Ada sebuah gelas besar dengan tutup di atasnya ada di sudut meja rias yang masih berisi setengah lebih air putih. Aku baru saja meneguknya. Tidak aku habiskan, hanya tiga kali teguk saja. Dan itu cukup membuat kaloriku terbakar. Apalagi aku meneguknya tepat di tepian gelas yang meninggalkan jejak lips gloss bibir tipismu. Itu membuatku seperti tidak hanya meneguk air putih saja, tapi juga melumat mesra bibirmu. Apalagi yang aku butuhkan sekarang setelah bibirku dan bibirmu bermesraan? Tak ada. Tugasku di dunia ini hanya tertinggal satu, menyelesaikan pekerjaan rumah. Tak ada alasan untuk berlama lama di kamar Ning.
Mataku terus menerawang mengitari sudut sudut kamar Ning sambil sesekali menatap ke atas, ke lubang kecil yang aku buat. Tapi sama sekali aku tidak bisa melihatnya. Bagaimana aku keluar? Sedang pintu kamar terkunci dua kali putaran. Sambil memikirkan itu langkahku kugerakkan untuk mengelilingi kamar. Pelan dan sama sekali tanpa suara, sepelan aku membuka pintu lemari milik Ning. Semuanya berisi gaun dan jilbab. Hanya ada satu yang berbeda, di lemari tumpukan paling bawah. Ada kulihat sebuah tas punggung perpaduan warna hitam dan kuning pekat. Agak besar dan tali tali penyangganya terlihat kokoh. Aku mengambilnya sambil sesekali masih memperhatikan tas yang penuh saku ini sebelum akhirnya kuletakkan dilantai. Sebelum aku menutup pintu lemari untuk untuk kemudian membuka pintu lemari sebelahnya, ada kulihat sebuah kotak di sudut lemari atas. Segera kuraih dan kulihat apa yang ada di dalamnya. Ternyata berisikan perhiasan. Ada gelang, cincin, giwang, kalung, manik manik, ada yang bentuknya kotak saja tanpa kutahu manfaatnya, ada juga yang berbentuk patung kecil. Dan semuanya terbuat dari emas. Selain itu ada sebuah gelang yang terdiri dari butiran butiran kecil batuan intan. Kukira ini yang paling mahal. Seandainya aku seorang pencuri, aku akan memilih mengambil intan ini saja. Cukuplah untuk memuaskan diri selama sisa hidup. Kenapa lemari yang berisi harta karun ini tidak Ning kunci? Aku memikirkan itu sambil pelan pelan meletakkan kembali kotak yang kalau di rupiahkan hasilnya bisa untuk membiayai ekspedisi penelitian harimau jawa dengan ekspedisi standart ilmuwan negara maju. Baru saja aku menutup pintu lemari dan hendak membuka pintu sebelahnya, aku sudah dikejutkan suara seseorang melangkah. Begitu saja aku menyambar tas yang ternyata belum aku masukkan ke dalam lemari, dan sigap kembali ke kolong ranjang. Bersamaan dengan aku merebah, pintu kamar Ning terbuka. Ternyata dia tidak sendirian, tidak juga bersama temanya yang semalam. Suara orang yang bersama Ning sekarang adalah suara milik seorang laki laki. Dan aku mengenal suara itu. Bukankah itu suara si bangsat? Dalam ketakutan, keringatku yang tadinya dingin serta merta meluap luap berubah menjadi keringat yang mendidih. Kalau saja keringat ini aku kumpulkan, barangkali aku bisa membuat secangkir kopi dari hasil keringatku sendiri.
“Sudahlah Non, kamu nggak usah sedramatis itu dengan kejadian petang kemarin”
Hah, sejak kapan nama Ning menjadi Non? Kalau saja si bangsat tidak sedang bersama Ning, sungguh aku akan keluar dari kolong ini. Akan kuhabiskan mulut orang yang berani mengganti nama indah milik Ning. Namun begitu aku tetap menahan diri untuk tetap tinggal di kolong ranjang dengan mendekap tas yang berpaduan warna antara hitam dan kuning pekat. Sedang tas belanja dan juga spanduk di dalamnya masih setia membantali otak belakang di kepalaku. Dalam rasa cemas yang bercampur dengan emosi luar biasa, aku tetap mendengarkan mereka berbincang.
“Kalau kamu masih saja resah, bagaimana kita bisa fokus dengan penelitian ini? Lagian batas waktu kita tinggal tiga puluh hari. Sayang kalau berakhir kacau, padahal kita sudah melewati dua pertiga perjalanan. Masyarakat butuh hasil penelitian kita Non..”
Aku tak mengerti apa yang sedang si bangsat tuturkan. Dia bilang tentang sebuah penelitian. Dia berkata tentang waktu yang tersisa juga waktu yang sudah dilalui. Aku menjumlahnya menjadi sembilan puluh hari. Apa yang Ning dan si bangsat teliti? Kenapa hasil penelitian mereka butuh waktu sepanjang itu? Kenapa juga hasil penelitian mereka nantinya sangat dibutuhkan orang orang? Semakin aku mendengar pembicaraan antara malaikat dan setan di kamar ini, semakin aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Nanti saja aku akan coba mencari tahu sebelum keluar dari rumah ini, barangkali ada berkas berkas penelitian yang tertinggal. Syukurlah sebab aku bisa membaca, batinku.
“Sudah ada kabar tentang mas Kacong?”
Tiba tiba aku tersentak. Aku seperti tidak sedang berada di kolong ranjang melainkan di atas segumpal awan. Untung saja lututku tidak bergerak dan membentur papan ranjang hingga menimbulkan suara. Bayangkan, seorang Ning menanyakan kabarku, bagaimana mungkin aku tidak berbunga bunga? Dan dia mengatakan itu saat aku ada tak jauh darinya. Apakah ini efek dari bibirnya yang tadi telah kulumat mesra dengan media gelas?
“Belum ada. Kemarin aku dihubungi oleh Haji Abbas. Sayang sejak tragedi jaket dan celana pendek, sampai sekarang aku masih belum boleh ke sana”
Si bangsat terus saja bercerita pada Ning dan aku seksama mendengarkan. Ini sangat penting, karena ini adalah tentang aku sendiri. Jauh lebih penting dari tema penelitian yang awal kudengar. Dari mulut busuknya si bangsat busuk, aku jadi tahu bahwa orang orang kampung heboh dengan adanya celana pendek yang tergantung di ujung kubah. Lebih menggemparkan lagi saat mereka mendapati jaket yang aku bikin menggantung dengan sebuah tusukan sadis di tiang pondok panggung tempat aku tidur saat masih bersama keluarga Haji Abbas. Dan tanpa aku tahu, sehari setelah itu Haji Abbas menyampaikan pernyataan maaf terhadap seluruh warga terumama mengenai insiden kubah. Haji Abbas menyampaikan pernyataan maafnya lewat corong masjid. Aku tercekat demi melihat ini. Pastilah orang orang kampung menaruh dendam padaku. Siapa yang tidak marah melihat rumah Tuhan mereka dihina oleh orang seperti aku. Orang yang oleh mereka dianggap tidak waras hanya karena sering tertawa. Ini bukan lagi tentang celana pendek yang aku lemparkan begitu saja dan menyangkut di ujung kubah. Ini bukan tentang ketidak sengajaan itu. Aku yakin mereka tak akan bisa menerima segala alasan tentang tragedi bodoh. Ini tentang pelecehan agama, tentang SARA, dan aku tahu apa imbalan yang akan mereka berikan. Sudah banyak contoh kasus di negeri ini. Bahkan bisa dikatakan setiap hari ada saja nyawa yang melayang. Terkadang hanya lantaran berebut uang yang tak lebih dari sepuluh ribu. Dan masalahku jauh lebih rumit dari sekedar itu. Ini tentang kubah masjid yang ada celana pendeknya. Ini tentang orang sekitar masjid yang mayoritas muslim. Satu lagi yang aku tahu, Haji Abbas tidak pernah menggunakan corong masjid diluar kegiatan ibadah kalau tidak benar benar sangat mendesak dan dirasa perlu. Terbayang sudah bahaya yang membentang di depanku. Mati di tangan orang kampung.
Klik klik. Pintu kamar Ning terkunci dua kali. Suara itu menyadarkan aku akan lamunan panjang tentang tragedi kubah. Aku tak tahu lagi apa yang merek bicarakan. Bahkan kalau saja Ning tak mengunci pintu, bisa jadi aku tak menyaari kalau mereka berdua sudah kembali keluar. Aku sudah terlanjur cemas, emosi dan panik. Aku cemas saat mereka datang. Aku emosi saat si bangsat memanggil Ning dengan nama baru. Dan aku panik saat Ning membuka pintu lemari yang sebelumnya aku buka. Tapi aku juga bersyukur manakala dia hanya membuka sebentar lalu kembali menutupnya tanpa menyadari tas di tumpukan bawah sudah raib. Barangkali dia kembali hanya sekedar untuk mengunci lemari berisi harta karun itu. Barangkali tadinya dia lupa dan akhirnya kepikiran. Semua cemas, emosi dan rasa panik itu menguap di kepalaku. Berganti dengan bayang bayang amukan warga. Pastilah sampai hari ini mereka sedang memburuku. Dari mulut si bangsat sempat juga aku dengar bahwa orang orang Curah Nongko tidak menaruh curiga padaku mengenai insiden omah londo yang berhasil dibobol orang. Terbukti saat si bangsat bilang, orang orang yakin bahwa orang yang masuk rumah ini adalah salah satu dari perampok yang mencari penghasilan tambahan dengan membobol rumah londo tempat aku bersemayam sekarang. Seandainya aku keluar dari rumah ini dan tertangkap, aku pasti mati. Aku yakin mereka tidak mau tahu tentang titik kesalahanku. Mereka tak perduli aku mencuri atau tidak, mondar mandir di loteng atau tidak, bahkan bersalah karena aku membuat Ning menjerit. Bagi mereka itu adalah urusanku dengan para penghuni omah londo. Aku dan orang kampung punya urusan sendiri. Ini masalah kubah. Dan untuk masalah yang seperti ini, mereka akan beramai ramai melaksanakan jihad. Bukankah sekarang aku ada di jaman yang mana jihad sering disalah artikan? Dan untuk jihad yang seperti itu, darah yang mengucur di tubuhku adalah halal.
Aku membuka pintu lemari yang tadi belum sempat aku buka. Ternyata juga turut dikunci. Pandanganku kuarahkan pada aquarium, lalu berganti ke barang barang elektronik, terus begitu. Sampai akhirnya berhenti pada rak susun yang menyatu dengan meja rias. Segera aku kesana dan membuka rak paling atas. Isinya beberapa sisir rambut, kaset cd, tempat bedak yang tak terpakai, sabuk dan barang remeh temeh lainnya. Tanganku meraih sabuk warna hijau lumut yang ada tulisannya adventure. Tak mungkin Ning memakai sabuk yang seperti ini. Sabuk ini terlalu jantan untuk perempuan yang sama sekali tak terkesan tomboi. Selain itu, sabuk yang bentuknya sederhana dan sama sekali tidak modis ini tidak berwarna biru muda. Jadi mana mungkin Ning memakainya? Sementara otakku terus berpikir, tanganku sudah bekerja memakaikan sabuk itu di rongga rongga celana pendek. Sekarang aku tak terlalu khawatir pisau kecilku akan jatuh. Sudah ada sabuk yang melingkar di pinggang. Melihat sabuk ini aku jadi teringat para pencinta alam yang sesekali mengadakan kunjungan ke tepian hutan batas perkebunan dan taman nasional. Model sabuk mereka sama persis dengan yang aku kenakan. Setidaknya dengan mengenakan sabuk, aku bisa sedikit mengecoh perut yang belum aku isi apa apa. Setelah puas degan sabuk, tanganku kembali membuka rak loker berikutnya. Tak ada yang penting di sana selain sebuah kerpus penutup kepala warna hitam persis penutup kepala ninja. Aku meraihnya dengan hati bersorak. Aku coba menggunakan kerpus itu untuk kemudian bercermin. Inilah aku sekarang, si kacong yang menghujat rumah Tuhan dengan memberi celana pendek di ujung kubah yang meruncing. Semoga dengan kerpus ini orang orang Curah Nongko tak lagi mengenaliku. Rak loker itu segera kututup hampir berbarengan dengan membuka rak loker terakhir, dan semuanya kulakukan dengan tanpa menimbulkan suara. Isinya tak lain hanyalah setumpuk kertas putih dan beberapa bendel buku. Tak kuperiksa apa yang ada di tengahnya karena aku lebih memilih untuk memasukkan semua itu ke dalam tas milik Ning. Tas yang bentuk dan paduan warnanya secantik pemiliknya.
Spanduk sudah aku masukkan ke dalam tas belanja. Dan keduanya kini sudah ada di dalam tas gunung milik Ning yang sudah merapat di punggung dan sudah terisi setumpul kertas, bendelan dan entah apa lagi. Bandana masih setia dileher, sedang penampilanku terlihat lebih meyakinkan dengan memakai kerpus hitam. Sayangnya aku tak tahu bagaimana cara untuk keluar dari kamar Ning. Satu satunya jendela yang ada tertutup teralis besi dengan jendela tertutup rapat oleh papan papan kayu jati yang terpasang kokoh. Ku edarkan lagi pandanganku ke sudut sudut kamar. Nihil. Tak ada jalan keluar. Yang ada hanya potret Ning yang tersenyum manis dengan pandangan mata selalu mengikuti kemanapun aku bergerak. Semakin sering aku mencuri pandang ke arah potret itu, semakin aku tidak konsentrasi memikirkan jalan keluar. Akhirnya potret close up berukuran lima belas R itu berakhir di dalam tas yang ada di punggungku. Untung saja pas. Potret itu masuk bersama pigura berbalut kaca yang semakin mempermanis senyum Ning yang sudah teramat manis. Setelahnya, kulangkahkan kakiku mendekati jendela berteralis besi. Dari kisi kisi teralis, ku ulurkan jari jari tangan untuk mencoba membuka jendela. Ternyata mudah. Aku hanya membuka kuncian jendela sebelah kanan, itupun hanya cukup menciptakan celah sedikit saja. Dari sana aku bisa memandang keluar meskipun tidak leluasa. Cukuplah untuk kondisi yang seperti sekarang. Dari pengintaian ini aku mendapati sesuatu yang penting. Tidak jauh dari arah aku mengintip, ada sebuah saluran air yang lebarnya kira kira hanya selangkah, dengan kedalaman yang tidak berarti namun cukup untuk menyembunyikan diri. Saluran air ini terttutup teralis, tapi ada sebuah lubang kecil yang hampir berhimpitan dengan tembok rumah. Lubang berukuran selangkah kali selangkah itu menurut perkiraanku memungkinkan aku masuk. Yang paling penting dari saluran ini adalah tujuan pembuangan airnya. Saluran air itu menuju ke luar rumah dengan melewati pagar tembok yang atasnya dilengkapi oleh pecahan beling. Kalau saja aku bisa keluar dari jendela ini. Aku memikirkan itu sambil menutup pintu jendea. Kusandarkan kepalaku yang pusing ini di salah satu jeruji teralis sambil kedua tangan juga memegang jeruji lainnya. Tiba tiba telingaku menangkap sesuatu. Kali ini bukan suara langkah kaki Ning. Suara itu datangnya dari teralis. Kregg..!!! Kupandangi jeruji satu persatu. Tidak lama kemudian aku menemukan sebuah keganjilan. Las jeruji tidak menempel erat dengan besinya. Ku perhatikan lagi, lalu coba aku pegang dengn sedikit menarik dan mendorong. Bukan main, ternyata sama sekali tidak rekat. Satu satunya yang membuat jeruji di jendela sebelah kiri ini tak terlihat tak rekat tidak lain karena di tengah tengah jeruji yang membujur horizontal ini ada dua lonjor jeruji yang membujur horizontal sebagai palang penguat. Aku coba ungkit lagi satu satunya jeruji paling tengah yang cacat produksi ini, lalu dengan sekuat tenaga menariknya ke dalam. Sekarang ada celah untuk kembali pulang. Tapi apa cukup? Celah ini tidak lebih besar dari layar monitor di rental rental pengetikan yang masih menggunakan monitor dua belas inchi. Aku memeras otak. Aku ingat ingat kembali saat aku turun ke lorong dalam keadaan panik dengan lubang yang kurang lebih sama dengan lubang ini. Tapi ini berbeda. Ini tidak menuju ke arah bawah. Aku harus memasukkan kepala terlebih dahulu untuk mencoba keluar dari sini. Dan itu masalahnya. Belum lagi saat aku hendak keluar. Ada tuntutan yang mengharuskan aku untuk membuka jendela kiri lebar lebar. Bagaimana jika saat aku mencoba keluar ada orang lain yang memergoki jendela kamar Ning terbuka sembari melihatku ada di antara jeruji teralis? Itu sama saja aku membuat perangkap untuk diri sendiri. Tak beda jauh dengan seekor tikus yang terperangkap dengan perangkap model jepret yang ujungnya bergerigi runcing, serta ada sedikit ikan tongkol di atasnya. Tapi tak ada waktu, apapun yang terjadi terjadilah. Aku mengatakan itu sembari membuka jendela perlahan hingga akhirnya terbuka lebar. Sinar mentari merasuk begitu saja menembus wajahku demi menyinari kamar Ning. Mula mula silau, tapi aku terlalu takut untuk terlalu lama terlena oleh silau mentari. Dengan memaksa diri dan mata yang masih beradaptasi, ku letakkan tas yang tadinya melekat di punggung mendekati jendela. Pisau kecil juga aku masukkan ke dalam tas, khawatir terjatuh saat aku mencoba keluar. Aku memutuskan bahwa aku dulu yang harus keluar dari jendela ini. Seandainya tas ini aku lemparkan duluan, aku khawatir kaca pigura pecah sehingga merubah potret wajah Ning yang tadinya tersenyum menjadi cemberut. Masih memakai kerpus, kumasukkan kepala ini lalu melesakkan diri dari himpitan jeruji. Senti demi senti keluarnya tubuh ini diliputi oleh kekhawatiran yang panjang. Hingga akhirnya aku benar benar bisa keluar dari jendela dengan posisi jatuh yang sulit aku gambarkan. Bunyi jatuhnya tubuhku sendiri saja sepertinya hampir sukses mencopot paksa jantungku. Cepat cepat aku berdiri, meraih tas dan memaksanya untuk secepat mungkin keluar jendela. Berhasil. Langkah selanjutnya masih sesuai rencana. Aku lari ke arah lubang saluran air dimana kutitipkan harapan untuk bisa keluar dari rumah ini dan segera pulang. Dan saat aku benar benar meringkuk dalam kondisi aman dengan air di bawahku yang aromanya seperti mulut si bangsat. Tiba tiba saja aku memikirkan Ning. Membayangkan tentang raut wajahnya ketika pertama kali mendapati jendela kamarnya dijebol orang. Bukankah itu akan memperparah rasa takutnya? Aku tidak ingin menakuti Ning seperti tidak inginnya aku melihat Ning terluka. Lagi lagi aku takluk oleh pepatah lama bahwa cinta itu buta. Ku tinggalkan lubang yang menawarkan kemerdekaan ini untuk menuju jendela kamar Ning. Kali ini punggungku tak lagi menggendong tas. Aku meninggalkannya di bawah lubang hingga membuat pantat tas basah sekitar lima senti dari bawah. Barangkali isi di dalamnya juga basah oleh air yang beraneka warna itu. Sekuat mungkin kutarik kembali teralis yang menjorok ke dalam kamar Ning. Kubuat begitu rupa hingga benar benar menempel seperti tak pernah terjadi apa apa. Dan mujur ada di pihakku. Bekas bekas las itu menempel kembali. Yang membuat jeruji itu kembali menempel tidak lain karena ada bagian kecil las yang menonjol kasar dan itu kubuat untuk sebagai pengait yang lebih menguatkan posisi jeruji. Sempurna. Benar benar sesuai harapan. Sekarang tinggal masalah jendela. Dengan masih menggunakan kerpus dan tentu saja masih mengidap virus cemas yang akut, masih saja aku menyediakan waktu untuk memikirkan bagaimana agar jendela kembali terkunci. Kuncian jendela terbuat dari bahan logam kuningan tebal dan bentuknya vertikal. Jendela akan terkunci dari dalam manakala aku sukses menahan logam kuningan ini dengan salah satu jariku mengangkat ke atas. Setidaknya hingga pintu jendela mendekati tertutup. Saat kuncian yang aku taha ke atas dengan jari mendekati kayu kusen jendela yang paling bawah, aku akan mendorongnya. Bila terdengar suara klik, maka aku berhasil. Jika tidak, setidaknya aku sudah memperjuangkan yang terbaik untuk Ning. Berhasil dan gagalnya masalah jendela ini memiliki resiko yang sama, yaitu menimbulkan suara. Dan berhasil tidak berhasil, aku harus kembali secepatnya ke lubang kemerdekaan, sebelum ada yang memeriksa datangnya suara. Dan sekaranglah saatnya. Perlahan aku mendorong pintu jendela. Berbarengan dengan itu jari telunjuk tangan kananku memegang engsel pengait yang kutahan ke atas. Pada saat engsel pengait sudah hampir menempel pada kusen jendela dimana di kusen itu ada lubang tempat biasa engsel pengait berlabuh, aku mulai ambil ancang ancang. Dan kudorong juga akhirnya pintu jendela dengan telapak tangan kiriku. Bunyinya berhasil membuat gendang kedua telingaku berdengung. Tapi bersamaan dengan suara gedubrak, ada kudengar juga suara klik pertanda misi berhasil. Itu juga yang membuat langkahku lebih sigap menyongsong lubang saluran air. Sementara di bawah lubang, Ning setia menanti kehadiranku dengan senyum yang mengembang, meskipun ujung bawah piguranya sedikit basah. Tak menunggu lama aku segera bergerak tanpa menimbulkan suara. Tentu saja dengan punggung yang kembali menggendong senyum manis Ning.
Aku sudah di mulut saluran air. Tadi saat aku ada di bawah teralis besi penutup saluran ini, sedikit sedikit aku menatap jendela kamar Ning, tapi tak terjadi apa apa. Hanya saja di sekitar rumah satu demi satu orang keluar untuk mencari tahu suara apakah gerangan. Satu dari mereka memegang senapan laras panjang, alat paling efektif untuk mengacaukan siklus ekosistem hutan. Barangkali senapan itu juga pernah merebahkan harimau jawa. Ah, kenapa Ning bisa ada di antara orang orang bangsat?. Aku melamunkan itu sambil masih termangu di mulut saluran air. Untuk menuju kemari, aku harus melewati beberapa puluh meter saluran berteralis besi. Memasuki mulut pagar yang atasnya ada beling runcing berjajar, aku masih harus menaklukkan lorong gelap bercempolong tanpa sedikit pun sinar. Lagi lagi aku dihadapkan pada kenyataan bahwa selalu siap membawa korek api itu penting. Tidak bisa diremehkan. Ternyata korek api bukan hanya salah satu peralatan dasar untuk bertahan hidup. Sesekali dia juga bisa menjadi penerang hidup kita.
Sesekali aku melihat orang dewasa dan beberapa anak kecil yang hendak berangkat menunaikan shalat maghrib berjamaah. Mereka berjalan sigap beriringan seakan akan sedang melangkahkan kakinya ke titian surga. Orang orang seperti inilah yang aku lukai hatinya. Mereka orang orang yang baik. Sayangnya kesempatan mereka untuk mendapatkan ilmu sebanyak mungkin terhalang oleh mahalnya biaya sekolah. Padahal hanya menawarkan kurikulum yang tak jelas. Kurikulum yang hanya melahirkan bos penebangan liar, pemimpin pertambangan yang bermain sianida dan air raksa, dan masih banyak lagi. Aku malas untuk menyebut juga bahwa kurikulum ini berhasil manis menternakkan koruptor. Sudah basi. Sudah dibahas berulang ulang. Harusnya sistemnya yang dipikir dan disegarkan kembali. Sayangnya bukan itu yang diminati. Para penyelenggara lebih senang dengan hanya mengganti istilah istilahnya saja. Coba kita ingat lagi bagaimana orang orang itu pusing mengganti istilah untuk ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Mulai dari sipenmaru, UMPT, SPMB, dan entah apalagi. SMA diganti SLTA, diganti lagi SMU untuk kemudian kembali lagi ke istilah lama. Dan ini berlaku pada semua bidang. Apa manfaatnya buat rakyat? Yang ada hanya manfaat yang bisa dirasakan oleh para penyelenggara negara saja. Mereka akan dengan bangga mengatakan, itu aku yang mengesahkannya. Satunya lagi bilang, Alhamdulillah ideku dipakai juga sama pak menteri. Apakah kata kata itu bisa menambah kas negara? Sangat tidak. Yang terjadi malah sebaliknya. Bayangkan efek nyata dari penggantian nama STM menjadi SMK. Ada berapa STM di Indonesia? Katakanlah ada seribu. Dari seribu sekolah, masing masing dari mereka butuh setidaknya mengganti stempel, papan nama sekolah, kop surat, dan itu semua butuh uang. Itu masih STM, belum lagi SMA yang jumlanya jauh lebih banyak. Contoh yang paling remeh dan paling murah saja. Kop surat. Ada berapa juta lembar kop surat yang harus mereka ganti? Sementara kop surat lama dengan persediaan yang masih banyak ditumpuk begitu saja di sudut gudang sekolah. Apa para pemimpin itu terlalu bodoh hingga mereka lupa bahwa selembar kertas juga berasal dari tumbangnya sebuah pohon? Butuh berapa pohon lagi yang tumbang hanya dari sebuah keputusan bodoh? Barangkali kita bisa sedikit bernapas lega dengan hadirnya media media semacam komputer dan juga dunia blog. Dua duanya sama sama digemari dan sama sama bisa menggantikan peran kertas dari sisi pemakaian. Tapi bukankah itu tidak serta merta bisa menahan laju pemakaian kertas? Bolehlah kita menggunakan berlembar lembar kertas, bolehlah kita mencetak beribu eksemplar media semacam tabloid, sepanjang itu bermanfaat dan sesuai dengan batas kebutuhan. Ah, seandainya saja aku jadi menteri pendidikan, pastilah akan kumasukkan juga mata pelajaran lingkungan hidup sebagai mata pelajaran wajib tak kalah dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, agama, matematika dan lainnya. Tak akan aku rubah hal hal yang sangat tidak perlu. Akan kuteruskan yang sudah baik dan menyegarkan kembali apa saja yang tidak segar. Juga akan aku dukung sepenuhnya pola pendidikan yang sifatnya menempa diri semacam perguruan kungfu master. Sayangnya pola pendidikan semacam itu di negara ini hanya ada di dunia pesantren. Lebih disayangkan lagi, cara pandang masyarakat terhadap tokoh agama bukan sajaa mengalami pergeseran. Aku lebih senang menyebutnya sebagai perpindahan. Ini semua hanya karena ulah segelintir kyai yang melakukan hal tak selayaknya. Dari segelintir kemudian di ekspose habis habisan hingga terlihat menjadi banyak. Dan dari banyak menjadi semua. Itu semua hanya karena di jaman ini telah ada media yang bukan hanya mampu menampilkan suara dan gambar secara bersamaan, tapi juga mampu memolesnya sehingga menjadi sesuatu yang layak ditonton. Sesuatu yang sepertinya benar benar terjadi di depan mata, walau dengan skala yang berbeda. Ya benar, sesuatu itu berbentuk kotak. Kotak kecil yang tadinya hanya bagian dari sebuah karya cipta budaya manusia. Siapa yang mengira bahwa lambat laun bagian dari kebudayaan ini pada akhirnya berubah menjadi monster penentu jalannya kebudayaan. Itulah televisi. Sayang tak ada televisi yang berbasis ekonomi kerakyatan. Televisi yang tak butuh para pemodal. Tapi bisakah di jaman sekarang ini televisi terus bertumbuh tanpa butuh iklan? Seandainya saja aku benar benar menteri pendidikan yang sedang ditanyai tentang itu, aku akan dengan senang hati menjawabnya. Aku akan menjawab, sesuatu yang tiodak mungkin hanyalah karena belum dicoba. Seandainya ada yang menyangkal dan menyodorkan nama TPI di depanku, aku akan tetap dengan senang hati menjawabnya. Satu tayangan tak bisa dikerjakan oleh satu orang, tetapi team. Nah, mari kita buat sebuah team yang orang orangnya punya sikap dan karakter baja. Di satu sisi kita tahu, orang orang berkarakter hanya akan lahir dari pola pendidikan yang juga berkarakter. Kalau orang orangnya tidak cukup atau tidak ada sama sekali, barulah kita berpikir untuk membuat pola pendidikan yang melahirkan siswa siswa yang seperti itu. Dalam hal ini, jangan sampai kita lupa dan meminggirkan peran penonton sebagai bagian aktif dari apa yang kita bahas. Karena televisi bukan hanya masalah gagap teknologi. Bukan hanya pada masalah bagaimana terkaget kagetnya kita pada kejutan teknologi. Ini masalah SDM dan penonton wajib ikut diberdayakan, bahkan sebelum menonton televisi. Mereka juga harus ditempa untuk menjadi penonton yang berkarakter. Dengan kata lain, semua orang berhak akan pendidikan yang bersifat menempa diri dan mencerdaskan. Remote televisi akan menjadi bermanfaat bila ada di tangan orang yang berpendirian kuat dan memiliki sikap. Dia adalah orang yang mengerti kapan harus menonton dan kapan harus memindahkan chanel saat sajian yang dia tonton hanya menawarkan pembodohan saja. Penonton seperti inilah yang mengerti kapan harus menekan tombol off saat semua saluran hanya berisi kekerasan, sajian dangkal dan bersikap membodohkan saja. Saat satu diantara mereka lagi lagi melemparkan pertanyaan, bukankah itu semua butuh waktu yang tidak sebentar? Dan apakah kita harus meninggalkan semua yang ada dengan sekuat tenaga tidak menikmatinya? Dengan mudah aku akan menjawabnya, kita tidak harus kembali ke jaman primitif dimana masih belum ada televisi. Nikmati saja sajian televisi yang sedang kita tonton. Manakala kita resah, tidak menemukan acara yang mencerdaskan, kembalikan semua pada hati nurani. Dengan hati nurani, kita dituntut untuk bisa memilih yang terbaik. Bagaimana jika tetap resah? Jawaban yang pasti aku berikan ada hanya satu. Bahwa kita sudah tak punya waktu yang lebih panjang lagi untuk tidak merevolusi pola pendidikan.
Aku mendapati diriku ada di tempat yang dindingnya lembab dan bawahnya berair. Aroma yang tak sedap menyadarkan aku bahwa aku ada di mulut saluran air yang bercempolong seperti gua. Kalau tidak benar benar capek, tidak mungkin aku bisa tertidur di tempat yang sebau ini. Ya, aku tertidur. Seingatku, tadi aku masih sempat melihat orang orang berlalu di jalan yang agak jauh dari mulut saluran air ini. Aku masih belum tertidur saat mereka berangkat hendak menunaikan shalat maghrib berjamaah. Setelahnya aku tidak ingat lagi. Rupanya aku mimpi begitu panjang. Memimpikan Indonesia. Sampai sampai aku berkhayal jika aku menjadi seorang menteri pendidikan. Bisa juga ternyata berkhayal dalam mimpi. Kalau saja aku tak di kondisi sekecut ini, sejak tadi kuledakkan kampung yang sudah sunyi ini dengan sebuah tawa. Sudah berabad abad rasanya aku tidak tertawa.
Lapar yang sebegitunya menggerakkan aku semakin menjauh dari mulut saluran air. Tuntas sudah kulalui genangan limbah. Sudah beberapa rumah penduduk aku lewati dengan perasaan yang bercampur baur. Antara takut dan lapar. Sebentar sebentar aku membetulkan letak kerpus dengan mata yang tak henti menatap sekitar. Dari salah satu rumah terdengar suara lonceng penanda waktu. Sebelas kali. Selain itu tak ada lagi selain suara serangga malam. Pekatnya malam menambah kesunyian kampung semakin menjadi jadi. Tak satupun bintang di langit sekedar turut merayakan perjalananku pulang. Langit semakin gelap. Kali ini disertai gerimis. Aku semakin mempercepat langkah khawatir hujan deras akan turun dan aku tak bisa menyeberangi sungai kecil. Semakin aku mempercepat langkah semakin aku waspada dan siap berlari. Tiba tiba hujan deras datang seketika bersamaan dengan langkahku yang memburu. Aku berlari sekencang kencangnya. Aku baru berhenti berlari dan cepat cepat mencari tempat berteduh kala menyadari di dalam tas ini begitu banyak kertas yang harus diselamatkan. Apalagi aku sedang bersama senyum Ning.
Aku mendapati diri sedang meringkuk di belakang rumah orang. Ternyata aku berhimpitan dengan kandang ayam yang mengeluarkan suara gaduh. Suara hujan menyelamatkan aku. Tempat aku berteduh ini ternyata tak hanya ada kandang ayam. Ada juga beberapa ekor kelinci dalam satu kandang yang tak begitu besar yang di atasnya ditimpuki kandang burung merpati jenis kaki berbulu. Sebentar kemudian kuletakkan tas di tempat yang aman dekat kandang ayam, lalu beredar ke seluruh ruangan belakang rumah, entah rumah siapakah ini aku tak tahu. Sesampainya di dinding dapat kudengar dari dalam rumah suara radio pertanda si empunya rumah masih terjaga. Dalam gelap, hujan dan lapar mataku semakin jelalatan. Aku terus mencari apa saja sesuatu yang sekiranya bisa aku makan. Tidak ada apa apa. Hanya ada sebuah ranjang dari kayu yang di atasnya cuma ada tikar, beberapa tas plastik, dan barang pecah belah khas dapur orang kampung. Di sebelahnya lagi ada sumur. Bersebelahan dengan sumur ada sebuah pintu bilik bambu. Ragu ragu tapi akhirnya aku dekati juga pintu itu. Lalu aku mencoba untuk mendorongnya. Tidak dikunci. Aku kembali dihadapkan pada sebuah keraguan. Apakah aku harus masuk dan mencari makanan. Bagaimana kalau terpergok? Sementara dari dalam rumah ini aku masih mendengar suara radio yang belum dimatikan. Rasa lapar terkadang bisa membuat kita melakukan apa saja. Itu yang aku lakukan sekarang, lagi lagi memasuki rumah orang. Hanya saja kali ini benar benar aku sengaja.
Rumah yang bersahaja, itu yang aku rasakan ketika pertama kali masuk. Sebuah dapur lengkap dengan tungku dan beberapa ikat kayu bakar. Ada bawang merah, bawang putih, ikan kering, sebuah jaring sebesar tas plastik yang berisi cabe kecil, dan buah petai. Semuanya digantung persis di samping meja makan. Sedangkan di dekat meja makan ada sebuah pintu yang tertutup. Sepertinya pintu itu menghubungkan dengan rumah induk. Ini sedikit melegakan. Setidaknya aku hanya masuk di wilayah dapur saja. Segera aku mendekati meja makan untuk kemudian membuka kurung penutup makanan. Disana ada nasi sebesek, dua potong tempe goreng dan nggak ada lagi. Hanya itu. Tapi itu semua sangat mahal untuk seseorang yang hampir mati kelaparan. Tak menunggu lama piring yang berisi dua potong tempe goreng aku tambahi beberapa centong nasi, lalu melahapnya sambil tetap berdiri. Sesaat kemudian aku sudah meletakkan piring di dekat besek anyaman bambu, lalu menutupnya kembali. Segera aku ke arah air gentong dan dengn menggunakan gayung, aku minum sebanyak banyaknya. Persis di sebelah gentong ada empat buah karung. Satu diantaranya berisi setengahnya. Setelah aku lihat, ternyata butiran beras. Tanpa menunggu babibu, aku angkat beras yang berisi setengah karung kemudian keluar dan menutup pintu. Hujan sudah mulai mereda tapi tak benar benar telah berhenti. Aku butuh beras ini untuk aku bawa pulang. Semoga Tuhan memberi ganti yang lebih baik pada pemilik rumah ini. Aku mengatakan itu sambil mataku terarah pada beberpa tas plastik yang ada di atas ranjang kayu.
Aku bergerak melewati jalan jalan yang tak seharusnya. Dengan tas di punggung dan setengah karung beras yang terselempang di bahu kiri. Semua barang barang yang ada di dalam tas aku bungkus rapat dengan tas plastik, bahkan aku rangkap dua. Begitu juga dengan beras beras di karung. Aku memindahnya ke dua tas plastik, merangkapnya, kemudian aku taruh kembali ke dalam karung. Ini semua aku lakukan hanya untuk menembus hujan yang kembali deras. Aku pikir akan lebih aman aku berjalan dalam hujan. Dalam malam yang hujan seperti ini, siapa yang tak enggan keluar rumah. Aku berjalan dan terus berjalan sampai akhirnya tiba di tepian sungai. Nyai biasa menyebutnya sungai kecil. Kali ini aku memilih melewati jembatan meskipun harus melangkah lumayan jauh. Seperti layaknya sungai sungai di tepian hutan tropis, debit air sungai ini sangat mudah meninggi bahkan saat tak datang hujan. Kalau di siang hari mudah menandainya. Air yang tadinya bening tiba tiba menjadi sedikit keruh, lalu keruh dan airnya bertambah, lalu tiba tiba saja sudah ada gelombang air yang menyapu jalur sungai. Itulah kenapa aku memaksa diri untuk lewat jembatan saja meskipun mau nggak mau harus melewati pondok panggung, masjid dan rumah keluarga Haji Abbas. Semoga tak satupun ada orang kampung yang hendak mengaji di masjid dan menemukanku. Pada akhirnya aku benar benar melewatinya. Entah mendapat kekuatan dari mana tiba tiba aku melangkahkan kaki semakin mendekat ke arah pondok panggung yang berhimpitan dengan kandang. Tak kubawa serta karung berisi beras dan tas di punggung yang basah. Aku menaruhnya di bawah pohon yang rindang. Di sini tas dan karung tak langsung terkena air hujan. Semoga saja Ning tak kedinginan.
Tidak ada perubahan berarti. Dalam kegelapan aku bisa dengan sangat jelas melihat tempat tempat yang disinari lampu. Kali ini ku arahkan pandangan mata ke ujung kubah. Aku bisa melihatnya meskipun samar. Dengan melihat itu aku jadi teringat kejadian suatu sore di depan pondok panggung, beberapa meter dari tempatku sekarang. Dan itu tentu saja membuatku teringat akan si bangsat. Tapi ingatan pada si bangsat sama juga dengan mengingatkan aku kembali pada bahaya laten orang orang kampung. Dan ingatan itu berhasil sempurna membuat badanku yang basah kuyup ini masih saja bisa berkeringat dingin. Ah, tak baik aku terlalu lama di sini. Aku mulai membalikkan badan, tapi kemudian diam. Aku tak melangkah kemana mana. Tak lama setelahnya aaku kembali membalikkan badan dan menuju ke arah kandang. Mula mula aku melihat kambing kambingku. Aku melihat mereka nyaris tanpa menimbulkan suara. Tapi mengembik juga mereka. Bahkan derasnya hujan seperti tak mampu meredam suara detak jantungku yang cemas luar biasa. Belum lagi suara ayam yang gaduh oleh suara kambing mengembik. Ini hanya menjadi pelengkap ketakutanku. Beruntung suaraa kambing kambing itu tidak terus menerus, tidak seperti rasa takutku yang tak kunjung padam. Begitupun, ulah mereka sukses membuat aku reflek tiarap dan siaga penuh sambil mata ini tak lepas kusorotkan ke rumah Haji Abbas. Dalam ketakutan aku masih sedikit bersyukur lantaran tak terlihat ada tanda tanda Haji Abbas terjaga. Aku masih takut, tapi ku teruskan juga untuk kembali berdiri dan melangkah ke arah kandang ayam. Tanggung. Biarlah sekalian takut sekalian aku tuntaskan saja rencana mendadak ini. Agak lama aku di kandang ayam sambil sesekali melongokkan kepala ke pondok panggung. Bukan untuk apa apa, dalam ketakutan yang sebegitunya, masih ada terselip rasa rindu dihati untuk melihat pondok panggung barang sebentar. Setelah urusanku di kandang ayam ku selesaikan dengan senekat dan secepat mungkin, segera aku menjauhi ayam ayam yang semakin gaduh itu. Semakin mereka gaduh, semakin aku melesak di derasnya hujan.
Aku sudah melewati jembatan yang menyeberangi sungai kecil, sementara hujan lebat telah berganti gerimis. Kali ini aku memilih untuk melangkah cepat. Masih dengan bandana di leher, tas di punggung dan dua karung yang kedua duanya aku tumpukan di pundak. Sementara kerpus baru saja aku buka lantaran semakin lama semakin basah dan airnya mengaliri mata. Satu karung tambahan ini aku isi sebelas ekor ayam dan sekeranjang jagung untuk pakannya. Jagung ini aku kumpulkan menjadi satu dengan karung beras. Aku tak mau mengingat lagi bagaimana perasaanku saat mengambil sebelas ayam ayam ini. Takut bercampur dengan sedikit nekat, badan rasanya panas dingin, dan bayang bayang akan berakhir di tangan orang kampung terus bergelayut di depan mata. Dan aku melakukan ini untuk orang yang paling aku rindukan senyum manisnya. Aku ingin saat dia berkunjung, ada ayam ayam yang akan menyambut kedatangannya. Yang aku lakukan addalah pertarungan lahir batin. Juga pertarungan antara rasa takut dan cinta yang sebegitunya. Dan semuanya hanya untuk menyambut kehadiran Ning.
Semakin lama langkahku tidak malah semakin lambat. Beban yang semakin berat tak kujadikan alasan untuk memperlambat langkah. Entahlah, baru sekarang aku merasakan ini. Datang seketika dan begitu saja. Seperti ideku untuk mengambil ayam ayam ini demi Ning, ide itu juga datang tiba tiba. Sekarang yang kurasa, aku merasa sangat lancang mengambil sebelas ayam dan sekeranjang jagung tanpa sepengetahuan Haji Abbas dan Nyai. Tadinya saat aku mengambil sebagian kecil dari ayam ayamku, tak kurasakan perasaan ini. Tapi kenapa sekarang aku semakin resah dan semakin merasa bersalah pada Haji Abbas? Rasa bersalah yang semakin lama semakin menjadi jadi itu bercampur aduk menjadi satu dengan rasa takutku akan kemarahan warga. Satu orang kampung saja yang melihatku, maka tamatlah harapanku menanti kedatangan Ning di rumah. Dan rasa yang berkecamuk ini memaksa aku untuk tak lagi berjalan. Aku memutuskan untuk berlari dan terus berlari. Aku baru benar benar berhenti saat sampai di pondok ladang yang tepian pondoknya tak berdinding. Namun begitu aku tak beristirahat cukup lama di sana. Sesaat setelah meneguk air sumur, aku kembali bergerak di malam pekat tak berbintang dan yang tak lagi turun hujan. Kali ini aku tak berlari, tapi tetap saja langkah langkahku jelas menggambarkan langkah orang yang dikejar sesuatu. Aku melangkah dengan hanya mengandalkan naluri untuk mengingat jalur yang pernah aku susuri. Satu lagi, aku juga mengandalkan ketajaman mata untuk melihat dalam gelap. Aku terus bergerak maju, sementara karung yang berisi sebelas ayam seperti tak mau berhenti untuk ikut bergerak. Melihat ini, Ning hanya tersenyum sambil terus menatapku dari balik punggung.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar