi. Semoga saja dia mengingat bekas luka di pipiku. Ada yang lebih mendesak daripada sekedar memikirkan kumis ini. Ini tentang korek api yang isinya semakin hari semakin kritis. Apakah aku harus membuat perapian yang tak kunjung padam? Ah, tidak. Selama musim penghujan ini aku sangat jarang membuat perapian. Aku hanya memantik korek ini setiap hari saat hendak memasak sesuatu atau sedang ingin membakar ikan. Itulah yang membuat isi korek ini semakin cepat menyusut. Sedangkan jika aku membuat perapian dalam cuaca seperti ini, asap lebih tebal karena kayu mengandung air. Angin juga tidak banyak membantu karena musim ini angin seperti tak ingin menari. Dia lebih senang berhembus bersama dengan rintik air hujan. Membuat perapian yang menghasilkan asap seperti itu hanya akan mengundang perhatian orang saja. Saat memikirkan perapian, tak sengaja mataku menatap sesuatu di balik tas milik Ning. Hah, mengapa aku sedari tadi tak melihat setumpuk kertas itu? Aku memandangnya lekat. Tapi seperti hari hari sebelumnya, aku tak berani membacanya. Hanya kertas kertas kosong di bagian atas saja yang kadang aku ambil untuk mempercepat proses membuat perapian. Memandang setumpuk kertas itu, kembali aku merindukan Ning.

Di goresan yang ke sembilan puluh empat.

Hutan semakin membuat aku dewasa. Caranya menempa manusia begitu perlahan tapi menghasilkan. Ini yang aku rasakan. Karena keterbatasan, sampai hari ini aku jadi bisa mengubur keinginan akan nikmatnya rokok. Sayang aku hanya bisa mengubur hasrat itu, belum benar benar membunuhnya. Nikmat setiap hisapannya terlalu kuat menancap di otak. Untuk masalah kebersihan badan, tidak setiap hari aku mandi, bahkan aku betah berhari hari tidak mandi. Sekali mandi sabunku adalah dedaunan dan batu gosok, itu juga kalau aku benar benar merasa gerah dan butuh mandi. Pasta gigiku tetap, batu bata yang aku buat sendiri dari tanah liat dan aku bakar di perapian. Sebenarnya aku tidak butuh sikat gigi, tapi pak Mu’i bilang ini penting. Bagiku kata kata pak Mu’i layak didengarkan karena bagaimanapun pak Mu’i tidak pernah membohongiku.

“Houggh..!!!”
Gonggongan nona membuatku tersadar bahwa aku melamun di depan setumpuk ranting dan kayu kering dengan tangan kanan masih menggenggam korek api. Aggghh, hari yang seindah ini aku mulai dengan korek di tangan yang sudah tak bisa mengundang datangnya api. Gasnya habis sama sekali. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? Tiba tiba aku masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan selembar kertas kosong. Semoga ini berhasil. Aku gulung gulung kertas itu lalu aku arahkan dekat sekali dengan ranting ranting kering yang aku beri celah seperti mulut goa. Lama aku membolak balik kotak korek api dan mengocoknya naik turun, berharap akan bisa mengundang api meskipun hanya sekali.

“Jress..”
Yups, berhasil. Hanya sebentar saja, tapi aku sudah berhasil memindahkan api di pucuk kertas. Segera kuarahkan ke mulut goa diantara ranting kering sambil harap harap cemas. Beruntunglah ranting ranting itu menyambut pasrah jilatan api yang semakin berkobar. Demi melihat ini, aku sesigap mungkin mengatur posisi dua onggok kayu sebesar dan sepanjang betis untuk aku jadikan pagar di kiri kanan ranting. Baru kemudian di tengah tengah kayu pembatas itu aku beri kayu yang lebih kecil, aku tumpuk pelan di atas ranting yang mengeluarkan banyak asap. Kali ini aku tak perduli dengan asap yang membumbung tinggi. Bagaimanapun aku harus berhasil membuat kayu kayu ini membara biar bisa bertahan lama. Sekian lama aku disibukkan oleh ini, hingga akhirnya perapian benar benar membara. Aku harus menjaga perapian ini selama yang aku bisa, batinku. Dan benar juga, perapian itu bertahan berhari hari. Saat hujan datang, aku menimbun bara api itu dengan tambahan kayu sebanyak mungkin, lalu di atasnya aku beri sebanyak mungkin rumput rumput segar dan beberapa tumpuk lagi ilailang, berharap air hujan tak begitu saja menerobos dan membunuh bara di dalamnya. Dengan begitu aku bisa mempersulit laju air sampai hujan benar benar reda. Dikala sudah tak ada lagi air yang menetes, segera aku ke arah perapian, membuka ranting ranting yang sebagian hangus, lalu kembali merawat bara yang tersisa seperti seorang perawat yang tergopoh merawat luka pasien yang baru diturunkan dari ambulance. Aku menumpukkan ranting dan kayu kayu kering yang sengaja aku simpan di bawah kolong biar tetap kering, meniupnya, mengipasnya dengan piring seng, terus menerus sampai api sehat dan benar benar tidak mengkhawatirkan lagi. Dan waktu yang berlalu kemudian aku nikmati dengan menghangatkan diri di dekat perapian berdua dengan nona. Seandainya saja Ning juga ada di tepian perapian, suasana pasti lebih hangat dan menghangatkan.

Goresan ke seratus.

Kata orang, seratus perlambang sesuatu yang baik akan terjadi. Ternyata aku melewati hari dengan seperti biasanya, biasa biasa saja. Masih dengan perapian yang asapnya jelas terlihat menebal dan membumbung. Aku tak perduli dengan asap perapian. Bagaimanapun benar kata pak Mu’i, api kecil adalah teman yang baik bagi manusia, sedang api yang jilatannya sudah tak bisa kita kendalikan, itu adalah musuh yang harus dihindari kedatangannya. Dan selama tujuh hari enam malam aku berhasil merawat perapian. Menanak nasi, bakar ikan, menghangatkan diri, semua aku lakukan dengan perapian yang hanya satu satunya. Keseharianku tidak banyak berubah. Masih berkebun, merambah hutan dengan jalur jalur yang seringkali berbeda, dan masih setia menanti kehadiran Ning. Sayang, sampai goresan keseratus Ning belum datang. Tentang merambah hutan, aku semakin mahir, lihai dan tangkas saja. Bahkan aku sudah terbiasa memanjat pohon tinggi hanya sekedar mencari madu. Madu penting, setidaknya ada dua kejadian yang membuat aku berpikiran bahwa madu memanglah sangat penting. Aku belajar dari si cicit yang bisa bertumbuh bersama sebotol madu yang diberikan oleh ibu pemilik warung. Berikutnya, madu juga sukses membuat nona sehat kembali setelah sebelumnya hampir saja terbujur kaku. Tidak ada lain, lima botol madu yang aku ambil dari kampung itulah penyebab kepulihan nona. Itulah sebabnya selama tiga hari terakhir aku sibuk mencari rumah lebah. Kali ini aku tak hanya ingin memboyong madunya saja, tapi semuanya. Akan aku bawa rumah lebah beserta semua lebah lebahnya di rumah. Di sana aku tinggal memindahkan ke sebuah kotak yang telah aku persiapkan. Aku meletakkan ketiga kotak itu tepat di bawah pohon kirai payung. Selain teduh, tempat ini terhindar dari angin dari arah puncak bukit karena terhalang oleh tanah yang menjorok seperti tebing. Kotak itu berbentuk seperti kotak surat dan berjumlah tiga berjajar. Ketiga tiganya ingin aku beri lebah jenis lebah gula gula, karena aku sudah berpengalaman dengan lebah lebah ini. Selain itu juga menghasilkan madu yang bnyak dalam waktu yang tak terlalu lama. Seperti itulah, tidak ada yang aneh dengan keseharianku sampai hari yang keseratus. Tidak ada yang menarik selain masalah lebah. Yang justru mengagetkan hari hariku adalah tiga hari kemudian. Bukan tentang perapian yang padam, juga bukan kabar bahwa aku tak berhasil mencari sarang madu. Lebah jenis gula gula sudah kudapat dan telah memenuhi ketiga kotak yang aku persiapkan. Nona juga tidak bermasalah dengan lebah lebah kecil yang banyak dan sesekali beberapa dari mereka menyengatku. Ini bukan tentang aku yang dipusingkan oleh pakan lebah. Tidak. Untuk lebah lebah ini aku hanya menyediakan kotak dan seember air. Sedang masalah pakan, hutan telah menyediakan, tinggal apakah lebah lebah ini mau mencari atau tidak. Gerombolan lebah juga tak pernah menyerbu ayam, memenuhi rumahku, dan hal hal yang tidak menyenangkann lainnya. Mereka hanya lebih banyak di sekitar kotak daripada di dalamnya. Ini wajar, mereka masih beradaptasi dengan tempat baru. Kekagetanku di goresan yang ke seratus tiga bukanlah tentang itu semua. Hanya saja ini terlalu mengagetkan.

Goresan ke seratus tiga

Hari masih sepertiga siang saat nona tak berhenti menyalak di depanku. Bahkan kali ini gigi giginya menggigit ujung kaosku seperti ingin menunjukkan sesuatu. Aku menepis moncongnya begitu saja. Paling dia hanya melihat seekor babi hutan atau hewan hewan besar lain yang semakin hari semakin tak risih menampakkan diri. Karena jika hanya sekumpulan monyet biasanya akan nona atasi sendiri. Aku sedang tak tertarik memeriksa sesuatu. Jadi kubiarkan saja nona menggonggong. Tapi itu tak membuat nona berhenti menyalak. Tentu saja ini membuat kupingku menguing dan sedikit marah. Seperti biasa jika hendak memperingatkan tingkah nona, aku tinggal mengangkat kaos dan menunjukkan pisau yang terselip di pinggang. Demi melihat itu nona berlari kembali ke arah hutan tempat dimana dia barusan keluar menuju arahku. Sesaat kemudian rerimbunan melenyapkan tubuh nona. Tapi tidak lebih dari sepuluh menit. Kali ini nona menyeruak dari rerimbunan dan berhasil menggoyang semak semak. Nona tidak sendiri. Ada seorang manusia yang mengekor di belakangnya. Inilah yang mengagetkan aku di goresan ke seratus tiga. Lebih mengagetkan lagi tatkala melihat manusia yang jaraknya masihlah jauh denganku itu terhuyung huyung untuk kemudian jatuh ke tanah. Nona terus menyalak saat aku berlari ke arahnya. Tak menunggu lama aku sudah ambil ancang ancang membopong manusia berambut pendek dan berkulit putih untuk aku istirahatkan di rumah. Aku panik, gentar, cemas, tapi sebagi sesama manusia, ini adalah sesuatu yang harus aku lakukan. Saat aku benar benar akan membopongnya, baru kusadari manusia berambut sangat pendek di depanku ini adalah seorang perempuan. Bagaimana bisa seorang perempuan ada di tempat seperti ini? Pada akhirnya aku benar benar membopongnya menuju rumah. Sesampainya, aku membaringkan perempuan ini di atas matras yang aku pasang terbalik. Sesegera mungkinaku mengambil spanduk di dalam tas, lalu aku membantalinya dengan sedikit mengangkat kepala. Sebelum aku menyelimutinya dengan sarung, ragu ragu aku melonggarkan ikat pinggang. Tapi aku lakukan juga. Baju, sweater dan celana yang dia pakai, semuanya basah. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa. Mana mungkin aku membukanya dan mengganti dengan kaos dan celana pendekku yang kering? Di dalam hutan ini hanya ada aku dan dia, seorang laki laki dan seorang perempuan dengan wajah yang menarik. Selain aku dan dia, yang ada hanyalah setan. Aku lebih membuka sepatu dan kaos kakinya yang basah. Kaki kaki yang mengkeriput kedinginan itu aku selimuti dengan sarung. Sedang tubuhnya yang masih terbalut pakaian basah juga aku selimuti sarung yang lain lalu aku biarkan begitu saja. Tak menunggu lama, segera aku memasak air dengan panci kotak di atas satu satunya perapian yang sudah sepuluh hari ini tak henti membara. Air yang menghangat aku tuangkan ke mangkuk plastik sisa wadah paku untuk aku gunakan mengompres telapak kaki perempuan berambut pendek. Aku mengompresnya dengan menggunakan kerpus yang aku basahi dengan air hangat itu lalu kuperas airnya biar tidak menetes netes di matras. Sementara panci masih di atas bara api. Aku menambahkan banyak air di sana, lalu menaruh lima butir telur ayam untuk makan si perempuan saat nanti dia siuman. Perlahan aku mengompresnya. Sepertinya tak ada tanda tanda dia siuman. Yang menggembirakan hanya nafasnya yang teratur. Sesekali aku meninggalkannya keluar hanya untuk mengangkat panci dengan air mendidih yang berisi telur. Kadang hanya keluar untuk memastikan perapian baik baik saja. Begitu seterusnya sampai hari menjelang malam. Telapak kakinya telah mengering benar, dari yang tadinya keriput oleh dingin. Tiba tiba aku teringat sesuatu, madu. Ya, madu akan menyadarkan dan memulihkannya kembali. Serentak aku mengambil madu yang aku dapat sendiri dari merambah hutan. Semunya aku wadahi dalam botol sisa tempat madu yang dulu aku ambil di kampung dan telah diteguk habis oleh nona. Kalau nona saja sembuh, aku yakin perempuan berambut pendek ini juga akan sembuh. Dengan memanfaatkan cahaya mentari yang tersisa, aku paksa dia meminum madu. Ternyata perempuan itu merespon, meskipun tetap dengan keadaan tak sadarkan diri. Saat aku memberinya air putih dengan cara sedikit mengangkat kepalanya, dia lebih merespon lagi. Mirip nona saat sedang sangat kehausan. Sudah, cukuplah untuk saat ini, pikirku. Tak lama kemudian aku memilih keluar dan menutup pintu menuju ke tepi perapian. Semoga saja malam ini tidak hujan karena aku akan tidur di luar. Nona setia menemani aku merebah tak jauh dari tempat yang kupilih. Sesekali dia tengadah melihat sekitar dengan mata awas dan ekor yang masih berkibas.

Hari sudah terang saat nona tak henti menyalak membangunkan aku yang masih terlelap. Ah, ternyata aku mbangkong. Semalam aku terlalu sulit memejamkan mata. Barangkali karena aku sudah terbiasa tidur di dalam rumah dengan beralas matras, jadi aku kesulitan untuk tidur di pinggiran perapian. Tapi tidak, aku masih bisa tidur dimanapun dan dalam keadaan apapun. Semalam aku terlalu memikirkan Ning. Sudah selama ini tapi Ning belum juga datang berkunjung. Itu semua baru aku sadari semalam, setelah berpikir panjang dan menahan mata untuk segera terlelap. Aku butuh mengundangnya. Ya, seperti itu seharusnya. Ning tak akan pernah datang untuk memadamkan kerinduanku bila aku tak mengundangnya. Tak akan pernah dia melihat ladang, sendang dan taman yang aku buat dengan tangan tanganku sendiri, dan semuanya hanya untuk Ning. Dia tidak akan pernah tahu bila aku di sini menunggunya. Sebuah undangan, itu yang harus aku layangkan pada Ning. Bagaimana caranya? Entahlah, aku hanya bisa memikirkan tanpa tahu harus berbuat apa.

“Hougggh..!!!”
Lagi lagi nona menyalak. Kali ini datangnya suara gonggong nona dari arah rumah. Segera aku membalikkan badan dan melayangkan pandangan ke arah rumah. Yang aku lihat adalah pintu rumah yang terbuka dan nona di teras. Tapi dia tidak sendirian. Nona ada di samping perempuan berambut pendek yang terlihat tak sekalipun takut oleh kehadiran nona. Melihat perempuan itu sudah terbangun dari ketaksadarannya, aku tersenyum. Hanya tersenyum saja, tidak kurang tidak lebih. Lagipula hanya itu yang bisa aku lakukan selama ini. Aku tak pernah lagi ingin tertawa lantang sejak jeritan pertamaku di atas atap kamar Ning. Ya, sejak itu tak sekalipun aku ingin tertawa nyaring. Aku bisa saja memaksa untuk tertawa seperti itu, tapi buat apa? Ini bukan masalah bisa atau tidak, bukan seperti itu. Ini semua karena aku memang tidak ingin tertawa. Ternyata lebih nikmat tersenyum daripadaa tertawa terbahak bahak. Aku masih saja tersenyum saat kusadari perempuan yang agak jauh di pandanganku itu juga ikut tersenyum. Setelah sekian lama baru kali ini aku berkomunikasi dengan sesama manusia meskipun hanya dengan senyum saja. Teringat oleh kenyataan bahwa perempuan itu hanya aku beri air putih dan madu saja, aku tersentak dan segera beranjak untuk menyiapkan makanan.

Enam telur rebus, sekotak panci nasi yang masih panas, beberapa ikan bakar, dan sepiring seng dedaunan untuk dilalap bersama cabe hutan yang aku lembutkan dengan batu cekungan mirip cowek sambal. Aku meletakkan semuanya dalam sehelai daun pisang, memulai makan berhadapan dengan perempuan yang tak aku kenal. Sementara nona tak berani mendekat karena aku meletakkan pisau kecil di dekat sehelai daun pisang, pertanda dia memang tidak boleh mendekat. Tanpa sepatah kata pun, perempuan berambut pendek di depanku melahap makanan yang tersaji di depannya. Sangat banyak untuk ukuran seorang perempuan. Tapi aku membiarkannya saja, sesekali tersenyum. Dikala dia tahu aku tersenyum, perempuan itu ikut tersenyum. Sama sama tidak saling curiga dan sama sama tidak merasa terancam. Aku menyodorkan air putih dalam sebuah botol tanpa gelas sesaat setelah aku dan dia sama sama selesai. Dia oke oke saja meneguknya dari botol itu. Begitu juga saat aku menyodorkan sebuah botol berisi madu. Dengan santai dia meneguknya. Tak terlihat risih meskipun tanpa gelas. Aku berjalan keluar dengan membawaa perabot makanan yang kotor dan sehelai daun pisang bekas alas makanan. Perempuan berambut pendek itu tak mengikuti. Dia memilih untuk merebah. Mengingat bajunya yang kemarin basah, aku kembali lagi ke dalam rumah setelah meletakkan begitu saja piring seng dan panci di dekat sendang tempat biasa aku mencuci barang barang. Perempuan itu agak kaget melihat aku tergopoh masuk. Tetap saja aku nyelonong masuk tak menghiraukannya yang mengguratkan wajah penuh tanya. Aku raih celana pendek dan kaos kering salinan lalu aku lempar ke sampingnya, masih dengan senyum. Kebudian aku burur buru keluar, kututup pintu rumah, dan melangkah ke arah sendang. Kurasa dia membuka pintu sebentar lalu menutupnya kembali, karena aku mendengar suara pintu yang tertutup. Sebentar kemudian dia keluar dari dalam rumah menuju ke sendang, tempat dimana aku masih bermain air. Dia mengenakan kaos dan celana pendek yang aku berikan, dengan langkah yang tegap dan rambut yang pendek sekali. Juga tak ada anting anting di kedua telinganya. Kalau bukan karena kemaren aku melihat ada sesuatu yang membusung indah di dadanya, mana mungkin aku tahu kalau dia perempuan. Semakin langkahnya mendekat ke arahku, semakin aku tahu dia juga punya betis yang menggoda. Berarti nanti malam aku harus tidur dekat perapian lagi, pikirku. Kini dia mendekat, sangat dekat dan tidak berkata apa apa selain tersenyum. Melihat wajahnya dari jarak yang hanya sejengkal, aku tahu kalau dia adalah ancaman bagi kesetiaanku pada senyum Ning. Apalagi dengan usia jauh lebih muda dari Ning. Bisa jadi sepuluh tahun lebih muda, atau bahkan lebih muda lagi. Kulitnya putih bersih, matanya bening, hidungnya mancung, bibirnya memerah dan terlihat sensual, satu tingkat lebih menggoda dari betisnya. Hanya karena dia menggunakan kaosku sekarang, payudaranya terlihat membusung. Padahal sebenarnya tidak sebesar itu. Lagipula setelah aku perhatikan, putingnya mengecap di ujung dua onggok daging yang membukit dan hanya tertutup kaos. Ini menakutkan aku. Terbukti saat ini kelaki lakianku berdesir, meskipun di satu sisi aku senang menyadari kenyataan bahwa kejantananku masih berfungsi dengan baik. Payudara perempuan ini bertingkat tingkat lebih menggoda dari betis dan bibir. Meskipun dia tidak memiliki pantat layaknya pantat perempuan, tapi diluar betis, bibir dan kedua bukit, dia masih menyimpan harta karun penakluk lawan jenis di tengkuknya yang aduhai. Semua itulah yang membuatku saat ini hanya tercengang menatap keseluruhan dirinya. Ya, keseluruhannya menggoda, bahkan pinggul dan pantatnya yang biasa biasa saja pun ternyata menggoda. Kalau saja dia tidak tersenyum dan melambai lambaikan tangan kanannya di kedua mataku, mungkin aku masih menatapnya. Aku tersipu, tersenyum, dan mengarahkan pandanganku ke permukaan air sendang. Ternyata bisa juga aku merasa malu. Andai Haji Abbas tahu, dia pasti akan senang.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar