Di hari pertama kepulanganku itu, Haji Abbas cepat tanggap. Beliau melihat ada yang tidak beres dengan kondisi punggungku. Masih lewat bantuan pak Mu’i, Haji Abbas memintanya untuk sesegera mungkin memanggilkan aku seorang dokter puskesmas. Tidak sampai satu jam, dokter yang Haji Abbas maksudkan itu tiba. Entahlah, barangkali dokter ini sungkan dengan kharisma Haji Abbas. Dia datang begitu cepat, padahal dia sudah tahu orang yang akan dia periksa adalah aku, laki laki normal yang terbiasa dengan isyarat jari telunjuk dimiringkan ke jidat. Cara dia memeriksaku juga serius, tidak terkesan main main dan serampangan. Dokter itu menyarankan pada Haji Abbas untuk mengantarkan aku ke rumah sakit terdekat. Kalau bisa rumah sakit di Jember kota, hari itu juga. Dokter khawatir luka yang ada di punggungku sudah terjangkit infeksi. Semula Haji Abbas keberatan, namun setelah agak lama menimbang nimbang, akhirnya aku dibawanya juga ke rumah sakit. Tidak di Jember kota, tapi di rumah sakit Ambulu. Tiga hari aku di sana.
Siang dan malam satu satunya orang yang menemani aku tanpa lelah dan tidak pernah mau diganti adalah Pak Mu’i. Aku sendiri sebenarnya bertanya tanya, kenapa pak Mu’i begitu menaruh perhatian padaku? Apa karena dia adalah orang pertama yang aku kenal yang merasa menemukanku? Atau hanya karena dulu kambing dan seekor sapinya sering aku carikan rumput? Ah, tidak mungkin. Barangkali dia hanya dimintai tolong oleh Haji Abbas lantaran Haji Abbas sendiri sibuk menemui tamu yang berkunjung di rumah. Tapi kalau hanya dimintai tolong, kenapa harus sepanjang waktu? Bukankah dia juga punya keluarga yang butuh kehadirannya? Semakin aku bertanya tanya, semakin aku menemui kebuntuan. Yang pasti, sejak beberapa hal yang beruntun ini, aku merasa memiliki ikatan emosional dengan pak Mu’i. Seperti dua saudara kandung. Ah tidak tidak, itu terlalu berlebihan. Seperti dua orang sahabat yang sudah lama saling kenal. Ah, inipun juga tidak. Pokoknya aku punya teman. Itu lebih penting buatku.
Menurut analisis Dokter, tidak ada yang perlu di khawatirkan dengan luka yang ada di punggungku. Jangankan aku, para dokternya saja bersyukur. Melihat kondisi luka yang ternyata serius dan dalam ini, para dokter bahkan mengira bahwa sebelumnya aku sudah mendapat perawatan alternatif. Sayangnya, Haji Abbas dan pak Mu’i yang menerima penjelasan analisis itu, keduanya sama sama menggeleng. Saat itu, ingin rasanya aku bercerita tentang si kecil, tentang orang orang hutan yang juga kecil, tentang udang mentah yang biasa mereka makan, tentang cincin di jari manisku ini, dan tentang kulit pohon pisang yang di iris tipis tipis. Tapi seandainya aku memaksa berbicara, aku yakin mereka tidak akan percaya. Jadi, aku kembali saja pada sebuah kalimat klise, bahwa diam itu emas.
Dari hasil analisis itu ada yang paling menggemparkan. Foto foto punggungku, baik yang manual maupun yang sinar x, yang dikirimkan pada dokter ahli yang aku dengar juga seorang pakar dibidang tebak menebak luka, dia bilang lukaku ini disebabkan oleh cakaran harimau dewasa. Tentu saja ini mengagetkan semua orang yang mengetahui isi laporan analisis itu, tidak terkecuali aku sendiri. Hah, cakaran harimau? Kapan aku pernah bertemu harimau? Tapi kalau bukan harimau, lalu apa? Lama aku memikirkan ini, sementara Haji Abbas, pak Mu’i dan beberapa karyawan rumah sakit lebih memilih untuk memandangi aku. Tatapan heran dan takjub yang ditujukan padaku. Ingin sekali aku katakan pada mereka bahwa aku sendiri sebenarnya juga sangat heran.
Berita bahwa aku telah dicakar harimau menyebar sangat cepat se antero Curah Nongko dan kawasan penyangga sekitar TNMB, secepat merambatnya cahaya mentari di pagi hari, dari satu punggungan ke punggungan yang lain, hingga menyinari seluruh desa. Sementara aku hanya bisa tertawa, diam dan tertawa kembali. Sampai akhirnya aku teringat sesuatu.
Aku masih ingat betul tentang sebuah benda berbungkus kulit pohon pisang yang di iris tipis tipis. Sebuah benda yang baru beberapa hari kemudian aku tahu isinya adalah tanah liat yang sengaja dibentuk menyerupai kepala harimau. Apakah itu adalah sebuah pertanda? Bukankah benda itu datangnya dengan dilempar? Lama aku memikirkan ini, sampai akhirnya aku menemukan sebuah titik terang. Ya, mereka melemparkan itu karena aku tertawa meledak dan sangat keras. Aku juga masih ingat bahwa suara tawaku sempat membuat suasana hutan hening. Suara hewan hewan malam, suara serangga, semuanya sempat terhenti pertanda terkejut. Bagaimana jika di sekitarku ada seekor harimau yang sedang tertidur, apakah juga kaget? Bisa jadi malam itu sang harimau masih kenyang, jadi tidak begitu saja menyantapku. Atau dia terkaget sebentar, kemudian kembali tidur lantaran tak kuasa untuk membuka kedua kelopak matanya. Entahlah, yang pasti saat itu aku bersalah. Ada di atas atap orang lain tapi masih berkelakuan seperti saat ada di atap sendiri. Tidak heran jika mas Aim dulu pernah berkata, setiap hutan punya predatornya sendiri. Itu bisa berarti bahwa setiap tempat memiliki penguasa sendiri. Atau bisa juga diartikan, jangan menyama ratakan setiap tempat. Tapi bukankah mas Aim mengatakan itu tidak ditujukan pada predator yang sesungguhnya?
Analisis ahli itu semakin tidak terbantahkan manakala esoknya ada beberapa orang yang perduli dengan keberadaan harimau jawa, datang ke rumah Haji Abbas dengan membawa seorang pakar. Dipelototinya pundakku, dimiringkan ke kiri dan ke kanan, tapi saat hendak di potret, buru buru Haji Abbas mengatakan sesuatu.
“Mohon maaf mas sebelumnya, apakah ini akan dipublikasikan?”. Salah satu dari mereka menjawab dengan tak kalah sopan.
“Oh, tidak pak Haji, saya hanya ingin mengambil gambar luka yang ada di punggungnya mas Kacong sebagai dokumentasi kita saja”
Haji Abbas menimpalinya dengan senyum dan ucapan terimakasih. Menurut pakar dari Laboratorium Bandung yang mereka bawa itu, sangat disayangkan sekali bahwa luka di punggungku yang belum lagi kering ini tidak menyisakan bulu barang sehelaipun. Ini dikarenaka lukaku berminyak dan disinyalir sudah pernah dibersihkan sebelumnya, juga dengan menggunakan semacam minyak. Bahkan kemungkinan sebelum dari rumah sakit. Hebat, pikirku. Pantas saja dia disebut ahli. Dia tahu bahwa lukaku ini pernah dilumuri minyak.
“Sayang sekali, tidak sehelaipun tersisa. Seandainya ada, ini sangat penting sekali artinya, sebagai sumbangsih pada ilmu pengetahuan. Dan yang lebih penting lagi, kita bisa menunjukkan pada dunia bahwa harimau jawa masih ada..”
Itu yang diucapkan oleh sang pakar sebelum dia dengan tegas menyatakan bahwa lukaku ini seratus persen adalah luka yang disebabkan oleh cakaran seekor harimau loreng. Dia mengatakan itu dengan menunjukkan beberapa lembar foto luka yang sama, yang disebabkan oleh harimau sumatera. Lama aku merenungkan kata kata bapak sepuh yang seorang ahli ini. Berarti sesuatu yang mengejarku di pagi hari saat di dalam hutan itu adalah seekor harimau? Pantas saja aku merasakan takut yang luar biasa. Pantas saja saat aku tertawa di malam hari, suasana sempat hening, ternyata para serangga dan hewan hewan malam itu tahu bahwa sang raja hutan tidak senang dengan tawaku. Pasti aku dicakarnya pada saat jatuh terjerembab tak sadarkan diri. Mungkin dia hanya memperingatkanku dengan cakaran ini. Kalau bukan hanya sekedar mengingatkan, kenapa aku tidak dicabik cabiknya saja?
Hasil analisis dan ucapan sang ahli tersebut ternyata sangat berpengaruh pada kehidupanku dalam beberapa hari selanjutnya. Aku lebih banyak diam. Seperti mempunyai remote khusus terhadap volume tawaku. Kadang aku merasa ada harimau yang memperhatikan gerak gerikku di suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari aku. Kalaupun harus tertawa, aku tertawa sambil kedua tanganku menutupi mulut, berharap bisa meredam suara tawaku agar tidak di dengar oleh sang harimau. Sungguh sesuatu yang sangat menyiksa, bisa gila aku dibuatnya.
Hari berlalu dan lukaku keringlah sudah. Sudah beberapa hari ini aku diperbolehkan tidur di pondok panggung yang ikan lele di bawahnya sudah besar tapi belum saatnya dipanen. Sebelumnya aku tidur di kamar dalam rumah Haji Abbas, kamar depan sendiri yang dulunya adalah kamar mas Faisal, satu satunya putra Haji Abbas. Aku sendiri hanya sekali bertemu dengannya. Mas Faisal sudah berumah tangga dan menetap di Jakarta. Di sana dia bekerja membuka beberapa gerai makanan dan sukses. Sayangnya sampai saat ini belum dikaruniai keturunan. Hanya itu yang aku tahu tentang putra Haji Abbas.
Suasana di sekitar pondok panggung tidak banyak berubah. Yang berubah hanyalah ikan lele yang semakin besar, kambing kambing yang bertambah kurus, ayam ayam yang bertambah banyak dan rerumputan yang datang menyerbu, tumbuh diantara bibit bibit ketapang dan mengkudu yang kesemuanya aku tanam di polibag. Ada juga yang berubah. Suasana masjid di sore hari selepas shalat Ashar. Kali ini masjid diramaikan dengan dibukanya sekolah madrasah untuk anak anak dan pemuda pemudi di seputaran masjid. Sedangkan pengajarnya adalah Haji Abbas sendiri. Kadang ada juga pengajar dari luar yang sengaja Haji Abbas undang sebagai guru tamu. Tapi tidak menutup kemungkinan mereka mengajar karena kemauan sendiri. Sekolah madrasah yang sama sekali tidak menawarkan ijazah ini ternyata ramai juga peminatnya. Namun begitu aku tidak pernah ikut duduk diantara para murid madrasah. Hari hari aku lewati dengan beraktifitas seperti dulu saat aku masih belum dinyatakan hilang. Kali ini semua aku kerjakan lebih cepat, lebih tangkas, lebih lama dan aku usahakan untuk lebih baik dari sebelumnya. Aku seperti ingin mengganti masa libur kerjaku selama hampir dua bulan dengan melakukan semuanya dalam sehari saja. Lihat saja sekarang, rumput rumput, baik yang di polibag maupun yang di luar polibag aku sikat habis. Jumlah polibag dan bibit juga semakin banyak. Tapi semuanya masih tetap sama, masih hanya menanam bibit pohon ketapang dan mengkudu. Sengaja aku menanam sebanyak banyaknya. Lagipula bulan bulan ini sangat banyak bertebaran bibit bibit itu di tepian hutan. Kambing kambingku juga bertambah gemuk. Ini tidak lain adalah karena kali ini aku lebih fokus merumput. Tugasku untuk menyiram bunga di sore hari digantikan oleh adek adek kecil yang sekolah madrasah. Senang rasanya melihat mereka bergantian menyirami bunga bunga kesayangan Nyai. Di pagi hari pun aku tidak lagi menyiram bunga. Murid murid madrasah yang lebih besar, selalu datang di pagi hari untuk sekedar menyapu masjid dan menyirami tanaman. Baru kemudian beberapa dari mereka berangkat ke sekolah umum. Ada juga dari mereka yang tidak sekolah, melainkan mengisi hari harinya di tepian hutan. Kadang juga sampai masuk merambah hutan. Ada saja yang mereka cari, bukan hanya merumput. Kadang mereka mencari bahan baku empon empon, untuk mereka racik menjadi jamu lalu dipasarkan ke sekitar desa. Bahkan ada yang dijual sampai keluar desa. Selain itu barang barang hutan yang biasa mereka cari adalah rotan, bambu suluh, madu lebah, dan beberapa lainnya. Beberapa dari mereka ada yang sengaja mengambil hasil hutan meskipun sudah dilarang keras oleh pihak yang berwajib. Seperti mengambil satwa satwa yang dilindungi dan beberapa tanaman. Mereka mengambil ini sesuai pesanan. Atau jika tidak, mereka sudah tahu tempat tempat yang bisa menampung barang yang mereka ambil.
Kalau masalah pencurian kayu, aku sering menjumpai mereka. Sesekali aku juga ada bersama mereka saat mereka melakukan penggergajian. Tidak ada yang bisa aku lakukan saat melihat orang orang seperti mereka selain hanya tertawa dan tertawa saja. Lucu, orang orang seperti mereka seperti meganggap hutan adalah milik mereka sendiri. Setidaknya mereka menganggap hutan ini adalah milik orang tua, kakek nenek dan para buyut buyut mereka. Mereka sepertinya lupa bahwa di rumah mereka tinggal seorang bocah kecil keturunan mereka sendiri, yang saat besar nanti akan bertanya, dimana hutan rimba yang bapak dongengkan? Tapi sudahlah, toh mereka juga butuh makan. Kalau bukan mereka orang orang asli desa sekitar sendiri yang membabat kayu kayu ini, pasti akan ada orang lain yang melakukan hal sama. Kita juga tidak bisa menyalahkan para pencuri kayu ini sepenuhnya. Pengetahuan mereka akan kelestarian alam sangatlah minim. Ini berbanding lurus dengan kenyataan yang ada, bahwa apapun yang terjadi asap dapur harus tetap mengepul. Jika dibanding dengan para pemegang HPH, mereka lebih anggun dalam membabat hutan. Mereka benar benar melakukan tebang pilih, sebaik yang mereka bisa. Tidak seperti para pemilik modal, yang menyatakan akan tertib dalam melaksanakan tebang pilih, toh pada akhirnya pohon pohon yang berdiamater kecil juga ikut tumbang bersama tumbangnya pohon pohon besar. Manusia semakin banyak, permintaan hasil hutan semakin tak terbendung, sementara orang orang yang memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan menjadi seorang pencinta alam semakin sedikit. Itu yang terjadi hari ini. Semua hanya ada pada masalah kesadaran saja. Kesadaran sulit tumbuh di negara yang belum sejahtera dan segala galanya mahal ini, termasuk akses pendidikan. Jangankan masalah pendidikan, dalam mengurus akses kesehatan saja kita tidak becus. Kalaupun ada yang harus disalahkan, salahkan saja para pemimpin negara yang menganak emaskan modal asing. Jangan terlalu menumpukan kesalahan pada para pencuri kayu. Kasihan mereka, sudah miskin, kurang mendapat informasi tentang kelestarian alam, masih saja dijadikan tumpuan terakhir tempatnya salah dan salah.
Aku tidak ingin bicara tentang undang undang lingkungan di sini, karena semua tahu, yang namanya bahasa hukum itu menjenuhkan untuk dijadikan topik pembicaraan. Aku hanya ingin bicara tentang kenyataan yang ada. Mana sumbangan yang telah modal asing berikan pada bumi pertiwi? Padahal ada beberapa dari mereka yang sudah empat dasawarsa ini mengeruk habis habisan hasil bumi kita. Mereka memang menyumbang, tapi sangat kecil dan tidak lebih dari tiga persen hasil mereka. Apakah film Denias juga bisa dikatakan sebuah sumbangsih dari salah satu mereka, hanya karena di film itu ada tulisan nama sebuah perusahaan?
Aku tahu masalah persentase ini lantaran aku adalah seorang pendengar yang baik saat mas Aim bermonolog tentang kondisi lingkungan yang ada. Aku juga tahu tentang sepak terjang rezim yang hari ini memimpin nusantara, itu juga dari mas Aim. Dia bilang bahwa para pemimpin negara sampai hari ini masih menggantungkan pembiayaan pembangunan kepada pengerukan sumber daya alam. Sebagian besar bahkan masih dalam bentuk bahan mentah, terutama bahan tambang dan energi. Program sektor pertambangan para pemimpin hari ini sama sekali tidak menunjukkan perubahan paradigma pembangunan menjadi lebih berkelanjutan dan lebih berkeadilan. Dengan kata lain, para pemimpin hari ini sama sekali tidak punya visi tentang pembangunan yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat dengan menjamin kelangsungan pelayanan alam bagi generasi selanjutnya. Ya, aku tahu semua itu dari mulut seorang pencinta alam, mas Aim. Meskipun bahasannya berbelit belit, tapi aku tahu maksudnya. Dapat dikatakan kita tidak memiliki kedaulatan penuh terhadap negara sendiri. Intinya, para penyelenggara negeri ini kurang memiliki jiwa mencintai lingkungan. Itu yang aku tahu. Yang aku tidak tahu, siapakah para rezim yang dimaksud itu? Ah, harusnya aku menanyakan itu. Malu aku, berceloteh panjang lebar tentang sebuah pemikiran, padahal aku tidak tahu siapa yang dimaksud. Padahal aku hidup di jaman modern dimana akses informasi mudah aku dapatkan, bahkan saat aku tidak ingin mendengarkan informasi apapun. Kenapa aku masih saja tidak mengerti. Siapa pemimpin nusantara hari ini?
Kembali pada keseharianku. Aktifitasku semakin sedikit. Setelah sebelumnya pompa air otomatis membuat aku tidak lagi menimba, kali ini masalah menyiram bunga. Padahal aku butuh beraktifitas. Masalah mencari rumput, membersihkan kandang, memberi pakan ikan lele, dan melakukan pembibitan, itu sudah aku laksanakan dengan baik. Masih saja banyak waktu luang yang tersisa. Aku tidak senang dengan waktu luang. Waktu luang hanya mengembalikan ingatanku pada Tita saja, perempuan yang belum sempat aku ceraikan. Dan mengisi waktu luang dengan pikiran yang seperti itu, sama saja dengan sengaja menyesakkan dada. Sama sekali aku tidak senang dengan situasi ini. Tekadku sudah bulat, aku harus menghabiskan hidupku dengan beraktifitas dan terus beraktifitas. Aku tahu kapan waktunya beristirahat, kapan waktunya sendirian, kapan waktunya bertamasya dan kapan waktunya hanya bersenang senang saja tanpa kegiatan yang berarti. Tapi itu tidak sama dengan waktu senggang yang terbentang sepanjang hari. Itu adalah jeda. Dan jeda adalah istirahat. Istirahat adalah tamasya. Tamasya bisa diartikan menyegarkan kembali, bisa juga dengan berkreasi kembali. Nah aku ingin yang terakhir, berkreasi kembali. Kalaupun aku harus istirahat, maka aku akan istirahat sambil bertamasya. Istirahat sambil berkreasi kembali. Aku rasa itu lebih menyenangkan daripada hanya sekedar tertawa tawa tanpa berbuat apa apa. Itu baru gila namanya.
Aku benar benar melaksanakan apa yang kemarin sudah aku katakan. Beraktifitas. Melakukan sesuatu dengan hanya menganggapnya sebagai tamasya harian. Bibit yang sudah banyak itu semakin banyak dan sesak memenuhi lahan sekitar pondok panggung di hari hari kemudian. Kambing kambing sudah bertambah gemuk. Malah dua dari kambing itu sekarang sama sama hamil. Aku merumput hanya dipinggiran hutan. Sampai hari ini belum sekalipun mencoba untuk masuk hutan. Aku masih takut sang raja rimba menantiku. Satu satunya yang aku kembali lakukan dan tidak takut adalah tertawa lepas. Sekarang aku sudah kembali tertawa lepas tanpa harus menutup mulutku dengan kedua telapak tangan. Tak tahu mendapat keberanian dari mana aku. Saat aku menyadarinya, aku sudah melakukan itu. Tertawa lepas, menertawakan banyak hal, termasuk menertawakan diri sendiri yang masih saja tak tahu pasti siapa pemimpin negeri ini. Apakah Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, Ataukah SBY. Entahlah, tapi yang paling sering aku dengar dulu sebelum tiba di desa ini, hanya dua nama. Megawati dan SBY. Ya, pernah ada yang mencelotehkan demikian. Jika itu benar, maka aku benar benar telah melewati dua kepemimpinan negara. Tapi apakah memang demikian?
Aku bisa tahan merumput dari pagi sekali sampai sore hari. Waktu jeda aku habiskan untuk mencari bibit pohon ketapang dan mengkudu. Jika tidak, aku akan membawa pulang biji bijinya. Kali ini aku sudah tahu cara menanamnya dimulai dari biji. Ini juga berkat ketelatenan pak Mu’i mengajariku. Pak Mu’i adalah satu satunya orang yang hewan ternaknya tak pernah absen aku jatah rumput segar, setiap hari. Di awal awal aku gila beraktifitas, hasil rumput, kayu kering dan bibit tanaman sering aku tinggalkan begitu saja di pinggiran hutan. Baru esoknya aku mengangkut itu. Pagi pagi sekali sebelum aku memulai acara merumput. Ini karena aku capek bila harus bolak balik membawanya, di hari yang sama. Sekarang tidak lagi. Setiap sore pak Mu’i senantiasa meluangkan waktu menuju tepian hutan untuk mencariku, dan membantu membawakan perolehanku beraktifitas. Ini menyenangkan dan meringankan. Karena selain lebih efisien, biasanya Pak Mu’i tidak langsung mengajakku kembali. Ada saja hal hal baru yang diajarkannya padaku. Seperti sekarang ini, dia mengajariku menanam rumput gajah di sepanjang tepian sungai dan jalur jalur lainnya. Tentu saja aku senang dengan ini. Sekitar dua minggu aku habiskan untuk menanam dan menyiramnya. Di sana, di tanah milik Tuhan. Bibit rumput gajah ini pak Mu’i yang menyediakan. Dapat darimana dia, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang aku tahu, kali ini aktifitasku bertambah. Setidaknya aku tidak kehilangan aktifitas dalam hal siram menyiram. Padahal jalur dimana aku menanam rumput gajah ini sangatlah panjang. Anehnya aku tidak pernah merasa bosan dan capek. Di minggu ketiga pak Mu’i coba melarangku.
“Sudahlah Cong, nggak usah disirami lagi. Rumput ini sudah bisa bertahan hidup sendiri. Sudah saatnya kita memasrahkannya pada alam…”. Itu kata pak Mu’i, dan hampir setiap hari. Merasa tidak mendapat respon, pak Mu’i mencoba mengalihkan perhatianku dengan mengajari aku berladang di lahan yang sudah ditinggalkan oleh orang yang tadinya menanaminya sesuatu. Agak masuk di dalam hutan. Jaraknya juga lumayan, dari tempat biasa aku merumput dan menanam rumput gajah. Tapi aku santai saja, karena ada pak Mu’I disampingku. Dia juga pernah bilang bahwa harimau tidak akan pernah memakan orang yang mencintai hutan. Dan aku mencintai hutan ini, jadi tidak mungkin aku akan dicabik cabiknya. Meski begitu, tetap saja aku menjaga tawaku selama belajar berladang.
Pak Mu’i bukan hanya mengajariku bagaimana mencangkul, dia juga membuatkan aku sebuah pondok kecil yang juga panggung, tapi terbuka tanpa dinding. Hanya ada atap dari anyaman daun kelapa yang pak Mu’i anyam sendiri. Hari hari selanjutnya aku habiskan dengan merumput dan belajar berladang, tidak lagi menyirami rumput gajah. Yang aku tanam di ladang tandus tanpa satupun pohon besar ini adalah cabe kecil. Orang orang lebih senang menyebutnya lombok. Tak lupa juga beberapa titik dari lahan gersang ini aku tanami bibit pohon besar. Aku berharap nantinya pohon ini bisa melindungi orang dari terik matahari. Semua bibit yang aku tanam adalah bibit pohon yang berbuah. Lagi lagi pak Mu’i yang menyediakan. Ada beberapa bibit mangga jenis manalagi, rambutan dan dua puluh bibit pohon waru. Kata pak Mu’i, pohon waru adalah pohon asli daerah ini, jadi diharapkan bisa memperbaiki karakter tanah yang terancam rusak. Aku sendiri tidak tahu apa manfaat pohon yang satu ini. Tidak berbuah yang menghasilkan, dan kayunya sama sekali bukan kayu favorit para pencuri. Barangkali ini memang tujuan pak Mu’i, biar setelah pohon pohon ini besar, nantinya tidak ada yang tertarik untuk menebang dan membabat habis. Kalau begitu pandai juga pak Mu’i dalam merencanakan sesuatu. Sepandai dia mengajari aku berladang.
Aktifitas baruku ini akhirnya didengar juga oleh keluarga Haji Abbas. Ini karena hampir setiap hari aku pulang bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib. Padahal sebelumnya, jauh sebelum adzan maghrib aku sudah bertengger di pondok panggung. Tentu saja pak Mu’i akan lancar bercerita manakala Haji Abbas menanyakannya. Haji Abbas adalah orang yang sabar dan bisa mengendalikan emosinya. Siapa yang tidak menaruh hormat pada orang yang seperti itu.
Esoknya, aku berangkat ke ladang sendirian. Ini bukan yang pertama, tapi sudah yang kelima kalinya. Entahlah, sejak pak Mu’i mengatakan bahwa harimau tidak akan menerkam orang yang mencintai hutan, aku jadi punya rasa kepercayaan diri lagi. Biasanya sejak sekitar jam sepuluh pagi pak Mu’i menemani dan mengajariku berladang. Jam segitu, perolehanku merumput sudah lebih dari cukup. Untuk kambing kambingku, ternak pak Mu’i, dan lebihnya aku bagikan ke orang orang kampung secara acak, sekehendak aku memberikannya pada siapa. Tugasku di ladang kali ini hanya menyiram dan mengontrol pertumbuhan cabe kecil, juga beberapa bibit yang kutanam. Memang jarak antara ladang dengan sumber air lumayan jauh. Tapi aku menganggapnya sebagai tantangan tersendiri. Ladang ini sendiri ada di punggungan bukit agak menyamping ke arah selatan. Jadi kondisinya miring tapi tidaklah sangat curam. Biasa saja. Lereng punggungan sebelah utara berbatasan dengan lereng punggungan berikutnya. Beruntung lereng berikutnya itu masih terdiri dari ilalang, rotan dan pohon pohon besar. Hanya lereng sebelah utara yang membelakangi ladang ini saja yang hanya berupa ilalang dan rerumputan. Terlihat dari atas punggungan, bahwa di lereng utara itu hanya ada satu pohon besar. Pohon beringin yang diameternya dua kali roda truk semacam kutunggu jandamu milik Pak Ilham dulu. Di lereng itu juga tidak ada sumber air. Sebenarnya aku tertarik menanami lereng itu dengan sesuatu. Tapi aktifitasku di ladang ini sudah membuatku kehabisan waktu. Maklumlah, aku baru memulai berladang. Cabe kecil ini juga masih butuh perhatian ekstra. Seandainya sehari ada empat puluh delapan jam dan siang hari adalah setengah dari waktu itu, aku pasti akan menanaminya juga. Kadang aku memilih untuk beristirahat di bawah pohon beringin itu, meskipun aku harus berjalan berlangkah langkah untuk sampai di sana. Pertama kali aku ada di bawah pohon beringin, yang aku lakukan adalah memeriksa sekitar, menyiangi ilalang dan memastikan tidak ada sesuatu yang berbahaya di sana. Baru kemudian aku merebahkan diri. Sesekali aku melihat ular sawah sebesar lenganku, bergerak santai di depan. Aku tidak terlalu takut. Sudah beberapa kali aku mengalaminya. Tapi tetap saja aku waspada dan pasang kuda kuda sambil tangan kanan erat menggenggam celurit. Pak Mu’i melarang aku untuk mengganggu ular, apalagi hendak membunuhnya. Dia bilang kita butuh ular ular itu untuk menjaga jumlah tikus agar tidak terlalu banyak. Jika populasi tikus meledak, segala apa yang kita tanam di ladang akan ludes dimakannya tanpa sempat kita merasakan indahnya masa panen. Itu kata pak Mu’i. Aku benar benar menjaga titah itu dengan sebaik baiknya.
Saat cabe yang aku tanam semakin tumbuh besar, pelan tapi pasti aku mulai juga menanami lereng di sekitar pohon beringin. Aku mencari beberapa tunas pohon pisang di kampung Curah Nongko dan membawanya ke lereng di balik ladangku. Setiap hari aku luangkan waktu untuk menyiramnya. Setiap hari pula aku mencari dan membawa lagi tunas tunas pohon pisang. Begitu seterusnya hingga tunas tunas itu berjajar dan daerah sekitar pohon beringin tak lagi berilalang lebat karena setiap hari aku membersihkannya dengan cara menyicil. Pelan pelan, sedikit demi sedikit, tapi aku lakukan terus menerus. Haji Abbas pernah bilang, bahwa sebaik baik perbuatan adalah perbuatan yang dilakukan seseorang secara terus menerus walaupun sedikit. Bukan itu saja. Masih menurut haji Abbas, itu adalah kalimat yang dituturkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad, Nabinya orang Islam. Entah karena mendapat embel embel Kanjeng Nabi atau hanya karena Haji Abbaslah yang mengatakan, kalimat itu melekat erat di hatiku dan sepertinya tak bisa aku cabut kembali. Bahkan kalau perlu, akan aku jadikan kalimat itu sebagai tiang hidup. Sebuah kata kata sederhana yang lebih berkilau dari sekedar segenggam emas dua puluh dua karat.
Diam diam, suatu hari Haji Abbas memperhatikan aku seharian di ladang. Berdua dengan pak Mu’i beliau berdiri di tempat yang tersembunyi, mengikuti apa saja yang aku lakukan dengan kedua sorot matanya. Pak Mu’i yang mencelotehkan ini padaku saat sore menjelang dan seperti biasa, aku ke rumahnya untuk memberi sekarung rumput. Tentu saja aku kaget, diam, dan tak lama kemudian tertawa sekeras kerasnya. Pak Mu’i sudah maklum dengan perangaiku ini. Sepertinya dia juga sama sekali tidak ada masalah dengan tingkahku. Begitu juga dengan istri dan kedua putrinya yang sudah menginjak remaja. Dengan santai pak Mu’i meneruskan celotehnya. Aku yakin dia bisa mengerti dengan jalan pikiranku. Dan aku yakin bahwa dia juga tahu bahwa setiap kata kata yang dia lontarkan padaku tidak terbuang percuma, tapi mengendap dalam otak dan hatiku. Keyakinan ini aku dapatkan dari ketulusan yang terpancar di kedua matanya saat berkicau di depanku. Dia tidak menggurui, tidak sok paling tahu, dan tidak sedang berbicara dengan orang gila. Yang dia ungkapkan adalah gaya bahasa sehari hari dan untuk konsumsi manusia. Pak Mu’i memanusiakan aku, itulah hakekat yang aku temukan di setiap tutur katanya.
Benar juga yang pak Mu’i katakan kemarin. Bahwa Haji Abbas diam diam diantarnya ke ladang ini untuk membuktikan kebenaran tentang aku yang sedang belajar berladang. Meskipun saat aku mencangkul, menyiram dan menyiangi, semuanya lebih sering aku kerjakan sambil tertawa. Setidaknya menyeringai. Terbukti hari ini beliau mengirim beberapa orang ke ladang. Bukan hanya mengirim sebenarnya, karena beliau juga ada di antara mereka. Dua dari mereka sudah aku kenal. Mereka adalah tukang kayu yang membuatkan aku pondok bambu lengkap dengan kolam di bawahnya. Dari barang barang yang mereka bawa, aku tahu mereka akan melakukan sesuatu. Kubiarkan saja kehadiran mereka, karena aku masih harus naik turun sambil membawa dua timba yang aku panggul dengan kayu, dan aku letakkan di salah satu bahu. Kadang juga bergantian antara bahu yang kiri dengan bahu yang kanan. Antara bahu dan kayu ada kain semacam sapu tangan yang dilipat lipat. Pak Mu’i yang memberikan itu. Warnanya kuning, berbentuk bujur sangkar berukuran sekitar empat puluh senti kali empat puluh senti. Tapi karena sering aku gunakan untuk membersihkan peluh di wajah, warnanya berubah menjadi kuning pekat kecoklatan. Aku sudah terbiasa mengenakannya di leher manakala tugasku menyiram selesai. Pak Mu’i biasa menyebutnya bandana.
Dapat kulihat orang orang yang datangnya bersama Haji Abbas sudah memulai aktifitasnya. Tapi aku tidak berbaur diantara mereka. Tugasku untuk menugaskan diri sendiri menyiram tanaman belum selesai, belum lagi menyediakan waktu untuk menyiram tunas tunas pisang yang sengaja aku tanam sendiri tanpa instruksi dan contoh dari pak Mu’i. Jadi tidak ada waktu bagiku untuk menggabungkan diri dengan rombongan Haji Abbas.
Selama lima hari berturut turut mereka hadir di ladang yang tanahnya milik Tuhan ini, tidak terkecuali Haji Abbas. Sebagian sibuk membuat sebuah pondok baru lengkap dengan dindingnya dan masih saja bergaya panggung, hampir sama persis dengan pondok yang ada di samping belakang sumur yang bergandeng dengan dapur tempat Nyai berkegiatan. Satu satunya yang membedakan adalah tidak adanya jendela di pondok baru ini. Tiga dari mereka membuat sebuah galian. Bisa dipastikan, mereka akan membuat sumur. Tentu saja aku kegirangan. Hal ini aku tunjukkan dengan tertawa lepas tanpa takut ada harimau yang mengawasiku. Sesekali aku ikut menikmati kopi dalam ceret dan rokok yang tergeletak sejajar dengan alat alat pertukangan. Ini akan memudahkan aku berladang. Lagi lagi bertambah rasa kagumku pada Haji Abbas, laki laki berkharisma. Bahkan seandainya beliau tidak memiliki embel embel Haji di depan namanya sekalipun, beliau tetap bersahaja dan memiliki kharisma tersendiri. Aku masih ingat saat Haji Abbas berkata pada mas Aim bahwa aku adalah anak angkatnya. Yang aku tidak ingat, apa pernah aku mengangkatnya sebagai Bapak?
(Bersambung)
hmmm...
BalasHapuspengen baca semuanya neh..
penasaran tiap harinya...