Senin

Sampah Bukan Hanya Tugas Pemulung

Saya pernah punya pengalaman kerja di bidang barang bekas bersama tiga orang rekan. Meskipun hanya bertahan tidak lebih dari setengah tahun, namun saya banyak belajar dari pengalaman itu. Setidaknya saya menjadi lebih mengerti bahwa produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat tidak sebanding dengan proses daur ulangnya. Apalagi yang namanya sampah plastik. Dari yang mulai plastik bungkus snack, tas kresek, plastik botol bekas minuman mineral, sampai pada plastik keras semacam sisa sisa plastik elektro.

Dilihat dari sisi harga, barang barang bekas berupa plastik tidak sebegitu menggiurkan. Masih jauh dibawah harga harga barang bekas berupa logam. Apalagi bila kita bisa mendapat logam bekas berjenis tembaga. Tembaga memiliki daya tawar yang tinggi dibanding lainnya. Bisa sampai tujuh puluh ribu perkilonya. Sedang sampah plastik apalagi yang bergolongan plastik keras, perkilonya hanya lima ratus rupiah saja.

Dari sana saya berhadapan dengan sebuah kenyataan yang pahit. Sangat langka sebuah keluarga memproduksi sampah berupa tembaga. Kalaupun ada, kita pasti mendapatkannya di tempat tempat rombeng juga. Tentu saja dengan harga yang sudah tinggi karena mereka juga tahu akan fluktuasi harga barang bekas.

Dimana mana sampah plastik. Bertebaran seperti ingin mengganti fungsi rumput dalam hal menutupi permukaan tanah. Sebuah pemandangan yang tentu saja tidak menguntungkan dari sisi manapun. Dilihat dari sisi keindahan dan aspek lingkungan tentu ini menyakitkan. Dari segi bisnis pun tidak begitu menggiurkan. Selain masalah harga, kita akan kalah dengan para kompetitor bila tidak memiliki karyawan / pemulung sendiri. Pernah sekali dua kali saya mencoba untuk berposisi sebagai pemulung. Bedanya, saya lebih memilih mengumpulkan sampah plastik dari satu even ke even yang lain. Biasanya sampah botol bekas air mineral yang menjadi target saya.

Dari pengalaman nyemplung di dunia rombengan itu semakin memperluas cara pandang saya tentang gaya hidup orang orang disekitar saya. Dan yang paling tidak mudah terbantahkan adalah bahwa orang orang disekitar saya sebagian besar tidak perduli dengan sampah. Kenapa saya berani mengatakan ini? Karena saya lebih sering mencari order sampah di seputaran kampus Universitas Jember. Orang orang terpelajar seharusnya memiliki kesadaran lingkungan yang setidaknya satu tingkat lebih tinggi dari warga biasa. Kalau di titik ini saja sampah sudah ada dimana mana, bagaimana dengan daerah lainnya?

Para netter, saya jadi teringat posting saya sebelumnya, Menengok Kembali Kode Etik Pencinta Alam Indonesia. Dari pengalaman saya diatas saya jadi lebih mengerti mengapa kode etiknya orang orang PA ini sampai tiga kali menyebut kata sadar di setiap poin hakekat. Seberapapun pemerintah menyediakan tempat sampah di ruang publik, bila tidak ditunjang dengan kesadaran masyarakat akan lingkungannya, maka semua itu tidak akan bisa menjadi semaksimal apa yang diharapkan.

Tidak ada kata terlambat untuk segala sesuatu yang bertujuan baik. Apalagi tujuannya untuk mengekspresikan rasa cinta terhadap lingkungan. Setidaknya kita bisa memulainya dengan sebuah kalimat kuno namun masih teruji kesaktiannya. Buanglah sampah pada tempatnya. Saya yakin kalimat sederhana itu akan mengantarkan kita pada sebuah kalimat baru. Begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya dengan sendirinya kita akan terbiasa. Terakhir, dengan sendirinya kita akan memahami bahwa sampah bukan hanya tugas pemulung.

Mari memanfaatkan alam sesuai dengan batas kebutuhan..

Salam Lestari…!!!

2 komentar:

  1. sakeng sateya la nemor ye brow..

    mon tak nembere'..qt bs jen ojenan aberse'e selokan yeh..

    hahay..

    sip2..

    BalasHapus
  2. @ Anonim : Kalau dilihat dari bahasanya sih (bhs. Madura), sepertinya ini tulisannya mas Gatot, soalnya kita kan pernah hujan2an bersihin selokan yang mampet, hehe..Makasih ya komennya.Kapan kita kerja bakti lagi?

    BalasHapus