Sudah ada empat belas goresan di tiang. Itu sama dengan sudah empat belas hari aku di sini. Dan selama tujuh hari sudah aktifitasku hanya mencangkul dan terus mencangkul. Aku lakukan itu di depan rumah, jaraknya sekitar sepuluh meter. Itu jarak antara cangkulan pertama dengan bibir teras. Kadang kugunakan linggis kecil, sesekali linggis besar. kalau butuh mencungkil batu cadas, aku menggunakan pecok. Ini semua kulakukan begitu saja bersamaan dengan saat aku mengambil air di ladang menggunakan satu jurigen besar. Sepulang dari ladang daan saat melintasi lereng utara dekat pohon beringin, aku melihat ada galian yang belum selesai. Padahal aku sudah berjanji hendak menyelesaikannya. Nah sepulang dari sanalah, beberapa jam kemudian baru aku sadari aku telah mulai mengayunkan satu cangkulan pertama. Cangkulan cangkulan itu tak berhenti aku ayunkan sampai hari ini.
Ada tiga alasan mengapa aku tak bisa berhenti mengayunkan cangkul. Alasan yang pertama tidak lain yaitu, bahwa aku harus belajar menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Alasan kedua alasan yang paling bisa membangkitkan emosi. Aku menganggap cangkulan yang kuayunkan aku tujukan pada sekujur tubuh si bangsat, siapa lagi kalau bukan mas Aim. Itulah kenapa aku sulit menghentikan tanganku untuk mencangkul. Bukan tanah yang aku lihat, tapi wajah bangsat si bangsat. Dan alasan terakhir adalah pendingin dan penyejuk dari segala alasan yang ada. Dan Ini tentang Ning.
Saat tanah di lubang sudah mulai banyak, aku mengangkutnya. Kugunakan sebuah timba untuk mewadahinya, dan piring seng untuk mengeduk tanah yang kan ku taruh di dalaam tiimba. Semua itu aku lakukan seolah olah aku sedang mengumpulkan butir butir senyum Ning yang berjatuhan di tanah. Dikala aku mengangkat timba yang berisi penuh tanah, aku seperti sedang menggendong Ning. Ya, benar benar seperti sedang menggendongnya yang tertidur pulas. Seakan akan lengan tangan kananku sedang ada di pundaknya yang paling dekat dengan bahu, sedang tangan kiriku menyelip di ujung kedua pahanya sampai satu inchi sebelum lutut. Terlihat jilbab menjuntai ke tanah kala aku mengangkatnya, sedang Ning masih terlelap. Aku memindahkannya kedalam rumah, selembut yang aku bisa. Itulah mengapa sampai hari ketujuh ini aku tak bisa berhenti membuat lubang. Kali ini bukan sumber mata air yang benar benar aku harapkan. Bukan pula tentang menyelesaikan pekerjaan. Ini tentang membunuh dendam dan menunggu datangnya Ning.
Aku menjemput malam dengan menyalakan sebatang rokok terakhir sambil sesekali memandang si cicit. Kesemuanya terlelap. Mereka sudah mulai belajar membuka mata dan menatapku, bersamaan dengan semakin menyusutnya madu, padahal sudah aku barengi dengan air jurigen. Roti sudah ludes. Beberapa hari ini aku makan apa saja yang bisa aku makan. Tapi tak aku makan dedaunan yang tak kukenali, apalagi yang warnanya mencolok. Aku akan makan daun yang kambing kambingku juga pernah memakannya. Kalau mereka tidak keracunan, aku pikir aku juga tidak, meskipun usus mereka lebih panjang dari ususku. Kalau sedang ada rejeki seperti kemaren, aku bisa mendapatkan segenggam umbi talas dan seekor tikus yang aku bakar terlebih dahulu sebelum benar benar kupindahkan ke perut. Sayang aku tak punya garam. Yang membuatku masih bisa bernapas lega adalah persediaan air yang masih banyak. Juga masih ada korek api. Hanya itu yang nyata nyata ada. Di luar dari itu semua, logistik yang tertinggal hanyalah senyum manis Ning. Ah, Ning lagi. Padahal beberapa hari ini aku tak sanggup untuk tak melihatnya. Entahlah, rasanya tak tahan aku untuk terus menerus hanya terpenjara kenangan. Sudah tak kuat lagi aku menahan rindu untuk sekedar melihatnya. Baru dua kali aku menatapnya. Aku ingin yang ketiga. Sungguh. Tak apalah meski dari jarak yang jauh. Atau hanya sekedar memandang wajahnya dalam gambar. Tapi apa mungkin aku bisa mendapatka gambarnya? Letak rumahnya saja aaku tidak tahu. Seperti tidak tahunya aku akn nama panjangnya. Ning, hanya itu yang aku tahu. Lama aku memikirkan ini, sampai pada akhirnya aku mendapati diri sedang berkemas kemas setelah hisapan terakhirku selesai. Bagaimanapun, aku harus bisa memandang Ning. Entah bagaimana caranya aku pikirkan nanti saja. Biarlah esok pagi aku tidak usah mengayunkan cangkul dulu. Ada yang lain yang aku bawa padda perjalanan kali ini selain korek, air di jurigen kecil dan pisau. Kali ini aku membawa serta cicit cicit itu bersamaku dalam sebuah timba yang di dalaamnya ada botol berisi madu. Masih dengan kaos hitam, celana pendek, bandana di pergelangan tangan kiri dan bandana istimewa di leher, aku tenggelam bersama malam. Rasa rindu ini benar benar tak bisa untuk sekedar menunggu terbitnya senyum Ning dari ufuk timur.
Ladang sudah sedari tadi kulewati, dan kini kedua kaki telanjangku baru saja usai menyeberangi sungai kecil. Tapi rasa lelahku sebegitu dahsyatnya. Sementara si cicit menjerit gaduh memecahkan kesunyian kampung yang sudah senyap ini. Sesekali ada kudengar suara barang elektronik yang masih menghibur pemiliknya. Sebentar aku berhenti untuk sekedar menenangkan hati si cicit. Kukulum mulut mereka satu persatu dengan mulutku yang sudah berisi madu. Tak lama setelahnya sudah tak terdengar lagi jerit suara cicit. Sepertinya mereka terlelap dalam timba yang sedari tadi bergoyang. Lelah, tapi tetap aku paksakan juga menuju rumah pak Mu’i. Ya, aku butuh kesana secepatnya. Kali ini aku benar benar butuh pertolongan pak Mu’i. kalau yang ini bukan tentang Ning. Katakan saja ini poin kedua. Ini tak lain tentang masa depan cicit.
Sampai juga akhirnya aku di depan rumah pak Mu’i yang gelap dan kiri kanannya sepi. Meskipun gelap, aku tetap memilih jalan memutar ke arah sumur pak Mu’i sementara si cicit masih terlelap. Tidak seperti saat aku melemparkan celurit yang aku bungkus dalam karung yang kulipat lipat, kali ini aku tidak sewaspada itu. Sesampainya di sumur yang berhimpitan dengan dapur, mataku awas tapi tidak begitu waspada. Yang ku utamakan kali ini adalah kecepatan, bukan kewaspadaan. Persis di depan pintu dapur kuletakkan begitu saja timba yang berisi madu dan par cicit cicit ini lalu secepat mungkin kubalikkan badan. Baru saja hendak melangkah menjauh, ada kulihat seekor kucing di sekitar sumur. Ingatanku langsung menuju pada potongan kaki induk cicit cicit ini. Rasa khawatir segera menyergap hati. Ku urungkan untuk segera menjauh. Aku memilih kembali ke cicit cicit yang hendak aku tinggalkan. Tak jauh dari sana aku melihat rak yang berisi piring. Ada kulihat juga bundaran seng yang berlubang kecil kecil. Biasanya ini digunakan untuk memeras santan. Segera aku mengambilnya dengan konsentrasi tingkat tinggi agar tidak menimbulkan suara. Tak lama kemudian barang itu sudah menjadi penutup timba. Tidak berhenti sampai disana, kali ini aku membuka kain bandana di pergelangan tanganku. Bandana kuning pekat pemberian pak Mu’i itu aku ikatkan ke tali timba lalu ujung kain bandana satunya aku ikatkan pada sebuah cantolan besi. Sementara sesiung bawang putih yang tadinya ada di cantolan aku taruh di atas rak piring. Dan sesaat kemudian aku melesat di gelapnya malam. Pak Mu’i lebih tahu apa yang terbaik untuk cicit cicit itu, batinku.
Semua jalan kampung yang diterangi lampu jalan tak aku lewati. Aku benar benar konsisten memilih jalur gelap agar tak terlihat siapapun. Sekarang aku cuma butuh persembunyian. Aku benar benar lelah. Lagian, percuma aku mengelilingi seluruh kampung apalagi di hari yang sedini ini. Tak akan mungkin dapat kutemukan Ning. Bisa jadi malah aku yang ditemukan orang kampung. Ah tidak, aku tidak mau berakhir di dalam rangkulan Haji Abbas tatkala aku belum lagi memandang wajah Ning. Lagian aku masih ada pekerjaan rumah. Apalagi kalau bukan mempersiapkan sesuatu yang istimewa untuk Ning. Hanya Ning satu satunya orang di dunia ini yang aku nantikan kedatangannya di rumah, walau hanya dalam satu kunjungan saja. Dan itu semua cuma akan berakhir di sini jika keberadaanku diketemukan orang kampung.
Lelah semakin menjalar ke suluruh urat urat tubuh, sementara aku belum juga menemukan tempat persembunyian yang aman dan benar benar tersembunyi. Tubuhku yang lunglai kusandarkan begitu saja pada sebuah tembok rumah yang tak tersinari lampu. Pak Mu’i menyebut rumah yang temboknya aku sandari ini dengan sebutan omah londo. Entah kenapa dia menyebutnya begitu. Dengan sisa sisa tenaga kembali kucoba melangkahkan kaki. Tapi tetap saja aku tak kuat. Di depanku ada pohon nangka. Batangnya ada di luar pagar rumah londo, tapi daun daunnya lebih menjorok ke dalam. Dan yang paling penting, tidak terimbas sinar lampu neon yang terpasang tepat di ujung tembok. Aku tidur di pohon ini saja, pikirku. Lama aku hanya berdiri dengan kedua tangan sudah memegang sisi sisi batang pohon. Sesekali kudongakkan kepala ke atas. Dalam keraguan yang panjang dan rasa lapar yang datang perlahan, akhirnya kunaiki juga pohon nangka ini. Semakin ke atas semakin badanku condong memasuki pagar tinggi yang bagian atasnya penuh dengan beling. Beling beling kaca itu sengaja dipasang menyatu dengan semen, untuk menghindari para pencuri yang masuk lewat pagar tembok. Hebat juga yang merancang omah londo ini, memikirkan sampai pada tingkat keamanan. Aku berhenti pada sebuah percabangan sambil memandang ke bawah. Ah, di sini saja aku tidur. Kalaupun aku terjatuh, perutku yang mengerucuk sekarang ini tak akan robek terkena beling. Aku sudah ada di posisi aman sekarang. Memikirkan apa yang baru saja terjadi, aku tertawa tawa sambil kedua tangan menutup erat erat mulutku sendiri. Aku tak ingin punggungku terluka lagi, itu yang membuatku berhasil menahan tawa. Aku sudah terlanjur tersugesti. Akan ada saja yang merobek punggungku, setiap kali aku tidak sedang di tempatku sendiri dan di waktu malam yang sehening ini, aku tertawa sebegitunya. Itu sama artinya dengan membangunkan harimau jawa yang sedang tidur. Sebelum benar benar pasrah bersandar, ada kulihat sebuah nangka besar tak jauh dari jangkauanku. Nangka itu tinggal setengah sementara setengahnya lagi telah koyak dimakan kelelawar. Dari sisa sisa kelelawar itu dapat kutemukan nangka yang tidak membusuk dan masih layak untuk menyenangkan usus usus di perutku. Kuambil beberapa dengan pisau kecil lalu mengunyahnya dengan begitu menjiwai, semenjiwai rendra saat membaca sajak sajak buah karyanya sendiri.
Padahal posisiku sudah nyaman, perut tak lagi menuntut haknya dan badan ini juga sudah sedari tadi lelah luar biasa, tetap saja kedua mataku tak kunjung bisa terpejam. Ah, akan aku tutup saja mata ini dengan bandana milik Ning. Semoga dengan menutup mata bisa membantu aku untuk lekas terlelap. Aku memikirkan hal itu sambil jari jariku mulai menari dan bekerja membuka bandana yang senantiasa menghias leherku. Diluar dugaanku, saat baru saja tangan ini berhasil membuka ikatan bandana dan menariknya ke samping, bandana pemberian Ning keburu memilih untuk melayang. Sontak aku terperanjat. Hilang sudah rasa kantuk dan penat di sekujur tubuh ini. Yang tertinggal kini hanyalah kedua bola mataku yang melotot ke bawah, ke arah bandana milik Ning mendarat. Bagaimana ini? Tak mungkin aku membiarkan sang pengikat kesan itu terjatuh. Kehilangan bandana pemberian Ning sama artinya dengan kehilangan sekeping cinta. Padahal kepingan cintaku tak banyak dan sudah aku bagikan pada hutan, rumah, cicit, Haji Abbas, Nyai, pak Mu’i dan orang orang baik sebelum mereka. Keping cintaku pada bandana itu sama besarnya dengan kepingan yang aku berikan pada Ning. Bagaimanapun, aku harus menempatkannya kembali ke leherku. Tapi sayangnya, satu satunya jalan adalah meloncat. Sedangkan dengan aku memilih untuk meluncur bebas kebawah, itu akan menimbulkan setidaknya dua hal. Pertama dan yang paling masuk akal tak ada lain yaitu patah kaki. Yang kedua juga sama sama tidak menyenangkan, terpergok si empunya rumah. Namun tak ada pilihan lain, bagaimanapun saat ini aku lebih memilih mentaati pepatah lama bahwa cinta itu buta. Maka tak menunggu lama, dengan keberanian yang sedikit aku paksakan, meloncatlah aku dengan gaya buta. Hasilnya adalah kakiku masih sehat wal afiat. Aku juga tidak membangunkan si empunya rumah. Dan bandana tercinta sudah kembali ke singgasananya. Tidak seperti yang aku takutkan. Namun demikian aku tak tahu caranya untuk keluar dari omah londo yang bentuknya seperti penjara ini. Harus bagaimana aku?
Suara langkah langkah kaki yang terseret membangunkan aku dari tidur yang tak biasanya, hanya tak lebih dari tiga jam. Suara itu semakin dekat. Gesekan antara alas kaki dan lantai rumah begitu asing di telingaku. Tak pernah aku mendengar suara semacam itu di dalam hutan. Dari tempat aku bersembunyi saat ini, dapat kulihat sepasang kaki yang setengah dari etisnya tertutup kain menjuntai. Barangkali baju terusan yang memanjang atau rok, aku tidak tahu pasti. Melihat lebih jelas siapa si empunya kaki dengan sedikit melongokkan kepala saja aku tak berani. Saat ini aku benar benar konsentrasi menahan badanku untuk tak bergerak sama sekali, juga mengatur nafas setenang mungkin. Perasaanku kacau. Takut, itu yang aku rasakan. Aku aku takut persembunyianku terbongkar oleh sang pemilik sepasang kaki halus yang masih bergerak tak jauh dari aku meringkuk. Bisa aku pastikan itu adalah sepasang kaki seorang perempuan. Nampak halus, putih, bersih, tapi bagiku itu hanya sepasang kaki yang menebar aura ketakutan. Kaki itu akhirnya bergerak menjauh juga, meninggalkan aku yang sedikit lega. Harusnya aku tidak memilih bersembunyi dan tidur disini, batin ini meronta menyalahkan keputusanku dini hari tadi.
Tempat yang aku buat sebagai persembunyian ini adalah sebuah ranjang kayu setinggi kurang dari setengah meter. Atasnya dimanfaatkan untuk menumpuk barang barang yang tak terpakai. Dini hari tadi sempat kulihat ada helm, selebor sepeda motor, sepedaa kayuh dalam kondisi rusak parah, yang digeletakkan begitu saja di ranjang, dan masih banyak lagi barang yang belum benar benar aku periksa. Tadi aku tak punya waktu untuk sekedar survey dan terlalu tergesa untuk segera melenyapkan diri di bawah barang barang itu. Disinilah aku sekarang, di bawah ranjang penuh barang barang yang mungkin sudah dianggap sampah oleh si empunya. Di tempatku bersembunyi keadaannya tak jauh beda dengan kondisi di atasnya, penuh barang tak terpakai. Ada empat kotak kardus ukuran agak besar, tingginya hampir setinggi ranjang, dan itu bermanfaat untuk menyembunyikan tubuhku. Ada beberapa karpet bekas, satu diantaranya masih sempat aku beber untuk ku jadikan alas. Lumayan, ini berhasil mengusir rasa dingin, lebih nyaman daripada kulit ini harus bertempelan langsung dengan lantai keramik warna pekat. Selain itu, dengan beralaskan karpet, aku tak terlalu khawatir menimbulkan suara gaduh. Anggap saja karpet ini adalah peredam suara. Letakku yang berdempetan dengan tembok luar dari rumah londo ini semakin membuat aku tak begitu khawatir menimbulkan suara. Aku sudah mengatur sedemikian rupa agar barang barang yang rawan bersuara aku letakkan agak kedepan. Ada dua keranjang bambu di sini yang berisi barang barang kecil, itu juga aku geser lebih ke depan, ke bibir ranjang yang berbatasan dengan lantai dimana kedua pasang kaki putih bersih tadi berjalan. Sayangnya dari kesemua barang ini tak satu pun yang bisa aku makan. Namun begitu aku tak terlalu menggubris rasa lapar yang lagi lagi datang di situasi yang tidak tepat. Aku lebih memikirkan tentang sebuah perasaan yang aku tahan semakin mendesak aku untuk berbuat sesuatu. Kebelet kencing. Sesuatu yang harusnya tak kualami disaat yang sekritis ini. Tapi mau bagaimana lagi, ini juga kritis dan butuh penyelesaian secepatnya. Dengan sangat perlahan aku mulai berani mengerakkan tubuh dan melihat kanan kiri. Pada akhirnya jalan keluar aku dapatkan juga saat mata ini terbentur dengan sebuah botol plastik sisa air mineral lengkap dengan tutupnya. Dengan gapaian tangan yang begitu pelan akhirnya dapat kuraih botol yang posisinya ada di atas kepalaku. Adegan berikutnya mudah ditebak. Aku melakukan apa yang memang harus aku lakukan.
Sesekali ada langkah yang kudengar lagi. Terkadang jauh, sesekali sangat dekat, seperti sepasang kaki indah tadi. Sangat dekat dan begitu menakutkan saat langkah langkah itu melewati bibir luar ranjang yang tak berdempetan dengan tembok. Apalagi langkah kaki barusan. Sepasang kaki bersepatu hitam dengan betis tertutup celana panjang yang juga berwarna hitam. Suasana berubah mencekam dikala salah satu ujung jari kakinya yang bersepatu menabrak pinggiran ranjang tempat aku bersembunyi. Dan bunyi gedubrak pun terdengar. Ternyata ujung kaki itu menabrak keranjang yang sengaja aku pindahkan kesana. Tadinya aku berpikir dengan begitu lebih melindungi dan memperkokoh persembunyianku. Tak terpikir olehku bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Aku benar benar tak bisa bernafas saat si empunya kaki memilih untuk berjongkok dan memunguti beberapa barang yang terjatuh. Dia memasukkan barang barang itu kembali ke dalam ranjang sebelum akhirnya keranjang itu dia dorong masuk ke bawah ranjang, lalu berdiri dan berlalu. Haaahhh… begitu beuntungnya aku. Andai saja si empunya kaki bersepatu hitam itu menyempatkan diri sebentar saja ke bawah ranjang, pastilah dia akan mendapati seorang laki laki yang berkaos hitam dan bandana kesayangan, dengan muka pucat dan mata melotot, sambil memegang sebuah botol tertutup yang isinya adalah air kencingnya sendiri. Syukurlah aku sudah kencing. Mendekap kencing lebih baik bagiku daripada harus terkencing kencing.
Pagi telah beranjak siang, siang berganti sore, sore masih saja bergerak menjemput malam. Dan aku masih di sini, membusuk dan berkeringat dengan hanya berteman barang barang rongsok. Bukan hanya lapar yang aku rasakan, tapi juga rasa haus tingkat tinggi. Sempat berpikiran untuk meminum air kencingku sendiri. Tapi manakala ada terdengar suara gemericik air, aku urungkan niatku. Gemericik air itu menandakan bahwa ada kamar mandi di sekitar sini. Begitupun rasa lapar ini, aku menghiburnya dengan cara yang sama. Beberapa kali aku dengar suara nyaring. Kadang suara nyaring itu diselingi dengan suara orang sedang bercakap cakap. Dapat kusimpulkan bahwa itu adalah suara piring yang beradu dengan sendok. Itu juga menandakan di rumah londo ini ada sebuah tempat yang berfungsi untuk menyimpan makanan. Biarlah nanti saat malam datang aku akan mengendap endap kesana bersaing dengan tikus dan kucing. Dengan hanya berpikir seperti itu memang tidak merubah kondisi tubuhku. Aku masih lapar dan juga masih kehausan. Tapi setidaknya suara suara itu memberi aku harapan. Apalagi yang akan dikerjakan manusia saat dia tak lagi punya harapan secercah pun?. Harapan adalah bahan bakar perjuangan. Tanpa harapan sama juga dengan kematian. Itulah yang membuat aku masih bisa menghirup udara sampai hari ini. Aku punya harapan, dan harapan itu aku gantungkan pada senyum manis Ning.
Dalam lapar, haus, berkeringat dingin, dalam hening tanpa satu pun tawa, dan dalam ketakutan, aku terlelap. Aku dibangunkan oleh suara orang orang terbahak. Aku berpikir sejenak. Sementara aku berpikir, suara tawa yang tadi membangunkanku terdengar kembali. Ada apa? Aku bisa melihat di celah celah barang dan tepian ranjang, sekitarku masihlah terang benderang. Tapi aku terbiasa hidup di tengah hutan. Aku mudah membedakan mana yang sinar mentari mana yang bukan. Dan ini bukanlah sinar mentari. Menyadari bahwa malam sudah menjelang, aku bergeliat mencoba untuk berani mengeluarkan pandangan mata ke sekitar ranjang. Tapi suara tawa kembali tertangkap telingaku dan berhasil menghentikan gerakan yang sudah terlanjur aku mulai. Suara itu adalah suara tawa di dalam rumah ini. Bisa dipastikan itu adalah suara tawa banyak orang yang meledak bersamaan. Dalam situasi seperti itu kebanyaka orang tidak begitu konsentrasi. Pemikiran inilah yang berhasil membuat aku kembali bergerak. Kali ini bukan hanya pandangan mataku saja yang keluar dari persembunyian, seluruh badanku juga ikut keluar. Tapi tidak kemana mana, hanya jongkok di sudut ranjang sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Satu satunya yang berhasil membuatku berdiri dan melangkah adalah rasa haus yang begitu mencekik kerongkongan. Langkah yang tidak cepat, tidak tegap, tapi bukan berarti tidak waspada dan konsentrasi. Baru sekitar sepuluh meter dari arah ranjang, aku sudah berdiri sejajar dengan dua buah rak. Satu berisi aneka barang barang khas dapur seperti sendok piring dan semacamnya, satu lagi dimanfaatkan untuk meletakkan kaleng kaleng kecil yang diluarnya sudah ditandai dengan nama nama sesuai dengan apa yang ada di dalamnya. Yang menarik, di deretan kaleng kaleng aneka ukuran ada sebuah botol plastik persis seperti yang aku pakai kencing tadi. Lebih menarik lagi saat kulihat di dalamnya masih ada tersisa air setengah ukuran botol itu. Meskipun sangat haus, aku tidak tergesa meraihnya. Perlahan tapi pasti kuminum juga air dalam botol, sesaat sebelum membuka tutupnya yang juga terbuat dari bahan plastik tapi tidak berwarna bening melainkan biru tua. Dan, hampir hampir aku tak menyisakan setetes pun air dalam botol. Selanjutnya aku meraih kaleng kecil bertuliskan gula. Aku membawanya dalam satu genggaman. Ku jadikan satu dengan leher botol kosong yang juga aku bawa. Aku bawa botol ini lantaran sadar bahwa jurigen kecil yang aku bawa dari rumah, terhempas entah kemana saat aku meloncat dari pohon nangka. Kembali kulangkahkan kaki, masih dengan tembok di sebelah kiriku. Lalu langkahku terhenti oleh sebuah pintu di sebelah kanan, sementara sebelah kiri adalah sebuah lorong tikungan yang menghubungkan kira kira ke ruang tengah, dan di depanku persis ada sebuah tangga untuk menuju ke lantai atas. Aku memilih untuk mendorong pintu di kananku yang tak tertutup benar dan terlihat gelap di dalamnya. Ternyata kamar mandi. Aku memasukinya dan segera mengisi botol dengan air, lalu kembali keluar. Kali ini aku memilih untuk melongok ke tepian tikungan di sebelah kiriku. Beberapa saat kemudian aku sudah melangkahkan kaki dari satu atap tangga ke atap tangga berikutnya, semakin ke atas. Ternyata tangga ini mengantarkan aku ke lantai dua yang terdiri dari dua ruangan dengan pintu yang sama sama tertutup. Tidak itu saja, masih ada tangga lagi menuju ke atas. Tapi tidak terbuat dari beton berkeramik seperti tangga yang barusan aku lewati. Yang ini lebih kecil. Lebarnya hanya setengah meter saja dan hanya dilapisi dengan semen saja. Kesannya tidak terlihat kokoh tapi tentu saja kuat. Setidaknya tak mungkin runtuh dimakan rayap karena semua dibangun dengan semen. Segera aku menaikinya. Ternyata hanya sebuah loteng tanpa bangunan apapun. Tinggi ujung atap genting hanya terpaut sedikit dengan ujung rambutku, sedikit lebih tinggi ujung atap. Loteng ini ada di antara lekukan ruas ruas kerangka atap rumah yang bentuknya seperti huruf L. Sementara di sudut yang lain dapat aku lihat sebuah celah. Sayangnya saat aku periksa, celah itu tertutup semacam fiber. Kembali aku layangkan sorot mataku ke seluruh loteng. Tak ada apa apa selain genting, kerangka pompa air dan sekotak mesin pompanya, tiang kabel listrik di atap rumah, kawat jemuran, dan lantai atap ini sendiri. Sudah aku periksa kemana mana, Tapi tak satupun tempat yang bisa menyembunyikan tubuhku. Sementara untuk keluar dari rumah ini aku tidak tahu mana jalan paling aman yang bisa aku lalui. Dalam keadaan lapar aku memeras otak untuk mencari jalan keluar terbaik. Sampai akhirnya aku putuska untuk secepatnya keluar dari rumah ini. Aku pikir kalau malam ini aku bisa keluar dari rumah ini, esok pagi aku akan bersembunyi di sudut kampung dan berharap akan ada Ning berjalan di depanku. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuruni tangga kecil, terdengar suara gaduh. Sialnya suara suara yang semakin keras dan riuh itu sepertinya menuju ke arah loteng. Langkah langkah itu terdengar seperti langkah yang memburu. Bagaimana ini? Harus bersembunyi dimana aku? Tiba tiba aku teringat akan dua ruangan yang ada di bawah loteng yang kedua pintunya tertutup. Entah karena lapar, panik, dan terdesak, aku berlari menuju ke arah datangnya suara seperti hendak menyambutnya. Kuturuni tangga secepatnya, berlari ke arah pintu terdekat dan meraih gagangnya. Sayang seribu sayang, pintu terkunci sementara suara suara itu sudah sangat denkat sekali. Bahkan untuk sekedar membuka pintu berikutnya seperti tidak ada waktu lagi. Aku tergopoh, panik, takut, dan berkeringat dingin. Tanpa berpikir apa apa kularikan tubuh yang ketakutan ini ke sudut ruangan di balik lemari kecil. Ternyata di sudut ruangan yang sedikit tertutup lemari itu di lantainya ada sebuah kotak terbuka berukuran hanya sebesar kotak televisi standart. Tak ada tutup yang menghalangi aku untuk masuk kesana. Tanpa berpikir panjang lagi, kupaksa kaleng kecil yang masih ditanganku untuk kumasukkan ke saku celana. Begitu juga dengan nasib botol berisi air, tidak jauh beda. Cepat cepat aku memaksanya masuk ke celah celah celana yang aku pakai persis di bawah pusar. Segera setelah itu, kaki kaki ini aku masukkan ke kotak kecil itu dengan kedua telapak tanganku bertumpu pada lantai. Aku begitu panik untuk segera memasukkan seluruh tubuhku kesana. Lewat kedua ujung kakiku yang aku tendang tendangkan ke segala arah, aku tahu bahwa yang akan aku masuki ini tak sesempit celah masuknya. Akhirnya aku masuk juga kesana. Ada sebuah besi yang tertempel di tembok dinding berbentuk seperti isi staples yang belum digunakan. Pada besi yang pertama kali aku rasakan lewat ujung kaki itulah aku sekarang bertumpu dan semakin ke bawah. Kira kira saat aku ada di tengah perjalanan untuk melaju turun, dalam gelapnya ruang yang sangat gelap ini kutemukan sebuah lubang di tembok yang hampir menempel dengan sekujur tubuhku. Lubang ini jauh lebih besar dari lubang di atasku. Tak menunggu lama kuarahkan begitu saja tubuhku kesana. Apa yang terjadi setelahnya? Hampir bersamaan dengan itu, lorong yang tadinya gelap berubah menjadi terang benderang. Ada sinar lampu senter yang sengaja diarahkan ke seluruh lorong. Cahaya itu hampir saja sukses membuat aku pingsan, padahal aku sudah ada di tempat yang tak terkena imbas sinar senter. Pada akhirnya aku hanya bisa menguat nguatkan diri untuk tetap meringkuk di celah tembok dan duduk di salah satu papan kayu kerangka rumah ini. Tak ada pilihan lain. Segera aku raih botol berisi penuh air yang tadinya aku masukkan paksa di celah celana menempel dengan perut. Aku memegangnya erat agar tak terjatuh sambil mengatur napas. Kaleng berisi gula masih ada di saku celana sebelah kiri, sengaja tak aku ambil.
Suara suara di atas kepalaku masih kudengar jelas sampai saat ini. Bahkan lebih jelas lantaran saat ini mereka tidak saling berebut bicara. Lebih jelas lagi aku mendengarnya karena kini nafasku tidak setersengal tadi. Meskipun tetap dalam keadaan takut, tercekam, berkeringat dingin, dan rindu rumah, dibandingkan dengan sebelumnya, saat ini aku sudah mulai bisa menguasai diri. Setidaknya kepalaku tak lagi pening dan kedua mataku tak lagi berkunang kunang pertanda akan pingsan. Yang aku lakukan sekarang adalah diam dan mengatur nafas. Aku takut nafasku didengar salah satu dari mereka. Dalam diam tak bergerak itu aku konsentrasi mendengar kata demi kata yang mereka ucapkan, sampai akhirnya suara suara itu tak terdengar lagi. Sementara aku masih disini dan hanya berdua saja bersama bayang bayang wajah Ning.
Akulah yang diburu oleh mereka. Entah akan dijadikan apa aku tadi seandainya mereka berhasil menangkapku. Bisa jadi akan dibuat seperti induk cicit yang tinggal potongan kaki. Membayangkan itu tak kusadari aku menggigil. Semakin aku menggigil dan ketakutan, semakin aku merindukan rumah. Aku rindu mencangkul. Aku rindu menghantam mulut bangsat si bangsat engan linggis besar. Aku juga rindu mengumpulkan butir butir senyum Ning yang berserakan. Tak pantas mereka memburuku. Padahal kesalahanku hanya mencuri sebotol air dan sekaleng gula. Apakah memakan nangka sisa sisa kelelawar yang hampir membusuk juga termasuk melanggar pasal? Oh Ning, hidup di negara yang seperti apa sebenarnya aku ini.
Aku masih di sini, di tempat yang sama. Setiap kali bahaya bisa saja mengancamku. Aku harus pindah ke titik yang lebih aman lagi. Di sini hanya akan membuat jantungku selalu berdegup kencang saja. Mataku sudah mulai beradaptasi dalam gelap, tapi tetap aku berkonsentrasi penuh. Aku tidak memilih untuk menuruni tembok, juga sangat tidak tertarik untuk kembali ke ruang di bawah loteng. Aku lebih memilih untuk menyusuri tiang tiang rumah yang membentuk sebuah kerangka memancang tegak, lurus dan menyilang. Ada juga tiang tiang miring yang dimanfaatkan sebagai penguat rangka genting yang berlonjor lonjor. Tiang tiang miring itu di atas kepalaku dan jauh dari gapaian tangan. Penuh konsentrasi aku melangkah diantara kabel listrik. Dalam gelap, tak mungkin aku bisa membedakan mana kabel yang aman dan mana yang telanjang siap menyedot darah sampai tubuhku berasap. Lebih mudah bagi mereka membunuh sepasang kaki telanjang dengan sekujur tubuh basah oleh keringat. Tapi aku tetap merayap dan terus bergerak. Aku percaya Tuhan tahu bahwa aku masih punya pekerjaan rumah yang belum aku selesaikan. Aku juga belum melihat wajah Ning untuk yang ketiga kalinya. Lagipula aku juga masih ingat saat Haji Abbas mengatakan, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan selama kita masih percaya. Aku percaya pada Tuhan, setidaknya aku percaya bahwa Tuhan ada. Kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang bisa menciptakan perempuan seindah Ning?
Sampai juga akhirnya aku pada sebuah titik yang bisa aku jadikan tempat untuk sekedar menenangkan diri. Tepat di atas dua tiang kayu besar yang membujur, dengan jarak antar tiang sekitar satu meter saja. Posisinya tidak di tengah tengah kerangka rumah, tapi agak menepi. Jadi bila aku berdiri di tiang ini, ujung kepalaku hampir bisa membentur lonjoran kayu reng yang menahan genting. Sementara tepat di bawahku adalah sebuah langit langit rumah alias enternit. Dilihat dari bahannya, tak mungkin kuat menyangga tubuhku. Sementara jika aku tetap duduk di tiang, juga kurang nyaman. Akhirnya aku berusaha mencari cari sesuatu yang bisa aku jadikan papan antar tiang. Sayangnya mataku tak mendapatkan apa apa. Terlalu gelap meskipun mata ini sudah beradaptasi. Terpikir olehku untuk membuka satu genting. Tapi aku ragu. Bagaimana jika bersuara? Bagaimana jika di atas genting sudah ada seseorang yang menantiku? Tapi setelah lerlalu lama dalaam keraguan, kubuka juga akhirnya satu genting di atasku. Dengan gerakan tangan yang sangat lembut dan tak menimbulkan suara yang berarti, akhirnya aku berhasil membukanya. Sinar dari pantulan bintang bintang sangat berarti untuk ruang yang segelap ini. Bukan itu saja, kali ini nafasku lebih segar. Pilihan untuk membuka satu genting benar benar sangat tepat dan membantu. Tidak lama kemudian aku temukan juga yang aku maksud. Lima kayu papan yang ditumpuk jadi satu tumpukan di sudut yang mempertemukan antara genting dengan pucuk tembok. Masing masing papan panjang dan lebarnya sama, seperti satu meter kali satu meter. Aku mengambil dua. Susah payah aku mengambilnya. Masalahnya bukan hanya pada berat papan, tapi juga pada tempatnya. Aku kesulitan untuk mencari tumpuan. Namun begitu berhasil juga akhirnya. Sangat pas dan sangat kokoh. Aku mencoba merebah di atas kedua papan yang kutumpuk diantara dua tiang kokoh tanpa perlu aku paku. Benar benar pas, sejajar dan tidak menimbulkan suara. Ini karena papan papan itu terlalu berat untuk sekedar bergerak. Akhirnya aku teruskan saja rebahanku. Sesekali aku memandang ke arah botol yang airnya tinggal lima senti dari pantat botol. Botol itu aku selipkan diantara dua kayu bersama dengan gula. Menurut perhitunganku dua barang itu sulit untuk jatuh. Semoga saja benar benar tidak jatuh. Karena jika salah satu dari barang itu jatuh, hanya akan memperburuk keadaan yang sudah buruk ini. Bersama sisa sisa rasa takut dan lapar yang semakin menjadi jadi, Kucoba untuk memejamkan mata. Tidak berhasil. Kali ini rasa lapar begitu mencengkeram perutku. Rasanya seperti meremas remas dari dalam. Padahal aku takut untuk kemana mana. Terus aku bergulat dengan perut yang semakin lapar dan memaksa aku untuk berbuat sesuatu, dengan hanya berdiam diri saja sampai merasa benar benar aman.
Gula di kaleng kecil sudah habis sama sekali. Aku memasukkan semua butir butir kecil gula itu ke dalam mulutku. Lalu aku habiskan air dalam botol. Kemudian merebah. Di atasku ada genting yang terbuka. Disana kulihat beberapa bintang yang berkerlip. Melihat bintang itu dengan posisi merebah, aku seperti melihat sebuah lukisan yang berbingkai. Ya, tepian genting itulah bingkainya. Aku bayangkan diri ini terbang melayang dari satu bintang ke bintang yang lain. Bersama siapa lagi kalau bukan dengan Ning. Kenapa ya Tuhan menciptakan bintang? Apa hanya untuk pamer saja? Ah, tak mungkin seperti itu. Lama aku memandang dan berpikir tentang bintang bintang. Tiba tiba aku terbangun dari rebahanku, tapi tetap dengan memandang bintang bintang. Aku tidak sedang memandang senyum Ning di sana. Aku sedang memikirkan sesuatu. Bukankah kata orang bintang adalah masa lampau? Sebagian dari dia sudah mati. Bagaimana jika aku seperti mereka? Aku sudah mati di sini, di bawah genting, tapi mereka masih menganggapku hidup karena mereka tidak tahu. Bukankah itu menyakitkan? Lagian, aku tidak ingin menghabiskan hidupku di tempat yang seperti ini. Sama sekali tidak keren.
Hanya ini yang aku temukan, sebuah lubang di langit langit yang kini tutupnya aku angkat. Di bawahnya tak ada tangga yang bisa aku gunakan turun. Aku dapat mengetahuinya dengan jelas karena lampu ruangan tak dimatikan. Tempat yang sedang aku perhatikan ini bukan sebuah kamar tidur, bukan ruang tamu, bukan ruang tengah, apalagi kamar mandi. Ini seperti ruang kerja. Di sana ada banyak poster, buku bertumpuk. Belum lagi buku yang ada di lemari, ada banyak dan berderet deret. Tepat di bawah lubang yang tutupnya kubuka, ada sebuah lemari yang lebih besar lagi, bergandeng denga sebuah meja kerja. Aku tak tahu apa isi lemari karena memang hanya atasnya saja yang isa aku lihat. Kotor berdebu tapi tak ada barang satupun disana. Satu satunya harapanku untuk turun dari sini, aku harus mendarat sempurna di atap lemari tanpa menimbulkan suara. Kuperhatikan tepian lubang. Hanya ada satu tumpuan yang kuat itupun sedikit memaksa. Pinggiran tiang rumah. Sedangkan kalau memegang tepian lubang, bisa dipastikan hanya akan memperlebar lubang bersamaan dengan suara berdegum pertanda aku sudah tergeletak di lantai. Ah, tidak. Itu hanya akan mempermudah sang pemilik rumah mengantarkan aku ke hadapan Haji Abbas. Padahal aku belum ingin bertemu dengan Haji Abbas. Aku hanya ingin bertemu Ning lalu kembali pulang. Lagian pekerjaan rumah yang akan kupersembahkan pada Ning belumlah selesai. Aku berpikir sambil mulai bergerak. Lebih baik aku menempuh cara ini daripada harus kembali melewati banyak kabel.
Mendarat juga akhirnya aku di lantai yang dindingnya penuh poster. Ternyata aku tidak mencari makan kemana mana. Di lemari yang tadi hanya bisa aku lihat atapnya saja, di sana ada sesisir pisang yang sudah menguning. Sementara di samping pisang ada banyak kaleng yang kesemuanya berisi roti. Persis di samping meja, ada sekotak air mineral yang dikemas ke dalam sebuah gelas plastik. Aku menuju ke arah meja, tapi tidak hendak mengambil air. Aku buka kaos hitamku begitu saja lalu aku gunakan untuk membersihkan meja. Meja ini kotor oleh telapak kakiku yang habis menginjak atap lemari penuh debu. Berhasil juga akhirnya ku bersihkan meja seperti sedia kala meskipun kaosku yang jadi korban. Sekali lagi aku tersenyum menatap meja kerja yang lumayan rapi, baru kemudian mengarahkan pandangan ke lantai. Hah..!!! ternyata bukan hanya meja yang aku kotori, tapi hampir semua tempat yang kulangkahi. Sesaat aku ada dalam keadaan antara bingungdan panik, sampai sampai seperti tak berani lagi melangkah. Pada akhirnya aku memilih untuk membereskan itu semua, membersihkan telapak kaki dan buru buru naik ke atas demi mendengar suara seseorang terbatuk. Sayangnya aku tak bisa lagi kembali ke atas. Posisiku sangat tidak memungkinkan untuk itu. Yang bisa kulakukan hanyalah mengembalikan tutup lubang seperti sedia kala lalu kembali turun. Aku semakin panik tatkala mendengar suara langkah kaki terseret. Segera kutinggalkan ruang terang yang poster posternya belum sempat ku amati. Aku menyusuri ruang demi ruang hingga tiba tiba mendapati diri sudah ada di dalam kamar mandi. Ini bukan kamar mansi yang tadi, batinku. Tak apalah aku di sini saja. Lalu aku menguncinya dari dalam dengan hanya bercelana pendek. Sementara gagang pisau kecil nampak terlihat di pinggang sebelah kiri. Beruntung aku tak jadi melemparkannya ke atas langit langit bersama kaos warna hitam. Lebih beruntung lagi, suara langkah kaki yang terseret itu tak menuju ke arahku.
Di sinilah aku sekarang, di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam, dengan hanya mengenakan celana pendek, bandana di leher, korek di saku yang sangat jarang aku gunakan, dan pisau yang terselip. Apa yang harus aku lakukan?
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar