Selama aku ada di Jember, orang orang sekitar rumah pak Ilham lebih senang menyebutku Cong atau Kacong. Aku tahu apa artinya. Itu dulu menjadi olok olokan Arimurti mantan sekretarisku bila memanggil si Yudi. Ya, sampai hari terakhir kebersamaanku dengan mereka, aku masih sempat mendengar sebutan itu di ucapkan oleh Arimurti. Kacong adalah istilah Madura untuk meyebut anak atau nak pada seorang anak laki laki. Kacong tidak sama dengan kacung. Kalau kacung bisa diartikan jongos. Kacong lebih mulia dari itu.
Nama itu lahir di kali bening yang akhirnya aku tahu adalah kali cabangan dari sungai bedadung. Setiap sore aku kesana. Meskipun tanpa si Janda atau bahkan saat pak Ilham tidak kesana, aku tetap ke kali bening, merapat bersama siapa saja yang kebetulan memandikan kendaraannya. Tanpa babibu aku langsung ikut memandikan kendaraan. Dan seperti biasanya saat aku memandikan si Janda, hasil cucianku selalu bisa diandalkan. Ini yang membuat banyak orang menaruh simpati. Tak ada satupun dari mereka yang memanggilku Gila. Kacong, itulah namaku sekarang. Bukan lagi Yopi Firman Jauhari putra bapak Sudibyo Firman Jauhari.
“Cong..Kacong..gantian dong..punyaku cuciin juga..”
Suara suara seperti itulah yang akrab di telingaku setiap sore. Tak kutemukan sebuah cibiran disini. Meskipun saat saat dimana pada akhirnya aku tertawa keras sekeras kerasnya, mereka toh biasa biasa saja. Paling paling menyilangkan jari telunjuk tangan kanannya di dahi membentuk tanda garis miring. Aku tahu apa artinya itu, tapi aku tahu mereka tidak bersungguh sungguh. Dari kesenanganku mencucikan kendaraan milik rekan pak Ilham yang aku lakukan dengan riang hati, aku seringkali mendapatkan sesuatu. Semacam imbalan balas jasa. Apalagi kalau aku mencucinya sendirian dan bersih. Apalaginya lagi, kalau yang aku cucikan itu adalah kendaraan besar macam si Janda. Tidak hanya sebatang rokok yang aku dapatkan, terkadang juga beberapa lembar uang seribuan. Ini yang membuat aku seperti terlahirkan kembali, meskipun bukan sebagai seorang eksekutif muda pemilik sebuah perusahaan besar. Dianggap setara saja itu sudah lebih dari menyenangkan. Dan lagi mereka tidak pernah mempersoalkan perihal tingkah lakuku yang sering tertawa sendirian. Pernah suatu hari, juga di pinggiran kali bening, aku menangkap pembicaraan pak Ilham dengan beberapa rekannya sesama pemilik truk.
“Kok si Kacong nggak pernah ganti baju ya pak, kenapa?”
Seseorang yang tinggi besar dan kepalanya plontos menanyakan itu pada pak Ilham. Dengan santai pak Ilham menjawabnya.
“Kurang tahu juga ya saya, padahal sudah berkali kali saya menyodorkan baju baru, kadang dengan warna yang sama, tapi ya kok nak kacong ini tidak pernah mau..”
Kali ini pemuda seumuranku yang aku tahunya dia sebagai kernet truk bapak yang plontos itu, menambahi dengan sebuah komentar.
“Barangkali dia punya kenangan dengan kaos itu pak Ilham. Buktinya setiap sore dia mencucinya disini, lalu dipakai lagi dalam keadaan basah, begitu seterusnya sampai kaos itu kering kering sendiri”
“Iya barangkali pak Ilham”
Pak sopir berkepala plontos menimpali. Sementara pak Ilham cuma terkekeh kekeh saja mendengarnya. Lalu beliau kembali berkomentar.
“Lha mau berkesan bagaimana, wong kaos itu juga saya yang memberikan. Dulu saat pertama kali saya tahu dia ada di belakang truk saya, dia tidak mengenakan apa apa selain celana jins pendek warna biru. Saya baru menyadari ada orang yang numpang di truk saya ya sudah nyampai di daerah Pamanukan, sudah agak jauh dari Jakarta. Nggak tahu dia naiknya pas dari daerah mana”.
“Apa si Ogah juga nggak tahu pak Ilham”
Lagi lagi pemuda yang seumuranku itu ikut nimbrung.
“Ya si Ogah itu kerjanya kemarin cuma tidur thok. Maklum katanya badannya remuk semua, hehe..”
Pak Ilham menimpali sambil terkekeh kekeh.
Mereka terus ngobrol ngalor ngidul membahas aku yang lagi mencuci sebuah pick up tidak jauh dari tempat mereka berbincang. Tentang kemungkinan siapa aku, tentang mengapa akhirnya aku terhempas di kota kecil ini, tentang bagaimana aku kedepannya, dan semuanya tentang aku. Dari semua kata kata yang meluncur, aku bisa menangkap bahwa sesungguhnya mereka berempati padaku. Ini juga salah satu alasan yang membuat aku bisa bertahan disini, tidak lagi mencoba melangkahkan kaki entah kemana.
Hari hariku di daerah Sumber Jeruk Jember semakin menarik saja. Sekarang aku tidak harus menunggu sore hari untuk bermain ke kali bening. Juga tidak harus bersama pak Ilham. Aku bisa sendirian melangkahkan kaki kesana. Beberapa kali bahkan aku mulai sepagi mungkin, setelah memberi makan lele dan membersihkan kandang ayam. Tentu saja uang pemberian yang aku terima dari bapak bapak sopir pemilik kendaraan menjadi lebih banyak. Satu hal yang membuat aku tambah senang bermain di air sambil memandikan kendaraan. Rata rata dari mereka puas dengan hasil kerjaku. Kadang dalam sehari aku bisa mendapatkan imbalan sampai 25 ribu. Sejumlah peningkatan penghasilan yang sangat tinggi sekali bila diukur dari awalnya yang hanya sebatang rokok saja. Uang hasil pemberian itu tidak aku gunakan apa apa melainkan langsung aku berikan pada Ibuk, sebutan yang tak pernah aku ucapkan langsung untuk sosok istri pak Ilham. Entah akan dibuat apa uang itu nantinya aku tidak tahu dan memang aku tidak ingin tahu. Saat aku memberikannya, aku sudah menganggapnya bukan uangku lagi. Seperti itulah keseharianku sekarang.
Hari terus berganti…
Terus terang saja, aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku tinggal disini. Yang jelas sudah sembilan bulan lebih. Aku menghitungnya dari cerita seorang kernet truk di kali bening. Dulu dia pernah mengabarkan sesuatu pada rekan rekannya saat memandikan truk. Istrinya hamil. Ya aku masih mengingatnya. Bahkan ekspresi wajahnya yang riang saat mengabarkan berita itu aku juga masih mengingatnya. Aku tidak tahu siapa namanya tapi aku sangat hafal ciri ciri fisiknya sampai pada bagaimana gaya dia menghisap rokok. Itu karena dia adalah orang yang paling sering bercerita dengan suara yang keras di kali bening. Dan satu bulan yang lalu istrinya melahirkan. Aku tidak tahu laki laki atau perempuankah anaknya. Yang aku tahu, itu berarti sudah sembilan bulan lebih aku ada disini. Bisa jadi sudah satu tahun. Ah entahlah. Dalam keseharian saja aku selalu tidak tahu aku sedang menjalani hari apa selain hari Jumat. Satu hal yang tak pernah aku sadari, aku serasa tak perduli dengan nama nama waktu.
Hari Jumat berbeda, karena di hari itu aku selalu ikut pak Ilham ke masjid, dengan sarung yang aku selempangkan begitu saja. Disana aku mendapat tugas untuk menjaga parkir. Bahkan meskipun sama sekali tidak ada yang memarkir sepeda, aku tetap ada disana sampai pak Ilham mengajakku kembali pulang. Itu yang diajarkan pak Ilham padaku setelah dulu saat pertama kali aku dipaksa untuk sholat jamaah di barisan depan sendiri di samping kanan pak Ilham, pada rakaat terakhir aku tertawa terbahak bahak. Tentu saja ini sangat mengganggu seisi masjid dan pada akhirnya menjadi semacam legenda baru yang diceritakan terus menerus oleh orang orang. Anehnya pak Ilham tidak marah meskipun aku tahu wajahnya menyimpan sejuta kekecewaan. Jumat berikutnya pak Ilham tetap mengajakku ke masjid. Kali ini aku tidak lagi disuruh mengikuti beliau masuk masjid melainkan pelan pelan diajarkan bagaimana menjadi juru parkir. Dan entah kenapa aku begitu enjoy dengan ibadahku yang lain daripada lainnya.
Di hari yang cerah aku mengawali sebuah perjalanan panjang. Entah kemana aku tidak tahu. Bertiga, aku, pak Ilham dan Ogah. Ogahlah yang mengemudikan truk kutunggu jandamu. Sementara aku seperti biasanya, lebih enjoy duduk di belakang truk. Aku benar benar tidak mengerti hari dan tanggal berapakah itu. Yang aku ingat hanya satu, itu adalah hari yang teramat sulit aku lupakan. Mana bisa aku melupakan dengan mudah, sedangkan aku tak pernah seterguncang hebat seperti yang akan terjadi dalam perjalanan kali ini. Semua terjadi begitu saja. Seketika..
Bruakkk…!!!
Tiba tiba aku sudah terlempar keluar seiring dengan bergulingnya truk kutunggu jandamu. Setelah itu masih sempat kurasakan aku terhuyung huyung tidak bisa mengendalikan badanku sendiri, semakin meluncur ke bawah dan terus meluncur. Ya, aku terhempas ke dalam sebuah jurang yang berbentuk punggungan. Seperti tidak pernah selesai aku bergulung gulung. Sementara samar samar, antara sadar dan tidak aku masih sempat mendengar sebuah jeritan yang berulang ulang di atas kepalaku. Dan… sesaat kemudian aku sudah tidak ingat apa apa lagi. Semuanya gelap. Entah berapa lama aku berada dalam kegelapan. Dalam kegelapan yang panjang itu aku merasa kedinginan. Apakah aku sudah mati?
***********
Kesadaranku tumbuh bersama belaian lembut sepasang tangan renta milik seorang kakek. Dan itu dilakukan secara berulang ulang hingga aku benar benar sadar dari tidur lelapku yang entah berapa hari. Tubuhnya ceking, berambut pendek dan sedikit tumbuh uban disana. Tidak terlalu tinggi tapi tidak juga bisa dikatakan pendek. Lebih tepatnya, setinggi rata rata orang Indonesia. Kurang lebih 165 centimeter. Entah siapa nama kakek ini, beliau tidak pernah memperkenalkan diri. Kalaupun beliau pernah menyebutkan namanya, aku tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti. Beberapa kali beliau bergumam, beliau menggunakan bahasa daerah. Kalau tidak salah, itu adalah bahasa Madura. Aku sering mendengarkan kosakata itu di kediaman Pak Ilham.
Bagaimana nasib Ogah dan Pak Ilham? Entahlah, aku tidak berani menebak. Hanya saja, aku tidak bisa berhenti berdoa di dalam hati, semoga Tuhan memberi yang terbaik untuk Ogah dan Pak Ilham.
Ternyata aku tidak hanya berdua dengan kakek yang merawatku, dan yang aku tidak tahu namanya. Ada orang lain dirumah kecil yang temboknya tidak berlepok ini. Seorang perempuan setengah tua yang pada akhirnya aku tahu dia adalah salah satu anak kakek yang merawatku. Kabar baiknya adalah putri kakek ini bisa bahasa Indonesia. Aku tahu itu saat dia nyerocos mencoba menjelaskan banyak hal padaku, dengan bahasa Indonesia yang tidak terlalu sempurna.
Kakek yang merawatku ini, beliau sendiri yang menemukan dan membopongku ke rumahnya. Luar biasa. Menurut keterangan putrinya, saat itu ayahnya lagi mencari buah pace, mengkudu kalau istilah populernya. Hal ini adalah pendapatan utama kakek. Buah itu sendiri nantinya ada yang langsung beliau jual per kilo pada seorang pembeli tetap, ada juga yang beliau olah sendiri menjadi semacam jamu. Entah apa khasiatnya aku tidak tahu. Putri kakek juga tidak nyerocos sampai kesana. Yang pasti, obat untuk kesembuhanku ini salah satunya adalah hasil dari olahan buah yang baunya sungguh tidak bersahabat, mengkudu alias pace.
Putri kakek pernah menyebut nyebut tentang sebuah kecelakaan, dua hari sebelum aku ditemukan. Hah, berarti selama dua hari aku berada disana? Gila…!!! Benar benar gila. Adalah sebuah anugerah tersendiri manakala sampai hari ini aku masih bisa menghirup udara dunia. Kondisi fisikku juga masih lengkap. Aku perhatikan lagi seluruh tubuhku dari semua yang bisa aku pandang tanpa bantuan cermin. Lengkap. Benar benar masih utuh. Kaki dan tanganku masih ada sepasang sepasang. Hanya saja kali ini ada banyak luka di sekujur tubuhku. Padahal aku tidak pernah memiliki pengalaman punya luka gores lebih dari satu. Sekali memiliki langsung sebanyak ini. Sampai pada wajah pun ada. Aku bisa merasakan di pelipis pipi kananku ada luka gores, dan itu adalah luka yang paling parah dari semua luka yang ada.
Berhari hari aku tergeletak di ranjang tanpa kasur. Hanya beralaskan tikar anyaman tangan. Cukup menyiksa sebenarnya. Apalagi aku tidak bisa tidur telentang lebih dari sepuluh detik. Untuk bisa tidur pulas, aku harus memiringkan badan, menindih dada sebelah kanan, dan waspada untuk meletakkan wajahku di bantal. Sekali luka di pipi sebelah kananku bersentuhan dengan tikar, rasanya sungguh tidak mengenakkan.
Setiap hari aku selalu diolesi sesuatu oleh kakek. Menurut putri beliau, itu adalah ramuan campuran dari buah pace yang di sangrai terlebih dahulu lalu ditumbuk, dicampur dengan buah asam, bawang putih, garam, dan minyak kelapa buatan sendiri. Entah apa lagi yang dicampur di dalamnya, saat ini aku benar benar kesulitan mengingat sesuatu. Energiku lebih kukerahkan untuk menahan rasa sakit dan menjaga posisi tidur. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah saat aku harus bangkit dari ranjang hendak ke kamar mandi. Beberapa hari ini aku melakukannya seorang diri, bahkan meskipun ada kakek dan putrinya, aku melakukannya sendiri. Tertatih tatih, tapi aku memaksa untuk bisa memerintah diri sendiri. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menghibur kakek yang pada akhirnya aku tahu namanya ini. Biar mereka mengerti bahwa hasil perawatan mereka selama berhari hari membuahkan hasil. Biarlah aku tertatih dan menahan sakit saat pelan tapi pasti kulangkahkan kaki ke arah kamar mandi, karena memang hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mereka.
Beliau biasa dipanggil mbah Sura’i oleh beberapa tetangganya yang kadang juga datang hanya untuk melihat kondisiku. Sedangkan putrinya biasa dipanggil Yu Tatik. Penting bagiku untuk mengerti nama nama mereka. Tapi aku tidak tahu untuk apa. Hanya saja, aku sudah terbiasa memberi hormat yang sebegitunya pada orang orang, dimana dari tangan mereka Tuhan menunjukkan Kebesaran-Nya padaku.
Detik demi detik terus berlalu, tanpa perduli apakah aku masih sakit atau sudah membaik..
Entah mendapat kekuatan dari mana, hari hari yang kulalui saat ini adalah berusaha sekuat tenaga untuk kembali sehat seperti sedia kala. Aku mengurangi intensitas daya kerja otakku yang selalu memikirkan Pak Ilham, Ogah, bagaimana kabar Ibuk, dan si Janda. Aku lebih memilih untuk menyegarkan kembali segalanya, salah satunya adalah kesehatan badanku sendiri. Sampai pada suatu hari, di bulan yang kedua aku ada di rumah kakek Sura’i dan Yu Tatik, tiba tiba aku berpikiran untuk melangkahkan kaki. Sudah saatnya, begitu pikirku. Lukaku sudah mengering, cara aku makan pun sudah tanpa harus disuapi Yu Tatik, langkahku sudah tidak sempoyongan, dan terlebih lagi, aku sudah terbiasa untuk tidur nyenyak. Tidak ada lagi sesuatu yang menyiksaku saat merebahkan tubuh di ranjang kayu beralaskan tikar ini. Bukan karena masalah ranjang yang keras itu aku memutuskan untuk melangkah. Bukan pula karena rumah tak berlepok ini terlalu kecil. Bukan semuanya. Aku hanya tidak bisa bertahan disini. Sungguh aku ingin menggembirakan mereka, Yu tatik dan kakek. Ingin aku membalas ketulusan hati mereka dengan sesuatu yang lebih dan lebih. Tapi apa? Jangankan ikut memulung buah pace bersama kakek di punggungan bukit, ikut membantunya memilah milah buah saja aku tidak diperkenankan. Bukan apa apa, mereka sangat mengkhawatirkan kesehatanku.
Satu lagi. Yu Tatik adalah seorang janda beranak satu, laki laki yang masih duduk di kelas satu Madrasah Aliyah. Saat ini anaknya lagi menimba ilmu di pondok pesantren di pulau Madura, juga satu paket dengan sekolahnya. Nah, ini adalah sebuah masalah bagiku. Setidaknya, dengan aku melangkah pergi, mereka akan terhindar dari nada nada miring para tetangga. Tapi bagaimana aku harus memulai untuk mengkomunikasikan keinginanku? Selama ini kakek dan Yu Tatik terlanjur beranggapan bahwa aku bisu. Yang sedikit berbeda dari mereka adalah tidak menganggapku kongslet. Ya, selama berdiam disini aku tidak pernah tertawa lepas. Sungguh aku tersiksa dengan tidak bisa tertawa lepas. Bukan karena apa, keadaanlah yang memaksaku untuk diam dan diam tanpa sekalipun tertawa. Luka robek yang ada di pelipis pipi kananku mencegah segalanya. Bila aku memaksa, akan terasa sakit yang sebegitunya, sampai sampai aku tidak bisa menggambarkan rasa sakit yang aku rasakan sendiri. Bahkan telingaku juga ikut terasa sakit. Seperti ditusuk tusuk dari lubang telinga bagian luar dengan besi yang ujungnya memerah karena bara. Apalagi luka ini tidak disembuhkan dengan penanganan modern. Sama sekali tidak ada jahitan. Walaupun sebenarnya, jika aku berusaha untuk melihat pelipis pipi kananku di cermin kecil milik Yu Tatik, bekasnya hampir sama dengan bekas jahitan.
Selama naluriku belum benar benar memaksa untuk tertawa meledak, aku harus terbang dari rumah yang belum lagi di lepok ini. Cukuplah mereka mengenalku sebagai si bisu yang di lahirkan oleh jurang di tepian tebing punggungan, entah daerah apa namanya aku tidak tahu, yang disusui oleh madu lebah, di lumuri banyak ramuan demi menjinakkan luka, dan yang tidak berekspresi. Cukuplah mereka mengenalku dengan itu. Dan bila nanti, seandainya aku dianugerahi umur panjang oleh Yang Menentukan Umur, aku berharap aku bisa kembali kesini. Itulah tekadku.
Haripun beranjak gelap. Aku sudah berancang ancang untuk pergi malam ini juga. Tinggal menunggu kakek dan Yu Tatik tertidur saja. Tidak ada yang bisa aku tinggalkan untuk mereka. Bahkan baju kesayanganku pemberian Pak Ilham yang bertuliskan UNITED pun, aku sendiri tidak tahu dimana rimbanya. Seingatku, saat aku sadar aku sudah rebah di ranjang yang sekarang aku duduki ini, dengan menggunakan celana kolor pendek, sarung warna hijau tua, dan tidak berbaju. Jangankan berbaju, saat itu untuk menggunakan selimut rasanya begitu menyiksa. Dada ini seperti di sayat sayat silet tajam. Alhamdulillah, sekarang semuanya telah mengering, dan aku sudah bisa menggunakan kemeja lengan pendek warna hitam polos milik kakek.
Sampai larut malam, kakek masih saja terjaga. Ada beberapa tetangga laki laki dan perempuan nimbrung di ruang tamu. Yu Tatik juga ada disana. Aku sudah mulai resah. Apakah aku harus menunda ini? Bagaimana jika sebentar lagi tiba tiba ada hal lucu dan naluriku menuntut sebuah kejujuran? Bagaimana? Tentu saja aku akan melukai ketulusan hati kakek dan Yu Tatik. Ternyata selama ini mereka hanya merawat tidak lebih dari sesosok orang gila. Tiba tiba hati dan otakku seakan bertentangan. Bersamaan dengan suara lirih beberapa tetangga yang mohon diri, seketika itu juga aku mengenakan kemeja milik kakek, memperbaiki sarung dan celana kolor yang baru dibelikan Yu Tatik pagi tadi.
Aku seperti begitu saja mendapat rasa percaya diri, tiba tiba kulangkahkan kaki ke ruang tamu. Beberapa detik kemudian aku sudah ada di hadapan kakek Sura’i dan Yu Tatik. Satu satunya penghalang antara aku dengan mereka hanyalah sebuah meja tamu kecil yang masih ada beberapa cangkir bekas minuman tamu dan dua kaleng isi kue kering. Keduanya diam, memperhatikan aku, memikirkan sesuatu, dan akhirnya kakek dan Yu Tatik saling pandang.
Sudah tidak ada tamu lagi di ruang tamu, yang ada hanyalah kami bertiga. Satu satunya yang leluasa melihat pemandangan kaku ini, aku kira hanyalah Dia Yang Menciptakan aku, kakek dan Yu Tatik.
“Ada apa?”
Kata kata itu keluar dari mulut Yu Tatik, orang yang tidak pernah mengeluhkan sesuatu saat membantu kakek merawat dan menyuapiku. Aku diam menatap mereka satu persatu. Suasana kembali hening. Tiba tiba tanganku sudah menunjukkan sesuatu. Ya, tanganku menunjuk ke arah pintu. Tidak berhenti sampai di sana, tangan kananku kuayunkan kembali dengan membalik jari telunjuk dan jari tengah, menggoyang goyangkannya, berharap itu bisa memberi isyarat mereka, bahwa aku ingin melanjutkan perjalanan. Tiba tiba kakek menganggukkan kepala. Sebentar kemudian menengadahkan kedua telapak tangannya sambil mulutnya berkomat kamit. Beliau melangkahkan kaki ke arahku, mengelus rambutku, lalu membuka songkok di kepalanya. Songkok hitam itu kemudian beliau pasangkan di kepalaku. Pas. Tidak kebesaran dan tidak kekecilan. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memakainya. Setelah itu suasana hening. Ku arahkan kembali pandangan mataku ke arah Kakek dan Yu Tatik, orang baik yang sampai kapanpun namanya akan aku sandingkan dengan orang orang baik di kehidupanku. Ternyata wajah Yu Tatik sudah memerah, bercampur dengan tangis tanpa suara. Air matanya tak terbendung. Meskipun sedari tadi Yu Tatik berusaha keras untuk bisa menahan diri, tapi pada akhirnya dia tak berhasil menahannya. Aku tahu jauh di lubuk hati Yu tatik, dia seperti sedang membelai rambutku tulus. Terima kasih Yu Tatik.. Terima kasih kakek Sura’i.. terima kasih malam yang hening.. Terimakasih Wahai Sang Pencipta Malam..
Hari yang baru dengan langkah yang juga baru..
Sejak aku pergi dari kediaman Kakek dan Yu Tatik, aku sudah melewatkan dua malam tahun baru masehi, dua malam natal, dua malam Idul Fitri, Idul Adha, dan dua malam malam lainnya. Otomatis, ada sekitar dua tahun aku melanglang buana dari satu daerah ke daerah yang lain. Kadang hanya berjalan kaki saja, kadang mencari tumpangan kendaraan yang bisa aku tumpangi. Beberapa kali aku juga pernah jadi penumpang gelapnya kereta api. Yang paling sering aku tumpangi adalah truk. Ada banyak truk yang di bak belakangnya bertuliskan “Kutunggu jandamu”. Sayangnya itu semua bukanlah si janda yang aku kenal. Tak pernah sekalipun aku bertemu muka dengan si janda, Ogah, Pak Ilham dan orang orang yang wajahnya aku kenal di kali bening. Entah bagaimana kabar mereka semua.
Jika dihitung dari saat pertama aku mendapat predikat gila, saat Yudi merangkai kata tepat di depan mataku, saat aku tahu bahwa Tita istriku tercinta kembali pada pelukan Hidayat kekasih lamanya, saat sekretarisku Arimurti mencoba menghiburku dengan kata kata sabar sabar dan sabar, berarti sudah sekitar tiga setengah tahun aku menjadi gembel sejati. Anehnya aku tidak merasa tersiksa. Aku seperti menikmati saja hari hari yang aku jalani. Rasa ini tidak aku temukan saat aku masih memegang kendali perusahaan milik papa dulu. Tak ada lagi stress lantaran masalah pekerjaan, tak ada lagi kata mengeluh saat bisnisku jatuh. Sungguh aku tidak pernah merencanakan untuk menjadi seorang gelandangan yang hidupnya luntang lantung seperti sekarang ini.
Aku sudah melewati dua masa kepresidenan. Ya, saat aku masih menjabat sebagai bos dulu, itu adalah masa pemerintahan Megawati. Sekarang yang aku tahu, presiden RI adalah Bapak SBY. Aku begitu mudah mengerti kabar tentang keadaan negara ini tanpa harus membaca koran ataupun mengikuti perkembangan beritanya di media televisi, radio, atau internet. Cukuplah berkumpul dengan banyak orang di sebuah warung, dan akupun jadi mengerti banyak hal meskipun dengan hanya diam, mendengarkan mereka para rakyat kecil berceloteh. Begitupun, aku masih tidak perduli, berpijak di tanggal berapakah aku saat ini.
Dulu saat orang orang di sekitarku masih memanggilku dengan embel embel Pak atau Bos, aku selalu punya pandangan miring tentang para gelandangan Jakarta. Bahkan aku sempat memiliki pemikiran, seandainya Jakarta tidak memiliki satupun gelandangan, pastilah Jakarta akan seindah yang kubayangkan. Sekarang kenyataan mengatakan lain. Kini akulah si gelandangan itu.
Entah sudah kota keberapa yang aku singgahi ini. Aku bahkan pernah kembali ke daerah Jakarta saat truk yang aku tumpangi dari arah Jember melaju kencang selama dua hari ternyata menuju arah ibukota. Itu saat pertama kali aku keluar dari rumah kakek dan Yu Tatik, yang pada akhirnya aku ketahui nama daerahnya di dinding sebuah sekolah dasar yang menuliskan alamat sekolah. Namanya daerah Pace, sama seperti nama buah yang sering Kakek Sura’i kumpulkan itu. Tepatnya adalah Dusun Pace Sempolan Kabupaten Jember. Aku akan terus mengingatnya seperti aku akan terus mengingat daerah Bapak Ilham sekeluarga. Sumber Jeruk, juga di kota Jember. Bagaimanapun, aku memiliki keinginan suatu saat akan kembali kesana untuk sekedar mengucapkan rasa terimakasih yang sebegitunya, jika Tuhan mengijinkan tentunya.
Hampir semua kota kota di pulau jawa sudah aku singgahi. Kadang aku hanya berputar putar dalam satu kota. Pernah juga dalam seminggu bolak balik dari titik satu ke titik lain, dan kembali lagi ke titik semula. Itu semua lantaran aku tidak pernah memperhitungkan akan kemana kendaraan yang aku tumpangi melaju. Dan bisa dikatakan semua daerah di pulau jawa sudah aku singgahi dalam waktu dua tahun. Semua terjadi karena sampai detik ini aku lebih mendedikasikan hidupku pada satu truk ke truk yang lain. Terkadang aku sengaja menghindari luntang lantung terlalu lama di satu daerah. Sungguh aku takut akan bertemu orang orang yang hatinya semulia Yudi, Arimurti, Om Irawan, Tante neni, Yun, Kang Iben, Tik, Agus, Pak Ilham, Ibuk istrinya Pak Ilham, Kakek Sura’i dan Yu Tatik. Aku takut karena aku tidak bisa memberikan apa apa pada mereka. Dan aku tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya suasana perpisahan. Aku tidak kuat dengan yang satu ini. Cukuplah perpisahanku dengan Kakek dan Yu tatik menjadi peristiwa perpisahan terakhir. Aku tidak ingin lagi terperangkap di suasana seperti itu.
Efek dari cara hidupku yang seperti ini, aku jadi tahu banyak hal. Mataku jadi kaya dengan pemandangan, baik yang indah, yang sangat indah sekali, maupun yang terpahit. Aku jadi tahu apa yang orang orang bawah celotehkan. Tentang nasib negara dan tentang harapan harapan. Aku seperti memiliki cara pandang baru dalam melihat hidup dan kehidupan. Yang tidak aku miliki adalah teman. Ya, sudah lama aku tidak merasakan nikmatnya berbincang bincang. Setidaknya berbincang bincang satu arah seperti saat kang Iben berceloteh padaku dikala aku masih tinggal di rumah Om Irawan dulu.
Kini aku sudah ada di ujung lelah. Berlabuh di suatu tempat, itu yang aku inginkan. Entah dimana aku juga tidak tahu. Asal aku bisa berlabuh, menetap di suatu tempat dalam waktu yang relatif lama. Aku sudah lelah berjalan mondar mandir dari satu titik ke titik yang lain. Aku butuh menjadi manusia yang wajar. Sesederhana itu yang aku inginkan saat ini. Aku memikirkan ini di sudut belakang bak mobil jenis pick up yang sudah aku tumpangi selama dua hari dua malam dari kota kecil Blora. Mobil pick up yang aku tumpangi berhenti di sebuah warung sederhana. Ah, ternyata Banyuwangi, pulau Jawa bagian timur. Kadang dalam sebuah perjalanan dari satu kota ke kota yang lain, aku merindukan tanah ini. Apakah mobil yang aku tumpangi ini nantinya akan meneruskan perjalanan? Bukankah sebelumnya mobil ini melewati Jember? Apakah aku tertidur saat mobil ini melintasi Jember? Sambil memikirkan ini, tanganku tak henti hentinya mengambil apa saja yang bisa aku ambil di meja warung. Lebih sering aku mengambil pisang goreng yang sudah dingin. Dan seperti biasanya, sopir mobil yang aku tumpangi ini membiarkan saja kelakuanku yang lumayan buruk. Begitu juga teman seperjalanannya yang kadang menggantikan posisi untuk mengemudikan mobil pick up warna hitam ini. Aku bahkan tidak tahu mana dari mereka yang benar benar pengemudi mobil. Kadang salah satu dari mereka mencoba mengajak aku bicara. Dengan kata kata, dengan isyarat, kadang hanya dengan satu senyum saja. Tapi aku hanya diam. Jika tidak begitu, apalagi yang bisa aku lakukan selain tertawa sebebas bebasnya? Jauh di dalam lubuk hatiku, seakan ada sesuau yang terpatri. Aku tidak ingin mengenal mereka lebih dalam. Menurut hematku, ini akan memudahkan saat nanti aku ada di situasi harus berpisah dengan mereka. Dan ini adalah langkah terbijaksana yang bisa aku lakukan.
Dan mobilpun melaju kembali. Anehnya mereka tidak meneruskan perjalanan melainkan balik arah, ke jalan yang tadi sudah terlewati. Semoga mobil ini benar benar kembali ke arah Jember, pikirku. Aku masih bersama mereka, di salah satu sudut geladak mobil persis belakang diiding pengemudi sambil memandang ke belakang, menyapu apa saja kendaraan yang sudah terlewati, dengan sekali pandangan mata. Sesekali aku menghisap rokok kretek pemberian salah satu orang yang mobilnya aku tumpangi ini. Masih aku gunakan kopyah pemberian kakek Sura’i, lengkap dengan kemeja hitam yang sudah robek sana sini dan baunya menyengat. Tidak lupa sarung warna hijau, masih melingkar di bahuku. Sarung ini sangat penting artinya, terutama saat malam sudah beranjak turun.
Rokok ditanganku baru saja aku buang. Hisapan terakhirnya benar benar aku nikmati. Apa lagi yang akan aku kerjakan kini di atas mobil yang melaju kencang? Akhirnya aku memilih untuk mengambil posisi tidur. Biarlah, kali ini aku tidak begitu memperdulikan akan kemana mobil ini berhenti. Kantuk sangat mudah menyerang di suasana yang seperti yang aku rasakan. Seperti biasa, sarung aku lipat lipat, berharap bisa kujadikan bantal. Tidak lama kemudian, aku sudah tidak ingat apa apa. Angin yang menderu bahkan geronjalan kecil tidak menghentikan kedua mataku untuk terpejam. Akupun tertidur. Barangkali karena memang aku kepayahan. Semalam aku terlalu asyik memikirkan banyak hal sambil memandangi lampu lampu kota, hingga aku tidak tertidur sama sekali. Di saat mobil ini parkir di suatu tempat untuk istirahat, sama juga seperti itu. Saat kedua orang yang baik hati pemilik mobil ini tertidur pulas, aku justru terjaga. Tak henti hentinya aku memandang suasana sekitar mobil. Sekedar ingin mengerti dan turut menjaga mobil, karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk orang orang baik yang ada di dalam mobil bagian depan. Dan sekarang, aku sudah tidak bisa melihat apa apa. Mataku terpejam. Nyenyak sekali. Pantas saja bila ada orang bijak berkata, “Kita bisa saja membeli kasur yang empuk, tapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak…”
( Bersambung )
novelnya berlatar belakang jember..
BalasHapusmenarik...
@ Anonim : Tengkyu..
BalasHapus