Ada yang pernah menanyakan begini pada saya. Mas Hakim kok senang sih jadi Pencinta Alam? Apa enaknya? Begitu kira kira pertanyaannya. Pertanyaan yang kalau didengarkan sepintas seperti sebuah pertanyaan yang biasa biasa saja. Tapi tetap saja membuat saya berpikir dan merenung kembali. Mengapa saya senang menjadi seorang Pencinta Alam?
Sejak saya masih bocah dulu saya memang senang pada hal hal yang sifatnya petualangan. Apalagi Bapak saya sering mendongengkan kisah Nabi Ibrahim. Kisah itu beliau ceritakan berulang ulang dan biasanya didongengkan untuk pengantar tidur. Anehnya saya tidak pernah meraa bosan dengan dongeng yang satu ini, kisah nabi Ibrahim.
Dari sebelum saya masuk SD, kegiatan yang saya senangi adalah bermain ke sawah. Kebetulan persis di belakang rumah saya terbentang berpetak petak sawah. Sayangnya sekarang sudah berubah menjadi perumahan Regency. Bukan hanya itu, saya juga senang mandi di sungai bedadung, sungai legendaris yang hanya ada di kota kecil Jember. Meskipun untuk kegiatan yang satu ini resiko yang saya hadapi adalah dimarahi habis habisan oleh Almarhumah Ibu.
Pada saat saya memasuki usia sepuluh sampai dua belas tahun, tidak jauh dari rumah saya ada kios tempat peminjaman buku buku. Ini sangat berpengaruh buat saya. Saya jadi suka meminjam buku yang sifatnya petualangan dan tentunya yang sesuai dengan usia saya. Buku buku serial lima sekawan karya enid gluiton, maaf kalau saya salah eja, habis saya lahap. Begitu juga dengan buku buku sejenis lainnya. Buku buku semacam ini juga sukses mengantarkan saya untuk aktif di kepramukaan sekolah dasar.
Pada saat saya SMP, pekarangan rumah saya disewa oleh teman Bapak untuk dijadikan bisnis penjualan bunga. Nama teman bapak itu adalah Pak Bagio. Dari beliau saya menjadi lebih tahu tentang macam macam bunga dan bagaimana cara merawatnya. Dari sini, pelan tapi pasti, kesukaan saya pada petualangan bertambah dengan satu hal yaitu mencintai bunga bunga. Kecintaan saya pada bunga dan petualangan berlangsung hingga saya ada di bangku SMA. Saya bahkan tiga kali berpetualang di Sukamade bersama teman teman SMA. Kebetulan teman sebangku saya yang bernama Feri orang tuanya tinggal dan bekerja disana.
Saya benar benar tercatat sebagai anggota Pencinta Alam pada saat saya kuliah di FSUJ. Itupun bisa dikatakan sedikit terlambat. Baru semester lima saya mengikuti DIKLATSAR. Nama Organisasi Pencinta Alam yang saya ikuti itu adalah SWAPENKA, kependekan dari Mahasiswa Pencinta Kelestarian Alam. Tentu saja disini saya tidak hanya belajar tentang petualangan dan bunga. Macam macam materi kepencinta alaman yang saya dapatkan. Ini yang memperluas pandangan saya tentang dunia pencinta alam. Ternyata dunia pencinta alam tidak mengerucut pada masalah petualangan saja. Bahkan dunia jurnalistik pun mendapatkan perhatian yang tinggi disini. Tentu saja jurnalistik yang berpihak pada lingkungan.
Kembali pada pertanyaan diatas. Kenapa saya senang menjadi seorang Pencinta Alam? Jawabannya adalah karena saya cinta pada dunia yang satu ini. Cintalah yang menggerakkan saya untuk berani memasuki ranah kepencinta alaman. Kalau bukan karena cinta, bisa jadi saya tidak akan bertahan untuk terus berproses di SWAPENKA. Tanpa cinta, barangkali proses yang akan saya lakukan hanya bertahan pada hitungan bulan. Bisa jadi juga akan bertahan dalam hitungan minggu maupun hari. Atau lebih dramatis dari itu semua. Tanpa didasari oleh rasa cinta, bisa jadi saya akan menghilang bersamaan dengan proses DIKLATSAR itu selesai. Dengan kata lain, saya tidak pernah merasakan pahit dan manisnya berproses di dunia Pencinta Alam.
Lalu pertanyaan berikutnya, apa sih enaknya jadi seorang Pencinta Alam? Yang pasti pola pikir dan gaya hidup kita akan lebih berkarakter. Memang sulit untuk menjelaskan poin yang satu ini. Kalau tidak pandai pandai memilih kata, kita mudah tergelincir dalam kubangan mengelu elukan dunia kita sendiri. Tapi akan saya coba menjelaskannya secara hati hati dengan contoh kasus yang sesederhana mungkin.
Seorang pencinta alam akan merasa malu untuk membuang sampah sembarangan karena nama yang disandangnya. Mula mula memang seperti itu. Itu juga yang saya rasakan dulu. Tapi seiring berlalunya waktu ini akan membola salju dan menggelembung menjadi semacam bulatan kesadaran. Dari yang awalnya mempunyai pola pikir pragmatis, malu untuk membuang sampah sembarangan hanya karena kita dikenal sebagai seorang pencinta alam, karena terbiasa maka akan berubah menjadi sebentuk kesadaran berpola pikir untuk membuang sampah pada tempatnya. Tentu saja pemikiran yang sudah terpola ini akan mengantarkan kita untuk memiliki gaya hidup ramah lingkungan. Sebuah gaya hidup yang identik dengan orang orang yang menyebut dirinya seorang Pencinta Alam. Itulah yang saya maksud dengan menjadi seorang Pencinta Alam itu enak. Kita jadi lebih berkarakter dalam hal pola pikir dan gaya hidup. Dan semua didasari dengan suatu dzat yang namanya cinta. Barangkali itu juga yang membuat orang orang yang bergerak di jalur ini mempunyai embel embel CINTA di label namanya yaitu Pencinta Alam.
Segala sesuatu akan semakin terlihat indah manakala kita memulainya dengan rasa cinta. Tidak jauh berbeda dengan dunia para pencinta alam, dunia blogger juga seperti itu. Jika kita ingin bertahan untuk terus berproses di dunia blogger dan tidak hanya untuk seminggu dua minggu, mari kita memulainya dengan cinta.
Salam Lestari…!!!
Saya juga pecinta alam lho mas, sukanya naik gunung tangkuban perahu gak capek :P
BalasHapusGreetz.
Wah ketemu sodara jauh nih ceritanya..
BalasHapusJadi pengen naik Gunung Tangkuban Perahu,,hehe..