Jumat

Jangan Panik Aku Tidak Gila #8

Detik berlalu, hari merayap, dan bulan berganti. Begitu juga dengan tahun. Tiba tiba aku sudah ada tahun baru. Setidaknya, begitulah menurut yang aku dengar dari orang orang. Aku tidak merasakaan apa apa dengan pergantian tahun beberapa hari kemarin. Kenapa banyak orang yang merayakan? Apa ya manfaatnya? Apa bisa membuat badan lebih sehat? Aku hanya tertawa saja melihat fenomena yang ada. Lucu, orang muslim merayakan tahun baru masehi secara membabi buta. Justru di tahun barunya sendiri sepi. Sesepi hari rayanya orang orang hindu Bali yang taat beribadah.

Telah aku rasakan nikmatnya panen lele. Telah juga aku rasakan begitu menyenangkannya makan sambil mendulitkan lele goreng ke cowek berisi sambelan hasil karyaku sendiri. Tadinya aku hanya menganggap makan adalah sebuah proses mengunyah untuk menuju kenyang saja. Dengan merasa kenyang, manusia akan tetap bisa melanjutkan hidupnya, tetap bisa beraktifitas dan melakukan sesuatu. Ternyata makan tidak sesederhana itu. Ada makna yang tersembunyi di setiap kunyahannya. Apalagi makannya dengan muluk alias menggunakan tangan. Tanpa butuh alat bantu apapun semacam sendok, garpu, sumpit apalagi pisau. Begitulah menurutku. Apapun aktifitas yang telah aku lakukan sebelum makan, pada saat makan aku lebih memilih untuk menggunakan tangan. Aku mempunyai banyak alasan tentang ini. Yang pertama, karena Haji Abbas juga menggunakan tangan kanannya setiap kali makan. Itu alasan pertama dan paling kuat menghunjam pikiranku. Alasan kedua, karena aku sendiri yang mencuci telapak tanganku sebelum makan. Beda dengan sendok dan garpu, semua bisa mencucinya. Juga masalah penggunaannya. Bisa jadi satu sendok telah digunakan oleh ribuan orang yang kita sendiri tidak kenal dan tidak tahu riwayat kesehatan mulutnya. Sedangkan tanganku sendiri, mana mungkin orang lain akan meminjamnya untuk makan? Tanganku juga sudah pasti lebih bersih dari sekedar sendok dan garpu, karena bagaimanapun ia tidak pernah jatuh ke dalam comberan.

Kambingku semakin banyak, ada sembilan ekor sekarang. Lima sudah besar dan empat masih kecil, bahkan dua diantaranya baru saja dilahirkan. Ayam ayamku apalagi. Semakin banyak dan semakin gemuk. Tidak ada tempat yang tersisa di sekitar pondok panggung sampai memanjang ke belakang mentok dengan sungai kecil. Semua dipadati oleh polibag berisi bibit ketapang dan mengkudu. Dua bibit yang sama sama tidak dicari orang, padahal jumlah yang aku punya puluhan ribu. Belum lagi polibag yang sengaja aku tempatkan di ladang. Sekarang ini orang lebih senang mencari bibit sengon dan mahoni. Mereka bilang itu lebih menjanjikan. Padahal menurutku, percuma saja menanam pohon jika nantinya akan ditebang juga. Apalagi tanpa adanya regenerasi. Lagian toh itu bukan pohon asli nusantara. Tapi mau bagaimana lagi, dunia menuntut pengglobalan dalam segala hal, dan kita tidak bisa hidup terkungkung hanya dengan hal hal yang sifatnya bioetnosentris. Kita tahu bahwa kopi bukan tanaman asli nusantara. Belanda membawanya dari tanah arab untuk ditanam di pulau jawa di abad tujuh belas. Tapi lihatlah kenyataan yang ada. Hampir semua orang Indonesia adalah penggemar kopi. Apakah ini adalah sebentuk penjajahan biogenetik?

Sudah dua bulan terakhir ini mas Aim sering mengunjungiku. Kadang berdua dengan pak Mu’i dia menemaniku di ladang. Biasanya mereka hanya sekedar duduk duduk saja di pondok tak berdinding buatan pak Mu’i yang sengaja tidak dibongkar meskipun sudah ada pondok baru. Aku semakin giat berladang bahkan terkadang menginap dan tidur di dalam pondok yang Haji Abbas buatkan. Tapi aku tidak akan menginap saat tidak ada cadangan rumput dan pakan ternak. Jika aku bermalam di ladang, pagi pagi sekali aku akan kembali ke pondok panggung untuk cepat cepat memberi makan lele dan hewan ternak. Untuk akses air, sekarang jauh lebih mudah sejak ada sumur yang airnya bening dan ternyata tidak begitu dalam. Tadinya aku mengira sumur ini akan menghunjam dlantaran ladang tempat sumur ini dibuat ada di punggungan hutan yang tandus. Ternyata tidak juga. Mungkin letak pembuatan sumur itu tepat diantara lorong lorong kecil mata air. Itu yang pak Mu’i pernah katakan padaku. Bibit bibit pohon mangga, rambutan dan waru diameternya sudah ada yang sebesar ibu jariku. Sangat menyenangkan memandang tanaman itu hidup dan mengembang. Sebuah tamasya hati yang tidak memerlukan biaya. Ohya, ada yang baru dari mas Aim. Apalagi kalau bukan cerita yang didongengkannya padaku. Tapi saat ini dia lebih sering bercengkerama dengan pak Mu’i dan aku sebagai pendengar setia yang senantiasa tertawa. Bagi mereka, tawaku adalah sebuah soundtrack tersendiri yang mewarnai percakapan mereka berdua.

Akhir akhir ini mas Aim sering bercerita tentang rencana pertambangan di hutan meru betiri. Dia katakan pada pak Mu’i tentang sisi positif dan negatifnya. Positifnya ada di sisi ekonomi, sedang negatifnya ada di sisi ekologi. Dan itu tidak bisa dihargai dengan mata uang. Itu kata mas Aim. Aku memang turut mendengarkannya, tapi tidak begitu menggubrisnya. Entahlah, bagiku itu adalah tema cerita yang sama sekali tidak menarik.

Semua cerita tentang hidupku sampai dengan pergantian kalender menunjukkan bahwa keseharianku biasa biasa saja. Cenderung membaik. Apalagi hari ini, saat aku hendak pergi ke ladang tapi dicegah oleh Haji Abbas. Seperti biasa, jika hendak berbincang dengan aku, Haji Abbas ada di sebelah kiriku sambil tangan kanannya merangkul pundak kananku dan menuntun ke sebuah tempat. Kali ini ke arah ruang tamu rumah Haji Abbas. Disana sudah ada mas Aim dan dua orang asing yang sama sekali belum pernah aku lihat. Satu diantaranya berumur kira kira seperti Haji Abbas, sedang satunya lagi masih muda, seumuran mas Aim. Tidak biasanya mas Aim bertamu sepagi ini, ada apa ya? Batinku. Oleh Haji Abbas aku didudukkan di kursi sebelah mas Aim. Tidak berapa lama setelah aku duduk, Nyai keluar dengan nampan di tangannya. Wah, kopi panas buatan Nyai. Mataku sudah ngiler demi melihat Nyai membawa nampan itu. Nyai sepertinya sudah mahfum. Diberinya secangkir gelas ke arahku, lengkap dengan lepek-nya. Tentu saja aku menyambutnya dengan mata berbinar. Langsung kutuangkan kopi itu kedalam lepek untuk kemudian aku seruput, bahkan sebelum Nyai selesai membagikan hidangannya. Kedua tamu yang asing itu mulanya menatap aku dengan menyimpan seribu penasaran. Apalagi diantara semua yang ada di ruang tamu ini hanya aku yang tidak mengenakan baju. Celana jins pendek ini saja sudah kupakai hampir sebulan dan belum berganti. Barangkali mereka juga terganggu dengan aroma tubuhku yang berparfum alami ini. Bisa jadi mereka menguatkan untuk tidak menutup hidung lantaran menaruh hormat pada si empunya rumah, Haji Abbas. Mereka baru bisa sedikit bernafas lega saat Haji Abbas mengatakan sesuatu, setelah sebelumnya menawari para tamu itu untuk menikmati hidangan.

“Ini juga anak saya. Namanya Kacong. Dialah yang merawat dan memiliki bibit pohon ketapang dan mengkudu yang hendak Bapak beli”

Pada akhirnya mereka berbincang panjang lebar, tidak lagi sekaku saat aku pertama kali muncul di ruang tamu ini dengan diantar Haji Abbas. Singkat cerita, mereka adalah partner mas Aim dari luar kota yang butuh bibit pohon ketapang dan mengkudu dalam jumlah besar. Dalam hal ini mas Aim bertindak sebagai perantara saja, sedang Haji Abbas tidak lain sebagai waliku dalam hal jual beli. Saat Haji Abbas meminta persetujuanku dan aku tertawa, sontak Haji Abbas mengatakan sesuatu pada kedua tamu yang dibawa oleh mas Aim ini.

“Alhamdulillah, deal. Semoga hasil penjualan ini bermanfaat bagi Kacong”

Sambil berkata ini tangan kanan Haji Abbas disodorkan pada salah satu tamu yang sama tuanya dengan Haji Abbas. Sementara aku masih tertawa. Aku tahu maksud kedatangan mereka, dan aku tahu apa yang mereka bicarakan. Semuanya baik. Yang aku tertawakan adalah tentang sebuah rahasia. Rahasia Tuhan yang diungkapkan sedikit pada mahluknya yang sudah terbiasa dipanggil Kacong ini. Ternyata ada juga orang yang butuh bibit bibit yang aku tanam di polibag pemberian mas Aim dan Haji Abbas. Lebih tertawa lagi aku mendengar harganya. Satu bibit ketapang yang hidup di polibag dia hargai tiga ribu tujuh ratus lima puluh rupiah. Padahal mereka butuh tiga puluh ribu bibit dengan segala ukuran. Mereka hanya memberi standart minimal, tiga puluh sentimeter. Di bawah itu mereka tidak mengambilnya. Dan yang aku tahu bibit ketapang milikku semuanya sesuai dengan yang mereka cari. Bila ditambah dengan bibit yang ada di ladang dan juga ada di dalam polibag, bisa jadi akan memenuhi sejumlah yang mereka inginkan.

Aku terus merenung sambil dengan sekuat tenaga mencoba menghitung tiga ribu tujuh ratus lima puluh dikali tiga. Lalu hasil perkalian itu aku tambah empat angka nol di belakangnya. Bukankah itu sejumlah seratus dua belas juta setengah? Bayangkan, aku memiliki uang sebanyak itu, buat apa? Toh aku tidak menginginkan apa apa. Yang aku inginkan hanya tempat untuk berlabuh dan juga teman. Dan aku sudah mempunyai semua itu. Lagi lagi yang membuat aku tertawa lebih keras adalah saat mereka menghargai bibit mengkudu. Persatunya mereka hargai lebih mahal dua ratus lima puluh rupiah dari ketapang, dengan jumlah permintaan yang sama. Tiga puluh ribu bibit. Gila, seratus dua puluh juta rupiah. Berarti jika jumlah keseluruhan digabung, akan ada sejumlah dua ratus tiga puluh dua juta setengah. Apa yang akan aku beli dengan itu. Tetap saja uang sebanyak itu tidak bisa digunakan untuk membeli ketulusan hati seorang teman.

Ternyata acara tertawaku tidak berhenti sampai di sini. Saat mereka berdua menanda tangani surat jual beli yang aku sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu seperti apa bentuknya, salah satu pembeli yang seusia dengan Haji Abbas membuka sebuah koper berwarna hitam yang sedari tadi ada di bawah dekat kaki kanannya. Tebak apa yang ada di dalamnya. Sejumlah uang. Sudah sangat lama aku tidak memandang uang sebanyak itu dari jarak yang sangat dekat. Inilah sesuatu yang seringkali menjadi biang keladi pertikaian antar manusia, batinku. Dan biang pertikaian itu sebentar lagi akan menjadi milikku. Tak berhenti aku tertawa memikirkan hal ini. Beruntung ada Haji Abbas, orang jujur dan baik hati yang aku kenal. Pada dirinyalah kupercayakan hendak dikemanakan uang itu. Tapi itu hanyalah kata kata yang tak pernah terucap dari bibirku, hanya terendap di hati seperti mengendapnya ingatanku pada Tita, perempuan yang tak berhasil menjadi teman bicara saat aku tua nanti. Kepada pembeli dan mas Aim, Haji Abbas meminta untuk tidak menggembar gemborkan ini. Haji Abbas khawatir dengan hal hal yang tidak di inginkan. Dan mereka mau mengerti, terutama mas Aim.

Kegiatan berikutnya adalah menghitung jumlah rata rata bibit sambil menunggu datangnya kendaraan yang hendak mengangkut bibit bibit itu. Juga memanggil beberapa orang yang biasa menyediakan jasa di bidang angkut mengangkut. Ada banyak orang yang Haji Abbas panggil, sekitar dua puluhan. Ini juga karena mereka harus mengambil bibit di ladang, sementara kendaraan hanya bisa masuk sampai tepian hutan. Biaya ini ditanggung oleh penjual, dalam hal ini Haji Abbaslah yang lebih paham tetek bengek-nya. Seharian mereka melakukan ini, sementara aku memilih untuk tidak membantu apa apa, tidak ke ladang dan tidak juga merumput. Masih ada jatah rumput kemarin untuk hari ini. Biarlah hari ini aku tidak kemana mana. Hari ini sebenarnya aku hanya ingin ada di pondok panggung saja. Sayangnya suasana sekitar pondok panggung terlalu ramai oleh orang orang yang sibuk menghitung dan mengangkut bibit. Mas Aim juga kulihat sibuk membantu menghitung bibit bibit yang kuletakkan berjajar jajar, rapi dan bersih dari rumput. Akhirnya aku lebih memilih untuk duduk di emperan masjid sambil memandangi orang orang yang berlalu lalang.

Semakin lama bukan hanya para penjual jasa tenaga saja yang sibuk mengangkut bibit, tapi beberapa warga sekitar juga ikut membantu. Mereka terlalu terbiasa dengan suasana gotong royong, mana mungkin mereka akan membiarkan tetangganya repot tanpa membantu apa apa. Apalagi yang sedang punya gawe ini adalah keluarga Haji Abbas. Yang lebih terasa suasana gotong royongnya adalah para ibu ibu di dapur. Mereka serta merta membantu Nyai untuk menyiapkan hidangan makan dan minum untuk banyak orang. Saat ini ada dua kendaraan sejenis si janda yang setia menunggu bak belakangnya dipenuhi bibit. Dua kendaraan lainnya lagi, yang juga sejenis dengan si janda, sudah berangkat ke tepian hutan bersama orang orang yang akan mengangkut bibit yang ada di ladang. Sepintas tadi dapat kulihat ada pak Mu’i diantara mereka yang hendak kesana. Itu juga yang membuat hatiku tenang. Tidak mungkinlah mereka menginjak injak beberapa bibit mangga, rambutan dan dua puluh bibit waru. Juga tentu saja bibit mengkudu yang sengaja aku tanam di seluruh ladang, sesaat setelah panen perdana cabe kecil. Ohya masalah hasil panen cabe kecil, aku tidak mau tahu, semua sudah diurusi oleh Haji Abbas dan pak Mu’i. Yang aku tahu, dua hari setelah panen aku cepat cepat mengolah tanah ladang, kemudian cepat cepat menanaminya dengan bibit mengkudu yang memang sudah tersedia. Aku melakukan ini lebih cepat agar pak Mu’i tidak lagi repot memikirkan hendak membelikanku bibit tanaman. Aku tidak tahu kapan aku bisa memanen mengkudu. Tapi yang sangat benar benar aku tahu, buah mengkudu juga bisa dijual. Aku tahu ini saat masih ada di Desa Pace dulu, di rumah Kakek Sura’i dan YuTatik. Entah bagaimana kabar mereka saat ini.

Aku masih di emperan masjid, tapi tidak lagi memandangi orang orang yang berlalu lalang dengan membawa bibit ditangannya untuk di pindahkan ke kendaraan sejenis si janda. Kali ini aku lebih memilih merebahkan diri sambil memerdekakan pikiran melanglang buana. Dan seperti biasanya, dalam kondisi seperti ini aku sangat mudah tertidur. Sekejap kemudian aku sudah terlelap dalam mimpi yang indah. Entah jam berapa saat aku benar benar tertidur, aku tak perduli. Siapa yang tahu tentang itu. Sampai saat ini bagiku tidur adalah sebuah anugerah dan misteri tersendiri. Aku bersyukur masih bisa menikmati anugerah dari Tuhan yang gratis ini. Bagiku, tidur nyenyak adalah sebuah kenikmatan yang begitu lembut.

*******

Paska proses penjualan itu, banyak orang yang ikut ikutan mencari bibit pohon ketapang dan mengkudu. Ini membuat aku kesulitan mencari bibit yang sama. Akhirnya aku tidak memperdulikan lagi. Aku mencari aktifitas baru. Masih tidak jauh dari tanam menanam di dalam polibag. Kali ini aku dibelikan polibag yang banyak dengan segala ukuran oleh Haji Abbas. Beliau juga membelikanku banyak pot plastik. Alat alat seperti cangkul, celurit dan semacamnya juga baru. Bukan itu saja, Haji Abbas membuatkan aku kolam ikan lele, lebih lebar dan lebih mudah pengairannya.

Kolam itu terhampar di sebelah kanan pondok panggung. Memanjang kebelakang sampai mendekati sungai kecil. Para penggarapnya adalah orang orang yang sama. Tapi kali ini ketambahan pak Mu’i. Kolam terdiri dari enam kotak, sedangkan sebelahnya juga dibangun kolam yang sama juga dengan ukuran panjang kali lebar yang sama, tapi tidak bersekat. Jadi modelnya ada dua jalur. Jika jalur satu ada satu kotak dan jalur dua ada enam kotak, berarti kesemuanya ada tujuh kotak. Semua yang ada di jalur bersekat berukuran sekitar tiga kali lima meter. Sengaja dibuat menyusun dari yang tertinggi hingga yang terendah. Paling rendah adalah kolam dekat sungai kecil, dan yang tertinggi adalah yang hampir berhimpitan dengan kandang kambing. Sedangkan jalur yang tidak bersekat berukuran panjang kali lebar sama, tiga kali tiga puluh meter. Bedanya, jalur yang tidak bersekat dindingnya rata, tidak dibuat tinggi rendah. Juga tenang, tanpa ada aliran air. Tapi ada filter udara disana yang menyebabkan kondisi air bergelombang. Hebat juga Haji Abbas bisa merencanakan ini.

Tanah yang tadinya aku manfaatkan untuk meletakkan banyak polibag berisi bibit, kini menjadi seperti tambak mini. Tentu saja aku senang. Dapat kubayangkan dari sekarang suara kecipak ikan saat aku beri makan. Apalagi dengan kolam yang selebar dan sesempurna ini. Berhari hari, sambil menunggui orang orang bekerja menyelesaikan kolam, aku selalu setia tertawa diantara mereka. Kelak, kolam ini diisi air bersamaan, tapi tidak di isi ikan lele semua. Hanya satu jalur yang di isi ikan lele. Dari enam kotak, hanya diisi ikan lele di empat kotak. Itupun tidak dengan ukuran yang sama. Ada yang sangat kecil, lebih besar sedikit, sedang, dan di atas sedang. Sementara dua kotak lagi yang kosong, salah satunya di isi dengan ikan sepat. Satu lagi, yang jaraknya paling dekat dengan sungai kecil, sengaja dibiarkan kosong tanpa ikan. Aku baru tahu maksudnya kenapa itu dibiarkan kosong, kala aku ikut nimbrung bersama Haji Abbas dan pak Mu’i yang sedang ngobrol di dekat pondok panggung. Mereka mengobrolkan rencana kolam kedepan. Ternyata kolam yang sengaja dikosongkan itu disediakan untuk segala jenis ikan tawar hasil tangkapan dari sungai. Nah ikan ikan ini, termasuk ikan sepat, nantinya akan dijadikan pakan lele juga. Jalur satunya lagi, semuanya diisi dengan ikan gurami, dengan ukuran ikan yang sama dan berjumlah tiga puluh ribu anakan.

Hari hariku selanjutnya kulalui dengan riang gembira. Merumput, meladang, dan memelihara ikan. Pohon mengkudu yang aku tanam tidak menyiksa dan tidak butuh perawatan ekstra. Semuanya jika dihitung sampai lereng utara yang ada beringinnya, ada lebih dari seribu mengkudu yang aku tanam. Ya, selain menanam tunas tunas pisang di lereng utara, aku juga menyisipkan banyak mengkudu disana. Dengan jalur dan jarak yang teratur. Mungkin lebih teratur dari ladang petama, karena untuk yang lereng utara, aku dibantu oleh pak Mu’i. Itulah hari hari yang aku lewati sekarang. Enerjik dan masih dengan penuh tawa.

Sore hari aku habiskan untuk mencari ikan di tepian sungai dengan cara menjala. Butuh waktu lama bagi pak Mu’i untuk mengajariku menggunakan jala. Tapi bukan berarti aku tidak bisa. Lagi pula aku senang dengan kegiatanku yang satu ini. Bahkan aku merasa, untuk sementara menjala adalah kegiatan yang paling menyenangkan. Terkadang, saking senangnya, malam hari juga aku manfaatkan untuk menjala ikan. Ah, harusnya sejak dulu aku mengenal alat penangkap ikan yang satu ini, batinku. Tidak apa apa aku tidak melanjutkan lagi untuk memulung dan merawat bibit pohon ketapang dan mengkudu, toh orang orang sudah mulai senang dan perhatian untuk menanam dan merawat kedua jenis pohon itu. Biarlah aku kembali berternak, berladang dan belajar menjala saja. Itu sangat menyenangkan dan aku begitu menjiwai melakukannya. Hidup menjadi terasa berarti saat kita bisa melakukan apa yang kita senangi dengan riang merdeka.

Aku bahagia. Itu yang aku rasakan. Hidupku merdeka. Tak lagi aku berurusan dengan yang namanya keresahan. Aku juga tak lagi terpenjara kenangan. Saat saat termanis yang pernah aku lewati dengan Tita istriku dulu, bukannya sengaja aku buang jauh jauh, tapi menguap begitu saja bersama udara. Ini semua bukan lantaran sekarang aku sudah punya uang jutaan hasil penjualan bibit. Sama sekali tidak serendah itu kebahagiaanku ini. Masalah uang, itu juga sudah menguap di hari yang sama saat uang itu berpindah tangan dari pembeli ke Haji Abbas. Aku percaya Haji Abbas akan memanfaatkan uang itu sebijak mungkin. Barangkali juga akan menyimpannya saja. Tapi seandainya uang itu dihambur hamburkan begitu saja oleh Haji Abbas, aku tidak perduli. Sama sekali. Di mataku, uang tak lebih dari hanya selembar kertas. Ayam ayamku saja tidak akan doyan memakannya. Sungguh bukan itu intinya. Aku bahagia karena aku senang dengan yang aku jalani. Aku bahagia dengan hari hariku. Itulah kenapa hari hari ini aku lebih banyak tertawa di setiap kesempatan. Jauh lebih sering tertawa dari sebelumnya.

Harusnya aku sudahi saja sepenggal cerita tentang perjalan hidupku ini. Hidupku sudah bahagia dan aku juga sudah merasa cukup dalam segala hal yang aku inginkan. Teman aku sudah punya. Begitupun dengan tempat berlabuh. Dan yang terpenting, aku punya aktifitas yang terhormat. Sebuah aktifitas dimana aku bisa merasakan kemerdekaan hidup. Bukankah itu yang manusia cari cari?

Tapi kehidupan berkata lain. Seperti yang mas Aim pernah bilang, kita hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan. Begitulah keadaanku sekarang. Disaat aku menemukan arti hidup, Tuhan memberiku sesuatu yang menghentak. Bukan rasa kehilangan, bukan pula rasa sakit yang sebegitunya karena sesuatu. Ini lain, sangat berbeda. Yang aku rasakan sama sekali tak bisa aku ilustrasikan. Sama persis seperti tidak berdayanya aku manakala diharuskan menggambarkan tentang seperti apakah bentuk udara. Menyeruak begitu saja tanpa aku rencanakan, dan menggelegar. Ya benar, itulah dia. Aku jatuh cinta.

*******

Namanya Ning. Nama lengkapnya aku tidak tahu. Meskipun sebenarnyalah aku sangat ingin tahu. Tingginya kira kira se telingaku, sekitar seratus enam puluh sentimeter. Ideal bagi perempuan Indonesia. Apalagi bagiku, sangat sangat sangat ideal sekali. Kulitnya sawo matang. Bersih. Bentuk rambutnya aku tidak tahu karena dia menggunakan jilbab yang ujung jilbabnya menjuntai panjang sampai ke sikunya. Jauh berbeda dengan jilbab para remaja Curah Nongko yang terkesan asal tempel dan asal modis saja. Jilbab Ning tidak seperti itu. Seringkali dia menggunakan kaos kaki, tapi tidak mengenakan kaos tangan. Dia senang mengenakan bentuk baju yang berjuntai juntai. Berbeda dengan Tita yang lebih senang baju yang ngampret ngampret dan belahan dadanya kadang nampak sedikit. Ning jauh dari yang seperti itu. Bagiku Ning adalah simbol dari sebuah kesederhanaan. Jangan salah arti dengan yang namanya kesederhanaan. Sesuatu akan semakin terlihat cantik manakala dia bisa menampakkan kesederhanaannya. Itu adalah sebuah definisi tentang sebuah kesederhanaan dari seseorang yang sedang jatuh cinta.

Cerita berawal dari suatu hari sekitar satu jam selepas ashar saat aku baru saja turun dari ladang. Aku berjalan cepat karena lapar dan berharap sesampainya di pondok panggung aku segera berjumpa mata dengan Nyai. Seperti biasanya setiap sore hari datang menjelang, saat Nyai tahu kedatanganku beliau akan segera melambaikan tangan kirinya dari atas ke bawah menuju arahku. Aku tahu itu adalah isyarat untuk makan. Dan sekarang aku merindukan lambaian tangan yang seperti itu. Jarang jarang aku selapar ini. Beberapa meter lagi maka sampailah aku. Itu yang ada dalam pikiranku manakala aku hendak menyeberangi sungai kecil yang tepi seberangnya sudah nampak tembok kolam ikan paling belakang. Karena sudah dekat, maka aku santai dulu. Seperti biasa, aku mencuci kedua kakiku, dari betis sampai ujung ujung jarinya yang biasa bertelanjang tanpa alas. Sebentar lagi makan, jadi tanganku harus bersih. Aku memikirkan itu sambil langsung mempraktekkannya. Baru kemudian aku mambasuh muka. Segarnya air di sungai kecil ini. Mungkin karena aku merasa segar itulah, tiba tiba aku berendam begitu saja ke air yang dalamnya hanya selutut itu. Basahlah semuanya. Celana pendekku yang kumal, juga rambutku yang memanjang sebahu dan awut awutan mirip penyanyi reggae ini. Padahal dulu mas Aim pernah memotongnya, sangat pendek sekali, nyaris gundul. Tapi ya hanya saat itu saja. Setelahnya aku tidak pernah cukur lagi.

Saat aku sudah merasa selesai bermain air, akupun berdiri. Air menetes dari ujung rambutku, menetes hingga ke bawah. Akupun mulai melangkahkan kaki dari dalam air hendak menyeberangi sungai kecil ini. Persis di tengah tengah sungai, tiba tiba reflek tanganku meraih sesuatu. Ternyata sebuah kain yang ukurannya sama persis seperti kain kuning pekat di leherku saat ini. Pak Mu’i biasa menyebutnya bandana. Bedanya bandana yang aku raih dari arus sungai kecil yang agak deras ini berwarna hitam dan ada motif berwarna putih menghias kain itu. Belum lagi aku memikirkan kain yang ada di tangan kananku ini, lagi lagi secara reflek tangan kiriku juga meraih sesuatu. Setelah kuangkat ternyata sama sama kain. Bedanya kain yang baru saja aku raih ini sama sekali berbeda dengan kain warna hitam di tangan kananku. Sepintas saja aku memperhatikan kain di tangan kiriku ini, kemudian aku langsung bisa menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah sarung. Sama seperti sarung yang pernah kakek Sura’i berikan padaku dulu. Sebelum sempat aku perhatikan secara cermat motif sarung yang berwarna hijau tua itu, telingaku keburu menangkap langkah langkah kaki di tepian sungai membelakangi punggungku, sepertinya tergopoh. Saat aku balikkan badan ini ke belakaang, ternyata langkah kaki seorang perempuan.

Itulah Ning. Dan itulah saat pertama aku melihat sebentuk wajah yang menakjubkan. Sedikit pucat dan terlihat khawatir, sambil matanya langsung tertuju ke kedua tanganku. Terutama ke tanganku sebelah kiri. Posisiku saat itu adalah bertelanjang dada seperti biasanya, mengenakan celana pendek jenis levis kumal, lutut ke bawah terendam air, dan ada kain pemberian pak Mu’i setia melingkar di leher. Dengan wajah yang keruh lantaran tidak pernah bersentuhan dengan sabun, dan rambut basah kebes lagi awut awutan, aku urung menyeberang. Aku langkahkan kaki ini menuju perempuan berjilbab dan berbaju biru muda, dengan celana training yang juga berwarna biru muda. Sekilas aku menyapu wajahnya. Hanya sekilas. Setelah itu tidak lagi. Kusodorkan kedua tangan ini sambil tetap merunduk.

“Alhamdulillah Ya Allah..”

Itu kata kata pertama yang keluar dari mulutnya. Sebentuk mulut yang tadi sempat aku pandang juga meskipun sekilas. Dapat kurasakan dia mengambil sarung di tangan kiriku. Kemudian dia berkata sesuatu.

“Mas, terimakasih banyak ya, semoga Tuhan membalas kebaikan hati mas. Barang sepele ini sangat berarti buat saya. Mas..mas…”

Aku baru sadar jika aku terlalu lama menunduk. Saat perempuan serba biru muda ini memanggilku dengan sebutan mas dan lebih dari satu kali, barulah aku mendongakkan kepala. Tangan kananku masih menyodorkan kain bandana warna hitam ke arahnya, sementara tangan kiriku sesekali mengusap air yang tak henti menetes dari rambut ke wajah.

“Itu buat mas saja.”

Si serba biru pelan mengatakan itu sambil kedua tangannya masih mendekap sarung basah yang ke dadanya dan mengarahkan mata ke arah bandana hitam di tangan kananku. Tapi tetap saja aku menyodorkannya.

“Nggak apa apa kok mas, saya ikhlas. Itu dulu saya beli dari papua. Tapi tidak apa apa. Saya senang jika mas mau menerimanya. Sudah dulu ya mas, sekali lagi terimakasih. Ohya nama mas siapa? Kenalkan nama saya Ning”

Merasa aku tidak memberikan jawaban apa apa, dia pun membalikkan badan dengan sebelumnya melempar sebuah senyum ke arahku. Sebentuk senyum yang belum pernah aku jumpai sebelumnya seumur hidupku.

Diapun berlalu dengan langkah langkah kecil, semakin menjauh dari tempat aku memandangnya saat ini. Lalu sebuah tikungan begitu saja melenyapkan gemulai langkahnya. Tapi aku masih tetap berdiri. Masih tetap memandang ke arah tikungan. Masih menggenggam bandana hitam. Dan masih berdebar debar. Tak kurasakan lagi rasa lapar yang tadi seperti melilit lilit ususku. Lenyap seperti lenyapnya si serba biru yang ditenggelamkan tikungan.

Peristiwa sore itu merubah banyak hal dan terasa seketika. Saat makan misalnya. Cara aku makan jauh dari hari hari biasa. Begitu pelan dan begitu menikmati setiap suapnya. Saat malam tiba, bayang bayang si serba biru yang bernama Ning begitu lekat dalam benakku. Saat hati ini benar benar tak bisa kukendalikan, aku raih bandana warna hitam yang belum lagi kering. Dan dengan segenap perasaan aku mengecupnya. Begitu pelan, begitu mesra dan begitu menjiwai. Kemudian bandana itu tidak aku letakkan sejajar dengan songkok dan sarung pemberian kakek Sura’i yang sudah dicuci bersih oleh Nyai, tapi aku memilih untuk tetap mendekapnya. Aaaagh, Ning benar benar membuat aku seperti orang gila.

******

Nyai begitu kaget mendapati aku di dekat sumur menggunting gunting sendiri rambutku helai demi helai, dengan gunting dapur milik Nyai yang tidak begitu tajam. Beliau memanggil manggil nama Haji Abbas yang serta merta datang ke arah datangnya suara.

“Agshtafirullah..”

Hanya itu yang keluar dari mulut Haji Abbas. Kemudian beliau masuk kembali ke dalam rumah, tapi tidak berapa lama keluar lagi dengan membawa gunting warna putih pernekel. Dengan suara yang lembut, Haji Abbas membujukku agar beliau saja yang memotongkan rambutku. Beliau mengatakan itu sembari tangan kanannya merangkulku lembut. Seperti biasa aku hanya tertawa tawa saja. Tidak menunggu lama, Haji Abbas segera memulai aksinya. Sementara Nyai membawakan aku sebuah cermin dari bekas spion. Ukurannya lebih kecil dari spion milik si janda. Cermin itu tidak aku buat untuk mengontrol jari jari Haji Abbas yang membabat rambutku dengan gunting, melainkan aku gunakan untuk melihat wajahku sendiri dan memandangi bekas luka di pipi kananku yang ternyata bentuknya miring tapi tidak berkelok. Bagi orang yang sedang jatuh cinta, bekas luka ini aku anggap sesuatu yang semakin membuat aku terlihat jantan. Lagi lagi aku tertawa keras, mentertawakan pola pikirku sendiri. Sulit memang memotong rambut orang yang kepalanya selalu berguncang. Tapi dengan kesabaran, semua pasti bisa. Itu yang Haji Abbas perlihatkan manakala pada akhirnya selesai juga beliau memotong rambutku yang sekarang bergaya tentara.

Bukan itu saja perubahan yang tampak padaku. Baru beberapa jam aku memiliki gaya rambut baru, aku sudah kembali membuat ulah. Kali ini korbannya adalah mas Aim. Laki laki yang usianya jauh lebih muda dari aku ini berkunjung ke kediaman Haji Abbas. Dia tersenyum senyum mendapati aku berpenampilan baru. Mendengar pembicaraannya bersama Haji Abbas dan juga Nyai, sangat jelas mas Aim senang dengan perubahan yang terjadi. Terlihat rapi, begitu katanya. Tentu saja aku senang. Orang yang sedang jatuh cinta hatinya mudah melambung oleh pujian pujian kecil. Tak berapa lama, mas Aim membuka jaket kecilnya yang bermerk levis, sama dengan merk celana pendek yang sekarang aku kenakan. Ohya, itu dulunya juga dari mas Aim. Dia meletakkan jaketnya begitu saja di kursi sebelah. Aku tidak serta merta menyambarnya, melainkan memperhatikan dari tempat aku duduk, kurang dari dua meter. Lama aku memandangnya. Lalu, pelan pelan aku berdiri dan mulai melangkah ke arah jaket warna biru muda itu. Aku raih dengan tangan kanan dan segera aku pakai. Tapi gagal. Nyai yang serta merta melarang aku melakukan itu, ditenangkan oleh mas Aim sendiri.

“Tidak apa apa Nyai, saya justru senang kalau mas Kacong mau mengenakan baju. Bukankah itu pertanda yang baik?”

Tak lama kemudian mas Aim berdiri dan mengajari aku cara mengenakan jaket. Ternyata mudah. Aku buka kembali jaket itu, lalu mencoba lagi mengenakannya. Aku melakukannya sampai empat kali. Benar benar mudah. Mas Aim hanya mengambil telepon genggamnya di salah satu saku jaket, lalu membiarkan aku memakainya. Tentu saja aku senang. Dengan begitu, mulai saat ini jaket ini adalah milikku. Aku keluar dari ruang tamu dengan tertawa terkekeh kekeh.

Sudah hampir satu minggu ini sejak pertemuanku dengan Ning di sungai belakang kolam, aku jadi giat dalam banyak hal. Seperti kemarin, merumput aku mulai sekitar jam lima pagi. Padahal seandainya aku hanya mengambil sedikit dari rumput gajah yang sekarang sudah besar besar, pasti cukup untuk kambing kambingku. Entahlah, aku lebih senang merumput seperti biasanya. Membabat habis rumput rumput liar yang banyak tersedia di tepian hutan, seperti tidak akan pernah habis. Sambil merumput, sesekali aku melirik leherku sendiri. Disana melingkar manis sebuah bandana warna hitam pemberian yang tercinta Ning. Sementara bandana pemberian pak Mu’i aku ikatkan di pergelangan tangan sebelah kiri. Sengaja aku taruh di sebelah kiri, biar dekat dengan cincin batu akik berlingkar kayu pemberian si kecil. Lengkaplah sudah penampilan baruku kali ini. Bandana yang melingkar di leher dan pergelangan tangan kiri, jaket jeans warna biru muda, dan potongan rambut ala tentara yang beberapa kali dalam sehari aku basahi ini. Itu juga kebiasaan baru dari yang tadinya hanya mencuci muka saja. Itupun hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Kadang dalam sehari hanya sekali aku cuci muka. Pernah juga tidak cuci muka sama sekali. Sementara penampilanku lainnya masihlah sama. Masih bertelanjang kaki dan masih selalu mengenakan celana pendek. Padahal Haji Abbas dan Nyai sering membelikan aku celana panjang, kaos dan kemeja. Semuanya masih gress dan semuanya aku letakkan begitu saja di emperan masjid. Bagi orang orang di sekitarku, perubahanku ini adalah sesuatu yang sangat fenomenal. Padahal aku tidak sedang ingin menyenangkan mereka. Semua aku lakukan hanya untuk Ning, meskipun sejak aku pertemuan itu aku tidak lagi pernah bertemu dengan Ning, sampai hari ini..

Sejak perasaan ini mengendap di hati, sejak semakin hari energiku semakin meledak dan meluap luap dalam melakukan apa saja, sejak itu aku terus menerus memperhatikan penampilanku. Aku mulai tidak bisa lepas dari kaca spion milik Nyai. Bercermin adalah makanan pokok bagiku. Ya, aku mulai senang berdandan. Bahkan sampai pada hal yang sekecil kecilnya, yang selama ini aku abaikan. Aku mulai belajar memotong kuku. Sayangnya hal remeh temeh ini tidak berhasil aku lakukan. Akhirnya aku hanya bisa memandangi saja ujung ujung jariku ini dengan potongan kuku di tangan kananku. Pekerjaan kecil ini nyaris saja aku tinggalkan begitu saja seandainya Haji Abbas tidak memergoki tingkahku dan mulai beraksi membantu memotongkan kuku kukuku yang panjang, tebal dan warnanya keruh. Seperti biasa, setiap kali ada kesempatan untuk sekedar memperhatikan ibu jari tangan kiriku yang berhiaskan batu akik pemberian si kecil, maka Haji Abbas akan melakukan itu. Entah apa yang ada di benak Haji Abbas, aku sendiri tidak mengerti. Sampai pada akhirnya selesailah sudah acara potong memotong kuku ini. Kuku di semua jariku sekarang terlihat rapi dan lebih lentik dari sebelumnya. Sepanjang hari aku memandang semua kuku baik yang di tangan maupun di kedua kakiku dengan ekspresi seperti biasa. Tertawa.

Bukan hanya kuku, rambut dan masalah baju saja sekarang yang aku perhatikan. Bahkan aku senang menggosok gigiku dengan butiran batu bata yang digosok halus dengan batu kecil, persis seperti yang pak Mu’i biasa lakukan di tepian sungai. Kali ini setiap kali pak Mu’i mandi di tepian sungai dekat rumahnya di waktu sore, aku ada tidak jauh darinya hanya sekedar memperhatikan bagaimana cara dia menggosok kulit tubuhnya dengan batu halus. Dengan sabar pak Mu’i menemani dan mengajari aku menggosok badan. Karena tahu aku tidak senang bila harus bersentuhan dengan sabun, pak Mu’i menggunakan cara lain. Dia memetikkan aku daun daun lamtoro untuk kemudian mengajariku menggosok seluruh badan dengan daun daun itu. Aku senang bukan main dengan sabun alami ini. Ini yang membuatku melakukannya berulang ulang, setidaknya dua kali dalam sehari. Jauh berbeda dengan keadaanku sebelumnya. Apalagi tidak lama setelah itu istri pak Mu’i membuatkan aku semacam shampo yang dia racik dari bahan bahan alam, hasil tumbukan antara daun waru, buah mengkudu matang dan kemangi sebagai pengusir bau. Lagi lagi ini juga sempurna mencuri perhatianku. Penggunaannya mudah. Tinggal membasahi rambut dan menaburkan sekitar tiga sendok cairan hasil olahan istri pak Mu’i, maka selesailah sudah. Aku hanya tinggal senam jari dengan mengacak acak rambutku, kadang memijatnya, baru kemudian membilas dengan air. Setelahnya akan tampak seonggok rambut cepak bergaya tentara yang bila disentuh dengan ujung jari, akan terasa begitu lembut dan begitu menyenangkan hati. Apalagi dikala hati sedang berbunga bunga.

Pak Mu’i adalah pribadi yang hangat. Begitu juga dengan istri dan anak anaknya. Meskipun gaya bicara pak Mu’i meledak ledak khas gaya bicara orang orang bawah, tapi aku betah berlama lama ada di dekatnya. Seperti kali ini, saat aku menungguinya membetulkan jala. Ohya. Bicara tentang jala, sudah berhari hari ini sejak pertemuanku dengan Ning, aku menjala dengan sebegitu giatnya. Aku menebar jaring jaring jala dengan sebuah ilusi, bahwa yang akan aku tangkap bukan sekumpulan ikan, tapi Ning seorang. Ternyata daya khayalku yang tinggi ini menjadi penyebab pasokan ikan yang sedianya akan dijadikan pakan lele menjadi sangat banyak. Kolam yang paling dekat dengan sungai kecil dan yang tadinya kosong, sekarang ramai oleh suara kecipak ikan berenang. Di atas tembok kolam itulah tempat favoritku bertengger kini. Sambil mataku tak henti mencuri pandangan ke arah seberang sungai kecil, tempat dimana Ning melemparkan senyum mautnya. Ah, ternyata aku hanya seorang penjala yang terperangkap di jaring jaring jala milik Ning. Lamunanku buyar seketika bersama dengan kata kata pak Mu’i yang ada tepat di sebelah kanan bahu kananku.

“Nah, sudah beres mas Kacong, sekarang tinggal kapan mas Kacong ingin berangkat mencari ikan saja, hehe..Ayo diseruput kopinya”

Pak Mu’i mengatakan itu sambil tangannya tak berhenti mengemasi jaring jala yang sudah dia perbaiki. Aku tertawa saja. Sesekali kuteguk juga kopi di cangkir kecil yang sudah hangat tak lagi mengepul ini. Kemudian mengambil sebatang lagi rokok kretek milik pak Mu’i. Urusan menghisap rokok adalah sangat penting bagiku. Wajar jika Nyai kurang senang dengan kebiasaanku. Beliau terlalu khawatir akan kesehatanku. Padahal, untuk masalah yang satu ini aku seperti kereta api lama yang sedikit sedikit mengeluarkan asap di atas lokomotifnya. Rentang waktu paling panjang aku tidak merokok adalah saat bersama si kecil dan seluruh keluarganya yang sama sama kecil, meskipun tidak sekecil si kecil. Mau bagaimana lagi, dulu disana tak ada satupun dari mereka yang menawariku rokok. Barangkali mereka belum mengenal benda nikmat yang satu ini. Bisa jadi juga sengaja menjauhinya. Kadang aku heran juga mendengar ada saja orang yang antipati dengan rokok. Tidak harus antipati sebenarnya, karena itu hanya akan memperburuk keadaan. Orang yang gemar dengan sesuatu, tak akan mungkin bisa menghentikan kebiasaannya hanya karena ada larangan keras. Kecuali dengan nasehat lembut bernuansa kasih sayang dan dikatakan dengan tulus, mustahil para perokok dihentikan begitu saja kebiasaannya. Toh orang orang hebat jaman ini juga banyak yang merokok. Aku terus mencari pembenaran tentang rokok sambil sesekali menghisap rokok kretek yang kuselipkan diantara jemari. Ah, lucu juga. Setiap orang mengetahui bahwa dari segi lingkungan dan kesehatan, cara hidup dengan merokok tidak dapat dipertahankan lagi. Terbukti di hampir semua bungkus rokok ada tertulis tentang beberapa macam bahayanya. Tapi tetap saja semua perokok tidak kekurangan stok dalam hal pembenaran, begitu juga dengan aku.

Saat ini aku sedang menjala berdua dengan pak Mu’i. Masih dengan celana pendek jeans kumal, bandana Ning di leher, dan bandana pak Mu’i aku ikat di pergelangan tangan kiri mendekati cincin di jari manis. Aku tidak sedang mengenakan jaket jeans biru muda yang tadinya milik mas Aim. Jaket itu sejak kemarin dicuci oleh Nyai dan belum lagi kering. Tapi aku juga tidak bertelanjang dada. Ada yang baru dari penampilanku hari ini. Ya, aku mengenakan kaos oblong warna hitam polos. Haji Abbas yang mencoba memberikan itu padaku. Ada banyak kaos yang Haji Abbas sodorkan. Semuanya masih terbungkus plastik. Saat satu persatu Haji Abbas buka dan coba pamerkan padaku, aku hanya tertawa. Tapi begitu bungkus terakhir beliau buka, mataku berbinar bersamaan dengan bertambahnya volume suaraku, lebih keras dari sebelumnya. Mengetahui ini Haji Abbas langsung tanggap dan jari jarinya tangkas mengajari aku mengenakan kaos oblong warna hitam polos yang aku kenakan sekarang. Seperti saat pertama kali aku mengenakan jaket jeans biru muda, aku membuka dan menggunakan kembali kaos ini bolak balik. Setelah aku rasa sudah bisa mengenakannya sendiri, akupun melangkahkan kaki menjauh dari Haji Abbas sambil tertawa panjang. Tak jauh dari tempat Haji Abbas berdiri, ada Nyai yang menatapku penuh haru. Ah Nyai, tak banyak di dunia ini perempuan yang setulus hatimu.

Sambil terkekeh, aku dan pak Mu’i menyusuri tepian sungai di pinggiran hutan arah ke ladang yang saat ini bibit bibit mengkudunya sudah setinggi pinggangku. Sementara di balik ladangku, tunas tunas pisang yang tadinya kutanam dengan cara nyicil sudah bertumbuh menjadi pisang muda. Setiap harinya aku masih setia membersihkan areal ladang dan sekitarnya. Tapi tak pernah semalampun aku bermalam di ladang. Ini hanya akan membuatku tak bisa memandang sungai kecil dekat kolam tempat pertama kali Ning mengenalkan dirinya. Sebenarnya ada yang lain di ladang sekarang ini. Sudah berhari hari ini aku banyak menanaminya bunga. Sengaja aku mencarinya di tepian hutan, Sesekali aku sampai harus masuk berlangkah langkah ke dalam hutan hanya untuk mencari aneka bunga yang akan kutanam di ladang. Kalau tidak begitu, aku mencari bunga di kampung. Sesekali aku memetiknya di pelataran rumah orang. Begitupun aku tidak mengambilnya dikala rumah itu sedang sepi. Aku takut dikatakan sebagai pencuri, padahal aku tidak hendak menjual bunga bunga itu tapi hanya sekedaar pindah tempat saja. Aku mengambil bunga di depan si empunya sambil terkekeh kekeh. Selalu seperti biasanya, orang yang bunga di latarnya aku taksir, selalu membantuku mengambilkan bunga yang kumaksud. Cara yang aku gunakan adalah hanya memegang tangkai bunga yang aku inginkan sambil tertawa tawa. Tidak pernah aku menjebolnya langsung. Hanya seperti itu saja cara aku mengungkapkan maksud. Tidak berapa lama si empunya rumah yang bunganya aku pegang ini segera membantuku untuk mencabut bunganya sendiri. Biasanya setelah diserahi bunga, aku begitu saja ngeloyor pergi. Tetap saja dengan mulut yang tak henti tertawa. Tapi kadang juga diam, hanya sesekali saja terdengar tawa dari mulutku. Kedepan aku baru tahu dari turut mendengar cerita orang orang di warung, bahwa setiap sore Haji Abbas berkeliling kampung berdua dengan Nyai sambil menanyakan bunga siapa saja yang telah aku ambil. Kalau bukan Haji Abbas sendiri, dia akan menyuruh beberapa murid madrasah untuk melakukan itu. Ternyata Haji Abbas mengganti bunga bunga mereka dengan harga di atas rata rata. Tentu saja orang orang kampung senang. Hanya saja aku kurang senang mendengar celoteh ini. Padahal tadinya aku kira mereka ikhlas bunga bunganya aku bawa. Kenapa manusia tidak bisa menahan diri dengan yang namanya uang? Sampai saat ini aku masih berkeyakinan tanpa uang pun manusia masih bisa hidup. Sebodoh bodohnya adalah dengan cara hidup seperti yang aku jalani. Saat lapar datang tinggal mencari tahu dimana letak warung terdekat. Aku tidak ada persoalan dengan masalah dimana harus tidur. Bisa aku lakukan dimana saja. Saat ingin buang hajat, cari saja sungai yang airnya mengalir. Itu baru namanya mengatasi masalah tanpa masalah. Bagiku hakekat kehidupan bukanlah uang, tapi bagaimana kita mengisi waktu dengan berbuat sesuatu. Apa saja yang kita bisa. Itulah hidup. Saat kita tidak melakukan apa apa alias pasif, apa bedanya kita dengan orang mati?

Aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu, bahkan sampai cerita ini aku sudahi, tentang kenapa Haji Abbas mengganti bunga bunga orang kampung yang aku bawa dengan sejumlah uang. Tanpa pernah aku mengerti, ternyata Haji Abbas dan juga Nyai bahagia dengan apa yang aku lakukan. Beliau berdua bersyukur atas kabar yang menggembirakan dari cerita yang disampaikan orang kampung pada beliau. Awalnya beliau seperti tak percaya. Benarkah Kacong tidak begitu saja membawa pergi bunga bunga itu? Benarkah Kacong menggenggam bunga sambil matanya memandang pada si empunya dan tak henti tertawa untuk menunjukkan bahwa Kacong menginginkan bunga itu? Tidakkah dia mencabutnya langsung sampai akat akarnya tercerabut. Apakah memang benar Kacong sudah bisa berisyarat? Tanpa pernah aku tahu, disaat yang berbeda Haji Abbas melakukan sujud sukur hanya karena mendengar cerita tentang aku. Sesederhana dan sesepele itu saja. Haji Abbas dan Nyai adalah orang yang yakin bahwa nantinya akan datang waktu dimana aku bisa berkomunikasi. Tentu saja mereka bahagia mendengar sepenggal cerita yang tak berarti ini. Dan sepenggal cerita tentang kebahagiaan mereka, aku tidak pernah tahu itu…

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar