Beberapa puluh hari kemudian..
Ada yang baru di Desa Curah Nongko. Kampung ini kedatangan tujuh Mahasiswa dari Universitas Jember. Kabarnya mereka akan melaksanakan KKN dan tinggal disini selama empat puluh lima hari. Lima perempuan dan dua orang laki laki. Posko mereka ditempatkan di kediaman Haji Abbas lantaran di kantor desa ruangannya digunakan untuk kepentingan desa. Jadi kelima perempuan tersebut akan tidur di rumah induk milik Haji Abbas, di kamar paling belakang yang pintu belakangnya langsung menuju sumur dan kamar mandi. Kalau dari arah kandang kambing dan ayam aku bisa melihat langsung pintu itu, jaraknya hanya sekitar sepuluh meter saja. Sedangkan dua mahasiswa laki laki akan tidur di ruang kosong masjid yang tadinya adalah tempatku untuk berleha leha. Ruang itu sekaligus sebagai posko KKN.
“Jangan kaget dengan si Kacong, dia itu anak angkat saya”
Begitu ucap Haji Abbas pada ketujuh anak anak KKN, suatu sore di emperan masjid, saat pertama kali mereka memperkenalkan diri. Ah, sore ini adalah sore yang bersejarah buat aku. Bagaimanapun, ini adalah kalimat pertama yang aku dengar dari seorang Haji yang bukan saja hanya mengakui keberadaanku, tapi juga menganggap aku sebagai anak angkatnya. Padahal yang aku tahu, Haji Abbas sudah memiliki seorang putra dan hanya satu satunya. Namanya mas Faisal. Dia sekeluarga tinggal di Jakarta. Demi mendengar itu aku tidak tertawa, tapi juga tidak benar benar diam. Tanganku sibuk menyusun rokok milik Haji Abbas dan kedua mahasiswa KKN, ku tata sedemikian rupa sederet dengan beberapa gantungan kunci yang ada. Setelah ku tata berjajar, aku bongkar kembali untuk kemudian aku tata dengan deretan yang sama. Begitu seterusnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan ini, barangkali aku salah tingkah demi mendengar statusku dalam sekejap naik bertingkat tingkat, dari yang tadinya kebingungan status, menjadi seorang anak angkat dari orang yang begitu kharismatik. Siapa lagi kalau bukan Haji Abbas.
Perbincangan antara Haji Abbas dengan anak anak diteruskan dengan acara minum teh bikinan Nyai. Setelah itu mereka pamitan hendak undur diri dulu, karena besok harus mempersiapkan diri boyongan ke ruang kosong masjid yang dijadikan ruang posko KKN mereka. Dan hari hariku selanjutnya tetap seperti sedia kala. Tapi ada yang berbeda. Dua minggu belakangan ini, setiap malam aku lebih senang tidur di dekat kandang hanya beralaskan tikar dan berselimutkan sarung milik kakek Sura’i. Ini tidak ada hubungannya dengan anak anak KKN yang rencananya akan menempati ruang kosong masjid. Semua hanya karena kandang ayam yang berdempetan dengan kandang kambing seminggu kemarin kemasukan musang, binatang predator ayam kampung. Beruntung malam itu aku mendengar suara ribut ribut. Segera aku menuju ke arah kandang sambil menenteng lampu senter saja. Tidak begitu fatal, hanya saja satu ekor anak ayam peninggalan Ali yang sudah mulai tumbuh besar, raib digondol musang. Tentu saja aku tidak ingin ini terulang untuk kedua kalinya. Itu adalah janji yang tak terucap untuk Ali, bahwa akan kupastikan tak akan ada lagi peristiwa yang sama untuk yang kedua kali.
Nyai dan Haji Abbas tidak berkomentar apa apa mengenai kebiasaan tidurku yang baru. Nyai tetap selalu memanggilku manakala waktu makan tiba. Aku juga tetap mencarikannya kayu bakar, meskipun aku tahu Nyai lebih senang menggunakan kompor minyak tanah daripada masak dengan tungku. Lumayan, bisa pengiritan jika Nyai masaknya kadang kadang menggunakan tungku. Tidak ada yang berubah. Yang berubah hanyalah saat malam tiba saja, aku tidak lagi tidur di emperan masjid, tapi di dekat kandang yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari emperan masjid, persis di belakang rumah Haji Abbas, sebelah kanan dari arah sumur, dan berjarak sekitar sepuluh meter saja.
Melihat aku lebih senang tidur di dekat kandang dan tidak pernah lagi tidur di emperan masjid, membuat Haji Abbas tergugah untuk membuatkan aku pondok kecil, berjajar dengan kandang ayam dan dempet dengan kandang kambing. Terbukti kemarin Haji Abbas memanggil dua orang tukang kayu, menyediakan beberapa kayu yang sudah berupa lonjoran lonjoran, membeli paku dan dua lembar anyaman bambu, yang oleh orang orang kampung biasa disebut gedhek atau tabing. Dan disinilah aku malam ini, di pondok baru berukuran kecil, hanya berukuran satu setengah meter kali tiga meter. Bentuknya pondok panggung. Jarak lantai dengan tanah sekitar satu meter. Yang menjadi menarik dari pondok ini, di bawah pondok oleh Haji Abbas dibuatkan sebuah kolam, sedikit lebih luas dari ukuran pondok ini sendiri. Memang semennya belum benar benar kering dan belum lagi terisi air, tapi malam ini aku terhanyut memandanginya dari arah pintu pondok. Aku membayangkan diriku ada di pintu sebuah helikopter yang sedang terbang, dan kubayangkan sedang memandang ke bawah dengan tertawa tawa. Tidak ada yang lucu. Kali ini aku benar benar tertawa hanya karena aku sedang senang dan karena memang sedang ingin tertawa. Aku juga bukan sedang menertawakan sesuatu. Barangkali tawa ini juga aku tujukan pada keluarga Haji Abbas yang tahu, mengerti dan selalu mencoba memahami keinginan hatiku. Tawa yang begitu renyah di akhir bulan juli. Semoga tawaku ini tidak mengganggu tidur nyenyak hewan hewan ternak peliharaanku.
Minggu-minggu pertama sejak aku punya pondok panggung sendiri, aku sama sekali tidak masuk ke dalam hutan melainkan lebih banyak menghabiskan waktu di sekitar kandang. Namun begitu aku masih tetap merumput di pinggiran hutan dan tetap mencarikan rumput orang orang yang sedang malas merumput. Tetap mengisi bak mandi dan menyirami tanaman. Sore dan malam hari aku lebih banyak melewatkan waktu nimbrung bersama anak anak KKN yang ternyata tidak risih dengan kehadiranku. Sesekali aku menengok kolam di bawah pondok panggung yang sekarang sudah terisi air dan baru dua hari ini diisi dengan dua ribu ekor anak ikan lele. Senang rasanya punya kegiatan baru. Apalagi aku sedikit mengerti tentang bagaimana merawat ikan lele dari kecil sampai menjelang panen. Dulu aku pernah melakukan ini pada saat masih tinggal bersama keluarga Pak Ilham di desa Sumber jeruk.
Dari ketujuh mahasiswa KKN, ada satu orang yang sangat perduli dengan keberadaanku. Oleh teman temannya sesama KKN, dia biasa dipanggil mas Aim. Dalam hati, aku juga memanggilnya mas, sekedar mengikuti kebiasaan yang ada. Dia dipanggil mas lantaran dia sudah duduk di semester akhir dan sepertinya terlambat mengikuti program KKN. Mas Aim kira kira berumur beberapa tahun lebih muda dari aku. Dia mahasiswa sastra jurusan ilmu sejarah. Dilihat dari penampilannya memang sangat cocok bila mas Aim mengambil bidang sastra. Tubuhnya kurus, warna kulitnya hitam dan berambut lurus gondrong sebahu. Selain berwajah manis dan murah senyum, mas Aim juga bisa dikatakan mempunyai jiwa yang unik lagi menyenangkan. Ada saja yang dilakukannya di sekitar masjid setiap harinya. Paling senang adalah berkebun dan menanam apa saja di dalam plastik polibag. Aku senang di dekatnya manakala dia lagi uthek uthek. Hal ini tidak lain karena saat dia menanam sesuatu, dia juga tidak berhenti bicara padaku. Tak memperdulikan reaksiku yang bisanya hanya tertawa atau diam seribu bahasa. Sama seperti kebiasaan Ali yang senang berceloteh dengan aku. Satu satunya teman laki laki mas Aim di posko KKN ini namanya Mukhlis. Asli Madura dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Haji Abbas dan para perangkat desa Curah Nongko. Jadi aku tidak begitu ingin mengenalnya. Sementara yang perempuan, aku sudah tahu nama kelima limanya. Endang, Lusi, Iis, Dian dan Citra. Cantik cantik dan hampir setiap hari selalu beraroma wangi. Pantas saja saat hari hari pertama ada KKN banyak para pemuda Curah Nongko yang nongkrong di sekitar masjid.
Kembali ke mas Aim. Di kampusnya dia adalah seorang aktifis pencinta alam. Katanya dia juga memiliki sebuah band, tapi dia tidak pernah bercerita lebih lanjut tentang band yang mas Aim maksud. Dia hanya bilang kalau nama band yang dia maksud adalah tamasya band. Ah, nama yang unik untuk sebuah band, batinku. Tentang dunia pencinta alam, aku mengerti itu lantaran dia sendiri yang bercerita, suatu sore saat aku dan mas Aim sama sama menyiram tanaman di sekitar masjid.
“Jadi pencinta alam itu menyenangkan lho mas Kacong. Kita jadi bisa mengerti tentang banyak hal. Dulu saya sama sekali tidak mengerti nama nama bunga ini. Apalagi nama ilmiahnya. Sekarang Alhamdulillah, meskipun tidak semua nama tanaman yang saya tahu, setidaknya saya jadi mengerti beberapa nama dari tanaman. Ya seperti nama tanaman yang biasa sampean siram ini. Enak mas kalau kita sudah tahu namanya, lebih mudah bagi kita untuk mengerti apa saja manfaatnya. Tinggal buka di kamus tanaman, dan mengertilah kita, hehe..”.
Mas Aim mengakhiri kata katanya dengan sebuah tawa kecil. Aneh, pikirku. Padahal tidak ada yang perlu ditertawakan. Karena itulah aku jadi tertawa begitu saja. Menertawakan tingkah mas Aim yang tertawa pada sesuatu yang tidak layak ditertawakan.
Melihat hal ini, mas Aim bukannya tersinggung atau marah. Biasa saja, dia malah melanjutkan ceritanya. Sebuah dongeng di sore hari. Tentang tanaman, tentang desa Curah Nongko itu sendiri, tentang pentingnya menanam pohon, tentang bahaya menebang pohon di hutan, tentang bagaimana kita harus menyikapi masalah sampah, dan tentang pentingnya mencintai alam sekitar kita.
“Mencintai itu ya mencintai mas Kacong, nggak bisa dibuat main main, juga nggak bijaksana untuk sekedar dibuat main main dan dipermudah. Hanya ngomong saja misalnya, bukan begitu. Kalau ngomong saja sih, anak kecil saja bisa. Kalau memang dia mencintai alam, ya sudah. Nggak usah teriak sana teriak sini bahwa dia adalah seorang pencinta alam. Cukup dengan belajar melaksanakan kata katanya sendiri, itu baru pencinta alam. Kalau menurut saya nih mas Kacong, orang orang seperti sampean itulah yang layak dikatakan sebagai seorang pencinta alam sejati. Sampean itu lebih pencinta alam dari pencinta alam itu sendiri”.
Dug…!!Sebenarnyalah kata kata mas Aim sangat sulit aku cerna, karena sudah lama sekali aku tidak mendapat kalimat yang seperti itu. Tapi, terlepas dari semuanya, aku mengerti bahwa kata kata itu istimewa hanya untuk aku. Pantas saja bila aku kaget mendengarnya. Bukan kaget yang buruk, sebaliknya aku justru merasa seperti manusia pada umumnya. Bersama mas Aim, aku seperti menjadi kembali sebagai seorang Yopi Firman Jauhari, putra dari keluarga Sudibyo. Ah, ternyata aku juga butuh pujian.
“Saya ngomong gini bukannya tanpa data mas Kacong. Lha setiap hari kan saya lihat sampean beraktifitas. Nggak jauh jauh dari menyiran kembang, merumput, ngisi air. Sayangnya ada satu yang harusnya sampean bisa tapi sepertinya belum pernah sampean lakukan. Cobalah sekali waktu mas Kacong menanam bunga dan bibit pohon besar. Masalah pot dan polibag biar saya yang menyediakan. Kalau saya sendiri, saya kan nggak selamanya disini mas, cuma empat puluh lima hari, ini saja sudah separuh jalan. Nanti pasti saya bantu. Akan saya tulis juga nama jenisnya, baik nama yang biasa orang orang sekitar sini sebutkan maupun nama ilmiahnya. Saya percaya kok, meskipun sampean lebih memilih untuk tidak bicara, tapi saya yakin orang seperti sampean pasti bisa membaca. Kelihatan kok mas dari sorot mata sampean”.
Mas Aim masih terus saja nyerocos, sementara aku sibuk mengurai kata demi kata yang dia keluarkan. Semakin panjang, semakin susah aku menangkapnya. Bisa ditebak, hari hari selanjutnya aktifitasku bertambah dengan satu hal, menanam bibit pohon di polibag. Sama seperti saat Ali berceloteh padaku tentang pentingnya menimba air di bak air wudhu dan bak kamar mandi, juga pentingnya menguras bak, seperti itu juga cara yang mas Aim lakukan padaku. Senang rasanya dimanusiakan.
Kini aktifitasku berkurang satu. Menimba air untuk bak tempat wudhu dan bak kamar mandi. Ini semua karena anak anak KKN mengusahakan pompa air otomatis buat dihibahkan ke masjid. Tentunya kali ini siapa saja bisa memenuhi air di bak bak itu. Toh tinggal pencet. Yang berwudhu juga tidak kesulitan lagi sekarang. Tinggal memutar kran yang jumlahnya ada lima berjajar. Sungguh mahasiswa KKN tersebut melakukan hal kecil namun berarti bagi banyak orang. Tidak terkecuali aku. Bukan apa apa, saat ini waktuku di pagi hari bisa aku gunakan untuk yang lain. Mengurus hewan ternakku misalnya. Atau pagi pagi sekali aku langsung bisa ke pinggiran hutan untuk merumput. Sekarang ini hasilku merumput jauh lebih banyak dari sebelumnya. Ini semua hanya karena metode pengisian air yang tinggal pencet itu.
Hari hari selanjutnya aku isi dengan menanam dan terus menanam. Tentu saja juga dengan menyiram dan merawatnya. Sekarang aku jadi tahu banyak hal tentang tanaman. Ada dua bibit pohon yang sengaja aku tanam sebayak banyaknya. Yang pertama adalah bibit pohon ketapang. Alasannya sederhana, karena di pinggiran hutan dekat sungai, ada beberapa pohon ketapang yang semuanya sudah tua, besar dan tinggi. Sementara di bawahnya ada begitu banyak bijih ketapang yang sudah berubah menjadi semacam kecambah. Siap untuk di pindah ke polibag. Menurut mas Aim, kecambah pohon ketapang ini jika tidak cepat cepat di tanam, di khawatirkan tidak akan bisa membesar karena banyak faktor. Faktor yang pertama adalah dari manusia sendiri. Bisa jadi kecambah pohon Ketapang itu nantinya secara tidak sengaja akan terinjak oleh kaki kaki manusia. Atau bisa jadi juga nantinya kecambah ini secara tidak sengaja ikut amblas kena babat orang orang seperti aku yang lagi merumput. Faktor kedua adalah karena faktor alam. Entah karena angin, kekeringan karena kurang air, dan masih banyak lagi. Selama ini proses penyebaran pohon ketapang masih sepenuhnya dipercayakan pada hal yang sangat alami, yaitu mempercayakan pada kelelawar. Mas Aim bilang, biji pohon ketapang sangat disukai kelelawar, yaitu daging yang membungkus sisi luar biji. Seringkali biji pohon ini dimakan oleh kelelawar sambil terbang. Nah, pada saat sang kelelawar menganggap acara makannya selesai, dia akan melemparkan begitu saja biji yang sekarang nggak ada daging pembungkusnya tersebut. Disitulah diharapkan sang biji tumbuh dan berkembang sampai benar benar menjadi pohon. Selain karena semua alasan itu, ada satu lagi yang istimewa, yang membuat aku senang membiakkan pohon ketapang. Ya, karena pohon ketapang inilah pohon pertama yang aku tahu nama ilmiahnya. Terminalis Catappa. Mas Aim menuliskan itu pada sebuah bibit ketapang yang sudah agak besar. Ditulisnya di kertas biasa, dibungkus plastik yang tertata rapi sampai benar benar seperti habis di laminating. Dan itu membuat aku senang.
Bibit pohon kedua yang aku tanam di banyak polibag adalah bibit pohon mengkudu atau pace. Mas Aim bilang penting untuk mengembang biakkan pohon ini, karena pohon mengkudu adalah pohon endemik daerah sekitar. Dan segala pohon yang di tanam di tanah yang memang tempat pertama kali dia hidup dan berkembang, maka itu akan menunjang banyak hal. Baik untuk menjaga kesuburan tanah, segarnya udara, maupun untuk menjaga rantai ekologi suatu tempat. Itu menurut Mas Aim. Padahal aku punya pendapat lain. Pohon ini mengingatkan aku pada keteduhan dan kesabaran kakek Sura’i saat merawat aku dulu. Mengingatkan aku pada Yu Tatik yang putra lelakinya dulu ada di salah satu pondok pesantren di Madura. Mereka berdua adalah orang orang baik. Dan aku layak mengingatnya. Menurutku, dengan aku menanam pohon pace sebanyak banyaknya, ini akan mengingatkan aku pada mereka berdua, juga sebagai sebentuk rasa hormatku pada mereka berdua. Karena mau tidak mau ini juga akan mengingatkanku pada hari terakhir dimana aku masih duduk bersama Pak Ilham, Ogah dan si janda. Tentu saja ini juga akan membawaku mengingat banyak hal. Karena itulah aku bertekad untuk menanam bibit pohon pace sebanyak banyaknya. Entah akan aku apakan nantinya. Tidak mungkin akan aku tanam semuanya sendirian di wilayah hutan.
Oleh mas Aim, aku juga diajarkan membuat pupuk kandang dan kompos. Ternyata sangat mudah. Apalagi media sudah tersedia. Orang yang paling senang dengan kegiatan baruku ini adalah Nyai, istri haji Abbas. Ini berhubungan langsung dengan masalah polusi aroma yang disebabkan oleh jarak antara dapur tempat Nyai beraktifitas, dengan kandang ternakku yang hanya beberapa langkah saja. Sejak aku senang membuat pupuk kandang dan pupuk kompos sendiri, kandang semakin terlihat bersih dan sangat berdampak pada tingkat polusi aroma yang bisa ditekan sedemikian rupa.
Banyak lagi yang diajarkan mas Aim padaku selain yang sudah aku ceritakan. Dengan rela dia membagi ilmunya tentang bagaimana merawat kambing dan ayam yang baik. Juga tentang masalah pakan dan pemeliharaan kandangnya. Tidak terkecuali tentang masalah beternak ikan lele. Aku juga pernah beberapa kali keluyuran di tepian hutan berdua dengan mas Aim, dengan membawa kambing kambingku. Disana, aku biarkan kambingku bebas lepas mencari makannya sendiri. Sementara aku merumput, mas Aim ada tidak jauh dari aku. Kadang dia hanya tiduran telentang di atas rerumputan sambil memandang ke arah awan yang berarak. Sesekali dia memainkan bunga rumput. Ditaruhnya bunga rumput itu di mulutnya, digigit dan dimain mainkannya sambil matanya tetap menerawang. Entah apa yang Mas Aim pikirkan, aku tidak tahu. Tapi lebih seringnya, dia berceloteh tentang sesuatu padaku, apalagi kalau bukan tentang hutan dan segala isinya. Sementara aku hanya menganggap hutan hanya sebagai teman yang bisa mengerti aku apa adanya dan tidak pernah menyilangkan jari telunjuknya di jidat untuk mengejekku, Mas Aim sepertinya lebih dari itu. Seolah olah dia menganggap hutan adalah kekasihnya. Dia begitu menggebu gebu bila bicara tentang hutan, apalagi hutan di kawasan Meru betiri ini. Kadang juga sampai meledak ledak gaya bicaranya. Padahal yang mendengarkan hanyalah aku, pohon pohon dan kambing kambing saja. Itulah kenapa aku sering tertawa jika bersamanya.
Dari mulut mas Aim, aku jadi mengerti betapa pentingnya hutan. Hutan sebagai penjaga ekosistem, hutan sebagai gudang penyimpanan air, dan hutan sebagai benteng untuk menghindari bencana alam. Sungguh dia menceritakannya dengan bahasa yang mudah aku mengerti walau seperti apapun kata kata kiasannya. Suatu kali dia bahkan pernah berkata seperti ini.
“Mas Kacong, seandainya para penyelenggara negara di bumi nusantara ini mau berteriak, pastilah kita tidak akan punya tanggungan utang sebanyak ini pada IMF. Seharusnya ada salah satu anak negeri yang suaranya bisa didengarkan, menjerit pada dunia, bahwa kita tidak memiliki utang apapun. Sebaliknya, dunialah yang memiliki utang pada kita. Enak saja mereka yang ada di negara maju masih menghirup udara segar sampai detik ini, dengan tidak henti hentinya membangun kawasan industri yang baru, padahal paru paru dunia yang sebenarnya ada di sini. Salah satunya ya hutan ini”.
Tidak berhenti sampai disana, mas Aim terus saja mengocehkan kegundahan hatinya.
“Sayangnya negara kita sendiri tidak bijak dalam memandang dan menyikapi segalanya. Lihat saja, ya kok mau maunya negeri ini menerima lagi kehadiran investor asing yang hendak memperkosa bumi pertiwi. Seharusnya mereka berkaca pada papua yang berhasil mulus alamnya diporak porandakan oleh PT freeport. Sudah bertahun tahun freeport menyengsarakan rakyat lokal papua. Merusak lingkungan dan merugikan negara. Sayangnya Indonesia tidak bisa berbuat apa apa. Mau bagaimana lagi, mereka sudah terikat kontrak dalam kontrak kerja yang dilindungi hukum internasional. Itu masih freeport, belum lainnya seperti PT. Newmont Nustra yang lebih dikenal dengan tragedi buyat daripada penghasil pendapatan daerah dan negara. Oalah, Indonesia….”
Sebenarnya aku tidak begitu memahami apa yang dikatakan Mas Aim. Tapi lantaran dia mengatakannya dengan sangat menjiwai dan sedikit emosional, aku jadi lebih mudah menangkap maksudnya. Setidaknya yang aku tahu, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah menanam pohon sebanyak banyaknya karena sudah banyak daerah yang rusak keadaan alamnya. Sesederhana itu saja, tidak berbelit belit seperti yang mas Aim ocehkan.
*******
Tiba tiba saja aku dan orang orang kampung sudah berhadapan dengan malam perpisahan antara para mahasiswa KKN, Endang, Lusi, Dian, Iis, Citra, Mukhlis dan Mas Aim. Begitu cepatnya. Padahal aku masih ingin mendengarkan lagi, lagi, dan lagi, celoteh mas Aim yang diakui maupun tidak, telah berhasil membuka cara pandangku tentang hutan, atau hanya sekedar tentang sebatang pohon. Ah, begitu cepat waktu berlalu.
Acara perpisahan dilaksanakan di lapangan desa yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari masjid, diisi dengan beberapa pidato dan hiburan. Haji Abbas juga ikut berpidato. Beliau ditempatkan sebagai sesepuh masyarakat. Berpidato setelah Bapak kepala Desa usai berbicara panjang lebar di atas panggung yang tidak ada atapnya. Dari pondok panggung, aku bisa mendengar jelas suara Haji Abbas berpidato, seputar masalah kegiatan Mas Aim dan kawan kawan. Juga tidak lupa beliau menyampaikan rasa terimakasih atas dipasangnya pompa air otomatis di masjid yang lebih memudahkan jamaah.
Aku di pondok panggung mendengar satu demi satu kata yang terucap dari orang orang yang berpidato, termasuk pidato dari Mukhlis mewakili teman temnnya sesama KKN. Ah, tidak menarik, pikirku. Semua mahasiswa KKN yang bukan mas Aim adalah tidak menarik bagiku. Mereka juga teman, tapi hanya sampai pada taraf sekedar teman saja. Bukan teman yang bisa berbincang dari hati ke hati. Bukan juga teman yang mencerdaskan. Tapi, ya begitulah. Hanya sekedar teman saja. Sulit aku menjelaskannya.
Aku masih mendengar suara yang ditimbulkan oleh sound sistem sewaan teman teman KKN. Sudah sampai pada acara hiburan, tapi aku memilih untuk tetap tinggal di dalam pondok panggung kesayanganku ini. Merebah dan menerawang menatap langit langit atap pondok yang dilapisi plastik, tertata dengan sebegitu rapinya. Siapa lagi sekarang yang akan menceritakan sesuatu padaku. Tentang tema tema yang mulai aku senangi dan mulai merasuk di dalam hati. Tentang hijaunya hutan, tentang pohon dan nama namanya, tentang apa manfaaatnya, dan tentang begitu bahayanya seandainya bumi tak lagi berhiaskan hutan rimba. Siapa lagi yang akan ada di sampingku manakala aku tidur rebah merdeka di rerumputan tepi hutan. Siapa yang akan menemani aku tertawa lepas di pinggiran sungai yang airnya langsung bisa aku teguk? Pikiranku terus mengembara terbang ke alam antah barantah hingga ada sesuatu yang reflek membuat aku terjaga dari lamunan. Suara mas Aim. Ah, kenapa dia kemari? Bukankah seharusnya dia ada di antara teman temannya untuk mengurusi jalannya acara? Tiba tiba saja mas Aim sudah ada di depanku, di dalam pondok panggung kesayanganku. Ternyata dia tidak sendiri, melainkan berdua dengan Lusi, anak KKN yang paling sering melemparkan senyum padaku tapi tidak pernah berkata apa apa.
“Mas kacong tidak ikut kesana?”
Kata kata itu meluncur dari mulut mungil Lusi. Ini adalah kalimat pertama yang ditujukan padaku sejak berhari hari dia ada disini. Tentu saja aku senang diajak bicara oleh mahasiswi, manis lagi. Begitu lamanya aku tidak pernah mendengar suara itu. Suara seorang perempuan yang ramah dan renyah terdengar telinga. Jika sudah begini, aku jadi teringat lambaian terakhir Tita, mantan istriku. Ya, aku ingat kembali lambaian itu, di hari terakhir dan juga awal baru di babak kehidupanku. Setidaknya aku masih bisa mengingatnya dengan baik. Begitu mesra, begitu syahdu, seperti suara gemericik air sumber di tengah hutan yang airnya selalu aku buat minum dan cuci muka. Saking terhanyutnya aku pada pesona kenangan bersama Tita, hingga aku tidak lagi perduli pada kehadiran Lusi dan mas Aim. Kubiarkan saja anganku melanglang buana ke tempo dulu, benar benar kubiarkan lepas tanpa kendali, hingga akhirnya aku tertawa meledak. Ya aku tertawa karena mengingat kembali lambaian terakhir Tita. Lambaian mesra yang menandakan semua baik baik saja. Ternyata mesra belum berarti tulus dari lubuk hati. Mesra belum berarti tulus. Bisa jadi mesra adalah awal dari sebuah kepalsuan. Hahaha, sebuah kenangan yang memang layak untuk aku tertawakan. Lama aku tertawa, lalu diam. Saat aku diam, sempat kulihat Lusi dan mas Aim masih di panggung kesayanganku ini. Ingin aku mendengar celoteh mas Aim di hari terakhir KKN nya, tapi mata ini memaksa aku untuk segera terpejam. Ya, aku lelah.. aku lelah tertawa, aku lelah terpenjara kenangan, dan aku lelah untuk memulai kembali suasana perpisahan, suasana yang selama ini benar benar aku hindari. Tak lama kemudian aku sudah tidak ingat apa apa. Tertidur pulas dalam mimpi yang indah. Aku memimpikan saat saat dimana aku masih bersama Tita, di hari terakhir saat dia masih saja sempat membetulkan tali dasiku yang sebenarnya tidak apa apa. Dari mimpi itu aku kembali teringat tentang Yudi sopir pribadiku, tentang Arimurti sekretarisku dulu, dan semua rekan kerja yang sudah lama sekali aku tak bersua dengan mereka. Aku bermimpi dalam tidur yang panjang. Dalam mimpi aku seakan berteriak, siapa rekan kerjaku selain Yudi dan Arimurti?
Esoknya, pagi pagi sekali, saat Haji Abbas belum lagi mengumandangkan adzan subuh, aku sudah terbangun. Ternyata disampingku ada mas Aim, tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan. Sebuah kehormatan tersendiri bagiku. Orang seperti mas Aim, seorang mahasiswa yang juga seorang pencinta alam, mau tidur seatap denganku di pondok panggung yang tempatnya mepet dengan kandang ternak. Hanya saja Lusi tidak tidur di sini. Memang sama sekali tidak pantas seorang perempuan tidur bersama dua orang yang bukan muhrimnya dalam sebuah pondok kecil, dekat masjid lagi. Haji Abbas pernah mengatakan itu suatu hari saat khotbah jumat.
Aku harus pergi sebelum mas Aim terbangun. Juga sebelum anak anak KKN yang lain berpamitan. Bagaimanapun aku harus menghindari suasana perpisahan, itulah tekadku.
Dengan berjingkat jingkat aku keluar dari pondok panggung ini, berharap langkahku tidak membangunkan tidurnya orang yang aku kagumi, meskipun beberapa tahun lebih muda dari aku. Aku menutup pintu pondok dari luar, pelan sekali. Sebelumnya aku masih sempat mengantongi korek api milikku. Tinggal membawa celurit dan karung saja. Ya, kali ini aku tidak ingin menyiram bunga. Aku ingin langsung melangkahkan kaki menuju hutan. Sebelum benar benar melangkahkan kaki tanpa alas ini, aku masih menyempatkan diri mengambil pakan ikan lele beberapa genggam, aku sebar sebarkan, baru kemudian aku cepat cepat ngeloyor pergi. Bagaimanapun, aku tidak ingin ada di antara para mahasiswa KKN itu saat mereka hendak berpamitan. Karena yang aku tahu, itu adalah suasana yang pahit. Terus aku langkahkan kaki ini, lebih memilih jalan setapak daripada jalan makadam. Karena memang aku lebih hafal jalan setapak daripada jalan besar, meski di pagi yang masih gulita. Tak terasa aku sudah ada di tepian hutan. Bingung mau ngapain. Mau merumput, masih terlalu pagi. Embun masih menghiasi kuncup kuncup rerumputan. Akhirnya aku memilih untuk terus berjalan memasuki hutan rimba. Begitu seterusnya, walau mentari telah menunjukkan kecantikannya, membagikan sinar cahaya seadil adilnya, tanpa ada satupun yang tak disinari. Semua mendapat jatahnya sendiri sendiri, sesuai dengan apa yang Pencipta Mentari perintahkan.
Hari sudah siang, matahari sudah berada tepat di atas kepalaku. Tapi aku terus berjalan menjelajahi hutan. Tidak juga aku merumput. Arit dan karung hanya aku genggam saja ditangan. Satu satunya yang menghentikan langkahku hanyalah rasa lapar yang tiba tiba menyeruak memaksa aku untuk benar benar berhenti. Segera kurebahkan diri di bebatuan tepat beberapa langkah di hadapanku. Sengaja aku pilih batu yang paling besar dan yang permukaannya melebar. Sambil merebah aku berpikir, akan makan apa aku siang ini, di dalam hutan yang hanya ada bunyi bunyian serangga, burung, dan beberapa mahluk hutan ini. Sambil berpikir, aku tetap saja merebahkan diri tanpa melakukan apa apa. Tiba tiba aku dikagetkan dengan sebuah langkah kecil. Segera aku menoleh ke arah datangnya suara langkah tersebut. Aku tercekat beberapa saat, diam tak tertawa. Jangankan tertawa, bernafas pun aku kesulitan. Sebuah pemandangan ganjil tentang konsep seorang manusia yang belum pernah aku bayangkan sebelum ini, tapi sekarang sudah ada dan nyata terlihat di depanku.
Lama aku terdiam. Ternyata yang aku dengar tadi bukanlah suara langkah kaki, melainkan suara sepasang kaki yang meronta ingin melepaskan diri dari sebongkah kayu yang menghimpit tubuh dan kedua tangannya. Batinku meronta antara menolongnya atau pergi saja dari tempat dimana aku ada sekarang ini, sejauh jauhnya dan tidak kembali lagi. Tapi hati kecilku menahannya. Entah mendapat keberanian dari mana, aku mulai melangkahkan kedua kaki ini ke arah sepasang kaki yang meronta ronta itu. Aku tidak langsung menolongnya dengan mencoba mengangkat bongkahan batang pohon yang menindih tubuh di depanku ini. Dari jarak yang sangat dekat sekali aku menatap kedua matanya, sangat lama. Tanpa senyum, tanpa tawa, tanpa ekspresi apa apa. Setelah aku puas memandangi tubuh di depanku, barulah aku mulai berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat bongkahan pohon yang tercerabut dan tumbang dari tanah bersama akar akarnya. Baru saja aku berhasil mengangkat sedikit bongkahan pohon yang daunnya masihlah segar, tubuh yang terhimpit itu sudah berhasil memelintir, lepas dari jebakan alami, dan kemudian melesat secepat kedua mataku memandang. Dia menuju ke arah rerimbunan semak belukar dan hilang begitu saja bersamaan dengan bergoyangnya daun daun semak yang tidak jauh dari tempat aku berdiri sambil menghempaskan kembali bongkahan pohon tumbang yang ada di dekapan telapak tangan. Aku kembali pada posisiku semula, di atas bebatuan. Kembali merebah. Kali ini aku sudah lupa dengan rasa laparku. Yang aku lakukan hanyalah berpikir dan terus berpikir. Memikirkan apa yang baru saja aku alami. Begitu terus menerus, sampai aku tertidur di atas batu besar yang datarannya melebar ini.
*******
Hari sudah senja saat aku terbangun dari tidur. Tentu saja aku terkejut. Aku baru sadar kalau aku sendirian di sini. Bagaimana ini? Jam segini, tidak mungkin aku pulang kembali ke pondok panggung tempat Haji Abbas. Jaraknya terlalu jauh, sedangkan aku tidak membawa senter. Aku terus memutar otak, sementara sesekali perutku berbunyi. Itu adalah sirine alami ciptaan Tuhan pertanda perutku menuntut untuk segera di isi. Diamku tidak membantu apa apa selain hanya mengiringi turunnya sang mentari. Aku mencoba menurunkan kedua kakiku dari atas bongkahan batu yang permukaannya ceper dan melebar. Dan, “Dug…” Ujung jari salah satu kakiku menyentuh sesuatu. Empuk dan terasa aneh. Yang pasti bukan bebatuan. Tentu saja membuat aku penasaran. Segera aku melongok ke arah dimana ujung jari kakiku menyentuh sesuatu. Hah.., ternyata beberapa ikat buah buahan. Ada kentang yang masih mentah, pisang siap makan, dan ubi jalar yang juga masih mentah. Dalam sekejap segera aku sikat buah buahan itu. Pisang adalah pilihan pertama, karena selain sudah matang, aku tergiur dengan warnanya yang menguning alami. Aku tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan setangkup pisang itu, kira kira sekitar dua belas biji. Kemudian aku diam kekenyangan, padahal masih ada lagi sisanya. Ketambahan masih ada kentang dan ubi jalar. Memang belum terlihat di rebus, tapi sudah bersih dari tanah. Terus terang setelah makan pisang, aku tidak tertarik lagi memakan buah lainnya. Semua buah buahan itu akhirnya kuputuskan untuk aku masukkan saja ke dalam karung, tempat biasa aku mewadahi rumput.
Waktuku kemudian aku habiskan untuk segera mencari dan mengumpulkan ranting ranting kering, kutumpuk jadi satu. Setelah yakin bahwa api tidak akan mungkin menjalar karena sisi sisinya aku batasi dengan bebatuan, aku mulai mencoba menyalakannya. Dan berhasil. Beruntunglah, hari belum benar benar sangat gulita dan aku sudah bisa membuat perapian. Benar juga kata Mas Aim, korek itu penting, sebagai peralatan dasar untuk bertahan hidup di hutan rimba. Aku terus menambah ranting ranting kering, mencari kayu yang agak besar, lalu memotong motong cabang batang pohon yang sudah tumbang tercerabut dari tanah bersama akarnya. Pohon yang mempunyai kesan tersendiri bagiku. Cabangan pohon itu aku pilah pilah dengan celurit alat merumputku, sebanyak banyaknya, khawatir nanti kurang. Baru setelah aku yakin cukup, aku kembali menjaga perapian yang sudah membara. Dengan santai kusandarkan punggungku di tepi bebatuan yang atasnya tadi aku buat tidur. Mau tidak mau aku harus tidur di sini. Waktu sudah tidak memungkinkan aku untuk kembali ke pondok panggung. Biarlah kali ini hewan ternakku aku pasrahkan pada Yang Menciptakannya. Begitu juga dengan lele dan bunga bunga yang tak lagi sempat aku siram. Besok, saat sang surya telah menunjukkan sinarnya, sepagi paginya aku akan kembali ke pondok panggung. Bagaimanapun aku merasa bersalah pada Haji Abbas dan Nyai. Baru kali ini aku melakukan sesuatu yang aku yakin sangat tidak menyenangkan bagi mereka. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah yang terbaik, pilihan yang terbijaksana yang bisa aku putuskan.
Hari sudah benar benar gelap. Satu persatu dapat kulihat bintang dari celah celah dedaunan. Di tempat dimana aku duduk di samping perapian saat ini, tidak begitu banyak pepohonan. Tapi dari yang sedikit itu memiliki banyak dedaunan. Satu pohon sejuta daun, begitu kira kira gambarannya. Aku pernah akrab dengan kata kata ini. Sayangnya aku tidak bisa mengingat siapa yang mengatakan. Alangkah indahnya jika hidup manusia juga sama seperti itu. Katakanlah kita ini adalah hanya bagian dari dedaunan itu. Kita memiliki akar yang kalau dirunut, terdiri dari akar yang sama. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk bertikai dan saling menikam. Bukankah kita hanya sebuah daun yang hidup dari banyak daun? Bukankah kita hanya mempunyai satu bumi? Anggap saja bumi adalah tangkai utama pohon itu sendiri. Yang harusnya kita lakukan adalah melaksanakan fungsi masing masing, saling bekerja sama dan saling bergandengan. Terlepas dari itu semua, lebih bijaksana seandainya kita menghabiskan waktu dalam hidup kita untuk mempersiapkan diri saat musim rontok. Ya, setiap daun pasti akan kering dan rontok, terbang turun diantar angin, dan kembali ke pelukan tanah. Manusia juga seperti itu. Tidak ada yang abadi di dunia ini selain Sang Pencipta Keabadian itu sendiri. Apa yang sudah aku siapkan untuk mati? Tiba tiba saja suara tawaku menggelegar, sempat menghentikan sebentar suara serangga dan mahluk mahluk kecil hutan. Tentu saja mereka kaget dengan suaraku yang asing ini. Mungkin saja pepohonan juga terkaget kaget mendengar suara tawaku. Aku tertawa dan terus tertawa tanpa memperdulikan sedang ada di mana aku sekarang. Bagaimana aku tidak tertawa, agamaku saja adalah agama warisan orang tua. Dengan agama yang aku punya itu, aku tidak pernah melaksanakan apa apa yang seharusnya aku lakukan. Kalau keadaanku begini, bagaimana aku bisa sampai melamunkan tentang satu pohon sejuta daun? Bagaimana bisa aku memikirkan tentang manusia manusia yang lain? Aku sendiri adalah manusia dan aku tidak pernah menyiapkan apa apa untuk menuju alam kematian. Adalah sangat lucu sekali manakala saat ini aku merenungkan tentang satu pohon sejuta daun.
Tawaku terhenti bersamaan dengan datangnya sebuah suara ke arahku. Seperti suara batu yang dilemparkan seseorang. Mungkin juga bukan batu, yang jelas itu adalah suara sesuatu yang sengaja dilemparkan ke arahku. Tiba tiba saja aku sudah ada dalam posisi siaga satu. Ada orang lain disini selain aku, pikirku. Mataku awas, memandang apa saja sejauh mataku bisa memandang. Karena terlalu lama di kegelapan, kedua mataku sudah mulai terbiasa dan lebih bisa melihat dalam gelap. Celurit sudah aku perkirakan ada dalam jangkauan, tinggal sekali gerak saja. Tapi sengaja tidak aku raih karena aku belum tahu apa dan siapa yang aku hadapi ini. Karung rumput yang sekarang kujadikan tempat untuk mewadahi buah buahan juga tak luput dari pengawasanku. Aman. Bisa jadi itu adalah alasan kenapa ada seseorang yang sengaja melempar aku. Di dalam hutan, makanan adalah alasan kuat untuk memulai pertarungan. Aku tetap dalam posisi bersiap siap menunggu datangnya lemparan susulan. Sayangnya sesuatu yang aku tunggu tunggu itu tidak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi saja sikap siagaku ini. Dan aku kembali santai, menambah beberapa batang kayu basah di perapian yang membara. Saat lagi bermain perapian itulah aku teringat kembali kejadian tadi siang, saat aku baru saja sampai di tempat ini. Bukankah aku bertemu dengan seseorang? Tapi benarkah itu adalah seseorang? Kalau benar itu adalah seseorang, manusia jenis apakah dia?
Masih ku ingat betul, tubuhnya kecil. Sangat kecil sekali malah, seperti seorang bayi saja. Tapi dikala aku perhatikan dari dekat, saat dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk lepas dari bongkahan pohon roboh, garis garis wajahnya menyiratkan bahwa dia bukan lagi seorang bayi. Dadanya rata, meskipun juga ada puting susu disana. Itu menandakan bahwa dia berkelamin laki laki. Aku tidak tahu kata kata mana yang lebih tepat, laki laki atau jantan. Bagian kelaminnya tertutup oleh sesuatu, bukan dedaunan, bukan juga kulit binatang, tapi kain. Sama seperti kain yang aku pakai sekarang ini. Sudah berbau manusia. Hanya itu satu satunya barang yang melekat dan yang menunjukkan dia juga mengenal peradaban. Apakah dia pantas disebut manusia? Tapi jika bukan manusia lalu apa? Sejenis monyet? Pasti bukan. Dia tidak berekor. Kalaupun dia berekor, aku pasti dapat melihatnya, setidaknya saat dia sempat membelakangiku, lari secepat kilat ke arah semak belukar. Dia juga sama sekali tidak berbulu. Jenis kulitnya sama dengan kulitku, kulit manusia. Tapi warna kulitnya tidak sama persis seperti warna kulitku. Tidak bisa dikatakan putih seperti keturunan tionghoa, tidak juga hitam. Sawo matang, mungkin. Tapi sawo matang yang kemerah merahan. Tapi tidak juga. Permukaannya seperti dilumuri sesuatu. Seperti lumpur, tapi aku tidak sangat yakin. Entah apa itu namanya. Jika dia manusia, mengapa sangat kecil? Dia juga tidak bisa dikategorikan sebagai manusia cebol. Aku tahu manusia cebol, berlengan pendek, kaki juga pendek, tapi tidak sekecil dia yang aku jumpai tadi siang. Tubuhnya memang kecil. Tapi antara kepala, tangan, panjang punggung, kaki, seimbang. Dia berdiri tegak saat lari. Tidak ada tanda tanda dia adalah manusia keturunan cebol atau manusia yang pertumbuhannya tidak normal lantaran sesuatu. Apa benar dia seorang manusia? Tapi mengapa sangat kecil? Aku kembali mengulang ulang rasa penasaranku ini dalam sebentuk pemikiran yang tak ada ujungnya. Sampai sampai aku membayangkan jika kedua telapak kakinya aku taruh di salah satu telapak tanganku, aku yakin aku bisa dan kuat mengangkatnya. Aku terus memikirkannya sampai larut malam. Memikirkan tentang bagaimana tadi aku bisa lupa tentang kejadian itu. Apa karena tadi aku sempat tertidur pulas di atas batu? Atau karena daya kerja otakku terlalu letih memikirkan banyak hal, ataukah memang benar aku ini adalah laki laki gila seperti yang orang orang katakan? Ah tidak tidak. Orang gila tidak akan mengerti tentang indahnya bintang dan tentang nama nama. Sedangkan aku masih mengerti banyak hal. Tentang dedaunan, tentang kambing, tentang ayam, tentang apa saja kecuali tentang apa yang akan terjadi esok hari.
Semalam rupanya aku tertidur setelah otak ini letih mengembara ke sudut sudut pertanyaan akan diri, hidup dan kehidupan, bahkan pada sudut yang paling tersembunyi. Pagi ini aku baru saja terbangun. Masih dengan posisi tubuh bersandar di tepian batu besar. Padahal semalam aku berencana untuk tidur di atas batu dengan berselimutkan bintang. Terlalu pagi untuk segera melangkahkan kaki menuju rumah Haji Abbas. Suasana hutan masih berhiaskan warna jingga, menandakan sinar matahari pagi baru saja memulai melaksanakan tugasnya. Hawa dingin membuatku memaksa diri ini untuk mendekati perapian. Syukurlah, ternyata masih ada kayu kayu kecil yang berubah menjadi seperti arang dan masih menyimpan bara. Cepat cepat aku mengambil celurit, membelah sebuah cabang kayu sebesar lenganku sendiri. Aku menjadikannya belahan kecil kecil, kulit kayunya aku sendirikan, lalu ku susun belahan belahan kayu kecil itu di atas sisa sisa perapian semalam. Beberapa waktu kemudian aku mulai sibuk meniupnya dengan mulutku. Pelan tapi pasti aku meniupnya, sepelan dan sepasti perapian itu mengeluarkan asap yang mengepul. Terus saja aku melakukan itu hingga api benar benar menyala. Setelah menyala, aku tambahi tumpukan perapian dengan membelah lagi sebatang kayu, aku pilah pilah lagi seperti sebelumnya, lalu aku tumpukkan di kayu yang sudah membara. Begitu seterusnya sampai api membesar dan aku mendapatkan hangatnya. Terlalu lama bila harus menunggu datangnya sinar mentari, sedangkan tempat aku membuat perapian ini bukanlah sebuah punggungan yang kondisinya cepat mendapat sinar mentari. Apalagi tepat beberapa meter di depan bebatuan ini adalah sebuah tebing. Meskipun tidak seberapa curam tetap saja akan menghalangi datangnya sinar mentari pagi. Lagipula dengan membuat perapian, aku bisa menyiapkan sarapan pagi. Beberapa ubi jalar aku keluarkan dari dalam karung dan segera aku masukkan ke dalam perapian, begitu saja.
Aku memilih untuk menyantap ubi jalar bakar di dekat perapian setelah sebelumnya aku mencoba untuk duduk di atas batu dan ternyata masih sedingin es. Sebuah sarapan pagi ala orang rimba. Sambil mengunyah, pikiranku kembali pada si kecil, mahluk Tuhan yang begitu misterius, setidaknya menurutku begitu. Bisa jadi pisang yang aku santap kemarin, kentang yang masih utuh di dalam karung, dan ubi yang ada dalam genggamanku sekarang ini adalah pemberiannya. Ya, itu yang paling masuk akal, batinku. Sembari memikirkan, pikiranku melayang kembali ke kejadian semalam. Tentang sebuah suara yang ditimbulkan oleh sesuatu yang sepertinya memang sengaja dilemparkan ke arahku. Demi mengingat itu, kedua mataku langsung saja jelalatan menyapu sekeliling, berharap bisa menemukan sesuatu. Ternyata benar dugaanku tentang sebuah benda yang sengaja dilemparkan ke arahku saat aku tertawa semalam. Sekitar lima langkah dari posisiku, pandangan mataku menangkap sesuatu. Semacam bungkusan. Seketika itu juga aku berdiri dan melangkah ke arah bungkusan itu. Ternyata bahan pembungkusnya terbuat dari kulit pohon pisang yang belum benar benar mengering, di iris tipis tipis dan dijadikan sebagai pembungkus. Hati hati aku meraihnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku masih menggenggam sisa ubi bakar yang tinggal satu suapan lagi. Agak berat, tidak seperti perkiraanku. Setelah ubi bakar di genggaman tangan kiriku aku santap, bungkusan itu aku pegang dengan kedua tangan. Lalu aku kembali lagi ke tepi perapian, duduk bersila dan mulai akan membuka bungkusan, tapi aku urungkan tanpa alasan yang pasti. Akhirnya aku hanya memandanginya saja tidak berbuat apa apa. Aku melakukan ini lantaran hati kecilku mengatakan bahwa sepertinya ada sepasang mata yang mengawasi gerak gerikku. Entah apakah manusia, hewan, atau si kecil kemarin.
Mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi tak ada salahnya menuruti perasaan sendiri di tengah hutan yang segalanya bisa saja terjadi ini. Semakin lama aku semakin digerogoti oleh perasaanku sendiri. Seperti mendapat ancaman dari sepasang mata, padahal aku tidak tahu sepasang mata milik siapa yang aku maksud. Hanya saja ini begitu naluriah. Aku memutuskan untuk sesegera mungkin memasukkan bungkusan itu ke dalam karung, bercampur dengan kentang. Baru setelah itu aku mengeruk ngeruk tanah dengan kedua telapak tanganku, untuk menimbun perapian. Setelah aku rasa cukup, begitu saja tangan kiriku menyambar karung berisi kentang dan sebuah bungkusan yang aku sendiri tidak berani menebak apa isinya, sementara tangan kananku sigap meraih celurit di samping kananku dekat perapian yang padam oleh timbunan tanah. Perasaan di intai sesuatu, seseorang, hewan buas, atau apalah itu, semakin kuat tertanam di dalam hatiku. Tidak ada pilihan lain selain segera melangkahkan kaki sambil menggenggam celurit erat erat, berharap bisa segera tanggap bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Mula mula aku hanya berjalan dengan langkah lebar lebar, kemudian semakin cepat cepat dan cepat. Tidak lama kemudian aku lebih memilih untuk berlari. Semakin cepat aku berlari, bayangan bahwa ada sesuatu yang mengikuti aku dari belakang semakin membesar. Aku berlari semakin cepat, tak perduli semak belukar, tak perduli telapak kakiku menginjak tanaman berduri, rawe rawe rantas malang malang putung.
Baru kali ini aku merasa ketakutan dalam kesendirian. Juga baru kali ini aku sadar bahwa aku membutuhkan orang lain ada di sekitarku, meskipun hanya sekedar menjadi media pengingat bahwa aku tidak sendirian di bumi yang luas membentang. Semakin lama aku berlari, semakin aku tidak tahu kemana arah tujuanku. Sekarang ini yang aku butuhkan bukan lagi tujuan, tapi kehadiran orang lain. Setidaknya, ada orang lain yang tahu bahwa saat ini aku dilanda rasa takut yang sebegitunya.
Aku masih berlari dan terus berlari. Terengah engah, kehabisan napas, tapi aku tidak punya pilihan lain selain terus berlari. Energi yang aku dapat dari tidur yang nyenyak dan beberapa buah ubi sepertinya habis untuk membakar kalori saat aku berlari sekarang ini. Aku juga merasakan salah satu telapak kakiku berdarah. Tenagaku habis sudah, yang ada tinggallah semangat untuk terus berlari. Sementara di depanku hanya ada pemandangan yang tidak menentu. Kadang semak belukar yang begitu rapat, kadang pepohonan besar. Aku rasa untuk merangkul salah satu dari pohon ini butuh antara dua sampai tiga orang saling bergandengan tangan dan melingkari batang pohon. Mataku mulai nanar, pinggang dan seluruh persendianku ngilu, perutku sakit sampai ke ulu hati. Aku baru ingat, sejak kemarin aku kurang air putih. Aku hanya minum saat menemukan sumber air atau saat melintasi sungai kecil saja, bukan minum pada saat benar benar haus seperti sekarang ini. Telapak tanganku juga mulai perih lantaran terlalu sering memegang batang pepohonan tanpa memeriksanya terlebih dahulu karena memang tidak ada waktu untuk itu. Padahal itu bukan sesuatu yang bijaksana jika kita ada di dalam hutan. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di balik batang batang pohon.
Sampai pada akhirnya aku jatuh terjerembab. Dan disaat yang sama dapat kurasakan sesuatu yang tajam menggores punggungku. Perih, sakit, dan terasa sangat cepat. Begitu cepatnya hingga aku tak bisa mengingatnya lagi. Aku tak hanya terjerembab, aku terkapar.
( Bersambung )
ayo..
BalasHapusterus..terus..
udah gak tahan pengen baca lanjutane...
Yaaa..kalau yang ini saya tahu, hehe.. Makasih ya Siola..Kok papek anonim?
BalasHapus