Selasa

Jangan Panik Aku Tidak Gila #11

Dua belas jam lebih aku tersesat dalam kegelapan. Tanpa bunga tidur sama sekali menghias kegulitaanku. Kalaupun aku sempat bermimpi, sulit begiku untuk mengingatnya kembali. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah sebuah kebingungan. Ada dimana kiranya aku sekarang? Mengapa aku tergeletak di atas tanah? Aku bekerja keras hanya untuk mengingat ingat kembali, sambil kedua mataku menyapu pandangan ke arah berserakannya ranting dan dedaunan yang keringnya dibasahi oleh embun. Serakan itu sangat dekat dengan pandanganku. Hanya beberapa inchi saja. Ini semua karena kepalaku masih membujur dengan tanah dalam posisi tubuh yang tidur tengkurap.
Tak juga aku berusaha mengerahkan tenaga untuk bangkit dan melihat sekeliling. Aku terlalu malas untuk beranjak. Kalau bukan karena rasa dingin yang semakin menyusup tulang, tak akan aku memaksa diri untuk sekedar mengangkat tubuh yang basah kuyup oleh embun. Bersusah payah aku membujuk badan ini membuat gerakan gerakan kecil, akhirnya bisa juga aku mengajaknya untuk duduk bertumpukan pantat, dengan kedua tangan mendekap erat kaki yang aku tekuk hingga lengan tangan bersentuhan dengan betis. Setelah aku dapat menguasai keseimbangan tubuh, barulah aku menugaskan kedua mataku untuk menyapukan pandangan ke segala arah. Dan pada sapuan yang terakhir, kudapati rerimbunan daun kirai payung tak begitu jauh dari tempat aku duduk bersendekap. Barulah kemudian otakku bisa merangkai ingatanku yang tercecer cecer. Ternyata aku dibangunkan-Nya kembali. Itu sama artinya bahwa aku masih hidup. Dengan kata lain, Tuhan mengingatkan aku untuk sekedar bisa memahami, bahwa tugasku di dunia belumlah selesai. Ini adalah sebuah instruksi, pikirku. Jika instruksi dari seorang jenderal perang saja akan dilaksanakan sebaik baiknya oleh jajaran dibawahnya, bagaimana jika instruksi ini dilayangkan oleh Dia Yang Maha Agung?

Pada akhirnya aku memaksa juga untuk berdiri. Tulang tulang kaki dan badan aku paksa bergerak dan sebisa mungkin mendekat ke tempat menggeletaknya jurigen kecil yang masih menyisakan air. Rasa penat, remuk, lunglai dan malas beranjak kemanapun, terkalahkan oleh dingin yang semakin menguasai tubuhku. Selain itu juga aku tak tahan dengan lapar yang tiba tiba datang mengancam keberadaanku. Ditambah lagi dehidrasi tingkat tinggi. Semua itu akan semakin mudah membunuhku manakala aku hanya memilih diam dan mengutuk diri. Tidak, aku tidak ingin berakhir seperti itu. Kalaupun aku harus mati di tempat seperti ini, biarlah aku mati pada saat berjuang untuk bertahan hidup. Setidaknya aku mati disaat beraktifitas.

Kini aku sedikit bisa menenangkan lalu lintas pikiran yang tadinya kacau balau. Ini semua karena aku telah mengaliri tubuhku dengan beberap teguk air jurigen. Sengaja aku tidak berfoya foya dengan air yang tinggal sedikit. Hari masih panjang sementara aku belum tahu dimana harus mendapatkan air selain kembali lagi ke ladang. Padahal memikirkan untuk kembali lagi ke sumur ladang saja sudah membuatku berkeringat dingin. Beberapa detik lamanya aku bingung memikirkan apa yang hendak aku perbuat. Lalu kuputuskan untuk membuat perapian saja. Jangankan air, masalah api saja aku harus ekstra irit. Di sini aku sendirian dan jauh dari masyarakat, sementara korek yang aku miliki hanya yang dikantong ini. Korek satu satunya tempat aku menaruh pengharapan besar akan percik cinta dan kehangatannya. Dengan membuat perapian, paling tidak dalam sehari aku hanya sesekali saja memantiknya. Bukankan itu bagus untuk menghemat gas? Sambil berpikir sambil melaksanakannya, itu yang aku lakukan. Tangan tanganku mulai mengumpulkan ranting ranting kecil yang aku perkirakan paling sedikit kandungan airnya dari semua ranting yang kesemuanya basah oleh embun semalam. Rupanya dikala aku terlelap, kabut sedang menyelimuti curah lereng yang ada reruntuhan pondoknya, beratap seng dan masih berusaha bediri tegak tepat di dekatku. Selain ranting, juga kukumpulkan dedaunan. Kali ini aku mengambil dedaunan yang ada di dalam pondok. Daun daun ini masihlah kering, karena terlindung oleh atap pondok. Semua aku kumpulkan jadi satu di sebelah pondok yang hanya berjarak lima langkah saja. Aku mulai memantik korek beberapa kali, agak susah karena kondisinya membasah oleh embun. Selain itu juga saat kemarin aku mandi di ladang sumur, korek ini ternyata masih ada di saku.

Beberapa kali aku menggosok gosoknya dengan bandana dari Ning, kemudian coba memantiknya. Belum berhasil. Dadaku mulai bergetar dag dig dug. Kucoba kembali dan lagi lagi belum berhasil. Pada akhirnya, disaat pikiranku sudah ada di tepi keputus asaan, aku mencobanya kembali. Jress.. Sontak aku tersenyum simpul. Api yang berhasil diundang oleh korek api satu satunya ini segera aku bakarkan pada kertas kering bekas bungkus rokok yang sudah aku robek robek memanjang. Cepat cepat api yang sudah ada di kertas aku arahkan pada tumpukan ranting mamel dan daun daun kering. Dengan konsentrasi penuh aku berjuang sepenuh hati untuk membuat perapian di pagi yang belum lagi dihampiri sinar mentari. Sekian lama jari jari ini gemulai menari membenahi letak ranting dan daun daun dengan pandangan mata yang tak kalah gemulai untuk siaga dan lentik menari di atas tumpukan di depanku. Dan perapian yang kuharapkan pun jadilah. Api mulai membakar daun daun kering dengan sesekali menjilat embun di ranting, memaksanya untuk segera kering dan terbakar. Merasa api sudah bisa sedikit mandiri, aku beranjak meninggalkan tumpukan yang kini berasap untuk segera mengumpulkan lagi ranting ranting yang berceceran di sekitar pondok. Semakin kutumpuk dengan ranting, semakin mengepul asap yang ditimbulkan. Bersamaan dengan habisnya daun daun kering, proses perapian tak lagi seperti sebelumnya yaitu dengan menampakkan jilatan jilatannya. Kali ini tidak ada jilatan api melainkan hanya asap tebal yang mengepul pertanda perapian butuh dorongan udara. Melihat ini aku segera membongkar bungkusan matras yang berisi cangkul dan lainnya. Segera aku ambil piring seng bekas ubi jalar kemarin, lalu merubah fungsinya dari wadah menjadi kipas. Tak henti hentinya aku mengipas perapian dengan piring seng di tangan kanan. Sesekali aku pindah piring itu ke tangan kiri. Kadang juga kuletakkan begitu saja manakala aku merasa perapian butuh diberi tambahan ranting lagi. Begitu seterusnya, sampai api benar benar menjilat rakus apa saja yang aku taruh di atasnya. Kini tak lagi ranting yang aku taruh di atas jilatan api, tapi kayu kayu berembun sebesar ibu jari tangan orang dewasa. Dengan golok tajam di tangan, saat ini aku mulai mencari kayu yang besar. Tidak sulit mencari kayu yang kumaksud di lereng yang kutinggali. Semua tersedia dan berserakan begitu saja. Bahkan golok di tanganku hanya menjadi pelengkap kejantananku saja. Aku urung memanfaatkannya. Dua kayu sebesar pahaku, yang dua duanya sepanjang satu meter lebih, aku letakkan di kedua tepi perapian. Kemudian aku menambah lagi beberapa kayu sebesar lengan yang aku taruh di antara dua kayu besar. baru setelahnya aku mulai mengipasnya lagi dengan piring seng dalam waktu yang lumayan lama. Kalau tidak karena rasa lapar dan haus yang kembali menyerang, mungkin aku masih terhanyut oleh aktifitas yang menenangkan pikiran dan melembutkan perasaan hati ini. Ya, membuat perapian memang menyehatkan hati, tapi sama sekali tidak berarti apa apa jika kebutuhan yang lebih utama belum aku tunaikan. Bagaimanapun, pagi ini aku harus berusaha mencari makan dan mencari dimana ada mata air.

Sebelum berangkat mencari air dan sesuatu yang bisa kumakan, sengaja aku menata semua barang barang, termasuk diantaranya adalah sebuah tas pemberian ibuk pemilik warung yang belum aku tahu apa isi di dalamnya. Karena penasaran, serta merta aku membukanya. Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui apa isi di dalam tas kain itu. Isinya adalah sesuatu yang hendak aku cari. Apalagi kalau bukan makanan. Dan aku tertawa, sebuah tawa riang di pagi yang berhiaskan asap perapian buatan tanganku sendiri. Di dalam tas itu ada kulihat empat kotak roti kering yang padat, yang masing masing kotaknya terdapat dua belas potong. Lalu ada dua slop rokok kretek sama persis seperti rokok yang biasa pak Mu’i hisap. Yang terakhir adalah sebotol madu madu. Roti, rokok dan madu. Di situasi yang seperti ini, ketiga barang itu bagiku lebih berharga dari sekedar delapan ribu ton emas yang tidak bisa langsung dimakan. Masih dengan tertawa riang aku menikmati sepotong roti kering, seteguk air jurigen, sesrupt madu dan sebatang roko yang baru saja aku nyalakan dengan memanfaatkan perapian. Aku menyaakannya ala laki laki sejati. Rokok kuletakkan di bibir, kemudian salah satu tangan mengambil lonjoran kayu yang ujungnya membara. Ujung kayu itu aku tempelkan ke ujung rokok hingga terlihat mesra saling berciuman. Tugasku hanya tinggal menghisap saja dan menyalalah rokok pemberian ibu berhati mulia. Seorang ibu yang dari gurat gurat bibirnya kutemukan sebuah pelajaran hidup sangat berharga. Apapun yang terjadi, kita harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Itu yang ibu pemilik warung ajarkan padaku.

Sudah kucari mata air di sekeliling lereng, bahkan hingga mentok ke bawah tapi tak juga kutemukan. Padahal air di jurigen kecil kecil tinggal beberapa teguk saja. Dikala mentari telah menyinari pucuk pucuk daun di lereng sekitar pondok, aku memilih untuk mencari mata air lebih ke dalam hutan. Sayangnya, aku tak juga menemukan mata air bahkan hingga sang surya sudah ada tepat di atas kepala. Sedangkan air terakhir di jurigen kecil sudah aku teguk hingga tetes terakhir. Tampak sudah di kedua kelopak mataku bayang bayang akan datangnya kesengsaraan. Satu satunya jalan aku harus kembali lagi ke ladang.

Aku mencoba menghibur diri dan mengubur bayang bayang perjalanan kemarin dengan pikiran bahwa ini hanya masalah mengambil air dan hanya sekali saja kesana, setelah itu tidak lagi. Aku terus menghibur diri dengan pikiran yang menyenangkan sampai akhirnya aku benar benar melangkah ke arah ladang. Barangkali ini yang namanya kekuatan pikiran. Tak berbekal air sedikitpun aku menuju ladang. Yang aku bawa hanya serenteng jurigen yang aku ikat dengan tali tampar, lalu ku selempangkan begitu saja di pundak. Jika dilihat dari belakang, punggungku seperti tertutup jurigen. Aku juga membekali perjalanan ini dengan tiga potong roti kering yang akan sangat sulit jika aku makan tanpa air. Kubawa juga pisau kecil yang kemarin juga aku ambil dari pondok ladang.

Bila diukur dari ujung pisau dan ujung gagang, pisau ini hanya sepanjang ujung jempol dan ujung jariku yang merentang. Yang aku senangi dari pisau ini tak lain adalah wadahnya yang terbuat dari kulit sapi. Pak Mu’i biasa menyebutnya kalep. Kalep atau kulit sapi ini bukan hanya mempermanis bentuk pisau tapi juga membuatnya aman saat aku menyelipkannya di celah celana pendek. Apalagi tepat ditengah tengah antara gagang kayu dan besi pisau, ada semacam kuncian kalep yang membuat pisau dan wadahnya tidak akan terpisah kecuali jika aku membuka kuncian itu. Kuncian itu bukan berbentuk kancing seperti pisau para petualang di film film yang bentuknya gaul dan bergerigi diatasnya. Bisa dikatakan kuncian pisau yang seperti ini sudah berbau tehnologi tinggi dan terkesan tinggal pencet saja. Sedangkan kuncian pisau kecil ini tidak seperti itu, melainkan hanya sekedar tali saja. Tali ini juga terbuat dari kalep dan panjangnya hanya dua kali panjang pisau. Sudah disediakan beberapa ruas jalur untuk tali pisau yang memungkinkan antara pisau dan wadah tidak akan bisa terlepas kecuali disengaja. Kadang pisau ini aku selipkan di belakang, kadang kuselipkan menyilang persis di bawah pusar, sesekali juga aku selipkan di samping. Tergantung suasana hati dan terganting aktifitas apa yang aku lakukan. Seperti sekarang ini, saat aku melakukan perjalanan naik turun bukit, pisau kecil ini aku selipkan di belakang persis di atas pantat. Aku semakin menaruh perhatian dengan pisau ini bukan karena bentuknya. Kalau masalah bentuk, pisau ini bisa dikatakan sangatlah sederhana. Tidak jauh beda dengan pisau para penjual buah durian. Aku senang dengan kesederhanaan bentuknya. Terlihat sipembuat lebih menonjolkan kekuatan pisau daripada hanyaa sekedar mengedepankan model. Gagang kayunya juga sederhana. Tapi terlihat kokoh dan kuat. Lebih meyakinkan lagi saat kita tahu persis di tengah tengah gagang kayu tertembus oleh ekor besi pisau sampai ujung gagang. Padahal tidak ada kesan bahwa gagang itu pernah dimasuki mata bor. Ini terlihat dari kerapatan kayu dengan besi pisau yang menembus. Hanya sesederhana itu. Bagian atas pisau yang tumpul juga tidak bergerigi, sama saja dengan model pisau dapur. Bedanya, jenis besi pisau ini terlihat bukan besi sembarangan. Ini seperti pisau pesanan dan dibuat dengan edisi terbatas. Boleh jadi ini adalah satu satunya. Kalau pisau dapur kan sudah masuk pada golongan barang yang di produksi secara massal oleh orang yang punya modal besar. Mana ada barang hebat yang lahir dari proses industri seperti itu. Barang barang produksi massal seringkali kurang memperhatikan kualitas bahan. Bahkan terkadang tidak memperhatikan kualitas sama sekali. Dan yang paling mendasar, barang barang seperti itu tidak dikerjakan dengan cinta. Hanya dibuat untuk memenuhi permintaan pasar. Tak akan ada cinta di suasana yang hanya mementingkan sisi keuntungan saja.

Kondisi ladang lengang. Anehnya ada perapian persis di samping pondok tak berdinding buatan pak Mu’i. Satu satunya timba yang selalu diletakkan di sekitar sumur dan sengaja tidak aku bawa itu sekarang ada di emperan pondok berdinding, persis di sebelah pondok tak berdinding buatan pak Mu’i. Aku terus memperhatikan kondisi ladang di tempat yang sama saat kemarin aku juga mengintai ladang. Sebuah persembunyian yang memanfaatkan cekungan tanah serta semak di atasnya. Mataku awas menyapu apa saja yang ada di depan, memperhatikan dan mempelajari keadaan. Selain perapian yang masih berasap dan timba untuk menyiram tanaman yang berpindah tempat, serta jejak yang menandakan bahwa ladang ini tadinya habis disiram, tak kutemukan lagi keganjilan di sekitar ladang. Begitupun aku masih waspada sebelum benar benar mengendap ke arah sumur. Lucu juga rasanya, mengendap di siang yang terang benderang, mencoba bersembunyi dari pandangan manusia, padahal menyembunyikan diri dari pandangan sang surya saja aku kesulitan. Lagipula tak ada seorangpun di sekitar ladang, kenapa aku harus mengendap endap? Tapi pikiran itu hanya membuat aku semakin berjalan mengendap dan waspada. Kewaspadaanku juga tercermin dari pijakan kaki yang sama sekali tidak menginjak tanah becek karena khawatir meninggalkan jejak.
Serenteng jurigen penuh air sudah di punggungku, tapi itu tak membuatku beranjak dari pondok tak berdinding dekat timba yang tak biasanya terletak disini. Aku lebih memilih mengunyah satu lagi roti kering. Hanya sepotong saja kusediakan untuk pejalanan pulang. Ya, kali ini aku akan membiasakan diri menyebut kata pulang, jika harus kembali ke reruntuhan pondok yang belum lagi coba aku benahi. Menurutku memang lebih bijaksana menyediakan air daripada mendahulukan memperbaiki pondok. Ah, bukan, bukan pondok, tapi rumah. Yayaya.. kata kata rumah lebih merdu di telinga daripada hanya sekedar pondok saja. Bila keduanya dirangkai jadi satu, akan lebih terdengar merdu di telinga. Pulang ke rumah, bukankah itu merdu? Semerdu suara Ning.

Kinilah saatnya untuk pulang ke rumah. Aku membatin itu sambil mulai melangkah menuju rumah yang belum lagi ada pekarangannya. Ohya, bukankah sebuah rumah membutuhkan pekarangan? Sambil melangkah kaki aku memikirkan itu. Pekarangan seperti apa yang kira kira membuat Ning betah untuk tinggal selamanya denganku? Yang pasti syarat utama pekarangan rumah adalah adanya beberapa tanaman disana, seperti pekaragan para warga di Curah Nongko. Kali ini mataku mulai liar memandang ke sekeliling ladang. Tanaman apa yang Ning inginkan? Aku kebingungan memikirkan pertanyaan itu, kemudian tertawa tawa. Tak mungkin aku mengerti tanaman apa yang Ning inginkan jika aku tak bertanya langsung padanya. Dan itu adalah sebuah masalah besar bagiku. Baiknya aku ganti saja pertanyaannya menjadi seperti ini. Tanaman apa yang ingin aku persembahkan pada Ning? Nah, ini dia. Pertanyaan baru ini membuat mataku berbinar. Bukan hanya mataku saja sebenarnya yang berbinar, seluruh organ tubuh yang ada di diriku juga ikut berbinar terang. Padahal aku tahu, untuk membuat sebuah pekarangan aku butuh air. Dan itu adalah sebuah masalah utama di tempat tinggalku yang baru, sebuah lereng tandus. Bahkan satu satunya pohon di sekitar rumah yang belum lagi aku perbaiki itu hanya ada satu pohon kirai payung. Selebihnya ada beberapa, tapi letaknya tidak saling berdekatan dan semua pohon pohon itu jaraknya jauh dari rumah. Tapi aku sudah terlanjur ingin mempersembahkan yang terindah buat Ning. Dan untuk orang yang aku cintai, apapun rintangannya tetap kan ku jalani. Cinta adalah Ning, dan Ning adalah cinta itu sendiri.

Sepulangnya di rumah, awan di langit sudah jingga. Ini lantaran aku terlalu banyak berhenti di tengah perjalanan. Bukan untuk apa apa, sekedar mencari tahu keadaan sekitar. Setidaknya saat ini aku lebih paham tanaman apa saja yang tumbuh antara ladang sampai rumah. Kabar buruknya, selama perjalanan tak kutemukan mata air. Ada sekitar lima tempat aku tengarai tadinya adalah mata air tapi sekarang sudah tak lagi meneteskan air. Beberapa lainnya hanya berupa air yang merembes saja, juga beberapa air dalam genangan. Pak Mu’i tidak pernah meneguk air dalam genangan tapa arus. Berarti aku juga tak akan minum air yang seperti itu. Hati hati aku menaruh serenteng air setelah sebelumnya kutempatkan sepuluh tunas pisang di dekat pohon kirai payung. Setelah istirahat sebentar, aku kembali bangkit ke arah kirai payung, membawa tujuh tunas pisang. Ketujuh tunas itu aku bawa turun ke bawah lereng sambil pundakku memanggul cangkul. Sore itu juga aku menanam ketujuh tunas pisang itu, di dasar lereng perbukitan pelataran rumah. Ah, kadang tertawa juga aku saat kembali menyadari, pondok reyot ini aku sebut rumah. Aku menanam tunas tunas itu begitu bergairah, begitu sungguh sungguh, dan begitu penuh cinta. Belum apa apa aku sudah membayangkan saat ini Ning memperhatikan aku dari atas dengan pandangan mata khawatir. Pikiran ini semakin membuat aku bersemangat menanam tunas itu satu demi satu, sementara semak belukar di sekitarnya aku bersihkan. Pada saat semuanya selesai, aku berbinar menatap tujuh tunas pisang untuk Ning. Biarlah ketujuh tunas ini aku percayakan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tahu, bahwa ini semua untuk Ning, perempuan yang jilbabnya membuat Tuhan tersenyum tapi juga membuat para lelaki hidung belang memaki maki.

Tiga tunas yang tersisa sedianya akan aku tanam di dekat rumah saja. Aku masih bisa berbagi air jika untuk tiga tunas pisang, pikirku sambil mulai melangkahkan kaki ke atas. Baru beberapa langkah aku sudah dikejutkan oleh suara sesuatu. Kudengarkan kembali dengan penuh seksama suara yang mencicit cicit itu. Sepertinya suara anak burung yang sangkarnya terjatuh. Aku cari cari letak sumber suara itu sampai akhirnya ketemu. Ternyata bukan anak burung. Tapi entah apa aku juga tidak tahu. Seperti anjing tapi bukan anjing. Warnanya gelap kecoklatan, seperti warna kucing kampung. Tapi ini berbeda, warna kesemuanya bermotif sama dan teratur, tidak seperti warna kucing yang acak. Seandainya ada pak Mu’i di sampingku, aku kan tahu bahwa hewan hewan ini bernama Luwak. Jumlahnya tiga ekor dan kesemuanya sama sama belum bisa membuka mata. Masing masing dari mereka mengeluarkan bunyi mencicit cicit. Barangkali mereka lapar, pikirku. Tapi bagaimana aku bisa menolong mereka? Apakah aku tinggalkan saja hewan hewan kecil ini sampai mati? Sebenarnya aku ingin benar meninggalkan mereka dan kuserahkan saja nasib mereka pada Tuhan. Tapi kembali aku berpikir, bukankah mereka bukan tumbuh tumbuhan? Namun kalaupun mereka akhirnya bersamaku, apakah hidupnya tidak lebih sengsara? Pada akhirnya aku lebih memilih untuk menjauh saja dari tempat mereka mencicit cicit. Apa kata Tuhan, batinku. Tapi hanya beberapa langkah saja. Langkahku terhenti saat salah satu telapak kakiku menginjak sesuatu. Saat kuinjak rasanya lembut tapi tepinya ada yang kaku dan sedikit tajam. Sedangkan tepi berikutnya rasanya aneh dan lembek. Lantaran selama berjalan aku tidak pernah menginjak sesuatu yang seperti ini, aku cepat tanggap dan mencari tahu apa sebenarnya yang aku injak ini. Mataku terbelalak, melotot dan beberapa saat sulit menelan ludah. Aku menginjak sebuah kaki berbulu yang sudah lepas dari betisnya. Dilihat dari bekas darahnya yang sudah membeku, masih bisa dikatakan segar. Dengan tetap kesulitan menelan ludah, cepat cepat aku menghampiri lagi hewan hewan kecil yamg tak henti mencicit. Kuperhatikan kaki mereka tanpa dengan memegang, lalu kubandingkan dengan potongan kaki ditangan kiriku. Sama persis, hanya ukurannya saja yang berbeda. Aku terhenyak dan terhempas pada sebuah peristiwa yang sama. Aku pernah ada di kondisi seperti mereka saat kali pertama mendengar berita tentang kematian orang orang yang kusayangi dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Tentu saja aku paham tentang apa yang mereka cicit cicitkan sekarang ini. Itulah kenapa pada saat aku beranjak ke rumah yang belum lagi aku betulkan, aku tidak sendirian melainkan berempat bersama mereka.

Senang rasanya mendapati kenyataan bahwa mereka tak lagi mencicit. Ini semua karena sebotol madu pemberian malaikat pemilik warung. Aku meminumkannya pada mereka satu persatu. Semula aku kebingungan hendak aku apakan mereka. Sementara suara cicitnya semakin mengingatkanku pada orang orang baik yang satu persatu pergi dari kehidupanku. Dalam kebingungan itu aku menoleh sana sini di hari yang semakin tak lagi terang. Kemudian mataku beradu dengan botol madu. Akupun tertawa. Tapi tak lama setelah itu aku kembali bingung. Bagaimana aku meminumkannya pada mereka? Sementara saat aku coba mendulitkan madu ke jari telunjuk lalu jari yang penuh madu itu aku tempelkan ke mulut mereka, tak ada reaksi yang menandakan mereka meminumnya. Kemudian aku teringat sesuatu. Bukankah pak Mu’i pernah menolong seekor burung yang jatuh di dekatnya dan setelah diperiksa ternyata kaki burung itu terluka. Sepertinya habis tertembak, begitu kata pak Mu’i dulu. Sebelum dia menerbangkan burung itu kembali, dapat aku lihat dengan jelas pak Mu’i memasukkan paruh burung itu ke mulutnya. Barangkali burung ini kehausan, pak Mu’i mengatakan itu ke ke siapa lagi kalau bukan aku. Saat itu yang ada hanya pak Mu’i, aku dan burung itu. Setelah memberinya minum dengan mulutnya, pak Mu’i melepas kembali burung itu. Masih kuingat jelas saat burung itu pada akhirnya bisa kembali terbang. Kenapa tidak aku pergunakan saja cara itu untuk hewan hewan yang mencicit ini? Dan aku benar benar mempraktekkannya, tidak lama setelah masa perenunganku. Itulah yang membuat hewan hewan ini tak lagi mencicit.

Aku meletakkan hewan itu diatas sarung milik haji Abbas yang kulipat lipat. Kemudian kutempatkan hewanhewan yatim itu di sudut rumah yang keadaannya masih porak poranda. Tak mungkin aku memperbaikinya sekarang, badanku butuh bersantai dulu. Hari sudah beranjak malam dan bulan sedang menunjukkan kecantikannya. Ternyata ini malam purnama. Cukup menerangi, apalagi di tempat yang segersang ini. Pucuk pucuk daun kirai payung tampak jelas dari rumah. Aku meraih pisau kecil dan membuat sebuah goresan di tiang rumah bagian samping luar yang tersiram cahaya purnama. Hanya membuat garis vertikal sepanjang satu senti saja. Dan aku membuat dua garis. Harapanku, garis garis ini nantinya berfungsi seperti kerikil penanda hari. Bukan sebuah kalender, hanya sekedar penghitung hari. Di dalam hutan, lebih penting menghitung dan menandai hari daripada hanya sekedar menamai hari hari. Setelah selesai membuat dua garis pertanda sudah dua hari disini, aku meraih sebatang rokok. Tapi tidak segera aku nyalakan, hanya kupegang saja. Beberapa saat kemudian aku menuju ke arah bongkahan kayu bekas perapian. Setelah mengetahui sudah tak ada lagi bara api disana, barulah aku kembali ke arah pondok. Kugelar matras di rerumputan liar yang berhimpitan dengan tiang dan dinding rumah, lalu kunyalakan rokok dengan korek. Baru kemudian aku duduk di atas matras. Sengaja memilih bersandar di tiang sambil menyelonjorkan kedua kaki yang memang pantas untuk aku istirahatkan. Merasa kurang mendapat posisi yang nyaman, aku merombak kembali tempatku bersandar. Kutambahkan buntelan dalam karung di bawah tiang, berharap saat aku bersandar, tulang punggungku bisa bersandar lebih nikmat. Ternyata sesuai dengan yang aku harapkan, posisi dan suasana yang nyaman. Sesekali aku hisap rokok sambil mata ini menatap bintang di atas kirai payung. Begitu nyamannya suasana malam ini hingga semua itu mengantarkan aku memejamkan mata dan terlelap, sesaat setelah rokok yang masih setengah batang aku letakkan di rerumputan. Aku terlelap diantara sinar bintang. Bahkan saat sinar bulan purnama mengecup lembut bekas luka di pipi kananku, aku masih saja tak terjaga. Hanya satu yang berhasil membangunkan aku, suara Ning.
Pagi yang cerah. Aku mendapati tubuhku tidur berbungkus matras yang bentuknya bujur sagkar. Bisa ditebak, saat tidur semalam aku kedinginan. Barangkali tanganku ini yang meraih raih apa saja yang bisa mengusir rasa dingin. Suara cicit cicit itu membuat aku membuang rasa malas dan segera beranjak. Tadinya suar cicit itu aku pikir adalah suara Ning, ternyata Ning hanya mampir sebentar di tidurku. Setelah urusanku dengan ketiga cicit, giliran aku yang mengganjal perut dengan sepotong roti dan tiga teguk air. Air air itu aku kumpulkan jadi satu ke dalam salah satu jerigen besar. Tidak lebih dari setengahnya. Tapi cukuplah untuk menemani aku berpikir mencari air berikutnya. Hari ini aku tidak ingin kemana mana karena aku sudah punya rencana. Dan rencana itu segera aku laksanakan. Sebagai awalan, Aku menanam tiga tunas pisang yang kemarin sore urung aku tanam. Seperti yang kemarin aku rencanakan, aku menanamnya disamping rumah yang kondisinya masih amburadul. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menanam tiga tunas pisang. Apalagi aku sudah pernah berkali kali melakukan hal yang sama di lereng dekat ladang. Selesai dengan tunas pisang, kini aku menempatkan tiga cicit di salah satu timba yang dalamnya masih aku lapisi sarung. Timba yang berisi si cicit kemudian aku tempatkan di bawah kirai payung. Selain teduh, tempat ini masih ada dalam pengawasanku. Sebenarnyalah aku khawatir hewan yang mengoyak ngoyak tubuh induk si cicit akan mengoyak mereka juga. Kadang sedikit terlintas di pikiranku, bisa jadi hewan yang mengoyak tubuh induk si cicit adalah hewan yang sama, yang meninggalkan kenang kenangan di punggungku. Tapi lagi lagi kata kata pak Mu’i berhasil menenangkan aku. Harimau tidak akan memakan orang yang mencintai hutan. Dan aku mencintai hutan. Namun begitu, ketiga cicit itu masihlah terlalu kecil untuk mengerti tentang cinta. Bagaimana jika sang raja hutan menerkamnya hanya karena dia tidak tahu apakah cicit cicit itu mencintai hutan ataukah tidak. Beberapa detik kemudian aku tertawa meramaikan pagi yang cerah di dataran agak miring dan gersang ini. Aku tertawa saat menyadari bahwa cicit cicit kecil tak akan mengenyangkan perut harimau. Dan pikiran itu berhasil mengusir rasa khawatirku akan si cicit.

Surya sudah beranjak semakin ke atas, sementara aku masih konsentrasi membenahi rumah setelah sebelumnya aku ambil atapnya dan seluruh rangka yang tak lagi bisa dipakai kembali. Aku lebih konsen dengan atap. Oleh karena itulah dengan memeras otak dan tenaga aku mengotak atik beberapa kayu yang masih layak. Kadang aku mencarinya di pelataran. Kugotong kayu kayu yang lurus dan aku anggap kuat ke samping rumah, kuukur dan kupotong dengan gergaji. Ada juga lonjoran kayu yang aku ambil dari pengapit dinding. Dinding pondok ini terdiri dari beberapa kayu sirap, yaitu kayu yang sudah digergaji dan membentuk menjadi papan papan kayu memanjang. Anehnya, dinding ini masih kuat dan utuh, begitu juga dengan lantai panggungnya. Semua jatuh, copot dari tempatnya, tapi tidak rusak parah. Kadang malah karena pakunya yang berkarat lalu patah. Hampir semua kayunya termakan rayap dan nonor, tapi toh tetap kokoh bila digunakan kembali. Yang menjadi masalah dari semua ini hanya terletak pada masalah perawatan saja. Karena tidak pernah dirawat sama sekali dalam waktu yang relatif lama, seperti inilah jadinya.

Hari sudah menjelang malam tapi aku belum selesai dengan rumah ini. Meski begitu tetap saja aku sudahi dulu acara renovasi dan akan aku lanjutkan esok hari. Malamnya aku mudah terlelap. Beginilah bila aku ada di dalam hutan. Akan lebih mudah bagiku untuk tertidur lelap. Ini bukan hanya karena aku terlalu letih oleh aktifitas sepanjang hari. Tapi juga karena tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak memejamkan mata.

Tadinya aku berpikir aku akan bisa membereskan renovasi rumah dalam satu hari saja. Ternyata tidak. Aku menghabiskan waktu tiga hari penuh dalam pengerjaan ini hingga benar benar selesai dan memuaskan hati. Berarti hari ini sudah ada lima goresan di dinding pertanda lima hari sudah aku di kediaman yang saat ini sudah layak disebut rumah. Tidak ada jendela sama sekali di dalam rumah yang hanya berukuran sedikit lebih besar dari pondok tak berdinding yang ada di ladang. Namun begitu rumah ini tidak juga bisa di samakan dengan pondok selter karena ukurannya jauh lebih kecil dari selter. Ukurannya hanya sekitar lima langkah kali lima langkah kaki orang dewasa. Padahal satu langkah kaki orang dewasa tidak lebih dari satu meter, kadang ada juga yang standart langkahnya hanya setengah meter. Saat malam tiba, aku tidak bisa melihat apa apa di dalam pondok, apalagi bila pintu aku tutup. Beruntung engsel engsel pintu ini tidak rusak, hanya terlepas saja karena pakunya tak lagi kuat menyangga engsel dan berat pintu. Tapi sudah aku perbaiki dan sengaja aku pasangi paku besar biar kuat dan kokoh. Jadi aku bisa menutup rapat pintu ini. Gelapnya rumah tidak menjadi masalah buatku, bahkan aku lebih banyak tertawa dalam gelap. Semua hanya karena aku tak lagi kedinginan. Pantas saja banyak orang membuat model rumah yang begitu rupa. Ternyata hanya untuk berlindung dari terik mentari dan dinginnya malam. Di malam ini bukan hanya aku yang tertidur lelap dalam hangatnya rumah, tapi ketiga cicit juga terlelap. Entah mereka memimpikan apa. Semoga mereka tidak memimpikan senyum manis Ning. Semoga hanya aku saja di dunia ini yang memimpikannya.

Hari keenam aku habiskan untuk menghias rumah hingga malam menjelang. Seperti biasa, setelah aku beri minum madu cicit cicit kecil ini kutaruh di dalam timba. Kali ini kugantung di atap teras. Beruntung juga pondok kecil ini mempunyai teras meskipun tak seberapa. Jadi saat aku ingin menata di dalam rumah, barang barang ini bisa langsung aku taruh di lantai teras. Aku memasang sendiri seluruh lantai teras ini. Semuanya dari kayu yang aku gergaji dan ukur sendiri. Sedang papan papan sirap yang tadinya adalah papan lantai teras ini, aku copot semua daan aku gunakan untuk menyempurnakan papan lantai dalam. Keadaan lantai di dalam rumah semakin cantik setelah aku menggelar matras di dalamnya. Ajaib, matras bujur sagkar ini ternyata seukuran luas rumah. Sangat pas dan begitu ngepres. Aku tertawa tawa saja mendapati kenyataan ini, bahwa rumahku hanya seluas matras ini. Tapi tak apalah. Akan kubuat rumah yang sempit ini menjadi sangat luas, seribu kali lebih luas hutan ini. Caranya mudah, aku harus tetap membangun dan merawatnya dengan cinta. Harus ada bayang bayang senyum Ning di sini, biar aku lebih mengenal senyumnya. Inilah tekadku, membuat yang sempit menjadi luas. Aku harus membangun rumah ini seindah senyum Ning. Biar pada saatnya nanti Ning betapa senyum sederhananya adalah bahan bakar bagiku. Ning akan tahu semua ini jika Ning mau berkunjung kemari. Sungguh, aku tak butuh hidup seatap dengan Ning sampai masa tua menjemput. Tidak harus seromantis itu. Satu kali kunjungan saja, hanya itu. Tak kurang dan tak lebih. Meskipun aku harus menghabiskan sisa hidupku untuk mempersiapkan kehadiran Ning ke rumah kecil ini, tak ada masalah. Akan kubuat semua ini seindah mungkin dan dengan kedua tanganku sendiri. Dan sekali lagi, semua itu hanya untuk mempersiapkan kehadiran Ning.
Pagi menyembul begitu saja ketika kusadari air yang aku kumpulkan jadi satu di jurigen besar hanya cukup untuk hari ini. Itupun hanya untuk aku minum sendiri. Padahal ada tiga tunas pisang yang butuh air walau sedikit seperti biasanya. Juga cicit cicit itu, saat mentari memamerkan teriknya aku selalu mengusapinya dengan air sambil sesekali meminumkan dari mulut ke mulut. Kalu roti kering, aku bisa menahannya sampai dua tiga hari kedepan. Masalahnya, tubuhku butuh asupan gizi, lebih dari sekedar hanya roti kering. Ingin rasanya aku kembali ke ladang untuk sekedar mengambil air. Tapi aku mengkhawatirkan si cicit. Bagaimana kalau mereka kelaparan dan aku tidak mendengar suara cicitnya? Bagaimana kalau mulut mereka dikerubung semut dan aku sedang jauh dari mereka? Aku terus memikirkan titipan Tuhan sementara kondisi air mengharuskan aku untuk segera bertindak. Akhirnya kutinggalkan juga cicit cicit itu di dalam rumah yang pintunya tertutup dan dalam keadaan kenyang, sementara langkahku sudah semakin menjauh. Dengan tetap membawa pisau dan jurigen kecil berisi seluruh sisa air, juga sebuah jurigen besar yang kosong, aku menuju ke arah ladang denga berlari. Kaki kaki telanjangku ini rupanya sudah mulai hapal dengan karakter jalan yang hanya aku lewati sendiri ini. Aku melewati jalan yang bukan setapak juga bukan makadam. Tak ada jalan setapak menuju rumahku. Untuk melakukan perjalanan pulang pergi ini, biasanya aku mencari jejakku sendiri. Dan yang terpenting, harus mampu mengingat apa yang sudah terlewati. Bagiku hal yang paling mudah diingat adalah pohon pohon besar yang karakternya berbeda beda. Untuk membaca hari dan membaca arah, aku percayakan saja pada matahari dan bentuk bentuk bukit dan punggungan. Aku bisa menghafalnya, meskipun tidak sehapal lekuk lekuk bibir Ning saat dia melemparkan senyum.

Aku tiba di ladang lebih cepat dari yang aku perkirakan. Sepi. Rumput rumput liar juga mulai tumbuh diantara bibit pohon mengkudu yang semakin mengkokohkan diri dalam bertahan hidup. Tentu saja aku senang melihatnya bertambah besar. Apalagi barusan saat melewati lereng sebelum ini, mataku syahdu memandang banyak pohon pisang dan juga mengkudu yang aku tanam, hampir kesemuanya bisa bertahan di lahan yang gersang, meskipun tak segersang pelataran rumahku saat ini. Tak ada yang berubah di ladang ini selain semakin bertumbuhnya tanaman. Tidak juga letak timba untuk menyiram tanaman. Masih tergeletak di pondok tak berdinding buatan pak Mu’i. Ini semua tak membuat aku lengah. Tetap saja aku waspadaa mengawasi keadaan sekitar sebelum akhirnya benar benar melangkah ke sumur untuk menimba air. Jurigen besar sudah aku isi penuh sambil sesekali aku coba mengangkatnya. Sekedar menimbang seberapa berat dan seberapa kuat aku mengangkatnya. Ternyata sangat berat untuk ukuranku, tapi aku enggan menguranginya. Aku berpikiran bahwa mengurangi bobot jurigen ini sama saja dengan membuang buang air tanpa manfaat. Sombong benar, padahal di rumah setetes air adalah nyawa. Akhirnya aku memilih untuk mengangkatnya dan melangkahkan kaki ini pulang kembali. Tak ada alasan untuk berlama lama di ladang, sementara di rumah cicit dan senyum manis Ning menungguku pulang.

Sampai juga akhirnya langkahku ini di teras rumah setelah berkali kali istirahat dan menghimpun kekuatan. Segera kuletakkan begitu saja jurigen yang harus kupanggul di bahu dengan kedua tangan memegang erat. Aku tertawa seperti biasa saat menatap jurigen besar penuh air. Kalau bukan karena senyum yang terikat di bandana Ning, takkan mungkin aku mampu mengangkat ini. Aku kembali tertawa sambil sesekali memegang bandana yang tak pernah lepas dari leherku. Aku melangkah terburu buru saat menyadari bahwa aku harus melihat kondisi cicit. Dan, syukurlah semua baik baik saja. Saat merasakan kehadiranku, cicit cicit itu mulai mencicit seperti biasa. Dengan sangat pelan sekali aku mendulang mereka seperti sepasang kekasih yang sedang saling melumat. Saat aku rasa cukup, aku geletakkan kembali cicit cicit yang msih lemah ini di timba yng dalamnya ada sarung yang aku lipat lipat sebagai sekedar penghangat. Bagaimana nanti saat mereka mulai tumbuh besar? Haruskah mereka terbiasa makan sesuatu yang aku makan? Ah tidak. Mereka akan menjadi seperti aku saja nanti. Bukankah itu sama saja artinya dengan dunia sirkus? Jangan sampai cicit cicit ini seperti itu. Mereka harus tetap liar dan merdeka. Insting mereka adalah insting kehewanan, dan mereka harus tetap hidup seperti layaknya mahluk jenis mereka. Tak akan kubiarkan mereka untuk menjadi seperti manusia. Tapi bagaimana mungkin? Sekarang saja mereka sudah mengenal timba dan sarung. Akhirnya aku hanya bisa tertawa saja. Tertawaku makin keras demi menyadari pemikiranku tentang si cicit terlalu jauh, padahal aku tidak pernah memikirkan apa yang akan aku lakukan nanti, saat madu ini habis. Tawaku tak terhenti, seperti ingin membelah seluruh hutan. Kalau senyum Ning saja bisa melambungkan impianku, barangkali tawaku juga bisa benar benar membelah hutan. Ah, lagi lagi tentang senyum Ning.
*******

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar