Suatu hari saat saya tidur di sekretariat SWAPENKA, entah kenapa tidak seperti biasanya saya terbangun sekitar jam tiga dini hari. Padahal start tidurnya baru sekitar jam satu. Sudah saya coba untuk memejamkan mata kembali tetapi percuma. Tetap saja saya tidak bisa tidur lagi. Akhirnya saya keluar, berharap UKMF sebelah ada penghuninya. Ternyata ruang sederet kosong semua, seperti biasanya. Berarti siap siap untuk tidak merokok sampai matahari menunjukkan sinarnya. Maklumlah, jaman itu belum ada indomart yang buka 24 jam.
Bermodal korek api merk tokai, saya pun membuat perapian. Sekedar menghangatkan diri dan membunuh keinginan untuk merokok. Dan perapian pun jadilah. Tapi itu bukannya membuat saya lupa akan keinginan untuk merokok, malah sebaliknya. Akhirnya terbersit gagasan untuk membuat secangkir kopi, ketika tiba tiba saya ingat masih ada segenggam gula dan seperempar saset bubuk kopi cap kapal api. Siapa tahu ini bisa mengalihkan keinginan saya pada sebatang rokok. Tidak menunggu lama, saya langsung action. Setelah akhirnya kopi panas satu mug terhidang dari saya dan untuk saya sendiri, apakah kemudian saya tidak lagi memikirkan sebatang rokok? Hehe, seorang perokok pasti menjawabnya dengan cukup dua kata saja, tidak mungkin!
Kopi yang saya buat itu masih cukup panas ketika tiba tiba ada seseorang yang melintas di jalan setapak depan SWAPENKA. Dengan mengenakan kelengkapan dinas, yaitu sebuah karung besar yang dicantolkan dipunggung dengan tangan kiri memegangi, dan tangan kanan membawa sebuah besi yang ujungnya membelok menyerupai tanda tanya, seseorang itu nyelonong saja di depan saya seperti tidak ada orang lain. Kalau tidak saya panggil, pasti akan terus nyelonong tanpa permisi.
Ya, saya memanggilnya. Karena saya memang kenal. Namanya Pak Ripin tapi saya biasa memanggilnya Cak, Cak Ripin. Perawakannya kecil dan cara dia berjalan begitu gesit. Dia adalah seorang pemulung yang sudah bertahun tahun melintasi setapak depan SWAPENKA setiap paginya. Rumahnya di desa Pring Tali Kecamatan Pakusari Jember.
Ah, jarang jarang aku ketemu Cak Ripin, batin saya. Setelah Cak Ripin dan saya duduk berdekatan, terjadilah obrolan ringan, pertanyaan umum seperti layaknya orang yang jarang bertemu. Lalu saya menawarinya kopi. Dia langsung mengiyakan. Cak Ripin tidak langsung menyeruput kopi yang saya tawarkan, tapi sibuk mencari sebuah gelas plastik di dalam karungnya. Saat saya tanyakan kenapa, Cak Ripin menjawabnya pendek saja, biar tidak jijik. Tentu saja hati ini rasanya langsung dagdigdug. Saya seperti diingatkan pada sesuatu yang namanya setara.
Tidak lama perbincangan saya dengan Cak Ripin, karena dia harus melanjutkan pekerjaannya. Sesaat sebelum Cak Ripin melangkahkan kaki, dia menawari saya sesuatu. Para netter, coba anda tebak, apa yang Cak Ripin tawarkan pada saya? Tidak lain adalah rokok, sesuatu yang begitu saya dambakan sejak saya ngelilir dari tidur tadi. Apakah anda ingin tahu rokok apa yang Cak Ripin tawarkan pada saya? Tidak lain adalah rokok Dji Sam Soe kretek. Saat Cak Ripin menyodorkan satu pak rokoknya, saya hanya sanggup mengambil satu batang saja. Saat dia memaksa saya untuk mengambil lagi, saya sudah tidak sanggup.
Saya masih sempat memandangi langkah langkah kaki Cak Ripin saat hisapan pertama saya menimbulkan kepulan asap yang abstrak. Saat bayangannya lenyap oleh tikungan, saya seperti masih memandangnya. Sungguh pagi yang indah. Ada perapian, segelas kopi, sebatang rokok dan sebuah cerita. Ah, seandainya dunia tahu bahwa cerita ini bukanlah fiktif belaka, apakah mereka mau mengganti tulisan pemulung dilarang lewat dengan kalimat baru? Pemulung Silahkan Lewat, sepertinya itu boleh juga.
Salam Lestari…!!!
0 komentar:
Posting Komentar