Sabtu

Jangan Panik Aku Tidak Gila #17

Pamela Revi Marandiobox Marada. Namanya panjang. Namun kali ini tak sesulit kemaren untuk mengingatnya. Box bilang, nama itu diberikan oleh neneknya dari pihak ibu. Kakek neneknya asli Philipina. Tapi ibunya lahir dan besar di Jakarta dan berkewarganegaraan Indonesia. Papanya sendiri asli Betawi. Entah gimana urut urutannya, aku sendiri bingung. Saat aku tanya kenapa dia bisa sampai ke hutan ini, dia bilang ikut ekspedisi pencarian jejak harimau jawa. Kebetulan yang memfasilitasi adalah sebuah LSM perduli lingkungan milik Om dia sendiri. Adik kandung Ayah, begitu katanya. Kenapa sampai tersesat? Box hanya tersenyum tak menjawab pertanyaanku. Tapi setelah aku kejar dengan pertanyaan yang sama, dia justru bilang emang sengaja. Biar dicari, begitu katanya. Lho, kalau ketemu harimau jawa beneran gimana? Box lagi lagi tersenyum, kemudian jarinya menari. Kan ada kamu, begitu katanya.

Box masih sangat muda. Dia katakan bahwa usianya dua puluh dua tahun. Itukan dua pertiga dari umurku? Tapi usiaku sendiri berapa ya? Aku jadi senyum sendiri menyadari bahwa aku tak mengerti usiaku yang pasti. Beruntunglah Box nggak tahu yang ada di benakku. Jadi aku bisa tanya tanya lagi ke dia. Saat aku tanya sekolahnya bagaimana, lagi lagi dia tersenyum. Cantik. Tapi kali ini dia menjawab kalau dia sekolahnya di rumah. Box bilang, itu namanya home school. Aku hanya mengangguk saja padahal nggak ngerti. Ayah ibunya sendiri yang jadi pengajar. Kadang kedua kakaknya. Lho, ternyata dia punya kakak, dua lagi. Saat aku ingin tahu cerita tentang kedua kakaknya, dia hanya bilang itu anak angkat kedua orang tuanya. Ada lagi tiga yang masih di bawahnya semua. Berarti putri tunggal dong? Dia tersenyum. Tapi senyumnya berubah menjadi mata yang melotot, padahal jariku hanya membentuk kalimat pendek, “pantas manja”. Dia semakin melotot saat aku katakan cantik kalau sedang begitu. Hanya saja kali ini pelototannya debarengi dengan pipi yang merona merah. Dan saat aku menunjuk pipinya dengan jariku, dia memukuliku dengan kedua tangannya terkepal. Aku tersenyum. Nona hanya bisa menggonggong.

Selang sehari dari tragedi banteng, aku memaksa diri untuk mengantar Box ke tepian hutan. Dari sana aku akan menunjukkan jalan menuju kampung. Box bilang besok saja. Katanya dia nggak tega melihat aku masih pincang. Besoknya saat kakiku aku paksa terlihat sehat di depan Box, malah dia yang pura pura sakit. Meski aku tahu dia bohong, tapi aku biarkan saja Box menghayati perannya menjadi orang sakit. Dua orang bisu sama sama sakit, dalam pengawasan seekor dokter yang sama sekali tak bisa merawat dengan benar. Yang ada hanya menambah kegaduhan saja. Esoknya lagi lagi aku bersikukuh untuk mengantarnya sampai batas desa, jauh lebih dekat dengan tepian hutan, tapi dia bilang, dia hanya akan mau pulang kalau aku menceritakan sesuatu. Saat kutanyakan apa itu? Ceritakan padaku kenapa kamu gila, gitu katanya. Hah, apakah kamu juga menyangka aku gila? Dia hanya mengangguk sambil tersipu, lalu tangannya menari. Ceritakan semuanya padaku kalau kamu memang tidak gila. Kalau tidak..bla bla bla. Akhirnya akupun benar benar ambil ancang ancang untuk bercerita pada Box. Ini lebih baik daripada dia harus bertenng di depanku. Sebelum bercerita, aku tanya dulu kenapa dia mengancamku seperti itu. Dia bilang, kamu pasti akan lari di lebatnya hutan. Ah, ternyata dia tahu kelemahanku. Dan berceritalah aku di bawah ancaman yang menyenangkan.

*******

“Namaku Yopi. Lengkapnya Yopi Firman Jauhari. Nama Papa Sudibyo, belakangnya persis seperti dua nama belakangku. Sama sama Firman Jauhari. Mama namanya Ngatiningsih. Aku anak tunggal”

Mendengar ini, Box meringis di depanku sambil tetap memegang sebatang rokok mild di tangannya. Entahlah, barangkali dia senang saat mengetahui aku sama dengannya. Sama sama anak tunggal. Buktinya dia mengisyaratkan kata manja padaku. Aku hanya bisa tersenyum dan kembali meneruskan cerita. Meringisnya Box berubah jadi tangis yang tertahan manakala aku bercerita tentang Tita.

“Namanya Tita. Tita Rizki Ananda, lima tahun lebih tua dari aku. Cantik, modis, seksi, menawan, pandai, telaten, lembut..”

“Apakah dia bisu?”

Box memotong ceritaku dengan lentik jemarinya yang gemulai. Aku memilih menjawabnya jujur. Bahkan aku katakan padanya kalau suara Tita merdu. Tentang statusnya dulu, aku katakan juga pada Box bahwa Tita adalah istriku. Dia melempar rokoknya keluar pintu untuk kemudian dia sendiri yang keluar. Aku mencoba menarik lengan kirinya dengan tangan kananku, tapi dia meronta. Nona menggonggong, tapi tak menghentikan langkah Box ke puncak bukit. Aku mengikutinya. Sampai di puncak, lagi lagi aku memegang tangannya, kali ini dengan kedua tangankuku. Lama aku menatapnya. Kemudian aku lepaskan tanganku untuk kembali bergerak membentuk simpul simpul isyarat yang berubah jadi makna yang tak lagi membisu.

“Box, apakah kamu menyukaiku?”
Dia tidak menjawab tapi matanya menghunjam ke wajahku. Tak lama kemudian dia meminta aku untuk meneruskan cerit yang belum usai. Aneh, pikirku. Tapi aku meneruskannya juga. Aku ceritakan tentang perusahaan milik papa, tentang kolega dari bahrain yang akan datang berkunjung. Kali ini Box tertarik. Aku melanjutkan cerita.

“Tita hidup bersama Papanya. Ibunya meninggal beberapa menit setelah ibunya melahirkan Tita. Papa Tita meninggal dua tahun setelah pernikahan aku dan Tita. Sabar dan tangguh, itulah Papa mertuaku dulu”

Box tak begitu merespon ceritaku tentang Tita. Aku ceritakan padanya tentang kisah yang dituturkan oleh Yudi yang dulu adalah sopir pribadiku. Tentang apa yang Tita perbuat dibelakangku, di hari yang sama saat aku masih menunggu kolega dari Bahrain. Tentang kaburnya Tita dengan Hidayat mantan kekasihnya dulu. Tentang penjualan aset aset perusahaan, tentang nasib perusahaan itu sendiri yang tak lagi punya kuasa akan saham, bahkan rumah, mobil, dan pernak pernik lainnya, terbang bersama terbangnya Tita. Box semakin tertarik. Kali ini dia bertanya tentang bagaimana awalnya aku dengan Tita. Dan tanganku kembali menari nari di udara yang kosong.

“Aku mengenal Tita sebagai asisiten dosen saat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, kota dimana aku lahir dan tumbuh dewasa. Saat menempuh Master managemen di Singapura, hubungan masih terjalin baik dengan Tita meskipun masih belum berstatus apa apa. Saat itu Tita masih jalan bareng dengan Hidayat, seorang eksekutif yang bergerak di bidang entertaint. Aku sendiri berpacaran dengan Tita sesaat setelah aku kehilangan orang tua, dan saat Tita juga baru saja bubar dengan Hidayat”.

Tita memotong ceritaku. Dia lebih penasaran mengenai kata kataku yang menyebutkan bahwa aku telah kehilangan orang tuaku. Akupun bercerita tentang sebuah kecelakaan pesawat, tiga tahun sebelum kejadian aku di tikam oleh Tita, istriku sendiri.

“Maaf”
Kenapa harus minta maaf? Begitu kataku ke Box. Dan aku kembali meneruskan cerita. Tentang Yudi, Arimurti, Mak pembantu rumah tanggaku dulu, Kadang kembali ke Tita, kadang sedikit tentang Hidayat kekasih Tita, dan tentang semua yang hilang dlm sekejap mata. Bahkan sebelum aku sempat menservis tamu penting dari bahrain. Saat Box bilang sepenting apa, aku jawab semua tamu itu penting, apalagi yang datang dari jauh. Box mengangguk, lalu diam dan menunggu aku meneruskan cerita. Kembali aku bercerita tentang kisah di pagi hari saat aku akan berangkat ke perusahaan dengan diantar Yudi, supir pribadiku. Tentang kemesraan kemesraan Tita, bahkan tentang saat tangan tangannya membetulkan dasiku yang sebenarnya tidak apa apa. Juga tentang lambaian tangan, komunikasi terakhir antara aku dan Tita. Aku terus melanjutkan cerita, sampai pada akhirnya Box memotong.

“Aku tahu penyebab kegilaanmu”
“Apakah dimatamu aku terlihat benar benar gila?”
Box tersenyum. Menggeleng, lalu tersenyum kembali. Setidaknya aku tahu mengapa kamu sering menertawakan banyak hal. Itu semua karena Tita. Semua karena kamu merasa kehilangan, begitu mendadak, tak disangka sangka, cepat, dan efeknya seperti orang terbentur. Jadinya linglung. Box mengatakan itu sambil terkekeh kekeh aneh. Tapi aku suka kekeh itu. Itu membuatku tidak bisa marah padanya. Kemudian aku menanyakan sesuatu padanya, apakah tidak lebih baik cerita dilanjutkan di teras rumah, tapi Box menggeleng. Aku ceritakan padanya bahwa aku pernah dua ratus hari di rumah sakit jiwa. Dia terbelalak..

“Bukankah itu setengah tahun lebih?”
Aku mengangguk. Lalu aku bercerita tentang keluarga Om Irawan.
“Beliau yang mengirim dan membiayaiku di rumah sakit jiwa. Beliau adalaah satu satunya keluarga paling dekat yang aku punya. Om Irawan adalah adik kandung Papa”
Box terdiam. Sepertinya dia terhanyut dengan ceritaku. Lebih terhanyut lagi saat aku bertutur tentang Yun, keponakanku. Box senang saat kubilang Yun beberapa tahun lebih muda dari dia dan antara Yun dan dia ada kemiripan. Tapi saat aku katakan Yun lebih cantik dari Box, dia cemberut. Padahal aku berharap Box melotot. Aku kembali meneruskan merangkai makna diantara jari jari tangan yang menari di atas puncak bukit. Kuceritakan padanya sekembali dari rumah sakit jiwa.

“Aku ditampung oleh keluarga Om Irawan. Rumahnya satu kompleks dengan rumah mendiang orangtuaku, hanya berjarak empat blok saja dari rumah Om Irawan. Blok R nomor satu, itulah alamat rumahku. Ada banyak kenangan aku di rumah itu, termasuk lambaian tangan Tita di pagi yang indah”.

Kali ini Box benar benar tak mengacuhkan aku. Dia lebih senang memandang bukit sebelah daripada menyimak cerita selanjutnya. Akhirnya aku bercerita tentang Tante Neni istri Om, Arie yang sebaya denganku dan juga orang angkatan. Terus Yun. Tentang bagaimana aku masih bis melindunginya dari orang gila yang hendak menyentuhnya dihari dimana aku beranjak pergi.

“Padahal Yun kan tadinya takut sama kamu?”
Aku tersenyum. Aku katakan juga kalau Tante Neni takut dan merasa terancam seatap dengan orang yang baru pulang dari rumah sakit jiwa. Lebih mudah menerima bekas napi daripada bekas orang gila.

“Berarti kamu ngaku dong kalau memang gila, hweghweg..”
Lagi lagi Box terkekeh aneh, tapi aku suka mendengarnya. Sesaat setelah Box kembali tenang, aku meneruskan ceritaku. Aku ceritakan tentang Agus dan Pak Tik, dua satpam Om Irawan yang hampir setiap hari setia menungguku pulang dari Blok R nomor satu. Juga tentang Kang Iben, tentang tawanya yang terkekeh renyah, tentang suatu pagi bersama kang Iben menikmati kopi dalam satu cangkir, tentang kata katanya, tentang dongengnya akan masa SMA ku.

“Bagaimana masa sekolahmu dulu?”
Aku menjawabnya biasa saja, tidak ada yang begitu istimewa. Box tidak mengejar dengan pertanyan lain. Diam dan setia menunggu aku melanjutka cerita. Aku ceritakan padanya tentang akhir dari kisahku di rumah Om Irawan yang bermula dari Blok R nomor satu.

“Betapa terpukulnya aku saat melihat rumah yang dijual oleh Tita, Blok R nomor satu, telah direnovasi total oleh si pemilik baru. Itu alasanku hengkang dari rumah Om Irawan. Sudah tak ada alasan lagi untuk berlama lama disana. Itu hanya kan memperpanjang ketakutan tante Neni dan Yun saja”

Aku ceritakan semua pada Box. Tentang perjalananku dari satu bus kota ke bus kota yang lain, dari satu truk ke truk yang lain, dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain, bagaimana aku mendapatkan makan, dan seterusnya. Box menyeringai. Saat kutanya kenapa, dia menjawab singkat.

“Kamu memang gila”
Saat aku membalasnya dengan mengata ngatai dia juga gila, dia melotot. Aku tambahkan juga bahwa mata yang melotot itu bisa membuat orang tergila gila padanya. Dengan tangkas dia balik bertanya hanya dalam satu kata saja.

“Siapa?”
Aku terkejut. Wajahku pias demi menyadari apa yang telah aku lontarkan. Cepat cepat aku mengatakan bahwa semua orang yang melihat pasti akan tergila gila menatap mata indahnya yang sedang melotot. Dia mencibir, lalu membalikkan badan. Di belakangku jari jarinya bergerak cepat. Lalu dia kembali membalikkan badan. Aku tahu yang dia isyaratkan. Pengecut. Itu yang dia katakan dengan gerakan tangan yang cepat. Itu juga yang membuat wajahku memerah. Diam diam dia tahu kalau aku malu, tapi pura pura tidak tahu. Tak ada pilihan lain, aku kembali meneruskan cerita.
Tentang perjalanan ke Jember, tentang desa Sumber jeruk, dan tentu saja tentang keluarga Pak Ilham.

“Jadi kamu memanggilnya si janda? Hweghweg..Benar benar gila..”
Dia mengatakan itu saat aku menceritakan truk Pak Ilham yang papan dinding gerobak belakangnya bertuliskan kutunggu jandamu. Tetap saja kulanjutkan cerita. Tentang istrinya pak Ilham yang aku panggil ibuk tapi kata kata itu sendiri tak pernah terucap, tentng kos pemberian Pak Iham yang ada tulisannya UNITED, tentang Ogah, kali bening, orang orang yang biasa ada di kali bening, tentang keseharianku selama di Sumber Jeruk, dan tentang semuanya. Sampai pada akhirnya aku menceritakan juga kisah tragis kecelakaan itu.

“Sampai hari ini aku tidak tahu bagaimana nasib Pak Ilham, Ogah, dan kondisi si janda”
Box diam tidak mencoba menanggapi. Akhirnya aku meneruskan.
“Nama mereka Kakek Sura’i, sedang anak perempuannya yang janda biasa dipanggil Yu Tatik oleh tetangganya”

Akupun larut dengan kisahku sendiri, sementara tanganku seperti tak berhenti menari. Bagaimana mereka merawatu, bagaimana Yu Tatik mendulang aku, obat apa yang meraka pergunakan, dan sebagainya. Sampai pada detik detik perpisahan juga aku ceritakan. Aku katakan juga pada Box aku masih menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan orang orang itu lagi. Kalau rumah keluarga Pak Ilham aku mungkin masih bisa mengingatnya. Tapi kalau rumah yang di diami kakek Sura’i dan Yu Tatik, aku sama sekali tidak tahu. Itu yang kukatakan pada Box. Kukatakan juga padanya kalau aku keluar dari rumah itu di malam hari. Lagipula jarang keluar rumah.

“Untuk membatu kakek memulung buah pache di lahan saja aku tidak boleh. Jadi ya hanya berbaring”
Aku menunjukkan luka di pipi kananku sebagai media pengingat akan semua itu. Box bilang codetku keren. Setelahnya, dia terlihat senang memandangku yang sedang salah tingkah.

“Apa nama desa itu?
Aku menjawabnya, sama dengan nama buah yang biasa dikumpulkan kakek Sura’i. Box mengernyitkan dahi. Lalu aku bilang, pache. Box tertawa dengan suara yang masih saja aneh, tapi aku senang mendengarnya. Apakah masuk kecamatan Silo? Tentu saja aku mengangguk bergairah. Sayangnya, tawa aneh Box kali ini seperti tak bisa berhenti. Aku bingung, kesal, dan mengancam untuk menghentikan cerita. Dia masih tertawa. Tapi kemudian menahannya. Sambil tetap menahan tawa dia balik mengancam.

“Coba kalau berani”
Kali ini aku mencoba memberanikan diri tidak menanggapi ancamannya. Kulangkahkan kaki ini ke bawah menuju rumah. Aku mendengarnya berteriak dengan cara menepuk nepukkan kedua telapak tangannya. Aku tetap tak perduli. Sepuluh langkah kemudian aku berhenti. Penasaran. Kenapa Box tak mencoba memanggilku lagi? Aku sudah tak bisa menahan rasa penasaranku lagi. Secepatnya aku membalikkan badan. Ternyata di atas sana Box sudah menanti aku menoleh. Dia seperti benar benar yakin bahwa aku akan menoleh. Kedua tangannya sudah bersiap siap hendak membuka kaos yang melekat ditubuhnya. Karena melihat aku hanya tercengang, Box menariknya lebih ke atas hingga membuat pusarnya terlihat. Serta merta kulangkahkan kaki ini kembali ke puncak dimana Box mengancam. Box menyeringai. Sebuah senyum kemenangan. Aku kalah, oleh sebab itulah aku meneruskan cerita sampai tuntas.

Kuceritakan tentang sebuah mobil pick up warna hitam yang aku tumpangi. Mobil itu berisi dua orang lelaki yang sama sama baik. Mereka tidak meninggalkan aku di desa Curah Nongko, tapi aku sendiri yang memilih untuk tinggal. Tentang kisah malam pertamaku di pelataran masjid yang tanah dan bangunannya adalah wakaf dari haji Abbas. Tentang Ali, orang yang pertama aku kenal sebelum Haji Abbas. Dan segala galanya tentang Ali, aku ceritakan sampai tuntas ke Box, sampai pada beberapa ekor ayam dan seekor kambing yang sedang hamil yang dia tinggalkan padaku. Semoga tak ada pertanyaan dari Box. Tapi ternyata aku salah. Dia menanyakan sesuatu yang aku tidak tahu.

“Ali kelahiran Busang? Bukankah di sana ada kasus tambang emas?”
Tidak itu saja yang Box tanya dan katakan padaku. Dia berceloteh tentang Bre-X, tentang suap menyuap izin pertambangan, tentang kejahatan tambang emas, tentang bahaya mercuri, sianida, limbah air raksa, limbah tailing, tentang tatanan masyarakat yang rusak, tentang Yusuf merukh, dan masih banyak lagi yang aku tidak mengerti. Akhirnya aku meneruskan lagi kisahku pada Box sat dia telah selesai dengan rangkaian isyarat penuh emosionalnya. Kali ini tentang Haji Abbas, tentang Nyai, tentang anak anak KKN, termasuk juga si bangsat.

“Siapa si bangsat?”
Aku hanya tersenyum dan tidak menjawabnya. Aku lebih senang menceritakan hari hariku bersama pak Mu’i. semua aku ceritakan pada Box. Bahkan tentang pondok panggung, tentaang siapa yang membuatnya, tentang hewan hewan ternak milikku. Kambing, ayam, lele, gurami, dan ikan ikan sungai hasilku menjala.

“Kamu bisa menjala?”
Lagi, aku hanya tersenyum mendengarnya bertanya seperti itu. Dari atas bukit, aku menunjuk ke arah sendang. Ikan ikan itu aku cari dengan menjala. Ini jala yang aku gunakan. Lalu aku menceritakannya juga. Menceritakan bagaimana senangnya hatiku saat bisa menangkap ikan. Tentang rumput gajah yang aku tanam di sepanjang jalur tepian hutan, tentang cikal bakal Pak Mu’i mengajariku berladang, tentang bagaimana aku membibitkan ribuan mengkudu dan ketapang. Tapi tak kuceritakan juga bahwa ribuan pohon itu telah terjual semua dan uangnya aku berikan pada Haji Abbas. Entahlah, bagku itu tidak akan menjadi sebuah cerita yang menarik. Lagipula aku malu untuk mengingat ingat uang yang dua ratus juta lebih itu. Bukankah aku sudah mempercayakan pada Haji Abbas? Beliau pastilah akan memanfaatkan uang hasil bibit itu di jalan yang benar.

“Bagaimana dengan Ning?”

(Bersambung)

2 komentar:

  1. Cerita yang melelahkan mata saya. Tapi unik dan inspiratif.

    BalasHapus
  2. Wah, mas Agus. Makasih mas dah mau mampir. Ni gara gara sy blm ada duit mau bukukan mas, jadinya novel ini sy belah jadi sembilan belas bagian. Tinggal dua lagi. Sekali lagi makasih ya mas..

    BalasHapus