Kadang aku begitu saja menebar jala tanpa memperhitungkan apa di sana ada sekumpulan ikan atau tidak. Anehnya ada saja ikan ikan kecil yang nyangkut di jaring jala pemberian pak Mu’i ini. Beginilah enaknya menjaring ikan di sungai yang belum banyak mengenal potas. Yang ada hanya para pemancing. Kadang mereka memancing secara berkelompok dan duduk berjajar di beberapa tempat di sungai ini yang mudah aku hafalkan. Aku mengenal hampir semua wajah wajah mereka meskipun tidak semua pemancing adalah orang sekitar. Begitupun dengan mereka. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan kehadiranku yang unik , tidak sama dengan para penjala lainnya. Belum ada di Curah Nongko ini orang yang menjala sambil tak henti tertawa. Setidaknya tersenyum senyum sendiri. Terbukti, mereka sering menyodorkan sesuatu padaku. Paling sering adalah beberapa batang rokok. Aku senang dengan para pemancing itu. Mereka begitu bersahabat dan tidak banyak omong. Itu yang membuatku tidak pernah sekalipun berusaha menghindar saat aku harus melewati tempat mereka memancing, karena memang tidak ada alasan untuk melakukan itu. Kadang manusia bisa bersahabat tanpa harus saling berkata kata. Cukup satu senyum saja, dan itu sudah bisa merubah banyak hal. Tidak heran jika Haji Abbas pernah berkata bahwa senyum adalah ibadah. Dan diantara banyak ibadah, senyum adalah ibadah favoritku. Selain mudah, kita juga bisa melakukan kapan dan dimanapun kita ingin. Senyum memang indah, seindah senyum Ning.
*******
Sudah satu purnama aku lewati sejak pertemuan yang indah di suatu sore bersama Ning. Rambutku semakin halus, bersih dan mulai bertambah sedikit memanjang. Aku rasa gigiku sudah lebih bersih dari biasanya. Aku juga telah memiliki sejumlah kaos oblong yang kesemuanya berwarna hitam polos tanpa motif sedikitpun. Celana jeans pendek dan kumal milikku juga bertambah beberapa. Haji Abbas membelikannya khusus buatku. Menurut celoteh pak Mu’i yang menemani Haji Abbas berbelanja, beliau harus pontang panting demi mendapati celana jeans baru tapi dengan model warna kumal. Setelah menemukan dan membelinya, itu masih belum selesai. Haji Abbas masih harus ke penjahit, menjahitkan celana gress itu hingga menjadi pendek menutup lutut dan tidak longgar. Aku lebih senang celana pendek seperti milik mas Aim. Agak ngampret dan lima senti di bawah lutut. Sebenarnya saat mengenakan celana pendek, kaos hitam, jaket levis warna biru muda, bandana di leher dan di pergelangan tangan kiri juga cincin pemberian si kecil di jari manisku, aku ingin Ning menatapku. Tak apalah meskipun dari arah yang jauh asal dia bisa memandangku tak lagi bertelanjang dada dan rambut tak lagi awut awutan. Tapi, jangankan memandang, bertemu saja tidak pernah.
Sendiri aku memikirkan Ning di pondok ladang yang sedang tersiram sinar mentari pagi. Kadang kusapukan pandangan mataku pada aneka bunga di sepanjang tepian ladang. Mereka semua segar dan menyejukkan, semejukkan mata Ning saat aku memandangnya. Tepat di pinggiran sumur, aku membuat gundukan yang bentuknya seperti tebing mengelilingi kawah. Tapi tidak melingkari sumur keseluruhan. Seperempatnya masih kusediakan ruang kosong tempat aku mengambil air dengan cara menimba. Caraku menimba tidak sepenuhnya manual, hanya menyemplungkan timba yang sudah terikat tali, lalu menariknya dengan kedua tangan. Tidak seperti itu. Haji Abbas menginstruksikan para tukang untuk memasang kerekan persis diatas sumur yang sisi lingkarnya di batasi batu bata berlepok meninggi hingga sepusar orang dewasa. Diantara tembok yang bentuknya melingkar persis seperti kaleng susu itu ada dua pilar di samping kiri dan kanan yang menjorok ke atas. Nah, diantara pilar pilar ini terpasang sebuah pipa besi melintang paten berbujur horizontal. Pipa besi ini difungsikan untuk untuk menggantung kerekan bulat yang terbuat dari besi. Bentuknya mirip peleg roda sepeda motor yang digantung begitu saja. Kerekan ini berfungsi untuk meletakkan tali yang terbuat dari bahan bekas roda karet, juga sebagai tumpuan manakala aku menimba. Ini adalah sumur yang modelnya sama dengan hampir semua sumur yang ada di desa Curah Nongko. Lebih nyaman dan lebih memudahkan. Kembali pada gundukan yang sengaja aku buat di sekitar sumur agar mudah menyiramnya dan melingkari tiga perempat seluruh lingkaran sumur, saat ini gundukan itu sudah berhiaskan banyak bunga. Warnanya berupa rupa. Ada yang sudah berbunga kecil kecil, ada juga yang masih menguncup. Dan semua ini hanya untuk Ning.
Aku benar benar menebar banyak bunga di segala sudut ladang yang aku pikir akan terlihat cantik jika aku buat taman kecil. Terus seperti itu, berhari hari. Itu semua aku lakukan setelah merumput, memberi pakan ikan, ayam, sebelum menjala. Semua aku lakukan dengan cinta. Tak ada lagi polibag tak terpakai. Semua aku isi dengan tanah, meskipun hampir semuanya belum kuisi apa apa. Hanya tanah, sebagai persiapan seandainya ada bunga bunga baru. Untuk bunga, aku tidak lagi mengambil di pelataran orang kampung. Aku lebih memilih untuk mencari ke daerah pinggiran hutan dan kadang agak masuk ke dalam hutan. Sendirian aku mencari bunga bunga itu. Masih dengan tawa dan masih dengan cinta. Aku berladang, berkebun dan membuat taman, seolah olah Ning akan datang berkunjung. Ya, itu adalah sebuah impian yang menyemangati. Menanti Ning berkunjung ke ladang.
Dan impian baru ini mengantarkan aku pada kebiasaan baru. Tidak lain adalah dengan menyisihkan sebagian besar waktuku. Kebiasaan baru itu adalah menggali tanah di lereng utara balik ladang. Hanya berjarak tiga puluh langkah dari pohon beringin, aku mulai melayangkan cangkulan pertama. Padahal hari masihlah terik. Aku tak perduli. Tetap saja aku mengayunkan cangkulan cangkulan berkutnya. Padahal aku masih tidak mengerti hendak aku buat apa lubang ini nantinya. Sebuah sumur atau hanya sekedar lubang. Bagaimana jika tidak berair? Bukankah ini lereng berbatu? Sudah pasti akan lebih sulit dari ladang selatan yang kini terhampar banyak bunga bunga cinta. Tapi perasaan rindu yang sebegitunya dan bayang bayang senyum Ning mengalahkan segalanya. Aku mencangkul dan terus mencangkul. Sudah aku bawa semua peralatan yang aku butuhkan dan yang setiap hari memang biasa aku tinggal di pondok berdinding tak bergembok di lereng persis di balik lereng berbatu ini. Jadi seandainya ujung mata cangkulku menghantam batu, segera aku meraih linggis untuk mengungkit bebatuan yang merintang. Saat tanah sudah memenuhi lubang baru, aku mengambil timba dan cetok sebagai pengeruk. Kemudian aku bawa tanah dalam timba itu agak jauh dari titik lubang, ke arah samping pohon beringin. Di sanalah aku membuang tanah dan batu batu urukan. Begitu seterusnya. Saat lelah, aku langkahkan kaki ini ke bawah beringin. Disana sudah aku persiapkan kendi yang sudah aku isi air sumur. Mentah. Tapi aku sudah terbiasa dengan air mentah. Orang orang kota juga minum air mentah. Hampir semuanya senang dengan air mineral kemasan dan isi ulang. Bagiku, air kendi juga air mineral. Tanah liat yang menyebabkan air dalam kendi mengandung mineral. Bukankah itu juga menyehatkan?
Setiap hari aku tak pernah absen ke ladang. Sama seperti tak pernah absennya aku dalam hal merumput, beternak dan menjala di sore hari. Semua aku lakukan lebih baik dari sebelum aku bertemu Ning. Sampai pada suatu sore selepas ashar mas Aim datang ke rumah Haji Abbas. Tak lama kemudian mas Aim minta ijin ke Haji Abbas untuk duduk duduk di pondok panggung dekat kolam. Sementara mas Aim sudah duduk santai di emperan luar pondok panggung tempat aku tidur, aku masih dalam perjalanan sepulang berladang dan meneruskan proyek baru. Apalagi kalau bukan membuat lubang di lereng utara yang aku sendiri belum mengerti hendak kubuat apa nanti. Aku sudah ada di air, tepat di tengah tengah sungai kecil. Sedikit lagi sampai di ujung tepi sungai berikutnya yang berdekatan dengan bibir kolam. Sebelum benar benar berhasil menyeberang, aku sempatkan menoleh ke arah dimana aku pernah berdiri begitu dekat dengan orang yang selama ini aku rindukan. Disanalah aku menatap senyum Ning. Akhirnya aku tertawa keras sambil kembali meneruskan langkah ini menuju pondok panggung yang sudah semakin dekat saja.
Aku masih mengenakan kaos hitam juga jaket jeans warna biru muda, seperti warna pakaian Ning saat dulu berjumpa. Masih melingkar manis di leherku sebuah bandana warna hitam yang bermotif warna putih. Begitu juga bandana kuning pemberian pak Mu’i, masih melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sementara celana pendek yang aku pakai ini adalah celana pendek pemberian Haji Abbas beberapa waktu kemarin. Masih bertelanjang kaki dan berambut cepak lembut dan lebih bersih dari sebelumnya. Tiba di tikungan terakhir untuk menuju pondok panggung, aku menghentikan langkah. Ada kudengar suara mas Aim di pondok panggung. Tapi tidak sendirian. Dia sedang bicara dengan seseorang. Suara perempuan. Sepertinya tidak asing di telinga, sangat tidak asing sekali. Tetapi milik siapakah suara syahdu itu? Tidak mungkin milik Nyai, suara Nyai tidak begitu. Ini pasti suara perempuan yang jauh lebih muda dari Nyai. Apakah suara menantu Nyai? Juga tidak mungkin. Seperti dulu saat mas Faisal dan istrinya hendak kemari, Nyai sudah heboh untuk sekedar menyiapkan ini itu. Lalu suara siapakah ini? Ah, seandainya jalan setapak kecil ini tidak berpagar tanaman hidup yang setinggi ini, pastilah sejak di ujung tembok kolam tadi aku sudah mengerti siapa yang bercakap cakap dengan mas Aim. Karena rasa penasaran ini sudah tak lagi bisa kubendung, aku kembali melangkahkan kaki untuk menuntaskan sisa tikungan terakhir ini.
Aku sudah ada persis di depan pondok panggung yang sama sekali tidak asing, sudah berhadapan dengan yang namanya mas Aim, tapi aku hanya bisa diam tercekat. Seperti ada manusia raksasa yang mendekapku dari belakang. Terjawab sudah rasa penasaranku. Ternyata perempuan yang tadi suaranya kudengar di belakang pondok adalah suara bidadari. Masih saja aku tercekat saat menyadari mas Aim membawa seorang bidadari ke pondok panggung. Ya, tepat sekali. Dialah Ning bidadari yang setia menemani mimpi mimpiku. Dialah Ning, bidadari hatiku. Sekarang dia sedang menatapku, menatap kaos oblong warna hitam polos yang kukenakan. Menatap celana pendek pemberian Haji Abbas. Menatap jaket yang tadinya milik mas Aim. Menatap rambutku. Menatap bekas luka di pipi kananku. Menatap kakiku yang telanjang. Menatap kulit tubuhku. Menatap cincin dan menatap bandana kuning pekat yang ada di pergelangan tangan kiriku. Terlebih lagi, dia menatap pemberiannya, aku bisa mengetahui saat kedua mata lentiknya memandang ke arah leherku. Lalu dia tersenyum. Lalu dia bercakap cakap dengan mas Aim. Ning, orang yang siang malam aku rindukan kehadirannya, sekarang ada di depanku. Sekitar satu setengah meter saja di depanku. Telapak kakinya yang terbungkus kaos lebih tinggi dari telapak kakiku karena dia sedang duduk di atas emperan kecil pondok panggung yang pintunya terbuka. Entah apa yang mas Aim dan Ning perbincangkan di depan hidungku, aku tidak begitu perduli. Yang bisa aku lakukan hanya menatap Ning. Semua aku tatap, terlebih wajahnya yang aduhai. Aku menatapnya sejak pertama kali datang dan ada tepat di depan mereka. Ning, seperti pelangi saja wajahnya. Tapi kenapa dia bersama mas Aim?
Sampai keduanya berusaha untuk turun dari pondok panggung, aku masih menatap Ning. Aku perhatikan bagaimana gemulainya cara dia turun dari tangga kecil. Semua yang ada dan melekat pada diri Ning adalah mutiara bagiku. Dan tiba tiba saja mereka berdua ada di depanku. Tiba tiba saja sebentuk wajah Ning sudah begitu dekat dengan wajahku. Sangat dekat. Lebih dekat dari perjumpaan pertama di tepian sungai kecil dulu. Pesonanya begitu memikat. Lagi lagi aku harus menundukkan kepala di depan Ning. Aku tak punya kekuatan untuk menatap auranya dalam jarak yang sangat dekat. Lunglai. Lebih lunglai lagi saat mas Aim mengatakan sesuatu padaku.
“Makasih ya mas Kacong, udah pernah menolong kekasih..”
Mas Aim mengatakan itu sambil memeluk gadis secantik pelangi di sebelahnya. Begitu mesra. Hanya kata kata itu saja yang sempat aku dengar. Mantab dan jelas. Aku tidak tuli untuk sekedar mendengar kata kata yang keluar dari mulut orang yang entah mengapa, saat ini sangat aku benci itu, apalagi dalam radius yang sangat dekat dan dalam posisi memeluk Ning. Kata kata dari mulut Mas Aim menempel begitu saja di hatiku yang tiba tiba membara. Aku tidak butuh belajar bila hanya untuk membencinya. Kata katanya memang berhasil membuat aku menunduk lebih dalam. Tapi bukan itu saja, dia juga berhasil dengan mulus mendaratkan api kebencian yang sebegitunya, tiba tiba, menghentak, dan tanpa alasan yang rasional.
Sebenarnya masih ada lagi kata kata yang mas Aim tuangkan lewat bibirnya. Tapi aku sudah terlanjur tak perduli lagi. Yang aku lihat darinya hanya mulut yang bergerak gerak, mengatup antar bibir atas dengan bibir bawah. Entah apa yang dia katakan. Tiba tiba aku sudah melangkahkan kaki menjauh dari setan dan bidadari.
Kulangkahkan kaki ini ke setapak yang tadi sudah aku lewati. Kuseberangi sungai kecil yang tadi juga sudah aku lewati. Tapi kemudian aku tidak berbelok ke kanan ke arah ladang, melainkan ke kiri. Jalan ke kiri adalah jalur yang pernah Ning lewati dulu, di sebuah senja yang sulit aku lupakan. Semua kenangan itu terangkum dan terbungkus manis pada bandana di leherku. Dengan pikiran yang berkecamuk aku tetap saja berjalan. Dan semakin cepat saja kulangkahkan kaki, hingga kemudian tak terasa aku sudah mulai berlari. Mula mula hanya lari kecil biasa. Beberapa saat kemudian baru kusadari bahwa aku sudah berlari kencang. Tanpa tawa, tanpa menyeringai dan tak berekspresi apapun selain konsentrasi memandang setapak di sore yang semakin mendekati gelap. Ketika aku memutuskan untuk berhenti saja dari lariku yang hampir secepat saat aku ketakutan dalam hutan ini, baru kusadari aku sudah ada di ujung desa Curah Nongko. Hari sudah benar benar gelap dan aku baru menyadari bahwa didepanku, kiri kanannya sudah terbentang pohon karet. Aku bisa melihatnya dari pantulan cahaya sepeda motor yang melaju berlawanan arah dengan posisi aku berlari tadi. Aku diam, terengah engah dan tanpa tertawa sedikitpun, sementara sepeda motor sudah semakin dekat denganku, semakin memelankan lajunya, untuk kemudian benar benar berhenti tepat di depanku. Ah, ternyata pak Mu’i. Dia begitu cepat mengenali aku. Tangkas memarkir sepedanya, membuka helm lawas yang tidak standart, lalu menghampiriku. Padahal saat ini aku hanya butuh sendirian. Entah kenapa, baru kali ini aku butuh ruang untuk menyendiri. Padahal dulunya aku begitu merindukan kehadiran teman seperti pak Mu’i. Seperti mengetahui gelagatku, pak Mu’i mempersilahkan aku duduk dalam boncengannya tanpa bersuara sedikitpun. Siapa yang bisa menolak permintaan orang baik seperti pak Mu’i? Pada akhirnya aku sudah ada di belakang tubuh pak Mu’i. Aku duduk diam dalam boncengannya, tanpa sekalipun mengeluarkan suara tawa. Begitu juga dengan pak Mu’i. Sedari awal turun dari sepeda motor, tak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.
Setiba dirumah pak Mu’i aku langsung nyelonong ke sumur belakang. Kubasahi rambut cepak ini dengan menggelontorkan beberapa timba air. Tanpa handuk dan tanpa kuacak acak, aku keluar lagi untuk menuju ruang tamu. Di sana sudah ada pak Mu’i, istri dan dua anaknya. Semuanya diam. Hanya istri pak Mu’i saja yang melemparkan senyum padaku sambil tangannya menyodorkan segelas air putih yang sudah dia persiapkan saat aku ada di sumur belakang. Aku menerimanya tanpa ekspresi dan segera meneguknya. Ludes. Si bungsu melangkah ke belakang dengan gelas kosong di tangannya. Sekembalinya ke ruang tamu, dia sudah membawa air putih di gelas yang sama dan dia letakkan begitu saja di meja tamu, persis di depanku. Tapi aku tak menyentuhnya. Aku lebih memilih mengambil sebatang rokok kretek milik pak Mu’i. Setelah kunyalakan, aku ngeloyor keluar. Tapi tidak kemana mana. Aku hanya ingin menghabiskan sebatang rokok ini sendirian. Dan saat ini pelataran pak Mu’i sangat cocok untuk kujadikan tempat nongkrong sambil sesekali menghisap rokok. Keluarga pak Mu’i tak satupun yang mencoba mengikutiku. Mereka membiarkan saja aku sendirian. Menikmati rokok dengan rambut yang meneteskan air ke bawah, hingga jaket bagian leher, kaos dan bandana milik Ning basah.
Hisapan terakhir rokok kretek milik pak Mu’i benar benar aku nikmati. Aku menghisapnya dalam dalam, baru kemudian aku lempar begitu saja di sudut latar. Pada akhirnya aku masuk juga ke ruang tamu rumah pak Mu’i. Disana sudah ada piring, nasi, sambal, dan tempat cebokan. Keluarga yang baik, batinku. Tahu saja mereka kalau aku belum makan sedari turun dari ladang. Akupun makan bersama keluarga pak Mu’i. Lahap tapi tidak kulakukan cepat cepat. Begitulah gayaku makan saat ini. Aku memang lapar dan butuh energi, tapi kondisi pikiranku tak bisa kuhentikan untuk kembali memikirkan mas Aim si setan alas itu, dan Ning. Masih saja bayang bayang wajah Ning yang seperti gemericik air, mengalir di ubun ubunku yang rasanya mau meledak ini. Agak terburu buru aku menaruh piring di meja, meneguk air di gelas sampai tegukan terakhir, menyambar sebatang rokok, menyulutnya, lalu pergi tanpa tawa. Entah apa yang keluarga pak Mu’i pikirkan aku tidak mengerti. Saat ini aku hanya ingin kembali ke pondok panggung secepatnya.
Tak tahu dari mana asalnya, tiba tiba aku ingin menghajar saja yang namanya mas Aim. Aku melangkah lebar lebar, menelusuri ruas ruas jalan kampung ini. Tak ada sesuatupun yang berhasil mencuri perhatianku untuk sekedar menghentikan langkah. Terus saja aku berjalan. Sampai akhirnya langkahku semakin mendekati masjid dan rumah Haji Abbas. Kedua mataku sudah bisa melihat kubah masjid dengan jelas diantara sinar lampu neon. Ini berarti beberapa langkah lagi aku sudah ada di pondok panggung. Akan kuhabiskan si pencinta alam tengik itu, batinku. Benar benar akan kupopor mulut orang yang tadi mengatakan bahwa Ning adalah kekasihnya. Mentang mentang mahasiswa, petantang petenteng sok yang paling jago. Pikiran yang berkecamuk ini seirama dengan langkah langkah yang sengaja aku percepat. Tapi pada akhirnya aku tidak bisa melakukan apa yang sejak tadi telah kurencanakan, mencabik cabik mas Aim hingga lebur bersama debu.
Langkahku terhenti di depan pondok panggung. Tapi tidak kutemui siapapun. Hanya ada beberapa orang di masjid yang hendak shalat isya berjamaah. Ada terlihat Haji Abbas di shaf paling depan menghadap ke arah kiblat, sama seperti para jamaah lainnya. Aku tak tahu harus kemana akan mencari mahasiswa sastra yang juga pencinta alam itu. Akhirnya aku memilih untuk duduk sejenak di dalam pondok panggung yang bawahnya ada kolam ikannya. Beberapa saat kemudian aku terhenyak oleh lamunan tentang mata Ning yang menatapku lama. Wow, bukankah jaket yang aku pakai ini adalah milik si bajingan tengik itu? Segera aku melepaskan diri dari balutan jaket berwarna biru muda, lalu menghempaskannya ke pojok panggung. Tak lama kemudian aku mencari cari celana pendek, juga dari orang yang sama. Berhasil kutemukan dan berakhir sama. Kuhempaskan ke pojok panggung dengan segenap rasa jengkel yang luar biasa. Kemudian tak ada lagi yang aku lakukan selain memandangi saja gombal gombal bangsat itu. Tiba tiba terlintas ide yang datangnya seketika, hampir bersamaan dengan datangnya ide untuk menjauh dari pondok panggung. Di sini hanya akan selalu mengingatkanku pada kejadian tadi sore saja. Kalaupun aku tetap berusaha untuk tinggal, sama artinya aku membusukkan diri pelan pelan. Tapi kalau aku menjauh, bagaimana dengan hewan hewan ternak kesayanganku? Bagaimana dengan ikan ikan ini? Siapa yang akan membantu Haji Abbas merumput seandainya aku lama tak kembali atau bahkan tak pernah kembali? Bagaimana juga dengan Nyai? Aku sudah terlanjur sayang dan perduli pada Nyai. Akhirnya ada juga jalan terang dalam hati dan pikiran yang sedang dilanda gelap gulita ini.
Aku harus bertindak cepat, jangan sampai semuanya belum selesai di saat Haji Abbas sudah turun masjid. Pikiranku terus bercabang cabang memikirkan banyak kemungkinan. Mula mula yang aku lakukan adalah mengambil karung kosong tempat aku biasa mewadahi rumput. Lalu satu persatu barang barang kesayanganku aku masukkan ke dalam karung. Aku mulai dari sarung dan songkok pemberian kakek Sura’i. Kutambah juga satu sarung lagi dari Haji Abbas. Lalu tiga kaos oblong warna hitam polos pemberian Haji Abbas. Kumasukkan juga empat potong celana pendek yang modelnya sama, juga dari Haji Abbas. Kemudian tiga kotak kecil celana dalam. Masing masing kotak terdiri dari tiga buah, kesemuanya belum pernah aku gunakan karena selama ini aku tidak terbiasa dengan itu. Barang terakhir yang aku masukkan ke dalam karung adalah kaca spion milik Nyai. Kaca spion itu sengaja aku bawa kemari sehabis rambutku dipotong pendek oleh Haji Abbas. Cepat jari jariku bekerja mengikat ujung karung denan tali sepatu yang menggantung begitu saja di dalam pondok panggung. Aku tidak ingat asal muasal tali sepatu hitam dan panjang yang sudah lama tergantung itu. Yang pasti bukan kepunyaan si bangsat. Setelah masalah barang barang usai. Aku mengangkat karung keluar pondok dan kulemparkan ke bawah persis di tepian kolam yang ada di bawah pondok panggung. Baru kemudian aku turun setelah sebelumnya juga meraih kedua gombal milik si bangsat. Pintu pondok sengaja tidak aku tutup. Percuma saja aku menutup pintu itu, tak ada apapun di dalamnya selain aroma kebencianku pada si bangsat yang masih tertinggal. Sebelum aku benar benar pergi, mataku masih memandang nyalang pada gombal gombal yang semakin kupandang semakin terlihat bangsat dan menjengkelkan.
Kulangkahkan kaki pada bilik kandang terdekat. Secepat kilat kuraih gagang celurit yang hampir selalu kuselipkan di sela sela bilik kandang, kemudian aku menggenggamnya erat erat. Tidak lama setelahnya, tangan kiriku yang tak memegang apa apa kugunakan untuk meraih jaket jeans merk levis warna biru muda milik si bangsat. Jari jari tangan kiriku mencengkeram erat kerah jaket yang kemudian aku hempaskan di tiang pondok panggung, kutekan jaket itu hingga tak dapat berkutik, dan sekuat kuatnya kuayunkan tangan kananku yang menggenggam erat celurit yang setiap hari aku asah. Tak salah lagi, aku mengayunkannya ke arah si jaket bangsat yang terlihat pucat di keremangan malam. Sedetik kemudian, CROT…!!!!. Keringat mengucur deras dari keningku, turun ke bawah hingga membasahi bekas luka di pipi kananku. Dan gigi gigiku tak lagi beradu kuat hinggga menimbulkan suara gemeretak. Aku juga sudah mulai bernapas panjang. Bersamaan dengan napasku yang tak lagi memburu, terdengar suara dari para jamaah shalat isya yang dipimpin oleh Haji Abbas.
“Amiiiin…..”
Begitu plong. Selega hatiku saat ini. Aku sudah tak bernafsu menghabisi mahluk bangsat untuk yang kedua kalinya. Hanya kupandang saja celana pendek si bangsat yang sekarang tepat ada dalam injakanku. Seketika aku meraihnya dengan ujung ujung jari tangan kiri, dan aku lemparkan barang yang merintih ketakutan ini ke arah masjid. Bukan lemparan yang tanpa tenaga, melainkan dengan segala sisa sisa tenaga yang masih ada di tubuh. Wing…!!! Tiba tiba celana pendek itu sudah ada di ujung kubah masjid yang berujung lancip. Bergerak gerak sebentar kemudian lunglai. Tentu saja aku terkejut demi menyadarinya. Padahal aku hanya ingin melempar begitu saja tanpa arah yang pasti. Ah, biarlah, ini bukan salahku. Ini hanya karena ukuran masjid yang kurang luas dan tidak bertingkat, itulah kenapa atap masjid dibikin tidak sangat tinggi. Toh Haji Abbas tidak akan marah hanya karena ini. Tidakkah celana pendek yang tersangkut di ujung kubah bukanlah sebuah dosa?
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar