Selasa

Jangan Panik Aku Tidak Gila #19

Goresan ke dua ratus dua belas.

Sembilan hari sudah aku dan Box saling bercerita. Dari Box aku jadi mengerti banyak hal. Dia juga yang membuat aku kembali tersenyum, kembali percaya diri. Hanya selama sembilan hari..

“Jarak antara desa Curah Nongko dengan Pace sangat dekat, apalagi di peta ini, hweghweghweg..”
Aku semakin suka mendengar suara tawa dan bagaimana saat dia tertawa. Sementara aku memandang, dia melanjutkan cerita di depan peta topografi yang dia bawa. Sesekali merunduk ke arah peta untuk menunjukkan aku pada beberapa titik, lalu kembali menerawang meneruskan merangkai kata kata.
“Kamu tidak usah khawatir tidak lagi bertemu dengan kakek dan Yu Tatik. Curah Nongko masuk kecamatan tempurrejo, sementara Pace disini”
Dia mengatakan itu sambil jari menunjuk ke peta, ke garis garis yang bertuliskan kecamatan Silo. Lalu dia mengarahkan jari jempolnya ke aku. Tentu saja aku senang. Lebih senang lagi saat dia memberitahuku tentang perkiraan koordinat rumah keluarga Pak Ilham.

“Di peta ini memang tidak ada sumber jeruk. Tapi seandainya peta ini lengkap, kira kira letaknya di sini, masuk kecamatan Kalisat”
Dia menunjuk tempat yang kosong. Sama sekali bukan di lembaran peta yang menurutku aneh, tapi benar benar di luar garis kertas peta. Beruntungnya, koordinat yang di tunjuk tidak terlalu jauh.

“Kenapa kamu bisa membaca peta seaneh ini?”
Box tersenyum mendengar pertanyaanku. Bukankah sudah kubilang padamu bahwa aku adalah seorang pencinta alam? Itu yang Box katakan padaku. Aku hanya diam, nyengir. Box mencuri pandang, tapi aku pura pura tidak tahu.
“Si kecil yang kamu ceritakan, oleh orang kampung biasa disebut wong wil, siwil atau dengan sebutan wong cilik. Kadang ada juga yang menyebutnya wong Alit. Ada yang menganggapnya hanya legenda Meru Betiri yang diceritakan secara turun temurun sejak awal abad dua puluh. Kalau dari paranormal, mereka lebih senang menyebut orang orang kerdil ini sebagai mahluk gaib. Mereka masuk dalam salah satu studi cryptozoology. Katanya sih didanai oleh National Geographic Society. Bahkan tahun 1992 sudah ada peneliti inggris yang kemari, namanya Debbie Martyr dan Jeremy Holden. Tapi mereka nggak dapat bukti apapun. Benar kata kamu, mereka tak suka menjalin kontak dengan manusia normal. Kalau kamu kan gila, hweghweghweg..”

Aku tak perduli dengan tawanya. Aku senang dia bisa menjelaskan sedikit tentang keluarga se kecil yang pernah menolongku.
“Ada yang mengatakan mereka cuma binatang yang mirip siamang. Tapi mendengar ceritamu selama bersama si kecil, aku lebih senang mengatakan sebuah kemungkinan, bahwa bisa jadi si kecil dan keluarganya mempunyai hubungan yang hilang dengan manusia jaman sekarang. Mungkin mereka sisa sisa dari genus australopithecus atau apalah. Kamu benar, ada yang bilang rambut mereka memanjang, ada juga yang bilang rambutnya gimbal sebahu. Kalau mengenai kulit, bisa jadi kulitnya dilumuri tanah liat atau lumpur untuk menghindari serangga hutan. Sebab ada yang pernah bercerita kalau kulit mereka hitam, tidak coklat seperti yang kamu lihat. Banyak yang bilang mereka bertelanjang sambil membawa tongkat panjang untuk menombak udang sebagai makanan mereka, tapi kamu bilang mereka menutupi beberapa bagian tubuhnya dengan sisa sisa kain seperti kain milik manusia modern.

“Kamu lebih percaya yang mana?”
Box diam, menatapku, lalu tersenyum. Kamu sudah tau jawabannya, begitu katanya. Tentu saja aku salah tingkah. Aku coba menutupi dengan sebuah pertanyaan. Aku tanyakan padanya kenapa dia bisa tahu? Dengan santai dia menjawabku.
“Aku kan pencinta alam, hweghweghweg..”

Setelahnya, Box meneruskan untuk kembali berceloteh. Kali ini dia tanpa diminta membahas penyebab luka cakar yang berdiri vertikal di punggungku. Tahu juga Box dengan harimau jawa. Yang lebih menyenangkan lagi, dengan menggebu gebu dia antusias mengatakan bahwa bekas luka di punggungku ini memang cakaran harimau jawa. Saat aku katakan padanya bahwa aku sendiri tidak tahu seperti apa bentuk hewan yang mencakarku, dia malah ketawa lalu tak lama kemudian mulai menceritakannya.

“Nama kerennya panthera tigris sundaica. Ada juga yang menyebutnya javan tiger. Ciri ciri harimau ini, bla bla bla..”
Aku tidak tertarik dengan penjelasannya. Sama sekali tidak tertarik. Terlalu ilmiah dan memusingkan saja. Padahal ada yang ingin kukatakan. Tapi aku tak tega memutus tarian jemarinya. Barulah saat aku merasa sepertinya ini akan menjadi sangat panjang, aku memotongnya dengan sebuah pertanyaan. Tadinya aku kira Box akan cemberut saat aku tanyakan padanya, kenapa orang orang tega menganggapnya punah? Dia tersenyum dan senyumnya merekah. Ah, Box yang cantik, bahkan dia bilang pertanyaanku cerdas. Siapa yang tidak melayang di puji perempuan secantik Box, pencinta alam lagi. Wow, keren..

Ini adalah sebuah kecelakaan saja, begitu katanya. Tentu saja aku bingung dan menanyakan apa maksudnya. Dia bilang, orang orang sudah terlanjur menyatakan bahwa habitat terakhir harimau jawa hanya ada di meru betiri.
“Apa itu meru betiri?”
Lugas dan jelas aku mengatakannya. Mana aku tahu kalau akhirnya dia memekik sambil melotot ke arahku.
“Kamu memang benar benar gila, Meru Betiri ya nama hutan ini..”
Aku tersenyum merasa bodoh. Ah biarlah, setidaknya aku bisa melihatnya melotot. Setidaknya lagi aku dapat kuliah singkat tentang apa itu taman nasional. Lalu Box meneruskan cerita tentang kenapa harimau jawa dianggap punah. Beriringan dengan itu, aku menyodorkan banyak pertanyaan bodoh padanya. Mau bagaimana lagi? Dia menyebutkan tentang TNMB, WWF, CITES, PHPA, dan masih banyak lagi singkatan yang sama sekali tak kumengerti.

“Masalahnya, harimau jawa dinyatakan benar benar punah sama sekali oleh CITES tahun 1996. Sedangkan bulan ketiga di tahun berikutnya, 1997, majalah ADIL edisi ke delapan belas, memuat laporan tentang rencana pertambangan emas di hutan ini”
Aku tertegun dengan ocehan mahluk cantik di depanku. Kenapa dia bisa berpikiran setajam ini? Dan kenapa dia sampai tahu detail mengenai majalah ADIL edisi delapan belas? Saat kusampaikan penasaranku, Box bilang, untuk masalah majalah itu, dia baca dari sebuah buku berjudul menambang petaka di Meru Betiri, langsung diterbitkan oleh Jaringan Advokasi tambang. Aku berdecak kagum sambil tak henti menatapnya.

“Pasti ada main. Entah itu suap, lobi lobi politik internasional, atau apalah.. Kalau saja harimau jawa tidak dinyatakan punah, tak akan ada yang bisa menambang di Meru Betiri”.
“Pantas telingamu kosong, nggak ada perhiasan emasnya”
Box tersipu malu. Tak hanya pipinya yang merona, telinganya juga ikut merona merah. Box bilang, dari seratus ton batuan, hanya tiga persen yang diolah lagi untuk disaring kembali kandungan emasnya. Sedang berton ton lainnya dibuang sebagai limbah. Bisa jadi satu gram emas yang ada di tubuh kita berbanding dengan satu ton limbah. Ah, Box tak hanya cantik, tapi juga memiliki wawasan lingkungan yang menarik. Kala kutanyakan padanya, apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan keberadaan harimau jawa, dia bilang, banyak sekali yang bisa dilakukan. Sayang dunia internasional ingin bukti yang paling otentik, selembar poto. Padahal hewan itu hanya mau menampakkan diri pada penduduk sekitar yang sudah bertahun tahun hidup berdampingan. Mereka tidak akan membawa kamera kalau hanya untuk mencari kayu bakar. Kalaupun mereka ngotot bercerita pada dunia, siapa yang percaya dengan rakyat jelata? Mereka bilang, itu adalah data yaang tidak komprehensif. Saat kutanyakan kenapa harimau jawa tidak pernah tertangkap kamera yang sengaja dipasang? Bukankah katanya itu menggunakan infra merah?

“Harimau jawa tidak sebodoh itu”
Itu yang dikatakan Box. Dan aku percaya. Dilihat dari besarnya kepala, pastilah besar otaknya lima kali dari otak nona. Dan itu berarti, setidaknya harimau jawa lima kali lebih hebat dari anjing. Aku nyengir sendiri demi menyadari bahwa daya nalarku terlalu konyol. Saat Box tanya kenapa aku senyum senyum sendiri, aku bilang kalau dia cantik. Dia jengah, tapi buru buru memberiku salam jari tengah. Untunglah kali ini tidak dengan terisak, tapi tersenyum. Hari semakin merangkak saat nona menggonggong.

Pada goresan yang ke dua ratus dua puluh dua..

Sampai berhari hari lamanya, Box selalu ada alasan untuk tidak segera pulang. Alasan paling mentok adalah karena dia memang ingin dicari. Itu juga karena sudah tak ada alasan lagi. Setidaknya menurutku begitu. Tadinya dia ingin merawatku setelah aku pincang setelah kejadian terinjak injak seekor banteng tua bertanduk satu. Setelah aku sembuh, ada alasan lain lagi. Mulai dari sakit perut, sakit gigi, mual, mata berkunang kunang, dan masih sejuta alasan lain. Bahkan gara gara ingin mencukur kumisku saja dia jadikan alasan. Anehnya, semuanya lolos sensor. Box ada bersamaku sampai hari ini. Dan sampai berhari hari ini, tentu saja aku masih bertahan untuk tidur di luar rumah. Box memaksa aku tidur di dalam rumah saja, tapi berkali kali juga aku menolaknya. Tidak akan terjadi apa apa, begitu katanya. Tapi mana bisa aku percaya? Box terlalu cantik untuk itu. Dan aku terlalu rapuh untuk sekedar membentengi diri. Tidur di luar rumah adalah satu satunya pilihan terbaik dari semua pilihan yang semuanya buruk. Sampai pada malam yang baru saja datang ini, Box benar benar pucat. Bukan hanya itu, Box muntah karena tadi terlalu lama bermain air di sendang. Aku tidurkan dia di dalam rumah berbantalkan spanduk, lalu aku menutup pintu. Kunyalakan lampu senter milik Box yang jarang dia gunakan selain awal dia disini. Syukurlah masih terang. Tak lama kemudian tanganku sudah mencari cari kotak obat di ransel milik Box. Ketemu. Ada banyak pil, segulung plester, yodium, obat anti malaria, dan minyak kayu putih. Segera aku mengambil minyak kayu putih, kuoleskan ke telapak tanganku, lalu.. Lalu aku bingung harus aku apakan miyak yang terlanjur aku tuang ini. Haruskah aku oleskan ke tubuhnya? Akhirnya semua ku oleskan ke telapak kaki Box. Kemudian kulihat tangannya mengisyaratkan kata kata. Dia ingin agar aku bercerita tentang perasaanku pada Ning. Ah, Box, selemah ini badanmu masih saja kembali ke pertanyaan yang sama. Tentu saja aku menggeleng. Dia bilang aku jahat. Tak lama kemudian dia menangis. Lalu dia masih saja memaksa jemarinya yang lemah untuk merangkai kata.
“Kenapa kamu tidak pernah menyentuh setumpuk kertas yang kamu ambil dari kamar Ning?
Aku tidak menjawab. Box memaksa. Akhirnya aku jawab juga kalau aku takut. Saat dia tanya kenapa aku takut, aku bilang nggak tahu. Lalu dia tersenyum dengan mata yang terisak. Dia katakan padaku bahwa dia sudah membaca semua kertas dan beberapa bendelan itu. Ya aku tahu, begitu jawabku.

“Kertas itu penting buat Ning, tidak buat kamu. Kamu harus mengembalikannya. “
Aku tentu saja bingung. Lalu aku tanya kenapa bisa begitu. Box memberitahuku bahwa itu hanyalah setumpuk bendel penelitian. Ada berkas berkas asli, beberapa diantaranya standart dunia. Dia juga bilang, kalau aku sayang sama hutan dan harimau jawa, aku harus berjanji padanya untuk mengembalikan setumpuk kertas itu. Aku mengangguk dan Box tersenyum.
“Hanya satu lembar ini saja satu satunya kertas yang ada di sana, yang aku simpan sendiri”
Aku tanya pada Box kenapa dia menyimpannya. Sambil meraih kertas di sakunya, dia bilang biar aku tidak membacanya.
“Kenapa?”
“Bukan apa apa, hanya saja Ning menceritakan tentang kamu di sini”
Aku kaget mendengarnya. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyembunyikan wajahku yang terlonjak, tapi kemudian diam demi melihat Box yang memiringkan badannya untuk merebah membelakangiku. Aku menepuk nepuk lengannya, Box menoleh. Matanya sembab. Dia menatapku lama sebelum akhirnya benar benar tak bisa menahan mendung di kedua kelopak matanya. Aku bingung, resah, salah tingkah, penasaran oleh sikap Box, tapi aku juga ingin mengerti apa yang Ning tulis untukku. Melihat Box, sudah tak bisa ditutup tutupi lagi, dia sepertinya menyukaiku. Tapi kenapa? Tak kuat menahan beban yang aku pendam sendiri selama berhari hari, akhirnya aku putuskan untuk menanyakan saja pada Box. Sebuah kalimat yang apa adanya.

“Box, apakah kamu menyukaiku?”
Box masih terisak. Matanya yang memerah kini menghunjam ke dasar mataku. Aku tak bisa berkutik dibuatnya. Namun begitu aku masih setia menunggu jemari indahnya merangkai jawaban.
“Siapa yang tak suka pada lelaki yang bisa menaklukkan seekor banteng..”
Box masih terisak saat mengatakan itu. Sedang aku sendiri? Aku takjub mendengar jawabannya yang tak kalah sederhana tapi berhasil membuat aku tersanjung. Mulutku sedikit menganga. Selang beberapa waktu kemudian aku mengatakan sesuatu padanya.
“Box, pipi kananku bercodet, kulit punggungku bisa dikatakan rusak, aku juga gila, tidakkah kau takut padaku? Tidakkah kau malu menyukai seseorang yang seperti aku?”
Kali ini Box menahan isaknya, matanya melotot, dan dia berusaha bangkit dari matras. Dia mengingatkan aku pada kejadian saat aku bertarung dengan banteng tua yang salah satu tanduknya sudah patah. Dikala semuanya usai, saat tanganku masih menggenggam pisau dan masih berdarah darah, aku mendekat ke arah Box.
“Tidakkah kau ingat apa yang kau ucapkan?”
Aku menggeleng dan masih dengan terisak Box kembali melayangkan lentik jemarinya.
“Jangan panik aku tidak gila..”
Bukan itu saja, dia menyinggung juga tentang codet dan bekas cakaran di punggungku.
“Laki laki, semakin banyak luka semakin jantan..”
Aku ingin segera menepis pendapat terakhirnya, setidak tidaknya dia juga harus tahu argumen dari si empunya luka sendiri. Tapi Box lebih cepat dan lebih tangkas menarikan jemarinya.
“Kalau kamu masih saja percaya akan pikiranmu bahwa kamu gila, maka kamu akan gila. Itu adalah sebuah kekuatan pikiran. Selain itu, kalau kamu masih saja berpikir seperti itu, berarti kamu tidak menghargai aku. Bukankah sedari beberapa hari kemarin sudah kubilang, orang gila tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa apapun termasuk bahasa isyarat. Kamu bisa dan kamu tidak gila”
Box menghentikan jemarinya, memijat mijatnya, lalu meneruskan kembali celotehnya tentang aku.

“Memori yang tak bisa kamu ingat itu bukan sebuah masalah. Kamu bisa mengumpulkan kembali satu persatu memorimu yang berceceran. Aku tidak bilang bahwa kamu mantan gila. Anggap saja kamu amnesia meskipun katamu kamu tidak pernah terbentur. Benturan bisa dari mana saja. Bisa dari kecelakaan pesawat yang dialami orangtuamu. Barangkali setelah kejadian itu kamu berempati untuk sekedar mencoba ikut merasakan apa yang telah dialami orang tuamu. Bagaimana ledakannya, bagaimana kulit ini terbakar, bagaimana rasanya saat mengakhiri hidup dalam sebuah ledakan, dan masih banyak lagi. Bisa jadi kamu mencoba turut merasakannya setiap akan terlelap. Sepanjang hari. Dan itu semakin menggunung hingga pada suatu waktu kamu mengalami tekanan berat. Dari istrimu yang cantik itu maksudku. Seperti bom waktu, akhirnya semuanya meledak, seperti meledaknya tawa yang kamu ceritakan padaku.”
Aku ingin menghentikan celotehnya untuk sekedar meluruskan kata katanya mengenai Tita yang dia katakan sebagai istriku yang cantik, tapi Box keburu memberi isyarat stop padaku. Akupun diam dan Box kembali bercerita. Kali ini dia tidak terisak meskipun masih menangis. Air matanya berderai tanpa sekalipun coba dia usap. Ya, Box bercerita sambil menangis.

“Kamu bilang aku orang pertama dimana kamu akhirnya bisa berkomunikasi dua arah. Berdialog. Sebelum itu yang kamu bisa hanya tertawa, menjerit, lalu tersenyum. Dan kamu juga begitu saja menyimpulkan bahwa sebelum kamu bisa bedialog denganku adalah masa masa dimana kamu mengidap gila. Kalaupun aku gagal memberikan pengertian padamu, dengarkan yang ini. Sekali saja. Aku tidak akan mengulangnya jika kamu tidak senang”
Box menurunkan tangannya. Dia mengusap derai air matanya yang semakin lama semakin berurai. Aku mengangguk mengisyaratkan padanya bahwa aku siap dan mau mendengarkan. Masih dengan menangis, Box melanjutkan komentarnya tentang aku.
“Kalaupun kamu gila, setidaknya kamu bahagia bisa tertawa dan bisa mentertawakan banyak hal. Hidupmu medeka. Tidak seperti mereka yang pura pura bahagia tapi ternyata tidak sama sekali. Dan kamu bebas menertawakan orang seperti itu. Itu semua karena kamu kebal hukum. Dan..kalaupun kamu memang benar benar gila, setidaknya Tuhan tidak akan mencatat apa saja kesalahanmu, termasuk tentang kubah masjid yang berulang ulang kamu ceritakan. Itu bukan sebuah kesalahan. Dan kamu tidak harus sembunyi dari ketakutan akan ancaman orang kampung. Percayalah bahwa orang gila itu kebal hukum dunia akherat. Tapi itu hanya berlaku selama kamu gila. Menurutku kamu tidak pernah gila. Tapi kalau kamu masih menganggap bahwa kamu adalah bekas orang gila, bukankah hari ini kamu tidak gila?. Tak ada yang perlu kamu takutkan. Termasuk ancaman orang kampung. Percayalah bahwa hidup mati seseorang ada di kehendak Tuhan, bukan di tangan orang kampung. Terbukti, sampai hari ini kamu masih bernafas, setelah semua yang terjadi padamu, yang kau ceritakan padaku.”
Box berhenti. Dia merunduk, menarik nafas, dan menatap kedua mataku begitu tajam. Aku hendak berkata sesuatu, tapi lagi lagi tangannya mengisyaratkan bahwa dia belum selesai. Air matanya masih mengalir meski tak sederas sebelumnya. Wajahnya memerah tapi dia bersikukuh untuk tetap melanjutkan menggerak gerakkan jari dan kedua tangannya, seperti ingin merobek udara.

“Apakah menurutmu hidup itu adalah hari hari yang sudah kamu lalui? Kalau kamu punya pendirian seperti itu, aku hanya bisa bilang selamat meratap. Sesalilah masa lalumu. Teruslah kecewa dengan apa yang kamu alami sebelumnya. Tidak apa apa, kamu berhak atas dirimu sendiri. Tapi seenggak enggaknya dengar ini. Apapun yang kamu sesali, semeratap apapun dirimu akan kejadian yang telah berlalu, itu tidak akan bisa memperbaiki apa apa. Tidak juga menghidupkan kembali apa yang sudah mati. Detik terus berjalan, waktu terus berlalu, tak perduli kamu sedang sedih atau tidak, tak perduli kamu sedang meratapi luka atau tidak, dan tak perduli kamu menganggap diri bekas orang gila atau tidak. Seharusnya kamu belajar dari bukit ini. Angin bisa menggoyang bulu bulu nona, bisa mempermainkan debu di halaman rumah, tapi dia tidak bisa menggoyahkan bukit. Kenapa? Karena bukit menikmati hari ini, bukan hari yang telah lewat. Padahal tugasnya tidak bisa dikatakan mudah. Tugas bukit adalah berzikir pada Tuhan, tapi dia menikmati itu setiap hari. Dia tidak pernah menyesal diciptakan menjadi bukit. Satu lagi, dia tidak pernah memikirkan masa depan. Harusnya kita juga seperti itu. Kemarin sudah lewat. Yang ada hanyalah hari ini. Dan hari esok adalah rahasia sang Pencipta. Dan, kamu.. Hari ini kamu tidak gila. Kalau pun kamu masih merasa gila hanya karena ingin tahu selembar kertas dari Ning, ini..!!”

Box selesai dengan kata katanya. Bersamaan dengan itu dia melemparkan lipatan kertas dari Ning. Dan lipatan kertas Ning sekarang sudah ada di genggamanku. Haruskah aku membacanya? Rasanya tidak. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu pada Box. Kemarin sore, diam diam aku membuat sebuah puisi untuknya. Pertama kali aku mau dan berani menulis lagi, meskipun dengan sebuah spidol besar milik Box, meskipun aku tuliskan di sela spanduk dan meskipun aku menulisnya saat Box sedang berjalan jalan dengan nona ke puncak bukit. Itu semua aku lakukan untuk orang yang sekarang duduk menangis di depanku sambil menyembunyikan wajahnya. Aku menepuk perlahan lengan Box. Dia menengadahkan wajahnya yang disembunyikan dengan kedua telapak tangannya. Air mata masih berlinang di sana, di tempat yang semakin lama semakin sukses menggeser bayang bayang Ning. Saat dia benar benar menatapku lekat, aku menggeleng padanya. Kulemparkan begitu saja surat dari Ning yang belum tentu benar benar untukku. Tapi aku terperanjat saat membaca rangkaian jemari tangannya. Dia menyebut lengkap namaku, dengan embel embel tuan di depannya. Bukan itu saja, agghhh..aku tak bisa menerima ini.

“Tuan Yopi Firman Jauhari yang tidak gila, pliss.. Kumohon, baca itu sekali saja. Dan besok pagi, tunjukkan aku jalan pulang”.
Pedih. Dia bahkan tidak pernah memanggilku mas, kakak, bang, atau apalah yang mengingatkan aku bahwa aku lebih tua darinya. Kamu, begitu biasanya dia memanggilku. Dan kini, sekali memanggil langsung dengan sebutan tuan. Satu lagi yang begitu mendadak dan begitu menghentak. Tiba tiba dia hendak ingin pulang. Padahal.. Ah, biarlah. Toh bagaimanapun dia sudah memberikan waktu yang sangat lama padaku. Tuhan mengirimkan aku seorang malaikat. Sayangnya malaikat itu terlalu cantik..

“Aku membuat puisi untukmu..”
Akhirnya. Hatiku lega setelah kedua tangan ini merangkai kata kata itu. Box tidak berekspresi apa apa. Dia bilang, perpisahannya masihlah besok pagi. Bukan itu saja, dia katakan bahwa aku tidak perlu se-melankolis itu dalam menghadapi segala macam perpisahan. Perpisahan adalah bagian dari hidup, begitu katanya. Aku diam. Wajahku memerah. Entah apa yang aku rasakan aku sendiri sulit menebaknya. Kali ini Box memaksa. Pandangan matanya sama sekali tidak bersahabat. Aku tahu dia sekuat tenaga melakukan itu di antara sembab dan air mata yang belum lagi mengering. Dia memaksa aku untuk membaca surat milik Ning. Mata yang mencoba marah itu terlalu indah untuk tak kupenuhi keinginannya. Aku pun mulai membuka lipatan kertas itu. Seperti dari sebuah buku harian yang tercecer. Tak bertanggal dan tak bertanda tangan di bawahnya. Hanya selembar saja..

Dear Dea Sayang…

Kemarin lusa mama ketemu seseorang sayang. Keren, gagah, dan sangat laki laki. Mama tidak tahu namanya. Yang mama tahu, dia menyelamatkan sarung milik Almarhum papa kamu. Ada juga yang dia selamatkan, bandana. Kenang kenangan saat mama dan papamu melancong dulu. Tentu saja mama mengucapkan terimakasih padanya. Dan mama bilang kalau barang barang yang hanyut itu milik mama. Andai Dea tahu cara dia menatap mama.. Sama seperti cara papa kamu dulu mengucapkan cintanya ke mama. Mama rasa, laki laki itu jatuh cinta ke mama. Ah, mama jadi malu sama kamu Dea.. Untuk laki laki keren itu, mama berikan saja bandana itu pada dia. Sayangnya, dia tidak menyebutkan namanya. Eh, Dea, tahu nggak, mama kasih nama mama apa ke dia..Ning..hihi..Itukan nama sayang papa kamu kalau lagi manggil mama.
Malamnya mama nggak bisa tidur. Mama mikirin si laki laki keren. Beneran nih Dea. Gimana dia bisa ketemu mama, seandainya saat mencari mama saja dia salah. Harusnya mama jujur ya Dea, harusnya mama bilang aja kalau nama mama kekasih.
Saking kacaunya, malam malam Mama telpon Om Aim, partner penelitian mama. Eh nggak diangkat. Ya sudah mama akhirnya tidur tiduran aja di ranjang sambil cengengesan sendiri mengenang tatapannya yang dahsyat. Bisa ditebak, mama sukses nggak tidur sampai pagi, hihi..
Satu jam kemudian, saat team ekspedisi pencarian jejak harimau jawa udah kumpul, mama cerita ke mereka. Kita kan emang biasa terbuka. Maklumlah sayang, biasa kerja satu team. Ke temen temen mama, mama bilang kalau sepertinya mama jatuh cinta. Salah satu dari teman mama tanya, apakah dia bercodet? Mama mengangguk. Mata mama berbinar sambil hati ini terbang membayangkan codet di pipi kanannya yang macho. Pikir mama, akhirnya ada juga yang mengenalnya. Eh, bukannya ngasih tahu siapa namanya, mereka malah tertawa ngakak. Pakai acara nggak berhenti lagi.
Dea, andai kemarin kamu tahu sayang, bantal ini basah oleh air mata. Laki laki yang bikin mama nggak bisa tidur itu ternyata orang gila. Hiks hiks hiks.. Semua rekan mama bilang gitu. Semuanya..Eh, nggak ding. Ada satu yang nggak terima. Om Aim. Itu lho, putranya Pak De Dul Yang lagu lagunya kadang kamu nyanyikan itu..Nah, yang itu, vokalisnya tamasya. Om Aim bilang, dia orang yang baik, nggak layak diketawain kayak gitu. Akhirnya semua diem deh..Tapi kemudian ngakak lagi saat tau mama ngacir ke kamar. Mama nangis Dea.
Udah dulu ya sayang..mama lagi labil nih, hihi..Jangan lupa janji Dea ke mama. Nggak boleh nakal sama eyang, truss..yup pinter..kalau nakal nggak bisa masuki esde yang..ba..gus.. Makasih ya cantik, udah mau dengerin mama..Dadaaahhh..Twing…!!!

NB : Dea, semoga nanti kamu tidak benar benar membacanya nak..

Aku lipat kembali surat Ning untuk buah hatinya. Dari selembar surat saja aku sudah mengerti banyak hal. Perlahan ku arahkan pandangan pada Box. Ternyata sedari tadi dia sudah menatapku. Lebih tajam dan lebih menghunjam. Box seperti tak perduli air matanya mengalir lebih deras dari biasanya. Ini yang paling deras selama aku mengenalnya. Kenapa justru dia yang terguncang? Bukankah seharusnya aku? Entahlah, barangkali dia terlalu jauh menebak apa yang aku rasakan. Bisa jadi Box takut aku menjadi benar benar gila karena selembar surat milik Ning. Tak lama kemudian dia sudah memberondongkan banyak hal padaku. Gerakan tangannya tak berhenti menari di depanku seperti ingin bersaing dengan air matanya yang berlinang.

“Itulah kenapa aku selalu tersenyum saat kamu menceritakan tentang segala dendam kesumatmu pada seseorang yang bernama mas Aim. Beberapa kali kamu memanggilnya bangsat, beberapa kali juga aku menanggapinya dengan tersenyum. Ngapain juga kamu menghunuskan celurit ke jaket orang yang justru ternyata membelamu di depan teman teman orang yang kamu rindukan kehadirannya. Harusnya tak usah kamu lemparkan celana itu ke kubah, ngapain? Sekarang kamu merasa percuma kan membuat sendang dengan modal dendam. Bisa jadi kamu juga merasa rugi menancapkan pisau kamu ke dagu banteng tua itu. Bukankah kamu tidak hendak melindungiku? Bukankah kamu hanya ingin menumpah habiskan kesumatmu pada orang baik yang kamu panggil si bangsat? Bla bla bla..”
Box terus mengocehkan jari jarinya ke udara kosong. Seperti ingin meledakkan seluruh hutan dengan kesunyian, dia terus memuntahkan emosi yang berhari hari hanya dia tutupi dengan sebuah senyuman. Sementara aku mencoba untuk bergerak melangkah ke sampingnya, tapi Box sekuat tenaga menahanku. Padahal aku hanya ingin mengambil kain spanduk di belakang pantatnya. Aku dihempaskannya. Aku pun terhempas dan terdorong ke belakang. Box tak perduli. Linang air matanya benar benar gagal menyembunyikan kemarahannya yang nyalang. Terus saja jemarinya menari. Seperti hendak menghancurkan apa saja yang menghadang jari jari itu menari.

“Terimakasih telah menyelamatkan kekasih, kalimat itukan yang kamu muakkan dari mulut orang yang namanya mas Aim? Itu nama gadis yang siang malam tak henti kamu nantikan kunjungannya, agar dia tahu apa yang tangan tanganmu kreasikan untuk seorang mamanya dea, si tuan putri Ning. Namanya Kekasih, bukan Ning…!!! Tak ada yang salah dengan mas Aim”.
Suasana hening. Box seperti sedang menunggu jemariku membantah. Tapi aku memilih diam.

“Kenapa diam? Senang kamu dibilang codetmu macho. Senang kamu sukses membuat pujaan hatimu itu nggak bisa tidur. Senang ya? Merasa keren ya? Apa kamu juga senang demi mengetahui bidadarimu itu janda?”
Box semakin menghambur hamburkan kalimatnya dalam dunia sunyi demi mengetahui aku yang tadinya hanya diam saja, kini melempar senyum ke bibirnya yang merekah oleh marah. Dia bilang aku tersenyum lantaran dia tak secantik Ning. Dan seterusnya. Aku masih setia menantinya menghentikan jemarinya yang meluap luap. Tapi tak juga Box berhenti. Sampai di detik berikutnya, aku lebih memilih untuk meremas saja kedua tangannya biar tak lagi bicara. Nyatanya dia masih meronta ronta kesetanan. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mendekap tubuhnya. Tetap saja dia meronta dengan tenaga yang maha hebat. Untuk ukuran Box yang lembut, tenaga yang dia kerahkan tak terduga kuatnya. Merasa tak ada lagi yang bisa aku lakukan, tiba tiba secepat sinar lampu senter yang merambat di udara, entah mendapat inspirasi darimana, seketika itu juga aku mengecup bibirnya. Secepatnya. Sepenuh hati. Sepenuh cinta. Sepenuh perasaan lelaki jantan yang ingin melindungi perempuannya terkasih. Aku berhasil menenangkannya. Dan Box lunglai dalam pelukanku.

“Bolehkah aku menunjukkan sesuatu padamu?”
Aku mengatakan itu setelah mengecup mesra bibirnya dan saat Box tak lagi liar. Dia masih dalam pelukanku. Tak berapa lama kedua tanganku memegang pundaknya yang lemah. Box diam. Wajahnya seperti seorang pencuri yang baru saja tertangkap. Perlahan kuhapus linangan air matanya dengan jari jariku. Lembut dan dengan cara yang seanggun mungkin. Kemudian, dengan tak kalah lembut, kukecup kedua kelopak matanya satu persatu. Dia terpejam. Dari kedua telapak tanganku, aku tahu bila badannya sedikit menggetar.

“Aku menuliskan sesuatu untukmu. Istimewa hanya untukmu, tak ada yang lain..”
Box menatapku. Perlahan jemarinya mengatakan sesuatu.
“Kekasih..?
Aku katakan pada Box, Ning atau kekasih atau apapun namanya, senyumnya telah habis termakan jamur, dan aku telah memendamnya. Box diam. Lalu aku katakan juga padanya. Aku memang pernah merindukan Ning untuk berkunjung ke rumah ini walau hanya sekali saja, tapi panjangnya rindu itu tak lebih panjang dari luka yang ada di tubuh nona.
“Lalu..?”
Lalu pertanyaan Box aku jawab dengan meraih tas kuning yang aku ambil dari kamar Ning. Secepatnya aku ambil kaos yang belum pernah aku pakai. Ku robek bungkusnya, dan seketika itu juga aku memakainya. Mata Box berbinar. Dia tahu cerita dibalik kaos yang kukenakan ini. Aku pernah mengatakan padanya bahwa kaos itu akan aku pakai hanya jika Ning datang berkunjung. Dia kemudian menanyakan sesuatu.
“Mana puisi yang kamu bilang?”
Ah, masih ingat juga dia pada kata kata jemariku. Aku bilang padanya kalau puisi itu ada di belakangnya.
“Mana?”
Terbelalak dia demi mencari cari puisi yang aku maksud. Kemudian perlahan tanganku meraih kain spanduk persis di belakangnya. Dia semakin membelalakkan sepasang mata indahnya demi menyadari aku hanya meraih kain yang selalu dia bikin bantal.
“Mana?”
Kembali tangan tangan Box membentuk sebuah isyarat hanya untuk melemparkan pertanyaan yang sama. Kali ini lebih manja. Aku sampai gemas dengan tangan tangan yang melayang itu. Aku lipat lipat kain spanduk hingga menjadi sedikit melebar, hampir setengah dari luas rumah yang besarnya hanya sematras. Lalu di bagian warnanya yang putih, seketika aku bentangkan ke depan wajah Box yang terkaget. Lebih kaget lagi saat dia membaca kata kata yang tertulis manis di spanduk terindah sedunia.. Dan lagi lagi, dia terbelalak.

JANGAN PANIK, AKU CINTA KAMU...

Malam begitu syahdu ketika aku dan Box ada di luar rumah. Bulan, bintang, api unggun, dan gonggongan nona, semua terasa lebih indah dari hari hari sebelumnya. Semua hanya karena aku dan Box saling berpelukan. Saling bicara tanpa suara. Saling ingin mengantarkan. Sementara aku ingin mengantarkan Box pulang, Box ingin mengantarkan aku ke orang orang yang pernah aku ceritakan padanya. Orang orang baik yang terlalu mengesankan untuk dikenang kebaikannya.
“Aku juga akan mengantarkanmu ke Ning. Sekedar memastikan bahwa kamu hanya akan mengembalikan barang barangnya saja, tidak lebih..”
Box mengatakan itu dengan wajah yang dibuat buat. Ah Box, apa aku juga harus menghancurkan tempat ini? Saat aku benar benar mengatakan itu, tiba tiba Box menciumku. Nona hanya bisa menggonggong. Malam semakin dingin, sedang aku dan Box semakin terhanyut rasa. Ternyata benar kata Haji Abbas, dua orang yang berbeda jenis hendaknya tidak berdua saja di tempat yang sepi. Itu hanya akan membuat setan semakin menyeringai. Hampir saja setan yang menang, kalau saja nona tidak memaksa ikut bergumul diantara aku dan Box yang disangka bercanda. Ah nona, dasar anjing.

Di hari yang lain, saat ada yang menjumpai dua pasang anak manusia, yang satu bercodet dan yang satu jemarinya menari di udara, tertawa di tepi jalan sambil sesekali saling berpelukan, jangan panik, mereka tidak gila..

Dan jangan panik, selesai..

0 komentar:

Posting Komentar