Minggu

Jangan Panik Aku Tidak Gila #18

Aku menjawab pertanyannya dengan sebuah pertanyaan, kenapa dia selalu bertanya tentang Ning. Dia bilang cuma karena ingin tahu saja. Ya aku bilang juga kalau aku nggak kenal Ning seperti aku mengenalnya. Diluar dugaanku, Box marah. Box berdiri, dan lagi lagi jari tengahnya diacungkan ke arahku. Aku masih membisu saat dia lari menuruni lereng bukit. Kini giliran aku yang berteriak, menepuk nepuk kedua tangan, tapi tak sekalipun Box menoleh ke arahku. Padahal dia bisu yang tidak tuli. Buktinya dia membawa radio di tas besarnya. Box bisu hanya karena lidahnya cacat.

Aku memikirkan itu sambil berjalan ke arah rumah mengikuti Box. Sesampainya di rumah aku berjanji akan menceritakannya saat itu juga. Tapi pandangan Box tak ditujukan ke arahku. Itu sama juga dengan dia tidak mau mendengar kata kata yang aku ucapkan. Aku tidak bisa berbuat apa apa. Akhirnya hanya bisa menyambar rokok filter dan sebatang korek milik Box, lalu membuat perapian. Ah, kenapa juga aku begitu malas menceritakan Ning pada Box?

Saat perapian membesar, Box datang ke arahku sambil cengengesan. Ada segulung matras hitam di tangannya. Setelah matras itu digelar disampingku, dia menagih lagi cerita tentang Ning. Ah, Box, kamu memang aneh. Coba kalau kamu nggak cacat, aku yakin wajahmu akan sangat layak sekali beredar di media media yang ada. Konstruksi wajahmu adalah definisi cantik yang dikonsep oleh media saat ini. Benar benar cantik. Aku kembali tersenyum. Tak berapa lama kemudian aku mulai menceritakan semuanya. Semua yang belum tuntas aku ceritakan maka aku ceritakan pada Box. Jariku lelah, tapi aku tetap bercerita dari awal sampai benar benar tuntas. Juga cerita tentang si bangsat. Pada akhirnya aku bersyukur, sudah tak ada lagi yang tidak aku ceritakan pada Box.

“Hweghweghweg…”
Box ngakak. Aku tanya padanya kenapa dia sampai tertawa seperti itu, dia malah semakin tertawa sampai kedua matanya keluar air seperti orang menangis. Akhirnya aku diam saja. Jari jariku lelah karena telah banyak bercerita. Itulah kenapa orang bisu lebih senang tidak berpanjang lebar untuk mengisyaratkan maksudnya. Capek. Selalu memilih yang pendek pendek untuk berkalimat ria.

“Jadi semua yang terhampar ini untuk yang namanya Ning? Dan sendang itu kamu bangun atas dasar dendam pada mas Aim?”
Aku mengangguk dua kali. Box tertawa ngakak. Saat kutanya dia kenapa sampai tertawa seperti itu, dia hanya menjawab bahwa orang kampung nggak salah, aku memang gila. Setelah itu Box tertawa lagi. Kali ini aku tersinggung, tapi tetap juga nggak bisa berbuat apa apa. Box terlalu cantik saat tertawa lepas. Sekian lama kemudian, Box mulai tenang. Dia memandang ke arahku.

“Maaf ya..”
Akupun kembali tersenyum. Box memang cantik, bahkan hatinya juga cantik. Kali ini aku lekat lekat memandangnya. Tentu saja Box jengah. Cepat cepat dia melontarkan pertanyaan baru untuk menutupi rona merah pipinya.

“Apakah kamu masih dendam dengan Mas Aim?”
Aku berpikir lama, mencoba mencari cari barangkali masih ada dendam yang tersisa. Tak lama kemudia aku menggeleng. Box senang. Lalu dia bilang tak menyangka kalau sebuah dendam bisa melahirkan sebuah sendang yang secntik itu. Aku jawab, dua hal yang bisa menaklukkan dunia. Pertama adalah dendam yang membara, berikutnya tak lain adalah cinta yang sebegitunya. Kemudian aku diam. Box juga tak kalah diam. Aku dan Box sama sama terjebak dalam diam dan itu sangat lama. Lamanya sama dengan sebatang rokok mild di tangan Box, dari awal dia menyulutnya, sampai dengan dia membuang puntungnya. Selama itu waktu yang aku dan Box habiskan hanya untuk saling diam.
“Apakah kamu serius benar benar sangat mencintai Ning dengan sebegitunya?”
Aku diam, tak mengangguk dan tak juga menggeleng. Tanganku mengambil sebatang rokok filter yang juga milik Box, lalu menyulutnya. Box kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini lebih ringkas.

“Apakah kamu mencintai Ning?”
Kali ini aku menjawabnya. Bukan dengan ya dan tidak, bukan pula dengan menggeleng atau mengangguk. Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah cerita.
“Tadinya aku pikir Tita adalah jodoh yang Tuhan kirimkan hanya untuk aku. Selama tiga tahun aku bersamanya, tak pernah sekalipun kami bertengkar. Kamu boleh percaya boleh tidak, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak bohong. Lagian aku tidak senang dengan kebohongan. Bohong sama juga dengan menipu. Dan itu salah satu dari dua hal yang sangat tidak aku senangi di dunia ini.

“Apa yang kedua?”
Box menatapku. Aku katakan padanya bahwa aku tidak senang dengan yang namanya perpisahan. Menyedihkan, perih, dan menimbulkan luka. Sedangkan luka yang seperti itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk sembuh. Kali ini Box sangat memusatkan perhatiannya padaku. Pandangannya menusuk mata. Kadang aku jengah juga dengan tatapan mata indah Box, tapi aku terus bercerita. Kuceritakan padanya tentang pertemuan pertama di sungai kecil belakang rumah Haji Abbas. Box bilang sungai itu namanya Kali Sanen. Aku mengangkat kedua bahu pertanda tidak tahu tentang itu. Box tersenyum. Aku meneruskan cerita. Tentang saat aku tiba tiba ingin cuci muka, tentang rambutku yang panjang dan kaku seperti rambut orang orang reggae, tentang akhirnya aku memilih rambut itu aku basahi saja hingga airnya tak berhenti mengalir ke bawah, juga tentang tanganku yang reflek mengambil dua kain hanyut di arus sungai. Kemudian aku ceritakan padanya tentang suara langkah kaki yang tergopoh datang ke arahku, sampai pada aku dan Ning yang saling bertatap mata. Box memasang muka tak suka. Lalu aku bilang, apakah aku harus menghentikan ceria sampai disini saja? Box menggeleng lemah. Akupun kembali meneruskan cerita. Kali ini tentang rasa terimakasih yang Ning ucapkan padaku. Juga saat Ning menyebutkan namanya. Saat dia menanyakan namaku tapi aku jawab dengan diam tanpa ekspresi apalagi kata kata.

“Itulah kali pertama aku bisa melupakan Tita”
Box diam, menyalakan rokok, menyulutnya, menghisapnya, lalu kembali diam. Aku meneruskan ceritaku tentang kejadian di pondok panggung dikala aku baru saja turun dari ladang dan hendak mengambil jala. Semua aku ceritakan pada Box. Tentang cikal bakal kenapa aku membenci Mas Aim yang akhirnya lebih senang aku panggil si bangsat.

“Makasih ya mas Kacong, udah pernah menolong kekasih..”
Itu yang Mas Aim bilang padaku, aku katakan itu pada Box. Aneh, kali ini Box justru cengar cengir saat aku menirukan ucapan Mas Aim. Saat kutanya kenapa, dia hanya bilang kalau aku memang seratus persen gila. Saat kutanya lagi kenapa dia bisa bicera seperti itu, Box bilang semua yang aku lakukan setelah kata kata itu terucap, sangatlah tidak masuk akal alias gila. Aku tidak memperdulikan ucapannya, tapi lebih memilih untuk menarikan jari jariku lagi. Tentang jaket yang aku bacok dengan celurit hingga tertancap di tiang, tentang celana pendek yang aku lemparkan dengan sisa sisa tenaga dan pada akhirnya nyantol di kubah masjid yang tiangnya lancip. Aku ceritakan semua itu pada Box. Kisahku selama di dalam rumah londo juga aku ceritakan padanya. Dari saat aku meloncat di atas ketinggian pohon nangka hanya untuk mengambil bandana pemberian Ning, pipis di dalam botol, semuanya, sampai bagaimana akhirnya aku bisa keluar dari rumah itu. Tak henti aku mencelotehkan semuanya pada Box. Box Diam. Aku kembali bercerita. Kali ini tentang bagaimana takutnya aku dengan orang kampung setelah mendengar celoteh antar Mas Aim dan Ning di dalam kamar Ning, sementara aku merebah pasrah di kolong ranjang kamar yang sama. Tentang korek api, tentang ibu baik hati pemilik warung, tentang rumah yang pernah aku satroni, tentang senyum manis Ning yang digerogoti jamur. Bahkan tentang tragedi sayap ayam jantan dan tentang betapa marahnya aku pada nona. Box bergidik, aku minta maaf padanya. Box hanya bilang padaku untuk menceritakan awal pertemuanku dengan nona. Dan aku menceritakaan sebuah teluk yang indah. Box minta aku memperjelas ciri ciri teluk itu, tapi aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Box bilang di hutan ini ada dua teluk, namanya teluk meru dan teluk permisan. Aku sih percaya saja. Saat aku bilang pesona teluk itu seperti sorot mata miliknya, dia malah memukul pundakku. Aku kembali bercerita di depan Box yang tersipu. Semuanya. Tentang si kecil dan keluarganya yaang sama sama kecil, tentang pertemuanku dengan si cicit, dan tentang pertama kali menemukan pondok reyot rumah. Aku hampir saja mengataakan padanya tentang untuk siapa rumah ini aku buat. Tapi urung, khawatir Box marah lagi. Meski begitu, percuma saja aku tak menceritakan itu. Kali ini Box yang menanyakannya.

“Apakah rumah itu untuk menanti Ning?”
Aku diam. Tapi aku tak mau membohongi perempuan sebaik Box. Apalagi aku sendiri tak senang dibohongi. Aku mengangguk.
“Berarti yang kau ceritakan tadi benar, bahwa ladang, taman, kesemuanya ini hanya untuk Ning, perempuan yang pigura fotonya kamu pendam di belakang rumah?”
Aku mengangguk.
“Aku tahu, kamu sangat mencintai Ning. Dari caramu bereaksi akan kata kata Mas Aim hingga kamu memilih hidup seperti ini, aku tahu kamu cemburu. Tapi kenapa saat aku tanya apakah kamu mencintai Ning, kamu tidak sekalipun pernah menjawab? Kenapa..??!?”
Box marah, kesal, menangis, kemudian mengarahkan jari tengahnya padaku. Dua duanya. Anehnya dia tidak kemana mana. Aku mencoba merangkulnya. Box meronta sekuat tenaga. Aku bingung. Akhirnya aku memaksa kembali bercerita saat kedua mata Box menatapku tajam.
“Aku bahkan hanya tiga kali menatapnya. Dua diantaranya bertatap muka dan begitu dekat. Tidak masuk akal dan benar katamu, aku memang gila. Dari kali pertama menatapnya saja aku sudah jatuh cinta. Entahlah, mungkin ini yang namanya cinta pada pandangan pertama. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak senang berbohong, tapi bukan berarti aku senang melihatmu menangis. Maka dari itu aku memilih diam dan tidak mencoba menjawab pertanyaanmu yang satu itu.”
Box sepertinya merana mendengar ucapanku. Tapi aku tetap melanjutkan cerita.
“Atas apa yang terjadi dalam hatiku, itu sama sekali bukan kehendakku. Semua di luar kendali. Tentang Tita yang menikamku dengan seribu tikaman, sampai pada sosok seorang Ning. Ya aku memang gila. Baru aku tahu sekarang bahwa aku memang gila.”
Mataku mulai sembab, tapi sekuat tenaga aku menahannya di depan Box. Kemudian aku kembali merangkai jemari.
“Tadinya aku bisa bicara seperti layaknya manusia normal..”
Box menganggukkan kepala, kemudian mempertegas dengan jemarinya. Ya aku tahu, begitu katanya. Saat kutanya kenapa dia bisa tahu, Box bilang lidahku panjang. Sambil tersipu dia bilang, dia mengetahuinya saat kapan hari aku dan Box saling berpagut lidah. Box juga bilang bahwa aku tidak tuli. Terbukti aku selalu tahu posisi nona dikala menggonggong. Rupanya dia memperhatikan aku saat reflek mencari dimana gerangan nona. Aku menimpalinya dengan mengatakan bahwa aku tahu dia juga tidak tuli. Buktinya dia bisa mendengar radio. Dia tersenyum, aku juga, meskipun dengan mata yang sembab.
“Setelah kejadian itu, saat Tita meninggalkan aku, aku baru tahu kalau aku tak bisa mengingat lebih lama dari hari itu.”
“Tanggal berapa kejadian itu?”
Box menanyakan padaku tentang tanggal, saat dimana Tita melakukan semua itu. Aku diam. Saat Box bertanya apakah aku tidak punya teman lagi selain Yudi, Arimurti, Mak, Keluarga Om Irawan, Keluarga Pak Ilham, Keluarga Kakek Sura’i, Ali, Haji Abbas, Mas Aim, Pak Mu’i, dan beberapa nama yang telah kusebutkan dalam kisahku pada Box. Kali ini aku lebih diam lagi. Terlagi saat Box berkata bahwa aku tahu sepenggal masa SMA dari kang Iben. Aku juga bisa mengingat kenangan bersama rumah Blok R nomor satu saat kukatakan rasanya aku pernah bergelantungan di pagar rumah itu dan terjatuh. Masih bisa mengingat beberapa masa dengan Yun, beberapa lagi tentang kebersamaan bersama Tante neni. Aku diam sambil terus menatap jemari gemulai Box yang menari di udara yang kosong. Sampai pada sebuah pertanyaan, aku tercekat.
“Selain terjatuh dari pagar R satu, apa kamu masih bisa mengingat kenangan masa kecilmu?”

Kali ini mataku tak lagi sembab, tapi mengalirkan air. Hangat dan tak bisa kubendung lagi. Aku malu pada Box, itulah kenapa aku memilih lari menjauh dari Box dan dari perapian menuju sendang. Box perlahan bangkit dan menuju ke arahku. Dari arah yang berlainan, juga ada nona yang menuju ke arah sendang. Baru kali ini aku menyadari bahwa sebenarnyalah aku memang gila.

Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar