Rumah adalah satu satunya alasan paling masuk akal yang menyebabkan kita mengenal dan menghargai makna dari sebuah kata, pulang.
Di sinilah aku sekarang, di rumah yang luasnya tak lebih dari selembar matras bujur sangkar. Ada tiga goresan luka di lengan tangan kiriku. Sengaja aku membuatnya sebagai penanda hari saat kemarin tak sedang ada di sini. Tiga hari yang lalu aku telah memindahkan tiga goresan ini di tiang rumah bagian luar, yang jika saat bulan purnama, tiang itu tersiram oleh pantulan sinar purnama. Seperti sedang saling berpelukan. Dan tiang itu sekarang bertambah tiga goresan selama aku terjebak di rumah londo, ketambahan lagi tiga goresan selama aku disini, sedangkan aku berangkat di hari ke empat belas. Itu semua yang menyebabkan jumlah goresan penanda hari menjadi sebanyak dua puluh goresan.
Setibaku di rumah tiga hari yang lalu, pagi sudah bersinar terang. Aku bersujud mengecup tanah demi mendapati kenyataan bahwa aku sudah benar benar pulang. Begitu senangnya aku hingga mendapati kedua mata ini membasah. Apakah aku menangis? Entahlah. Aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kali aku menangis. Sampai saat ini aku masih memikirkan mata yang membasah itu. Sebenarnya ini hanya sebuah pertanyaan sederhana dan tak harus dipikirkan selama ini. Bayangkan, aku tak berhenti memikirkan mata milikku sendiri yang sembab oleh air. Apakah aku menangis? Hanya itu petanyaannya. Tapi kenapa aku tak bisa menjawabnya?. Seperti juga aku tak bisa menjawab pertanyaan ikutannya, tentang kapankah aku terakhir kali menangis. Kedua pertanyaan itu mengantarkan aku pada sebuah pertanyaan baru. Pertanyaan ketiga ini sama sederhananya dengan dua pertanyaan sebelumnya. Pernahkah aku menangis? Dan untuk pertanyaan ini aku juga gagal total untuk sekedar mencari jawabnya. Barangkali aku terlalu lelah karena beberapa hari hidup dengan memeluk bahaya. Hidupku beberapa hari ini terlalu dekat dengan garis kematian. Mungkin itu juga yang membuat otakku tak bisa bekerja dengan baik. Aku hanya butuh beraktifitas dan berkreasi kembali biar saraf saraf otakku segar kembali. Sesegar senyum Ning yang kini setia menemaniku di rumah.
Tunas tunas pisang seakan tersenyum menyambut hari yang selalu menyegarkan. Sementara mereka tersenyum, aku semakin tertunduk penuh syukur menyadari kenyataan bah wa aku telah ada di rumah dan telah mulai menyiapkan kembali apa saja yang butuh aku siapkan untuk menyambut kehadiran Ning. Terlihat ada yang berbeda tiga hari ini, padahal saat pertama kali pulang, keadaan rumah kacau balau. Daun daun di puncak bukit ini berterbangan hingga sampai ke pelataran. Atap rumah yang terbuat dari seng juga tak luput dijadikan landasan oleh dedaunan. Sedang keadaan rumah sendiri pintunya terbuka lebar. Ada banyak tai monyet di atas matras. Padahal seandainya sekumpulan monyet ini mengerti, aku menanam tunas tunas pisang nantinya juga untuk berbagi dengan mereka. Tapi tak apalah, toh aku sudah membereskan semuanya. Matras sudah kubersihkan dengan air yang kini tak ku khawatirkan. Setiap hujan tiba, aku menampungnya di seluruh wadah yang ada. Bahkan panci susun yang biasa dipakai tentara juga aku buat wadah air. Seluruh jurigen semuanya penuh air dan kini kusimpan di bawah kolong rumah dengan tutup terkatup rapat. Alat alat seperti cangkul, pecok, linggis dan lainnya kini aku taruh luar. Yang bisa digantung aku letakkan dengan menggantungnya. Sementara yang tidak, aku letakkan begitu saja di kolong rumah berkumpul dengan jurigen. Untuk barang barang kecil seperti martil besar dan keci, piring seng, dan cetok, ku satukan ke dalam tas belanja yang aku dapat di rumah londo. Sisa sisa paku aneka ukuran yang tinggal sedikit juga aku taruh di situ, setelah sebelumnya aku wadahi di tas plastik sisa pembungkus kertas kertas Ning. Keadaan rumah semakin terlihat rapi dan tertata. Ini semua karena sekarang di dalam rumah ada potret Ning yang aku cantolkan di paku tepat di tengah tengah dinding yang terbuat dari papan kayu yang berhadapan dengan pintu. Jadi aku bisa melihat senyum Ning dari luar. Sementara kertas kertas Ning aku letakkan di sudut rumah. Ujung ujungnya yang basah telah dikeringkan mentari. Sayang sampai hari ini aku belum mencoba membacanya.
Ada lagi yang baru. Persis di samping rumah ada dua batang pohon sebesar pahaku yang baru kemarin aku tancapkan dalam keadaan segar dan bergetah. Itu semua karena aku baru memotongnya. Aku mengambil batang ini di puncak sebelah. Pak Mu’i bilang ini namanya kayu angsana. Fungsinya sebagai peneduh. Yang menjadi menyenangkan, kayu angsana bisa ditanam dengan cara stek. Jadi tinggal memotong batangnya dan tinggal di tanam. Jarak antara dua tiang itu sendiri hanya sekitar tujuh langkah saja. Aku harap selain nantinya bisa meneduhkan, juga akan kujadikan tiang pancang spanduk yang aku bawa dari rumah londo. Ujung ujung spanduk akan aku pancangkan disini, satu meter di atas permukaan tanah. Sepertinya menyenangkan tidur di spanduk yang berubah fungsi menjadi hammoc.
Dan perubahan yang paling nampak dan menyolok mata tidak lain adalah kandang ayam. Aku membuatnya di sebelah rumah yang berlawanan dengan tempat batang angsana tertancap. Kalau di lihat dari atas lereng pekarangan ini, maka yang tampak adalah kandang ayam, setelah sebelumnya ada pohon kirai payung. Kandang aku buat begitu rupa hingga lumayan menghabiskan banyak paku. Bahkan paku kecilnya sekarang sudah habis sama sekali. meter. Dinding dinding kandang empat sisinya semuanya rotan yang batangnya aku belah jadi dua. Di hutan ini sangat banyak dan mudah untuk mencari rotan. Dinding dinding rotan inilah yang menghabiskan paku kecil. Aku membuatkan atap kandang dari daun daun hutan yang memanjang, sekiranya aku bisa menganyamnya. Ini karena di hutan sekitar rumah tak satupun kutemukan pohon kelapa, padahal di tepian hutan banyak. Kandang berukuran memanjang satu kali empat meter ini semakin menarik karena aku memagarinya. Bentuk pagarnya seperti pagar kandang kuda milik koboi. Bedanya, ini lebih tinggi dan antar tiang pancang aku beri batang batang kayu kecil yang aku tancapkan di tanah. Ini untuk mengirit paku. Nah diantara batang batang dan tiang sebagai pilar pagar itu aku beri lonjoran rotan kecil yang kupasang horizontal. Aku memasangnya seperti menganyam. Mengeluar masukkan ujung rotan kecil ke satu persatu batang pohon. Begitu seterusnya. Persisi aku beri tiga palang rotan. Jadi bila dilihat dari satu sisi saja, pagar kandang kesebelas ayam ini modelnya seperti model pagar sesek yang terbuat dari bambu. Sedangkan pintu pagar aku buat tidak paten. Jadi untuk akses membuka maupun menutupnya harus dengan cara manual. Diangkat. Ini semua karena keterbatasan bahan saja. Dibandingkan dengan ukuran kandang, pintu terlihat kurang lebar, hanya setengah meter saja tapi dengan panjang batang batang pohon yang sama. Ukuran pagar sendiri cukuplah untuk ayam yang berjumlah sebelas ekor. Sekitar empat kali enam meter. Kandang ayam itu sendiri ada di dalam pagar. Bentuknya yang memanjang sengaja aku buat ngepres dengan lebar pagar. Jadi masih tersisa empat kali lima meter untuk tempat bermain ayam. Aku membuat kandang seperti itu untuk memastikan kesebelas ayam aman dan bebas dari predator. Bagaimanapun ini adalah hutan. Aku tidak bisa begitu saja mengumbarnya tanpa pengawasan. Andai saja aku tidak pernah menginjak potongan kaki dari induk si cicit, mungkin aku tidak akan membuat kandang ayam yang serumit ini.
Selain memindah tiga goresan di lengan kiri yang bekasnya belum lagi kering, keadaan rumah, dua tiang pancang dari batang pohon angsana, dan kandang ayam, tak ada lagi yang berubah di rumah ini selain aku sendiri. Tentang aku sendiri, aku juga kurang mengerti ada apa sebenarnya dengan perubahan yang perlahan ini. Apa mungkin hanya gara gara tiga hari ini aku makan nasi? Ah, tidak mungkin. Nasi hanya akan menimbulkan perubahan perlahan pada kondisi fisik. Sementara ini bukan tentang perubahan yang seperti itu. Entahlah, sejak kejadian di omah londo, sampai hari ini aku tak lagi tertawa lantang seperti biasanya. Yang ada malah mata yang membasah dan aku tak tahu apa artinya. Maklum kalau yang di rumah londo. Mana mungkin aku bisa menertawakan diri yang sedang ada di atas ambang batas rasa takut yang sebegitunya. Tapi kenapa sampai saat aku kembali pulang aku tak pernah lagi ingin tertawa. Yang aku rasakan, kali ini aku malu pada senyum manis Ning bila harus tertawa seperti itu lagi. Cukuplah aku tersenyum bila harus menertawakan banyak hal. Tertawa lantang hanya membuat keduaa mata Ning semakin menatapku tajam saja. Dan saat ini, saat aku memikirkan semua ini, aku benar benar sedang saling bertatapan mata dengan potret Ning. Dan akupun tersenyum saat melihat Ning tersenyum. Barangkali ini yang membuat aku lebih senang tersenyum. Tak lain karena aku ingin memiliki senyum seindah senyum milik Ning.
Sesekali aku menatap jari jari tanganku. Di jari tangan kiri ada kulihat bekas luka melepuh yang tak kunjung kering. Menatap jari tengah dan jari telunjuk tangan kiriku yang bagian tengahnya melepuh itu membuatku tersenyum. Bisa juga ternyata aku menjerit. Jeritan pertama sejak Tita mengakhiri cerita denganku. Ah, lagi lagi Tita. Aku tak ingin membahasnya. Tak secuilpun aku merindukannya. Bahkan sejak hari itu. Hari dimana saat Yudi sopir pribadiku menceritakan menceritakan apa yang Tita lakukan. Ya, aku masih ingat itu. Bagaimana ya kabar si Yudi? Ingat Yudi aku jadi ingat semuanya. Bagaimana juga kabar Arimurti. Sebagai sekretaris, dia sangat bisa aku andalkan. Ohya, bagaimana dengan Mak? Mak menjadi pembantu rumah tangga sejak papa dan mama masih ada. Semoga saja Tuhan memberikan yang terbaik buat Mak. Setelah mengenang Mak, tatapanku kembali pada jari yang melepuh. Aku kembali ingat Ning. Ingat saat aku menjerit lepas dan Ning ikut menjerit. Lebih keras dan lebih lepas dari jeritanku. Begitu romantis meskipun kemudian melahirkan suasana kritis. Setelah semuanya selesai dan berlalu, itu jadi terasa sangat manis. Ah, Ning.., kenapa senyummu begitu teramat menyejukkan?
Goresan ke dua puluh satu
Kokok ayam jantan membangunkan aku dari memimpikan Ning. Baru sekarang aku dibangunkan oleh kokok ayam. Segera aku buka pintu rumah berharap ada sepercik sinar menyapa wajah Ning. Tapi hari masihlah gelap, yang ada hanya angin segar yang menyapa kulit. Kalau saja tidak ada kokok ayam jantan, mungkin aku masih mengira pagi belumlah datang menggantikan tugas malam. Segera aku menggeliatkan badan menyambut datangnya hari untuk kemudian segera beranjak. Aku buka kaos yang melekat di tubuh dan menggantinya dengan mengenakan kaos yang masih tersimpan rapi di dalam plastik bening. Sama sama kaos oblong, sama sama hitam, dan sama sama tak bermotif. Ada satu kaos lagi yang sama dan masih terbungkus rapi. Untuk yang satu ini akan tetap aku simpan dan tak akan pernah aku buka bungkusnya kecuali dengan satu alasan. Ning. Aku hanya akan memakainya saat Ning datang berkunjung ke rumah penuh rindu ini. Bandana masih tetap bertengger manis di leher sat aku selesai mengenakan kaos. Dua kaos yang aku kenakan bergantian sudah lebih dari cukup bagiku daripada tidak berpakaian sama sekali. Haji Abbas bilang, ukuran aurat laki laki hanya sebatas antara lutut dan pusar. Aku tak butuh banyak pakaian jika hanya untuk menutup auratku sendiri. Apalagi aku hidup di sini, di hutan yang sama sekali tak ada mall, supermarket dan toko toko swalayan sejenis. Di sini aku hanya butuh senyum manis Ning. Dengan itu aku sudah bisa memaknai hidup dengan berbagai aktifitas. Satu lagi, aku sama sekali tidak menyesal menjalani hidup bahkan selama hari hariku kemarin di omah londo. Sebaliknya aku senang Tuhan memberikan kesempatan yang seperti itu padaku. Aku bisa belajar banyak hal dan bisa lebih dekat dengan Ning, apapun resiko yang kemarin telah aku lewati. Satu lagi, aku tak bermasalah dengan cara pandang orang lain seandainya nantinya mereka tahu cara hidup yang aku pilih. Bahkan bila mereka mengatakan aku primitif. Jangankan dikatakan seperti itu, dianggap gila saja aku bisa menerima. Aku tidak takut apa apa, bahkan dengan kemiskinan. Miskin hanyalah masalah materi, sedang kebahagiaan jauh lebih mulia dari hanya sekedar setumpuk uang. Kalaupun aku miskin, toh tidak selamanya. Paling paling hanya selama sisa hidupku. Anggap saja aku diberi rejeki hidup sampai usia enam puluh tahun. Dengan begitu hidup yang aku jalani sudah separuh lebih. Itu berarti kemiskinan yang menghinggapiku hanyalah kurang dari tiga puluh tahun. Bukankah itu sebentar? Kenapa aku harus takut menjalani hidup? Yang penting bukan berapa lama kita hidup. Ada yang lebih dari itu. Tentang bagaimana kita menjalani hidup. Karena menurutku tak ada bedanya antara satu hari dengan sepuluh tahun. Hidup selama satu hari tapi menjalaninya dengan penuh arti adalah lebih menyenangkan daripada hidup selama sepuluh tahun tapi tak berbuat apa apa.
Aku lebih memilih menikmati hari ke dua puluh satu ini dengan merambah hutan daripada meneruskan kembali mencangkul mulut si bangsat tepat di depan pintu rumah. Lubang yang dalamnya suda sekitar tiga meter dengan luas dua kali luas rumah itu saat ini masih dipenuhi genangan air hujan. Airnya tidak begitu keruh karena tepian dan dasar lubang itu hampir seluruhnya berbatu cadas. Namun begitu aku masih ingin meneruskannya setelah penataan halaman rumah aku anggap cukup. Berbeda dengan lubang, tumpukan tanah yang menggunung banyak yang merembeskan air hujan berwarna keruh bercampur dengan tanah. Rembesan itu menuju ke arah tujuh tunas pisang yang aku tanam di bawah lereng. Meski begitu air bercampur tanah itu tidak menimpa langsung ke tunas tunas pisang. Syukurlah, sampai hari ini ketujuh tunas itu semuanya tumbuh dan semakin mekar ke atas. Tanaman tanaman yang ada di halaman rumah ini tidak cukup hanya dengan kirai payung, tunas pisang dan dua batang kayu angsana di samping rumah. Oleh karena itulah hari ini aku lebih memilih untuk merambah hutan. Aku berangkat sepagi mungkin setelah memberikan beberapa genggam jagung ke ayam dan menanak tiga genggam beras di atas sepanci kotak yang biasa dipakai tentara. Beras itu aku masak dengan air hujan yang kusimpan dalam jurigen. Perjalanan merambah hutan kali ini sengaja aku tak merambah ke arah ladang, melainkan sebaliknya. Aku memilih jalur yang tak biasanya aku tempuh, berharap menjumpai hal hal baru. Sambil melangkah, sesekali aku mematahkan ranting segar di kiri kananku. Ini penting. Seandainya nanti aku lupa kemana arah pulang, aku tinggal mencari daan mengikuti ranting ranting yang patah. Daripada aku harus membuat tanda di batang batang pohon dengan cara melukai kulitnya, itu hanya akan membuat orang lain menemukan letak rumahku saja. Semoga dengan jalur yang sama sekali tak aku kenal ini, aku bisa menemukan beberapa tanaman yang aku kenal. Pak Mu’i sering mencelotehkan tentang tanaman dan segala manfaatnya padaku saat dulu aku dan pak Mu’i masih sering bersama. Sayang tidak semuanya aku ingat. Aku hanya sedikit saja mengingat beberapa jenis tanaman yang bermanfaat. Tidak lebih dari dua puluh. Semoga saja dari yang sedikit itu ada tersedia di hutan ini. Semoga juga tidak hanya tanaman yang aku dapatkan. Hari ini aku juga ingin mencari hewan yang bisa aku makan dagingnya. Sudah empat hari ini aku hanya makan nasi dengan daun daun yang bisa kulalap, itu saja. Padahal tubuhku ini butuh asupan daging untuk membakar kalori. Cukup jauh juga daya tempuhku. Aku baru berhenti saat di depanku terbentang sebuah teluk yang sepi. Begitu indah. Entah teluk apa namanya, pak Mu’i belum pernah mengajakku merambah hutan sejauh aku sekarang. Dalam waktu yang lumayan lama, kerjaku sekarang hanya duduk duduk saja bertumpu pada pantat sambil mata ini tak henti menatap indahnya permukaan air. Ada hutan bakau yang menjadi pagar alami tepian teluk yang berciuman dengan tepian tanah hutan. Sesekali kulayangkan mataa ini ke seluruh semesta hutan yang masih terjangkau dalam pandanganku. Dari daratan ini, aku dapat melihat pemandangan hutan yang bergelombang, berbukit dan bergunung gunung. Di sebelah selatan kulihat hutan yang agak berbukit dan semakin ke selatn semakin bergelombang. Tidak ada gunung yang sangat tinggi di sini. Gunung yang seperti itu hanya bisa aku lihat dengan jelas dari ladang dan dari rumahku. Pak Mu’i bilang itu adalah gunung raung dan gunung argopuro. Banyak tebing curam di hutan ini. Jadi jika kita benar benar hendak merambah hutan, tak bisa lain selain mata awas dan konsentrasi. Aku kembali memandang ke arah teluk yang tak kutahu namanya dan kembali terhanyut. Alam yang terbentang seluas ini menjadikan aku begitu kecil. Ternyata selama ini aku terlalu remeh memandang seekor semut. Kadang aku bertanya kenapa Tuhan menciptakan hewan sekecil itu. Tapi kali ini pertanyaanku menguap entah kemana. Baru sekarang aku dapat rasakan bahwa aku tidak lebih hebat dari seekor semut. Sama sama bernyawa, sama sama butuh makan, dan sama sama senang beraktifitas. Hanya saja aku satu tingkat lebih mulia dari semut. Itu semua tidak lain karena aku punya rencana untuk menciptakan sesuatu yang nantinya akan kuberikan pada Ning. Hanya itu bedanya. Aku bisa berkreasi dengan pikiranku sementara semut tidak bisa. Kalau saja tidak ada kejadian yang mengagetkan aku, barangkali aku masih terhanyut dengan pemikiranku sambil tersenyum senyum.
“Houggg….!!!”
Ada yang menyalak tepat di belakangku. Itulah yang membuyarkan segala lamunan dan membuat aku tersentak. Reflek kubalikkan tubuh ini ke arah datangnya suara dengan mataku yang langsung menghunjam tepat di kedua bola mata mahluk di depanku. Dalam kaget dan ketakutan yang teramat sangat cepat datangnya, otakku bekerja lebih lambat dari biasanya. Baru setelah sekitar lima detik berlalu, aku tahu akan apa yang aku hadapi kali ini. Seekor anjing. Ya, seekor anjing. Anjing ini rupanya yang membuatku tersentak. Dia hanya menggonggong sekali. Sampai saat detik berlalu agak lama pun dia tidak kembali tersentak. Aku rasa dia tidak hendak menyerangku. Terbukti dia tidak menggeram dan menunjukkan taring giginya. Ini yang pada akhirnya membuatku berani bergerak. Demi melihat gerakanku, anjing ini mulai mengatur posisi dan memasang kuda kuda dengan badan sedikit dia mundurkan. Aku kembali diam dengan kedua mataku tak bergeming menatp kedua bola matanya yang ternyata juga tajam menusuk mataku pertanda waspada. Tiba tiba aku ingat kata kata yang beberapa kali pak Mu’i ucapkan. “Harimau jawa tak akan memangsa orang yang mencintai hutan”. Bukankah antara harimau jawa dan anjing di depanku ini sama sama hewan? Itu juga sama artinya bahwa kata kata pak Mu’i masih berlaku dan anjing ini tak akan memangsaku. Aku mencintai hutan, dan kuanggap saja hewan di depanku ini adalah spesies anjing jawa yang hampir punah. Dengan segenap kepercayaan diri ku ulurkan tangan kananku untuk mengelus bulu kulit di atas kepalanya. Dia diam tak mencoba untuk melawan atau berusaha berlari. Dia semakin diam saat aku mulai mengelusnya dengan kedua tanganku. Dan dikala tubuh ini aku gerakkan semakin mendekati tubuhnya, dia melengking kecil seperti suara ringkik kuda. Bukan itu saja, kali ini dia sendiri yang menggerakkan tubuhnya untuk menempel di tubuhku dengan ekor yang berkibas kibas sebelum kemudian merebahkan tubuhnya. Aku semakin mesra membelainya. Tak ada lagi rasa takut dan tegang yang tadi kurasakan. Yang ada sebaliknya, aku merasa memiliki teman. Di tempat yang seluas dan seindah ini, sendirian hanya akan membuatku semakin kecil dan tak berarti. Dengan adanya teman, setidaknya aku bisa berbagi keresahan dan ketakberartian itu. Teluk indah yang tak kutahu namanya menjadi saksi awal pertemananku dengan anjing berbulu hitam berpadu dengan warna coklat. Entah dia dari jenis apa. Terlalu bagus bila dikolomkan sejajar dengan anjing kampung. Satu satunya yang bisa aku pastikan dari anjing ini selain warna bulunya da jenis kelaminnya yang betina, anjing ini punya seorang tuan. Aku dapat dengan mudah mengetahuinya dari kalung yang melingkar di leher. Perlahan aku pegang kalung dari bahan kalep seperti pembungkus pisau di pinggangku. Di kalung itu ada pelat terbuat dari logam pipih kuningan seperti logam kunci gembok. Ada tertulis nama anjing ini dan sayangnya hanya itu saja, tanpa tertera alamat rumah pemilik. Nona, hanya empat huruf itu saja yang ada di pelat kuningan yang tak lebih dari kotak korek api. Aneh juga, anjing secantik nona di tengah hutan yang lebat tanpa bersama tuannya. Siapa gerangan si pemilik nona yang tega membiarkannya sendiri di sini. Segera aku berdiri untuk kemudian bergerak melangkah diiringi dengan jenggongan nona yang juga berdiri dan turut melangkan di sekitarku. Sekian lama aku menyusuri tepian teluk sambil sesekali memandang ke arah hutan, tapi tak ada tanda tanda ada orang lain selain aku. Padahal aku hanya ingin mengantarkan nona dan segera cepat cepat berlari menembus hutan. Sayangnya tak ada seorangpun. Aku kembali duduk dan memilih untuk bersandar di sebuah pohon bakau yang letaknya tepat diantara air teluk dan tepian hutan, sementara kakiku aku biarkan menggantung di air. Aku kembali mengelus bulu bulu nona yang meloncat di pelukanku seperti aku ini tuannya. Apa di sekitar sini ada sebuah perkampungan? Tapi tidak mungkin. Tak ada tanda tanda yang menunjukkan ada sebuah kampung di hutan yang selebat ini. Aku juga tak melihat apapun selain dedaunan saat ada di ketinggian. Apa ini anjing ini milik orang kampung Curah Nongko? Itu juga tidak mungkin. Daya jelajah anjing memang lumayan apalagi saat musim kawin. Tapi melihat keadaan nona, bisa ditebak dia bukanlah jenis anjing yang senang menjelajah. Dia terlalu jinak untuk itu. Menjelajah dengan alsan musim kawin juga tidak mungkin karena anjing betina sifatnya menunggu. Apalagi bila dilihat dari fisiknya, nona masih terlalu muda untuk bereproduksi. Melihat kenyataan di depanku terbentang sebuah teluk, pastilah di balik punggungan di kejauhan sana ada terhampar lautan luas. Apa mungkin nona milik seorang pelaut yang tertinggal? Itu juga tidak mungkin. Pak Mu’i bilang kapal besar tak bisa bersandar di laut selatan lantaran ombaknya yang terlalu besar. Apa milik para nelayan mencari ikan dengan perahu perahu kecil? Aku sangat sangsi dengan ini. Untuk seorang nelayan yang hidup di negeri ini, mereka lebih memilih membeli beras daripada uangnya dihamburkan untuk membuat kalung anjing yang sebagus ini. Kalau begitu pastilah nona milik seorang pemburu. Tapi saat kulayangkan pandangan ini ke sorot mata nona yang sayu, aku kembali dihadapkan pada sebuah kesangsian. Nona terlalu cantik untuk hanya dijadikan anjing pemburu. Apalagi mendapati kenyataan bahwa nona adalah anjing betina. Apa aku bawa saja anjing malang ini kembali ke rumah? Tapi mau makan apa dia? Ada lagi yang aku takutkan. Andaipun nanti nona aku bawa pulang dan kuberikan kasih sayangku padanya, apakah tidak ada kemungkinan dia kembali ke tuannya? Daya penciumannya kuat, dia pasti akan menemukan kembali rumah tuannya. Bagaimana jika seperti itu? Padahal aku tidak senang dengan perpisahan. Tidak, aku tidak akan membawanya pulang ke rumah. Biarlah hutan ini yang akan merawatnya. Dengan pemikiran yang semakin lama semakin mencengkeram itu, sontak aku berdiri dan nona aku lemparkan begitu saja dari pelukan hingga dia tercebur di tepian teluk. Sedetik kemudian aku berlari secepat mungkin ke arah hutan yang seakan akan menyodorkan kedua tangannya melebar seperti hendak mendekapku. Aku masih berlari sekuat tenaga sambil otak ini mengingat ingat jalur mana saja yang tadi telah kulalui. Bukan hanya itu, mataku nyalang kulayangkan ke depan sambil mencari ranting ranting patah penjaga jalur. Aku berlari dengan keringat yang mulai mengucur deras seperti saat aku akan terjerembab dulu. Kali ini aku tidak berlari dari sebuah ancaman rasa takut. Tidak. Aku berlari karena aku pikir inilah jalan terbaik yang bisa aku persembahkan untuk nona.
Hari ke dua puluh dua.
Hujan mengguyur atap rumahku hingga menimbulkan suara gaduh. Seperti inilah bila atap terbuat dari seng. Jika musim kemarau membuat gerah, sedang jika hujan datang menimbulkan polusi suara. Lamunanku terhenti saat kudengar sebuah gonggongan. Ya, gonggongan itu milik nona. Ini semua gara gara kemarin aku berlari terlalu kencang saat mencoba meninggalkannya sendiri di teluk. Sebegitu kencangnya sampai sampai aku salah jalur. Tak berapa lama nona menemukan aku yang bingung mencari jalur dan serba salah menghadapinya. Pada akhirnya aku dan nona berjalan beriringan. Saat perjalanan, tak henti aku tersenyum senyum sendiri demi mengingat usahaku yang gagal. Sementara nona hanya menyalak saja. Entahlah, barangkali dia senang berhasil menemukanku. Dalam perjalanan pulang kemarin, sambil tak henti tersenyum aku mencari cari tumbuhan yang bisa aku bawa pulang. Aku mendapatkan tiga jenis, bibit pohon jarak, bibit pohon kecubung, dan yang ketiga aku nggak tahu namanya. Tapi aku tahu di belakang rumah pak Mu’i ada pohon yang sama dengan bibit ini. Itulah kenapa aku membawanya serta. Sore aku baru tiba di halaman rumah dan ingin langsung menanam kesemua tumbuhan ini. Tapi begitu melihat ayam ayam keluar dari kandangnya dengan suara yang tak henti berpetok, secepat mungkin aku menuju kandang. Sayangnya nona berulah dengan tak henti menggonggong dan mencoba mengejar ayam ayam yang sepertinya resah oleh sesuatu. Beruntung aku berhasil mengejar dan menarik kalung nona hingga bibit bibit tumbuhan yang aku bawa dari hutan berhamburan lepas dari tanganku. Sekuat tenaga kumasukkan nona ke dalam rumah lalu pintu aku tutup dari luar dengan menyilangkan kayu kotak ke pintu. Beruntung aku telah membuat kuncian itu. Padahal kuncian itu sama sekali tidak aku persiapkan untuk nona, melainkan untuk menghindari lagi ulah para monyet saat sewaktu waktu rumah aku tinggalkan. Sementara di dalam rumah nona masih menggeram, menyalak, dan sesekali mengeluarkan suara melengking, kulangkahkan kaki ini ke arah kandang melewati ayam ayam yang bergerak panik dan masih berpetok ketakutan. Itulah dia. Mataku nanar melihat kenyataan yang terjadi di depanku saat baru saja beberapa langkah memasuki pagar kandang. Semuanya hancur. Dari atap kandang, pintu dan beberapa bagian dindingnya. Bahkan pagar yang berhimpitan dengan dinding belakang kandang pun ikut koyak. Tapi bukan itu yang membuat hati ini perih. Aku melihat bulu ayam dimana mana. Lebih kacau lagi saat kulihat ada sirip ayam yang masih tertinggal, lengkap dengan bulu dan darahnya. Emosiku memuncak, tapi aku tak tahu harus marah pada siapa. Tiba tiba saja aku kembali ke rumah dan mengambi linggis besar. Saat mengambil linggis itu, aku tak tahan mendengar suara nona yang terus menyalak dan menggeram. Begitu saja aku membuka pintu rumah dan kubiarkan nona melesak berlari mengejar ayam. Aku benar benar tak menghiraukan kekacauan yang terjadi kemudian. Yang bisa aku lakukan hanyalah melangkah lebar lebar menuju pagar kandang sambil kedua tangan mencengkeram linggis erat erat sampai otot otot di tanganku tampak dan seperti makin membesar. Setelah aku ada di posisi yang sangat dekat dengan pagar kandang, kukerahkan semua tenaga yang terkumpul di tangan untuk kemudian melayangkan linggis ke arah pagar. Aku mengamuk. Semua di depanku yang berhubungan dengan kandang aku habiskan. Sebuah timba yang berisi air untuk tempat minum ayam juga tak luput dari amarahku. Semuanya. Bahkan kandang yang atap dan pintunya sudah rusah semakin aku ringsekkan. Ayam ayam semakin kacau berhamburan melihatku kesetanan. Nona tak lagi mengejar ayam ayam itu melainkan terus menyalak sambil pandangan matanya tak lepas dari aku. Setelah tak ada lagi yang bisa aku robohkan, aku mengakhirinya dengan melempar kuat kuat linggis yang kupegang ke arah pohon kirai payung. Setelah itu aku membalikkan kaki dan melangkah ke rumah. Nona sigap mendekatiku. Kali ini dia tidak menggonggong, tapi ekornya yang hitam tak berhenti dia kibaskan. Kemudian nona membelakangiku. Entah mendapat dorongan darimana, tiba tiba aku ingin menoleh ke arah nona. Aku mendapati nona sedang mencengkeram sayap ayam yang sudah bercampur darah. Sayap yang sudah koyak itu semakin dikoyakkan moncong nona. Dengan sisa sisa kemarahan yang belum benar benar tuntas, secepat kilat aku berlari dan begitu saja menendang nona kuat kuat dengan kaki kananku. Nona mengeluarkan suara lengking dan sesegera mungkin berlari menghindariku dengan gigi giginya masih menggigit sayap ayam. Sekuat tenaga aku mengejarnya. Melihat sebuah ancaman, nona berlari sekencang kencangnya ke atas bukit. Kali ini dia tak berhenti berlari, begitu juga dengan aku. Sampai nona menuruni bukit, aku masih saja terus mengejarnya dengan emosi yang berlipat lipat. Tak akan aku biarkan sisa sayap itu berakhir di lambung nona. Rupanya nona sama sekali tak mengenal medan. Dia hanya memiliki kekuatan dan kecepatan untuk berlari. Buktinya saat ini dia terjebak di tepian tebing yang kedua sisinya tak memungkinkan dia untuk berlari dari aku. Kedua duanya bebatuan besar dan aku ada di tengah tengahnya. Satu satunya yang bisa nona lakukan adalah menggeram dan berbalik arah siap bertarung dengan aku. Aku sendiri bukannya siap bertarung lagi, lebih dari itu. Demi sepotong sayap yang sekarang ada di gigitan nona, apapun akan aku lakukan. Kali ini aku tidak main main, pisau kecil sudah aku lepas dari sarungnya dan tercengkeram erat di tangan kanan. Tanpa aku duga, tiba tiba nona merubah posisi dan bahasa tubuhnya. Dia duduk merebah dengan mata yang sayu dan tak lagi menggeram. Mana bisa aku melukai mata yang sesayu nona. Perlahan aku pasang kembali pisau kecil ini dengan sarungnya, lalu kuselipkan di pinggang. Kemudian aku bergerak maju, mengambil sayap yang masih ada di moncong nona, lalu berbalik arah dan melangkah pulang dengan mata yang kembali sembab. Diam diam tanpa suara nona mengikutiku dari arah yang tak terlalu dekat. Sesampainya di rumah, segera kusambar cangkul dan membuat kubangan sebagai peristirahatan terakhir sepotong sayap milik si jago, ayam tertua dari induk yang Ali berikan padaku dulu. Selama proses penguburan sayap si jago, nona memberanikan diri untuk merebah di sampingku.
Itulah cerita kemarin sore, hari pertama kisah hidupku bersama nona. Semalam aku tak membiarkannya yang hendak menyusulku ke dalam rumah. Mendapati hampir semua permukaan matras yang koyak oleh cakarannya, aku masih bisa menerima itu. Tapi mendapati senyum Ning yang terjatuh di pinggiran matras yang terkoyak dengan kaca pigura yang berkeping keping, mana mungkin aku biarkan dia tidur di sampingku? Itu juga yang membuatnya kini meringkuk di kolong rumah dengan luka gores memanjang di tubuhnya. Padahal kemarin aku tidak ingin menggoresnya dengan pisau kecil yang ujungnya tajam. Yang aku inginkan adalah menusuknya berkali. Tadinya akan kubuat nona mati secepatnya agar tidak terlalu menyiksa. Seandainya saja kemarin sore menjelang petang dia sudah mati, pasti tak akan kesakitan berkepanjangan seperti sekarang. Harusnya dia tidak usah meloncat setinggi itu biar aku tetap ada di posisi siap menusuk. Loncatannya tinggi di bahu kiri, mencoba menghindari tangan kiriku yang memegang erat pisau. Beginilah akhirnya, aku hanya berhasil membuat goresan panjang Ini semua karena pisau kecil tak kupegang dengan tangan kanan karena aku sedang mendekap Ning. Setelah berhadapan dengan Nona, aku juga tak begitu saja menusuknya. Aku tunjukkan dulu padanya seperti apa keadaan Ning akibat ulahnya, baru kemudian bersiap menghunjamnya. Ya, aku menunjukkan pecahan senyum Ning ke mata nona. Lekat dia menatapnya. Setidaknya sebelum kutusuk, dia tahu apa kesalahannya. Sayang aku baru tahu Ning terjatuh sesaat setelah mengubur sayap si jago. Seandainya sedari awal aku tahu saat membuka pintu rumah dimana kemarin aku mengurungnya, bisa aku pastikan dia tidak akan aku buat sempat meloncat keluar. Pasti sudah aku cincang cincang dia di hadapan Ning. Jangankan nona yang anjing, buaya saja akan aku habisi bila berani melukai senyum Ning. Sampai saat ini, saat suaranya melolong kecil di kolong rumah aku masih malas melihatnya. Menatapnya sama saja seperti menatap si bangsat.
Hari ke dua puluh tiga.
Semalam aku pikir, nona tidak akan bertahan sampai hari ini. Tapi saat pagi tadi aku terbangun, masih kudengar suaranya yang merintih. Aku membiarkannya. Kutinggalkan dia dalam keadaan lapar, tanpa air, dan tanpa apa apa. Dua malam sudah hujan begitu deras disertai petir yang tak henti menggelegar. Aku juga membiarkannya di bawah kolong rumah dengan luka panjang menganga. Sampai sore ini, saat aku baru saja selesai membuatkan kandang baru untuk ayam yang jumlahnya berkurang satu, tiba tiba aku ingin melihatnya. Mumpung masing sore dan kemungkinan besar dia sudah membujur kaku, jadi aku bisa sekalian memendamnya. Setelah meletakkan alat alat di teras rumah, seketika itu juga badanku membungkuk dan segera mendapati nona. Dia sudah tewas, aku bisa melihat badannya yang terbujur kaku. Dengan tenang aku meraih cangkul sambil sepintas pandangan aku layangkan di dalam rumah. Di sana kulihat Ning tersenyum. Tak berapa lama aku sudah di belakang rumah dan mulai membuat kubangan untuk nona. Nah, pada saat hendak memindahkan nona ke liang kuburnya itulah, aku baru tahu, terlepas dari tubuhnya yang sudah terlihat kaku dan luka bernanah yang dikerubung lalat, ternyata lidahnya yang menjulur lemah masih bergerak gerak. Bahkan kemudian nona menguat nguatkan membuka kedua matanya yang sayu dan lemah, itu semua hanya untuk memandangku. Nona seperti ingin menggonggongkan sesuatu. Tapi apa daya, untuk membuka kelopak mata saja dia sangat tak berdaya. Mana bisa aku tega memandang mata mata sesayu milik nona. Aku juga manusia. Dan manusia yang seperti apakah yang tak terbuka mata hatinya untuk tak melakukan sesuatu. Naluri kemanusiaanku tergugah dan berhasil melenyapkan begitu kesalahan nona tiga hari kemarin. Yang ada tinggallah sebuah empati untuk apa yang nona alami dan rasakan. Itulah yang membuatku secepat mungkin bergerak mengambil air dan segera aku minumkan pada moncong nona yang lemah tak berdaya. Kemudian aku bopong tubuh yang tadinya aku kira sudah tak bernyawa ini ke dalam rumah lalu perlahan aku rebahkan di atas matras beralaskan lipatan sarung yang dulunya pernah juga digunakan si cicit. Dan detik yang berlalu kemudian, aku dedikasikan hanya untuk menyelamatkan nona. Kubuatkan nasi untuk nona, kukipasi nasi itu biar mendingin, kuremat remat dalam genggaman hingga menjadi bulatan kecil, lalu coba kuberikan padanya. Dengan begitu tersiksa nona mengunyahnya tak bertenaga. Lukanya aku kompres dengan air hangat. Aku terus melakukan itu hingga tak tahu apalagi yang bisa aku lakukan. Hari sudah gelap saat aku hanya bisa bersandar di dinding rumah sambil memandang seonggok tubuh tak berdaya. Lagi, kedua mataku membasah. Aku menyesal. Kenapa aku harus marah pada nona? Sedangkan Ning yang terjatuh tak pernah marah pada nona. Ning justru masih tersenyum. Dan ini yang membuat aku memutuskan untuk turun ke kampung melewati ladang. Bagaimanapun aku butuh aneka bahan untuk mengobati nona. Tak lama kemudian aku sudah melangkahkan kaki semakin meninggalkan rumah. Masih dengan bandana di leher, pisau di sela sela celana pendek yang berikat pinggang, dan sebuah tas kosong milik Ning yang kugendong di punggung, kupacu lngkahku hingga semakin lama semakin mendekati perkampungan. Semakin mendekat, semakin peluh di tubuhku bercucuran. Bukan hanya lelah yang aku rasakan, tapi ketakutan yang menggumpal. Kalau tidak teringat mata sayu nona, barangkali aku memilih untuk kembali pulang. Tatapan lemah itu berhasil membuat aku bertahan hingga sukses memasuki pinggiran kampung. Tak menunggu lama, aku sudah melangkah ke rumah terdekat, lebih dekat lagi dibanding letak warung milik ibu yang baik hati. Dengan perasaan berkecamuk antara takut dan harus tetap melangkah, dengan berbagai cara, akhirnya aku sudah ada di halaman belakang rumah. Tak terlalu banyak yang bisa aku ceritakan dengan ini. Aku terlalu takut dan cemas. Ini yang membuatku hanya bisa mengambil apa saja yang bisa aku ambil di meja belakang rumah yang memanjang. Sekaleng besar yang berisi penuh garam lembut. Di sisinya ada sekeranjang kecil yang berisi beberapa garam kotak yang dipadatkan, sesiung bawang putih, bawang merah, dan segala empon empon, semua aku sikat habis. Ada juga sebuah pepaya thailand yang sudah matang, juga satu kresek kacang tanah yang masih mentah. Seikat umbi umbian juga sukses aku masukkan ke dalam tas. Begitu pula dengan nasib lima botol sirup yang berisi madu, aku jejalkan di pinggiran tas. Semuanya. Aku jadikan satu ke dalam tas dengan cepat dan penataan yang begitu rupa. Baru saja aku hendak kabur dari halaman belakang rumah yang barang barangnya aku rampok, mataku keburu memandang karung goni. Letak karung goni itu ada di bawah meja yang bentuknya memanjang. Aku butuh karung goni ini sebagai alas tidur nona. Tak berapa lama ujung karung goni ini sudah ada di cengkeramanku. Karung goni barwarna coklat ini ternyata agak berat karena seperempatnya berisi beras. Semula aku ingin menumpahkan begitu saja beras dalam karung, karena aku pikir di rumah masih ada cukup beras. Tapi tanggung. Aku memutuskan untuk membawanya serta. Setelah tas yang menggemuk sudah ada di punggung dan karung sudah terselempang, aku tancap gas untuk kembali pulang. Lelah, letih dan takut, tapi aku harus secepatnya ada di samping nona. Itu yang semakin memacu langkahku walau otakku sudah dipenuhi oleh bayang bayang tragedi kubah. Tragedi itu berhasil mengantarkan aku memikirkan semuanya. Bahkan diantara ketakutan ketakutan yang bermunculan, terlintas wajah mas Aim bangsat yang pernah tega menikamku dengan kata kata. Itu semua membuat ketakutanku seperti tertutup oleh mendung tebal yang siap memuntahkan dendam membara. Hanya saja, senyum Ning secepat cahaya hadir menyejukkan semuanya.
Hari hari berlalu bersamaan dengan jumlah goresan di tiang yang tadinya berjumlah dua puluh tiga, tak terasa kini telah merangkak menjadi sembilan puluh tiga. Tujuh puluh hari kulalui tak hanya dengan merawat dan menemani nona. Aku melewatinya dengan berbagai aktivitas. Dari hari yang sangat panjang itu, hanya sekali aku berani turun lagi ke kampung. Itu juga hanya selang dua hari setelah dulu aku mengambil karung goni dan lain lain di halaman belakang rumah terdekat. Aku terpaksa kembali turun lantaran luka di tubuh nona semakin bernanah dan aku butuh obat yang bisa mengeringkan luka. Padahal sudah aku coba dengan getah pohon pisang seperti cara pak Mu’i dulu saat menyembuhkan lukanya. Tapi belum juga menunjukkan darah dan nanah di luka nona mengering. Saat turun ke kampung itulah aku mencari pohon yodium. Aku tahu pak Mu’i pernah mengoleskan getah itu di kakiku saat dulu salah satu telapak kaki ini menginjak duri tajam. Tidak lama aku di kampung. Meskipun aku memilih perjalanan malam seperti biasa, tapi aku tidak kebingungan. Aku sudah tahu tempat tempat mana yang ditumbuhi pohon yodium. Sengaja aku memapras banyak batang batang pohon ini karena akan sekalian aku tanam secara stek di halaman rumah, sebagai persediaan bila sewaktu waktu aku membutuhkan. Bukan tanaman yodium saja yang aku bawa pulang. Aku menjebol banyak tanaman yang pernah pak Mu’i celotehkan, di luar yang aku tahu tak kubawa pulang. Diluar tanaman obat, juga turut kubawa pulang berbatang batang singkong. Semua aku bawa pulang dengan merangkulnya jadi satu dan memikulkan beban itu di pundak. Dalam rasa takut akan berpapasan dengan orang kampung, aku bergegas pulang sambil memohon pada pekatnya malam untuk sudi menyembunyikan badan yang kejantanannya digetarkan oleh bayang bayang kubah masjid.
Inilah hasilnya saat ini, hamparan hijau halaman rumah tercinta di hari ke sembilan puluh tiga.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar