Apakah anda pernah mempunyai pengalaman yang sama seperti saya? Setiap saya membeli makanan di sebuah warung nasi dan itu dibungkus, saya selalu berusaha untuk tidak meminta tas plastik. Saya biasa menyebutnya dengan tas kresek. Apa tanggapan mereka? Jangan mas, ndak ilok. Itu adalah jawaban yang sebegitu seringnya saya terima. Ndak ilok itu bahasa daerah jawa yang artinya kira kira sama dengan pamali untuk orang orang daerah jawa barat. Tidak baik, begitu kira kira kurang lebihnya. Itu juga sering berlaku meskipun saya membawa tas kresek sendiri.
Saya tidak meneruskan sepenggal cerita diatas dengan sebuah pertanyaan lagi. Karena saya tahu di kode etiknya orang orang PA kita telah diingatkan untuk menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar. Dan untuk menghormati mereka, saya mengiyakan saja manakala mereka memaksa menyodorkan sebuah tas plastik demi pelayanan yang prima.
Bisa jadi cerita sederhana seperti itu tidak berlaku di kota kecil Jember saja. Itu yang membuat saya berpikir. Seandainya dalam sehari sebuah warung makanan menerima pelayanan nasi bungkus sebanyak lima puluh bungkus, maka akan ada lima puluh tas plastik yang keluar. Dari lima puluh tas plastik, jika yang dimanfaatkan kembali hanya setengahnya, maka akan ada dua puluh lima tas plastik yang bakal menjadi sampah. Bayangkan saja jika dalam satu kota ada seratus warung makanan. Akan ada dua ribu lima ratus sampah berupa tas plastik setiap harinya. Itu masih dalam satu kota dan dengan perhitungan hanya ada seratus warung makan. Belum lagi pembungkus dari bahan plastik lainnya meskipun hanya untuk membungkus kerupuk.
Para netter, kita tahu bahwa sampah plastik adalah golongan sampah yang paling sulit diurai. Bila dibakar pun itu bukan solusi terbaik karena kandungan asapnya yang tidak baik untuk sekitar. Meskipun toh itu akhirnya menjadi pilihan favorit masyarakat untuk membasmi sampah plastik. Tidak terkecuali saya sendiri juga sering membakar sampah plastik.
Sebenarnya kalau kita jujur dengan pengetahuan yang kita miliki, saya yakin kita tahu apa yang sebaiknya kita lakukan. Hanya saja seringkali kita mudah terlupa. Anak kecil saja tahu bahwa membuang sampah ya harus pada tempatnya. Atau pesan pesan lingkungan lainnya yang seringkali kita anggap sepele. Kenapa kita seringkali melakukan sesuatu padahal kita tahu itu tidak baik? Sekali lagi, ini adalah tentang kesadaran. Mengenai seberapa dalam kesadaran kita untuk bergaya hidup ramah lingkungan, hanya kita sendiri yang bisa mengukurnya.
Seberapa sadarkah kita bahwa bumi juga butuh cinta?
Salam Lestari…!!!
sebuah postingan yang mencerahkan ini, mas. ketika bumi sudah makin tua, tentu saja beban yang harus dipikulnya makin terasa berat. jangankan mengurai plastik, menyangga beban di pundaknya pun benar2 sudah sempoyongan. para penghuni mestinya juga perlu memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang kepada bumi. mari kita mulai dulu dari diri sendiri, sekarang juga.
BalasHapusBenar banget Bapak. Kadang kadang kita sering terjebak dan mengira bumi kita baik baik saja. Makasih ya Bapak, atas komentarnya.
BalasHapussepakaT bangeT...pLastik eman9 suLIt ban9et diuraikan, bHkan bTuh wakTu bertahun2 banyakNya...
BalasHapusbUmi kiTa buTuh cinTa...
buMi kiTa buTuh keSadaraN kiTa...