Karung yang aku isi barang barang sudah bertengger di pundak, sementara aku masih memandangi ternak ternak kesayanganku sambil sesekali melempar pandang ke arah kolam. Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka begitu saja? Namun aku sudah bertekad bulat sebulat bulatnya. Tiba tiba saja aku sudah mengambil sebuah karung dan sebuah celurit cadangan di bilik bagian dalam di kandang kambing. Lalu secepat angin berhembus, aku langkahkan kaki ini hingga banyanganku tenggelam di telan malam.
Tidak segera ke ladang, tapi ke rumah pak Mu’i dahulu. Itu yang aku lakukan sambil mengingat ingat jalan alternatif menuju rumah pak Mu’i sekiranya aku bisa menghindari banyak orang. Bahkan kalau bisa tidak bertemu seorangpun. Syukurlah, akhirnya tiba juga aku di kediaman keluarga pak Mu’i. Sayangnya rumah mereka masihlah terang benderang dengan pintu depan terbuka, sama sekali tidak seperti yang kuharapkan. Tapi kemana mereka semua? Dari sebuah sudut yang gelap dan tertutup pohon jambu, aku terus awas dan memperhatikan keadaan rumah pak Mu’i begitu teliti. Sejurus kemudian tanganku sudah memasukkan celurit ke dalam karung, kemudian aku gulung rapat hingga gulungan terkecil. Aku mengikatnya dengan tali rafia yang kutemukan di simpang jalan saat menuju kemari. Panjangnya tak lebih dari satu meter dan sudah bercampur tanah. Tapi menurutku sudah lebih dari cukup. Setelah lipatan karung berisi celurit itu kurasa sempurna, aku mulai mengambil ancang ancang melemparkannya ke arah pintu rumah pak Mu’i. Dan, gludag…!!! Lipatan itu tepat bertengger tidak jauh di luar pintu pak Mu’i. Seperti yang aku harapkan. Padahal jarak antara pintu dengan tempat aku jongkok dan mengendap sekitar lima belas meter. Setelah acara lempar melempar usai, aku tidak segera kembali melangkahkan kaki, melainkan memperhatikan apa yang terjadi. Tidak ada apa apa. Tak satupun dari keluarga Pak Mu’i yang keluar dan melihat apa yang terjadi. Tidak juga pak Mu’i. Tapi tak apalah, nanti juga mereka mengerti. Semoga Pak Mu’i ikhlas mencarikan pakan ternakku. Aku menenangkan kegundahanku sendiri sambil kembali melesat di remangnya malam.
Sampai juga akhirnya aku di ladang. Kurebahkan tubuh ini di pondok buatan pak Mu’i yang tak berdinding. Di sinilah aku sekarang, merdeka memandang bintang. Setelah puas dengan bintang, aku menuju pondok berdinding dekat pondok persis di sebelah pondok berdinding. Mula mula yang aku raih adalah kendi karena ada tepat di depan pintu yang tertutup. Kuangkat kendi itu, ternyata masih berisi air. Lumayan tidak usah melangkahkan kaki ke sumur, pikirku. Kemudian kubuka pintu yang tak pernah aku kunci meskipun oleh Haji Abbas sudah disediakan gembok. Dalam gelap kupaksakan mata untuk memandang apa yang ada di dalamnya. Tetap juga aku tak melihat apa apa. Lalu kurogoh saku celana berharap menemukan korek api. Nihil. Aku mulai berkeringat dingin. Bagaimana ini? Padahal sebentar lagi aku ingin membuat perapian. Aku memaksa masuk ke dalam pondok meski aku tahu disana gelap. Aku mulai beraksi, meraba rabakan tanganku ke segala arah. Sayangnya tak kurasakan tanganku menyentuh benda kecil yang bernama korek api. Yang kusentuh hanya dua cangkul, linggis kecil dan besar, lima timba besar yang ditumpuk jadi satu, Dua jurigen ukuran jumbo yang tak berisi, jurigen jurigen kecil yang juga tak berisi, cetok, gergaji lengkap dengan alat pengasahnya, golok, celurit yang tak pernah aku asah, pisau kecil, pecok, dua cadangan gagang cangkul, mangkuk plastik yang isinya cuma paku segala ukuran dan dijadikan satu, matras yang digulung, satu set panci tentara berbentuk kotak lengkap dengan wadahnya yang berwarna hijau tua, dan tak ada lagi barang barang lainnya. Itu juga mengabarkan bahwa tak ada korek api di seluruh ladang.
Tak ada korek sama dengan tak ada kejantanan. Padahal aku tidak ingin menjadi tidak jantan. Aku ingin menjadi laki laki. Dan sebagai laki laki, cara apapun akan aku hadapi untuk bisa memiliki alat yang bisa memanggil mahluk yang bernama api. Walaupun aku harus mengambilnya di mulut buaya. Karena bagaimanapun, aku harus mampu menjadi jantan. Bagaimanapun aku harus kembali ke desa untuk mengambil korek api.
Bergerak juga akhirnya aku ke arah desa. Lebih cepat dan lebih tangkas. Jalannya menurun, jadi aku bisa bergerak lebih cepat. Begitupun aku harus tangkas dan bisa menjaga keseimbangan. Sekali tergelincir dan terjatuh, aku harus merasakan sakit dan bangkit sendiri. Sama sekali aku tidak ingin ada dalam posisi yang demikian. Malu aku pada bintang dan rembulan. Mereka sudah ikhlas berbagi sedikit cahaya. Bukankah itu sama artinya dengan mendoakan kita agar tidak tergelincir di dunia yang serba tidak bisa ditebak ini?.
Kampung masih benderang saat aku tiba. Masih ada beberapa orang yang berlalu lalang. Sengaja aku tidak menuju ke rumah Haji Abbas, juga tidak ke arah pak Mu’i. Aku lebih memilih tidak untuk keduanya. Akhirnya aku memilih untuk menuju ke warung yang paling dekat dan terlihat dari tempatku berdiri saat ini. Selain masih buka, ini lebih efisien karena nantinya aku akaan kembali lagi ke ladang. Masih mengendap endap dan masih siaga. Setelah celingak celinguk, akhirnya aku berjalan juga menuju warung pracangan kecil yang kumaksud. Beruntung tidak ada orang yang nongkrong. Hanya seorang ibu yang seusia Nyai saja yang ada di warung. Aku tahu ibu pemilik warung ini. Beliau kadang kulihat bersama Nyai saat ada acara tertentu baik di masjid maupun di rumah warga. Semoga beliau tidak keberatan aku mengambil barang barangnya. Tapi kalaupun nanti dia keberatan, kenapa beliau menyediakan barang barang yang dibutuhkan orang? Aku saja tidak akan kemari seandainya tidak butuh apa apa. Aku memikirkan itu semua sambil tanganku sesekali memegangi perut. Rasa lapar tiba tiba saja menyeruak tanpa sempat aku cegah. Aku tiba di depan pintu warung masih dengan tangan yang sesekali memegangi perut. Sampai pada saat beradu pandang dengan ibu pemilik warung, aku tepat dalam keadaan memegangi perut. Kali ini bahkan aku mengelus elusnya.
“Eh Nak Kacong. Tumben malam malam jalan sendiri. Alhamdulillah ibuk belum ringkes ringkes warung. Butuh apa Nak? Sini duduk dulu..”
Bukan keramahannya yang membuat aku tersentak. Bukan itu. Tapi cara ibu ini memanggilku. Ada kata kata Nak di sana, dan itu sukses mengantarkan aku pada sebuah kenangan bersama ibuk istrinya Pak Ilham. Ini membuat aku lupa pada rasa lapar yang menderaku. Juga sedikit menghibur hatiku yang remuk redam di tikam kebencian. Ah, ibu. Ingin rasanya aku pergi saja menjauh dari warung ini jika ibu itu tidak segera menyadarkanku dengan sekotak nasi yang ada dalam genggamannya.
“Ini Nak, dimakan ya. Nggak baik nolak rejeki. Ibu sendiri sudah kok Nak”.
Kubuka tutup kotak di depanku. Diam dan tidak tertawa. Sudah sejak sore tadi aku tidak tertawa. Padahal tidak ada alasan bagiku untuk tidak tertawa. Berbeda dengan dulu, saat pipi kananku terluka. Juga saat aku tergeletak begitu saja di tengah tengah keluarga si kecil. Saat itupun aku masih menyediakan waktu dan tenaga untuk tertawa. Tak tahu menguap kemana suara tawaku sejak sore tadi.
“Lho, ayo dong Nak Kacong, dimakan nasinya..”
Aku baru sadar kalau terlalu lama bengong di depan kotak nasi yang tutupnya sedari tadi kubuka. Satu persatu butiran nasi dan beberapa lauk itu kumasukkan ke dalam mulut. Pelan dan sangat hati hati. Sementara ibu pemilik warung sibuk menyiapkan aku segelas air putih, menghidangkan kopi dan menaruh sebungkus rokok filter serta korek api berbentuk kotak kecil warna putih bening yang di dalamnya berisi gas elpiji. Korek itu diletakkan persis di atas sebungkus rokok yang ternyata belum dibuka. Hatiku memang berbinar menatapnya, tapi tak kusampaikan dengan sorot mata apalagi gelak tawa. Biasa saja. Selesai makan, ibuk pemilik warung dengan sigap engambil kotak di depanku sambil menawari aku untuk minum dan menikmati rokok.
“Jangan kemana mana dulu lho Nak, ibu sudah terlanjur membuatkan kopi. Ohya ambil saja apa yang Nak kacong butuhkan”
Lama aku terdiam. Baru kemudian membuka bungkus rokok dan menyulutnya dengan korek api yang ternyata masih gress. Selang beberapa detik kemudian ibu baik hati pemilik warung keluar dari balik bilik bambu dimana beliau menanak air. Secangkir kopi yang masih berasap ada di depanku saat ini. Tidak seperti biasa, aku tidak langsung menuangkannya dalam lepek. Kali ini aku lebih santun. Bukan lantaran kekenyangan, bukan pula lantaran lagi enggan minum kopi. Tapi entahlah, aku betah berlama lama dengan ibu pemilik warung yang gurat gurat keriput di wajahnya mencerminkan ketulusan dalam menjalani hidup. Beliau kini ada di depanku. Bercerita tentang kesehariannya yang ternyata hidup sendiri. Satu satunya hiburan beliau adalah warung ini. Warung kecil inilah tempat beliau bersosialisasi dan bercengkerama dengan orang orang yang datang dan pergi. Kadang juga bukan orang kampung. Tadinya beliau adalah istri seorang pengusaha sukses dan hidup di kota besar. Entah kota besar mana beliau tidak berusaha merinci, padahal aku ingin sekedar mendengarnya. Beberapa tahun yang lalu sang suami meninggal dunia di sebuah kecelakaan. Beliau juga tidak bicara tentang tahun berapa terjadinya dan kecelakaan yang seperti apa yang menimpa suami beliau. Begitupun aku masih sangat bisa menikmati kisah ibu baik hati ini. Meskipun mataku hanya aku tujukan untuk memandang cangkir, tapi aku seksama mendengarnya. Perempuan yang tegar. Padahal beliau bisa saja memilih untuk tinggal bersama salah satu dari ketiga putrinya yang menurut cerita beliau, kesemuanya sukses. Beliau bilang, beliau masih mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri. Beliau juga tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk menyusahkan orang orang sekitar. Selama tidak pikun, tidak ada alasan untuk tidak berdiri di atas kaki sendiri. Itu yang keluar dari mulut seorang perempuan perkasa yang tidak kutahu namanya.
Sudah berbatang rokok aku hisap, kopi juga sudah habis, selain itu malam terus mendaki menuju puncak. Aku berdiri. Sementara ibu pemilik warung mengucapkan rasa terimakasih padaku karena telah setia mendengarnya bercerita. Orang kalau sudah tua kebutuhan pokoknya memang bercerita, jadi wajar jika ibu baik hati ini berkata seperti itu padaku. Beliau adalah orang kedua setelah Ning yang mengucapkan rasa terimakasihnya. Ibu itu mengantarkan aku sampai ke pelataran warung dengan sebelumnya memaksa aku untuk menerima pemberiannya. Bukan sisa sebungkus rokok filter dan sebatang korek saja yang beliau berikan padaku, tapi juga sebuah tas yang terbuat dari kain sebesar setengahnya karung yang biasa ku pakai untuk merumput. Entah apa isinya aku tidak tahu. Yang jelas agak berat. Tas itu sudah ada di tanganku, tapi tak juga aku segera melangkahkan kaki. Hanya berdiri mematung dan sama sekali tidak memandangkan mataku ke wajah ibu pemilik warung. Hanya kerikil kerikil di depanku saja yang aku pandangi. Ibu itu diam menungguku tak bersuara. Tiba tiba aku menurunkan tas ke tanah dan segera membuka kaos oblong warna hitam yang tak bermotif apapun. Baru kemudian aku melemparkan begitu saja ke kursi bambu yang bentuknya kotak memanjang tanpa sandaran, yang ada di depan warung. Aku ambil kembali tas pemberian ibu baik hati pemilik warung, dan melesat ke arah ladang. Aku berlari dan terus berlari, hingga tenggelam bersama malam. Sesampainya di ladang, tak sempat lagi aku membuka tas pemberian ibu itu, sekedar mencari tahu apa isinya. Masih dengan tubuh yang bertelanjang dada, kurebahkan badanku begitu saja. Kali ini di pondok berdinding dan gelap. Jangankan membuat api unggun, menghamparkan matras saja aku sudah tidak begairah. Satu satunya yang bisa aku perbuat sebelum merebahkan diri adalah menghabiskan sisa air di dalam kendi. Kali ini aku benar benar tak butuh waktu lama untuk terlelap.
Hawa dingin membangunkan aku. Sampai sampai aku menggigil dibuatnya. Segera aku mencari cari sarung milik kakek Sura’i yang ada di dalam karung. Setelah ketemu, aku membungkus diriku menekuk dalam sarung. Sayangnya aku enggan memejamkan mata kembali. Hanya berusaha berlindung dari dingin, itu yang aku lakukan. Merasa tidak berhasil, akupun menggeliat untuk kemudian bangun. Aku cari cari salah satu dari tiga kaos oblong yang masih berbungkus plastik. Setelah kutemukan, sesegera mungkin aku membuka plastik, melepas kertas kecil yang ada di seputar leher kaos, dan memakainya. Akhirnya. Merasa kurang hangat, aku segera meraba saku dan mengeluarkan sebungkus rokok yang isinya tinggal separuh, mengambil satu dan menyulutnya cepat. Setelah hisapan pertama, rongga rongga tubuhku tersugesti untuk merasakaan hawa segar, dan seketika aku merasa hangat. Masih juga aku malas untuk membuat perapian. Aku lebih memilih untuk menikmati sebatang rokok sambil membayangkan senyum manis Ning. Meskipun itu sama artinya aku mengundang wajah si bangsat untuk ikutan nampang, tak apalah. Rasa cintaku pada Ning dan Kebencianku pada si bangsat yang membola salju menjadi sebentuk dendam membara ini, biar aku jadikan penghangat agar pikiranku di pagi ini tidak membeku. Aku anggap saja bayangan akan mulut busuk si bangsat sebagai penghangat suasana.
Membayangkan tentang Ning dan si bangsat di pagi yang belum lagi terang benderang, mengantarkan aku untuk berpikir akan diri sendiri. Apa yang aku lakukan sekarang? Bagaimana jika pak Mu’i tidak menemukan celurit dan karung yang aku lemparkan di depan pintu rumahnya? Seandainya pak Mu’i menemukannya, apa dia akan merumput untuk kambing kambing kesayanganku? Padahal maksudku adalah itu. Lama aku merenung sampai aku tersentak sendiri pada renungan terakhir. Bagaimana jika Haji Abbas kemari dan mengajakku pulang? Sedangkan aku tidak pernah mampu untuk menolak keinginannya jika tangan beliau sudah merangkul bahuku. Bagaimana ini? Terus terusan aku memikirkan itu sampai pada akhirnya kuputuskan untuk pergi dari ladang ini. Tapi kemana? Ke lereng utara tepat di sisi lain punggungan ini, itu artinya sama saja aku tidak kemana mana. Kali ini aku berpikir sambil tanganku memasukkan barang barang ke dalam karung. Aku letakkan karung di pundakku dan ujungnya aku pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan aku gunakan untuk menenteng tas kain pemberian ibu pemilik warung semalam. Tidak menunggu lama aku sudah berjalan ke arah lereng utara yang ada pohon beringinnya.
Tak kuperdulikan telapak kaki ini menyentuh tanah dan rerumputan yang masih dingin oleh embun. Terus saja kulangkahkan kaki, bahkan sesampainya di bawah pohon beringin aku masih meneruskan langkah. Sekilas kupandang galianku dekat beringin yang belum lagi selesai. Dalam hati aku berjanji, aku akan tetap melanjutkan tekadku untuk menggali tanah, meskipun bukan di lereng ini. Intinya, aku tetap akan menyelesaikan pekerjaan yang belum aku rampungkan, walau dengan membuatnya kembali sedari awal. Masih saja aku melangkahkan kaki, terus dan terus. Kali ini aku sudah menuruni punggungan kedua. Tak tampak lagi beringin di lereng yang ada di balik ladangku. Memasuki punggungan ketiga dan begitu tinggi, aku masih saja melangkah, perlahan tapi pasti aku bergerak ke atas. Ini lebih tepat dikatakan mendaki gunung daripada sekedar melintasi punggungan dan membelah bukit. Semakin ke atas semakin gersang. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena mentari sudah mengepakkan sayapnya tak lagi hanya mengintip di tepian bumi. Tetap saja aku berjalan. Beberapa kali aku melewati dataran yang sengaja digersangkan hanya untuk dijadikan ladang. Sayangnya semua ladang yang ada di bukit ini tak lagi menjadi ladang. Semuanya telah ditinggalkan. Barangkali hanya beberapa kali panen, kemudian oleh mereka para peladang berpindah, lahan ini dihempaskan begitu saja. Sayang, benar benar sangat disayangkan. Apakah mereka tidak sempat menanam bibit pohon sebelum meninggalkan ini semua?
Aku sudah ada di puncak bukit. Dibanding bukit terdekat sekitarnya, bukit ini yang paling tinggi. Tapi bila kusapukan mata ke jarak yang agak jauh, ada beberapa gundukan membukit yang lebih menjulang dari tempat aku berdiri sekarang. Di sini aku bisa memandang banyak hal. Deretan rumah terlihat seperti rumah rumahan dan dadu di permainan monopoli. Bahkan lebih kecil dari itu. Aku berlama lama di sini. Sempat berpikir untuk tinggal di puncak ini saja seandainya aku tidak membayangkan saat malam tiba dan dikala tak sesuatu pun yang bisa menahan laju angin. Tak terbayangkan seperti apa gaya menggigilku nanti. Selain itu jika harus tinggal di puncak ini, aku takut lalai dan terlena, tidak beraktifitas apapun. Padahal itu yang aku butuhkan saat ini selain menjauh biar tidak dijemput Haji Abbas.
Setelah puas berleha leha, aku gerakkan langkah pertama untuk menuruni lereng bukit selanjutnya. Lereng yang sangat parah. Hanya ada batu, ilalang dan beberapa pohon yang diameter batangnya tak lebih dari roda vespa. Di sana sini banyak lahan kosong tapi bukan bekas ladang. Cuma lahan kosong saja dengan hanya menyisakan batang batang pohon besar yang habis dibabat. Batang batang itu ada yang tingginya dari tanah hanya selututku, ada juga yang sepinggang. Semuanya bergerak menuju kering. Ada kulihat juga beberapa gelondong kayu kering yang tak sempat terangkut. Semuanya kering. Aku terus bergerak menurun hingga mataku tertuju pada sebuah pondok reyot yang atapnya terbuat dari seng tapi sudah amburadul. Segera aku langkahkan kaki kesana.
Sesampainya, aku mengitari pondok itu. Dinding dindingnya sudah dalam kondisi parah. Terlihat dari puing puingnya, dapat kutebak bahwa tadinya pondok kecil ini dibangun dengan serius. Nampak dari empat tiang penyangga dan kerangka dasarnya. Masing masing tiang penyangga berpondasikan batuan bukit yang menghimpit tiang, walau tanpa semen. Pondok ini juga berbentuk panggung, walaupun tidak begitu tinggi. Hanya sekitar setengah meter saja dari permukaan tanah. Bahan yang digunakan untuk lantai adalah kayu sirap yang berupa papan papan kayu memanjang, sama persis dengan kayu untuk dinding pondok. Di tempat seperti ini, bagaimana orang bisa membangun pondok yang tiangnya sekuat ini? Jelas dulunya ini adalah tempat yang penting. Jika tidak tak mungkin atapnya dari seng, tiangnya kuat, juga lantai dan dindingnya dari kayu sirap.
Aku istirahat di undakan pondok yang ternyata masih kokoh. Kuletakkan begitu saja karung dan tas, lalu kukeluarkan sebatang rokok. Sebenarnya aku sedang haus dan ini bukan waktu yang tepat untuk merokok. Tapi mau bagaimana lagi, yang ada hanya rokok dan korek. Kusulut juga akhirnya sebatang rokok sambil berpikir tentang apa yang akan aku lakukan sebentar lagi. Kenapa tidak menetap di sini saja? Tapi aku memikirkan itu sambil memperhatikan sekeliling. Hanya diuntungkan dengan reruntuhan pondok tapi tak ada mata air atau sekedar tempat terdekat untuk mencari air. Sementara letak pondok ini ada di tengah tengah lereng. Mau ke atas enggan, hendak turun ke bawah juga enggan. Yang ada hanya pohon pohon kecil. Itupun letaknya jauh dari pondok dan tidak sebanding dengan luas lereng ini. Luasnya ada kalau lima kalinya ladangku. Tapi jika tidak disini, akan kemana lagi? Sepanjang perjalanan tak ada satu tempat pun yang mencuri perhatian. Lagi lagi aku memandang reruntuhan pondok. Aku membayangkan seandainya aku membetulkannya. Lalu kubayangkan turun ke bawah untuk sekedar mencari air. Kabar baiknya, pondok ini tidak terlihat dari atas. Ini semua karena struktur tanah yang dipilih strategis, setidaknya strategis dari hempasan angin khas pegunungan. Dilihat dari atas, seperti tidak ada apa apa karena tepat sebelum pondok, tanah menjorok ke bawah di kemiringan sekitar seratus tiga puluhan derajat.
Ada satu pohon kecil, besar batangnya cuma dua kali perutku, dan tertancap di kemiringan tanah itu, tapi tidak persis di tengah tengahnya. Aku tahu pohon jenis ini. Pak Mu’i bilang ini namanya pohon kirai payung. Daunnya lebat, tidak begitu lebar, sekitar satu setengah senti. Panjang daun sekitar tujuh sampai sembilan sentimeter. Model daunnya kaku dan agak tebal. Warnanya hijau pekat. Daun kirai payung juga mudah mengering, berubah warna menjadi kuning, lalu rontok. Ini semua, lagi lagi kata pak Mu’i, lantaran daun pohon kirai payung sangat efektif menghisap polusi udara. Sayangnya tidak berbuah. Nah daun kirai payung ini juga sangat menyamarkan bahwa ada reruntuhan pondok di sini. Lama aku memikirkan antara tinggal dan mencari titik lainnya.
Aku kembali lagi berjalan ke arah ladang setelah kuputuskan untuk tinggal di reruntuhan pondok. Berarti aku butuh paku, jurigen dan timba untuk wadah air, golok dan lainnya. Langkahku semakin ringan karena tas pemberian ibu pemilik warung semalam dan juga karung aku tinggal di pondok, sedikit menjorok ke dalam dan tertutup reruntuhan seng. Meskipun tak membawa apapun, aku memilih untuk bergerak normal. Ini semua karena aku harus menghemat energi dan berusaha memperlambat datangnya rasa lapar. Karena aku tidak tahu, akan makan apa aku hari ini. Sungguhpun begitu aku tidak takut. Pak Mu’i pernah beberapa kali berceloteh padaku bahwa orang yang mencintai hutan dan mendedikasikan diri untuk hidup di dalam hutan, maka Tuhan akan memberinya rejeki juga dari hutan. Itu menurut pak Mu’i dan aku percaya sepenuhnya. Selama ini pak Mu’i tidak jauh berbeda dengan Haji Abbas. Mereka adalah dua orang laki laki yang tak pernah berbohong padaku.
Dalam sehari, tiga kali aku bolak balik dari ladang ke pondok. Padahal aku harus melewati dua perbukitan untuk menuju bukit yang ketiga ini. Selama bolak balik itu aku hanya memenuhi tubuhku dengan air sumur yang aku simpan di jerigen kecil dan makanan sisa sisa rombongan Haji Abbas yang ternyata datang juga mencariku di ladang. Tapi aku hanya sempat melihat punggung mereka. Haji Abbas, pak Mu’i dan tiga orang lainnya yang aku tidak sempat perhatikan. Entah siapa mereka bertiga. Ketika mereka benar benar sudah tak terlihat dan ladang mulai lengang, aku masih saja meringkuk di lekukan tanah punggungan. Aku takut Haji Abbas meminta bantuan orang untuk diam di suatu tempat tersembunyi, sengaja menunggu aku datang. Setelah setengah jam berlalu dan aku merasa benar benar yakin suasana aman, baru aku keluar menuju pondok ladang yang berdinding. Semakin dekat mataku semakin melotot. Apa yang kulihat adalah apa yang tidak ada dalam pikiranku. Pondok berdinding ini terkunci oleh gembok besar dari kuningan. Aku langsung lunglai. Rasa lelah, haus, lapar dan merasa bodoh, semakin membuat aku tak bisa mencari jalan keluar. Sekarang ini yang aku butuhkan bukan mencari solusi, tapi mencari logistik. Tentara saja akan kalah perang bila logistiknya diserang. Tiba tiba mataku memandang sesuatu. Dan akupun tertawa meledak. Tawa perdana sejak sore kemarin. Menyadari aku sudah bisa kembali tertawa lepas, akupun semakin tertawa. Tawa yang datang tak diundang itu muncul lantaran tidak jauh dari aku ada piring seng bermotifkan bunga bunga dengan warna mencolok. Bukan motif piring itu yang membuat aku tertawa, tapi isi di dalam piring. Di sana tergeletak manis beberapa ubi jalar yang sudah digodog. Benar benar seperti ada di restoran siap saji aku saat ini. Tentu saja aku melahapnya sambil tetap tertawa setiap kali ada jeda mengunyah. Begitu seterusnya sampai hanya menyeringai. Pak Mu’i benar. Hal hal seperti inilah yang membuat aku semakin mencintai hutan rimba. Sebuah keterkejutan yang terjadi begitu saja di luar rencana kita.
Aku memilih duduk bersandar di pintu pondok berdinding sambil menikmati batang rokok terakhir. Bungkusnya tidak aku buang begitu saja, melainkan aku kantongi di saku. Apapun bisa bermanfaat bila kita ada di dalam hutan, pak Mu’i juga pernah mengatakan itu. Tiba tiba saja terlintas sesuatu di otakku. Bukankah aku tidak kembali lagi di pondok berdinding ini. Bagaimana jika aku rusak saja pondok ini untuk bisa mengambil barang di dalamnya? Tapi bagaimana aku mampu untuk merusaknya jika yang membuat ini adalah Haji Abbas. Ibaratnya jika ada orang yang memaksa aku untuk membunuh Haji Abbas dengan pistol, biarpun Haji Abbas sedang tertidur pulas, aku tidak akan pernah bisa membunuhnya. Ini bukan masalah takut atau tidak. Tapi tentang rasa hormat. Dan aku menghormati Haji Abbas, saat ada maupun saat beliau sedang tidak ada di dekatku. Aku jadi tertawa terpingkal pingkal membayangkan diri ini berjalan mengendap endap dengan pistol ditangan sambil mendekat ke arah Haji Abbaas yang tertidur. Tawaku semakin tak terhenti ketika kusadari sebentar lagi aku akan kembali ke tempat dimana karung dan tas aku tinggalkan. Akulah orang tersial di dunia. Aku membatin ini dengan tawa yang meledak, hingga tubuhku terguncang. Tiba tiba terdengar sebuah suara keras.
“Graaaggg…!!!”
Suara yang datangnya di samping telinga kananku ini sukses membuat aku diam tak lagi tertawa. Aku mencoba mencari cari dimana asal suara itu. Pastinya itu bukan suara tulang punggungku yang retak. Akhirnya aku dapati juga penyebab suara itu. Nanar mataku melihat kenyataan bahwa engsel gembok melonggar. Pakunya tidak kuat menahan punggungku yang selalu bergerak naik turun dan sesekali mengguncang manakala tertawa. Sedikit saja aku menarik engsel itu, dan pintu yang modelnya seperti pintu di rumah rumah jepang ini dengan leluasa dapat aku buka. Kali ini tawaku meledak lebih keras dari sebelumnya. Itu semua karena apa yang ada di depanku saat ini. Pintu terbuka dengan gembok kuningan yang masih terkunci rapat. Bukankah ini sebuah lelucon yang begitu layak dinikmati?
Perjalanan pertama kembali ke tempat dimana aku menaruh barang barang aku manfaatkan untuk membawa golok yang aku selipkan di pinggang, jurigen jurigen kecil yang aku ikat jadi satu dengan tali tampar kecil yang tadinya tali ini disimpan bersama sebuah jangkar kecil. Persiapan barangkali ada timba yang terjatuh di dasar sumur. Aku potong pendek sesuai kebutuhan. Sisanya aku bawa dengan jangkarnya. Aku masukkan saja ke dalam tumpukan timba paling atas, kujadikan satu dengan mangkuk plastik berisi aneka paku dan dua martil. Sengaja aku bawa yang paling besar. Tidak itu saja, aku menambahnya dengan cetok, pisau kecil, dan satu set panci tentara berbentuk kotak yang juga ada wadahnya. Jurigen jurigen kecil yang sudah terikat jadi satu aku tambahi dengan mengikatkan satu jurigen besar. Jurigen besar satunya lagi sedianya akan aku bawa dengan tangan saja. Nah, ikatan jurigen itu aku selempangkan ke pundak. Ternyata nyaman. Sementara tangan kiriku memegang satu jurigen besar yang tak ikut aku ikatkan, baru kemudian tangan kananku memegang cantolan timba terbawah. Timba besar bertumpuk lima ini berat bukan lantaran bertumpuk, tapi kumanfaatkan untuk mewadahi banyak barang kecil kecil. Terakhir aku menambahkan celurit, gergaji dan alat pengasahnya. Kuatur sedemikian rupa hingga aku yakin tak akan terjatuh. Kemudian berangkatlah aku setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk menutup pintu pondok. Tentu saja aku menutupnya biasa. Perjalanan yang ribet dan melelahkan. Setiap kali aku haus, aku berhenti dan meneguk air dari salah satu jurigen kecil. Begitu seterusnya hingga aku sampai di tujuan. Lelah tapi otak ini tidak berhenti memikirkan keadaan pondok yang pintunya belum lagi aku kunci itu. Pada akhirnya aku lebih memilih untuk kembali lagi ke ladang. Kalaupun nanti aku lelah, aku akan kembali dengan tidak membawa apa apa. Tapi setidaknya aku sudah memperbaiki engsel pondok berdinding. Itulah tekadku, dan aku benar benar berangkat kembali ke ladang. Padahal aku perkirakan ini sudah hampir waktu ashar. Hanya berbekal satu jurigen kecil berisi sedikit air, aku berangkat. Kali ini sedikit berlari. Bagaimanapun, aku harus berpacu dengan tenggelamnya mentari. Setibanya di ladang, tanpa melihat keadaan sekitar seperti yang sebelumnya aku lakukan, aku langsung menuju sumur. Tanpa kewaspadaan sedikitpun. Padahal ini fatal bila kita memutuskan untuk hidup di hutan. Aku baru menyadarinya sesaat setelah membasahi seluruh tubuh ini dengan bertimba timba air.
Bagaimana ini, apakah aku hanya membereskan engsel gembok dari luar setelah itu kembali? Ah, tanggung. Belum tentu besok aku akan bisa kembali ke ladang ini. Tapi melihat barang barang yang ada di dalam, mustahil aku kuat membawanya. Ada dua cangkul, dua linggis, sebuah pecok, dua gagang cangkul, martil kecil yang sengaja aku tinggalkan untuk membenahi engsel, dan yang terakhir adalah matras. Kalaupun aku memaksa, aku tak ingin bermalam di tengah jalan sementara barang barang disana tak ada yang menjaga. Siapa saja bisa melintas disana, bukankah ini bukan lagi areal perkebunan?. Nah, setidaknya jika aku ada bersama barang barang itu, orang lain akan tahu bahwa barang barang itu ada pemiliknya. Ah, benar benar tanggung, sekalian saja aku bawa barang barang ini. Apapun yang terjadi terjadilah.
Entah mendapat semangat darimana, tiba tiba aku sudah mengeluarkan semua barang barang itu. Aku membeber matras, dan semua barang aku letakkan diatas matras secara rapi dan bertumpuk menjadi satu, termasuk piring seng tempat ubi jalar tadi. Hanya martil kecil saja yang tidak aku kumpulkan jadi satu. Kemudian aku bungkus semua itu dengan matras seperti membungkus jajan tradisional dengan daun pisang. Tinggal mengikatnya. Dan, aaaagggghhhh… Kenapa tidak aku tinggalkan saja tadi tali tampar pengikat jangkar itu? Aku baru menyadari kalau di sekitarku tak ada satupun yang bisa aku gunakan sebagai pengikat. Tak mungkin aku kembali hanya untuk mengambilnya. Itu baru gila namanya. Meratap dan hanya berdiam diri juga sama sekali tidak membantu. Akhirnya aku mengelilingi seluruh ladang. Tak kutemukan juga tali sehelaipun. Sementara di ufuk sana awan tak lagi seputih sebelumnya. Sesekali aku memandang ke arah sumur. Ah, tidak, pikirku. Tak mungkin aku merusak tali timba yang terbuat dari karet ban bekas. Lagian itu terlalu besar dan kurang lentur. Pada saat pusing pusingnya itu, secara tak sengaja aku memandang ke arah jari manis tangan kiriku. Dapat kulihat jelas cincin berwarna paduan antara coklat tua dan coklat muda. Dari cincin aku jadi ingat si kecil. Lalu teringat akan luka di punggungku. Begitu seterusnya, sambung menyambung, sampai akhirnya aku ingat pada kulit pohon pisang yang di iris tipis tipis. Serta merta aku berlari menuju lereng di balik ladang, tempat dimana aku menanam pohon pisang yang sekarang besar batangnya rata rata sama dengan lenganku. Ada juga yang lebih besar.
Akhirnya selesai juga aku mengikat matras dengan tali dari kulit pohon pisang yang kuambil manual dengan ujung ujung kuku tangan. Sama sekali tidak aku iris tipis tipis. Biarlah, asal bisa jadi pengikat. Sebelum aku mengangkut barang barang terakhir, dengan cermat kubetulkan engsel yang terlepas karena kehendak Tuhan ini. Kupasang kembali pakunya, tapi dengan paku yang lebih besar, yang memang aku sediakan sedari tadi. Barulah aku mulai mematuknya dengan martil kecil. Terlihat lebih kokoh dan lebih kuat. Memandang pondok berdinding rapat dan bergembok di depanku, kembali aku tak kuasa untuk menahan tawa. Sambil memasukkan martil kecil ke dalam saku belakang celana pendek yang aku pakai, masih saja aku tertawa. Begitupun saat meyongsong buntalan berlapis matras yang kubawa dengan cara menggendong di bahu, tetap saja aku tertawa. Semua barang yang aku bawa ini sama sekali bukan hasil pencurian. Tuhan yang memberikan ini padaku. Baru kalau aku merusak pondok atau mematahkan gemboknya secara sengaja, itu bisa dikatakan mencuri. Sedang ini tidak seperti itu. Tak lama kemudian aku mulai melangkah. Masih ada jurigen kecil yang aku selipkan menyilang di punggungku dengan tali yang terbuat dari kulit pohon pisang. Kali ini berisi penuh air. Oleh karena itulah aku merangkaikan banyak sekali tali dari kulit pisang. Aku rangkap rangkap dan sambung menyambung hingga menjadi satu rangkaian rumit dan terkesan awut awutan. Tak apalah asal kuat menyangga jurigen kecil ini.
Ternyata membawa muatan berat dengan cara dibungkus jadi satu dalam sebuah tempat itu lebih efisien daripada membawa barang ringan tapi berpencar dan ribet tidak karuan. Metode yang memudahkan ini tambah membuat aku semakin tersugesti untuk melangkah lebih cepat, tidak ingin kalah dengan langkah langkah awan yang berarak. Terus saja aku melangkah sambil sesekali mendongak ke ujung langit yang dagrasi warnanya terkesan lebih cepat dari biasanya. Bahkan warna jingga di ufuk sana sudah bertengger pada saat perjalananku belum lagi separuh. Kenyataan ini memaksa aku untuk tetap melangkah tanpa sekalipun beristirahat, bahkan sekedar menyandarkan punggung ke pohon. Sekalipun begitu aku tak berani berlari. Langkah langkah ini saja aku gerakkan dengan sisa sisa tenaga yang hanya berbahan bakar ubi jalar.
Hari sudah meremang saat aku tiba di puncak bukit terakhir. Tinggal satu lereng menurun ini yang harus aku lalui. Lemas, lunglai, kehabisan tenaga dan lapar, itulah keadaanku kini. Belum lagi keringat dingin tak henti mengucur deras di sekujur tubuh. Mata berkunang kunang. Air di jurigen kecil masih ada setengah, tapi tenaga untuk meraihnya telah habis sama sekali. Tetap saja aku menguat nguatkan diri menuruni lereng terakhir, setapak demi setapak. Mata aku paksa bekerja keras mencari tumpuan yang aman di saat remang akan berganti gelap gulita. Kadang aku melangkah sambil terpejam. Mataku terbuka kembali saat kakiku terantuk sesuatu. Sedetik kemudian, bruakkkk..!!! Kulemparkan begitu saja buntalan berbalut matras yang kugendong di pundak dengan kedua tangan. Buntalan itu tergeletak di tanah tanpa sempat bergerak, pertanda berat. Aku masih tetap meneruskan perjalanan dengan sangat terseok di hari yang sudah gelap. Walau baru saja terbebas dari beban berat di pundak, tubuhku masih terasa remuk. Rasa itu melebur dengan rasa remuk redamnya kepalaku yang seperti habis dipukul dengan sepuluh cangkul yang diayunkan para atlet fitness.
Kuraih tali jurigen di dada dan kucoba untuk melepaskan diri dari barang yang semakin lama semakin terasa akan membunuhku ini. Dengan susah payah aku melepas tali dan jurigen yang masih berisi air kurang dari setengahnya. Kemudian aku jatuhkan begitu saja jurigen itu bersama dengan jatuhnya langkah langkah kaki. Nasib sama juga menimpa martil kecil yang aku taruh di saku belakang celana pendek yang kukenakan. Kuraih dan kugeletakkan tanpa tenaga. Saat tak ada lagi yang bisa aku jatuhkan, baru kemudian giliranku aku menjatuhkan diri. Tanpa suara, tanpa gaya dan tanpa makna yang pasti.
Aku tak sadarkan diri saat bintang baru saja menunjukkan cahaya benderang, pertanda malam benar benar gulita. Padahal seharusnya aku sudah bisa melihat daun daun pohon kirai payung yang tumbuh di tanah curam belakang puing puing pondok beratap seng. Tapi aku memilih untuk tidak sempat memandangnya dalam keremangan yang tersisa. Semua gelap gulita, lebih gelap dari pekat malam yang masih berhias cahaya bintang. Dalam ketak-sadaranku, aku tidak bisa melihat apa apa. Aku tidak bisa melihat segumpal kebencianku pada si bangsat. Jangankan itu, melihat senyum manis Ning saja tidak. Saat ini, dalam kegelap gulitaanku, hanya Tuhan satu satunya yang tahu, apakah aku akan dibangunkan-Nya kembali atau tidak.
*******
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar